Alea membuka mata, cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden. Ia meraba sisi tempat tidur di sebelahnya, dingin dan kosong. Rian belum pulang lagi semalam. Helaan napas lolos dari bibirnya. Pernikahan ini memang bukan atas dasar cinta yang membara, melainkan perjodohan yang diatur oleh kedua keluarga.
Sejak kecil, Alea selalu mengagumi Rian. Rian adalah sosok yang selalu ada, teman bermain, teman berbagi cerita, dan satu-satunya pria yang berhasil mencuri hatinya. Namun, setelah pernikahan ini terjadi, Rian seolah berubah. Ada kalanya Rian begitu perhatian dan menyayanginya, membuat Alea merasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi di saat lain, Rian bersikap dingin dan acuh, seolah Alea hanyalah orang asing di rumah ini.
Alea bangkit dari tempat tidur, hatinya diliputi perasaan campur aduk. Cinta, harapan, dan sedikit kekecewaan bercampur menjadi satu. Ia berjalan menuju jendela, menatap halaman belakang dari kamarnya. Mungkin, pikirnya, hari ini Rian akan pulang dengan senyuman dan pelukan hangat. Atau mungkin, hari ini akan menjadi hari yang sama seperti kemarin, penuh dengan tanya dan ketidakpastian.
Alea meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Dengan sedikit ragu, ia mencari nama Rian di daftar kontaknya. Jantungnya berdegup lebih kencang saat menekan tombol panggil.
Tut... tut... tut...
Tidak ada jawaban. Alea menghela napas. "Ke mana sih dia?" gumamnya pelan.
Dicobanya sekali lagi.
Tut... tut... tut...
Tetap tidak ada jawaban. Alea mulai merasa khawatir. "Angkat dong, Yan," bisiknya.
Setelah beberapa kali mencoba menelepon tanpa hasil, Alea akhirnya menyerah. Ia membuka aplikasi pesan dan mulai mengetik.
"Sayang, kamu di mana? Kok semalam nggak pulang? Aku khawatir banget."
Alea menatap layar ponselnya, menunggu balasan. Setiap notifikasi yang muncul membuatnya berharap, tapi ternyata bukan dari Rian.
"Ya ampun, ke mana sih dia? Nggak biasanya begini," Alea bergumam sambil menggigit bibirnya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi rasa khawatir terus menghantuinya.
Dengan perasaan gundah, Alea akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. "Sudahlah, mungkin nanti juga ada kabar," gumamnya mencoba menenangkan diri. Ia melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air hangat menyiram tubuhnya, berharap dapat mengusir sedikit rasa khawatir yang menghantui.
Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, Alea turun ke lantai bawah. Rumah mewah itu terasa sepi tanpa kehadiran Rian. Alea dan Rian memang berasal dari keluarga berada, sehingga semua pekerjaan rumah tangga sudah diurus oleh para asisten.
Alea berjalan menuju ruang makan, di mana meja sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat. Namun, nafsu makannya hilang entah ke mana. Ia hanya mengambil sedikit nasi dan beberapa potong buah, lalu duduk dengan tatapan kosong.
"Non Alea sarapan dulu, nanti sakit," ujar Bi Inah, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di keluarga itu.
Alea hanya tersenyum tipis. "Iya, Bi. Ini Alea makan," jawabnya lirih.
Bi Inah menatap Alea dengan prihatin. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran non majikannya itu. "Den Rian belum pulang ya, Non?" tanyanya hati-hati.
Alea menggeleng pelan. "Belum, Bi. Alea juga nggak tahu dia di mana."
Bi Inah menghela napas. "Sabar ya, Non. Mungkin Den Rian lagi ada urusan penting."
Alea hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia tahu Bi Inah hanya berusaha menghiburnya, tapi hatinya tetap saja tidak tenang. Ia berharap Rian segera pulang dan memberikan penjelasan.
Selesai menyantap sarapan yang terasa hambar, Alea kembali ke kamarnya. Ia meraih ponselnya, memeriksa sekali lagi apakah ada pesan atau panggilan dari Rian. Nihil. Hatinya mencelos. Dengan helaan napas panjang, Alea meletakkan kembali ponselnya di atas meja.
"Sudahlah," bisiknya pada diri sendiri. "Nggak mungkin juga aku nungguin dia terus."
Alea kemudian beranjak menuju lemari pakaiannya. Ia memilih setelan yang nyaman namun tetap modis, sesuai dengan citranya sebagai pemilik butik. Hari ini, ia harus profesional dan fokus pada pekerjaannya.
"Aku harus tetap produktif," gumamnya sambil memoleskan sedikit riasan di wajahnya. "Nggak boleh terus-terusan sedih begini."
Setelah merasa penampilannya cukup baik, Alea mengambil tas kerjanya dan bersiap untuk pergi. Sebelum keluar kamar, ia melirik sekali lagi ke arah ponselnya, berharap ada keajaiban. Namun, layar itu tetap kosong.
"Ya sudah," ucapnya pasrah. "Semoga saja nanti ada kabar baik."
Alea pun melangkah keluar kamar, meninggalkan kesunyian dan kekhawatiran di belakangnya. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya, berharap dapat melupakan sejenak masalah rumah tangganya.
Alea menekan tombol starter, dan mesin mobilnya meraung halus. Ia menginjak pedal gas, meninggalkan rumah mewahnya menuju butik yang menjadi salah satu sumber penghasilannya. Di sepanjang perjalanan, pikirannya masih tertuju pada Rian, namun ia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan mendengarkan musik dari radio.
Sesampainya di butik, Alea disambut hangat oleh para karyawannya. Ia membalas sapaan mereka dengan senyum ramah, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang masih menghantuinya.
"Selamat pagi, Mbak Alea," sapa salah seorang karyawannya.
"Pagi, semua," jawab Alea. "Gimana kondisi butik hari ini?"
"Alhamdulillah, Mbak. Ramai seperti biasa," jawab karyawan tersebut.
Alea mengangguk lega. Ia kemudian menuju ruang kerjanya dan mulai memeriksa laporan penjualan, stok barang, dan keuangan butik. Ia teliti memeriksa setiap detail, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
"Mbak, ini laporan penjualan minggu ini," ujar seorang karyawan sambil menyerahkan sebuah map.
Alea menerima map tersebut dan mulai membacanya dengan seksama. Ia juga memeriksa laporan stok barang, memastikan tidak ada kekurangan atau kelebihan yang signifikan.
"Oke, stok barang aman. Penjualan juga bagus. Tingkatkan terus ya," ujar Alea kepada para karyawannya.
Ia berharap dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan, ia bisa melupakan sejenak masalahnya dengan Rian. Namun, bayangan suaminya itu tetap saja muncul di benaknya. "Dia lagi apa ya sekarang?" pikirnya.
Setelah menyelesaikan sebagian besar pekerjaannya, Alea memutuskan untuk bersantai sejenak. Ia menikmati teh hangat yang disiapkan oleh salah seorang karyawannya sambil duduk di sofa empuk di ruang kerjanya. Matanya menerawang, pikirannya masih melayang-layang memikirkan Rian.
Tiba-tiba, suara notifikasi pesan WhatsApp memecah keheningan. Alea segera meraih ponselnya dan membuka pesan tersebut. Matanya membulat saat membaca pesan dari Bi Inah: "Non, Den Rian sudah pulang ke rumah."
Tanpa pikir panjang, Alea langsung bangkit dari kursinya. Hatinya berdebar kencang, antara lega dan penasaran. Ia meraih tas dan kunci mobilnya, lalu bergegas keluar dari ruang kerjanya.
"Saya pamit duluan ya, semua," ucap Alea kepada para karyawannya dengan nada sedikit terburu-buru.
"Iya, Mbak. Hati-hati di jalan," jawab salah seorang karyawannya.
Alea membalas dengan senyuman singkat, lalu melangkah cepat menuju mobilnya. Ia menyalakan mesin mobil dan melajukannya dengan kecepatan sedang menuju rumah.
Jantung Alea berdegup kencang saat mobilnya memasuki pekarangan rumah. Ia menekan klakson beberapa kali agar satpam segera membukakan gerbang. Setelah mobilnya terparkir dengan rapi, Alea langsung berlari masuk ke dalam rumah, tak sabar untuk bertemu dengan Rian.
"Bi, Rian di mana?" tanya Alea dengan napas tersengal-sengal kepada Bi Inah yang sedang membereskan meja makan.
"Ada di kamarnya, Non," jawab Bi Inah sambil menunjuk ke arah tangga.
Tanpa menunggu lebih lama, Alea langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya dan Rian. Setiap langkahnya terasa berat, dipenuhi dengan harapan dan kecemasan. Ia tak tahu apa yang akan menantinya di dalam kamar itu. Apakah Rian akan menyambutnya dengan senyuman, atau justru dengan tatapan dingin seperti biasanya?
Alea menarik napas dalam-dalam sebelum meraih kenop pintu kamar. Ia memutar kenop itu perlahan, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Pemandangan di dalam kamar itu membuatnya terkejut dan bingung.
Alea membuka pintu kamar perlahan, namun ruangan itu kosong. Hatinya kembali mencelos. "Ke mana lagi dia?" gumamnya lirih.
Dengan langkah ragu, Alea berjalan menuju ruang kerja Rian, ruangan yang jarang ia masuki. Ia memutar kenop pintu dan membukanya.
Di dalam ruangan itu, Rian terlihat sedang duduk di kursi kerjanya sambil berbicara di telepon. Posisi Rian membelakangi Alea, sehingga ia tidak menyadari kedatangan istrinya.
Tanpa berpikir panjang, Alea langsung menghampiri Rian dan memeluknya erat dari belakang. Ia menyandarkan kepalanya di punggung Rian, merasakan kehangatan tubuh suaminya yang sangat ia rindukan.
"Aku khawatir banget sama kamu," bisik Alea lirih di telinga Rian, berharap suaminya itu merasakan betapa ia mencintainya dan betapa ia merindukannya.
Rian tersentak kaget merasakan pelukan Alea dari belakang. Ia dengan cepat melepaskan pelukan itu, lalu berbalik menghadap Alea dengan ekspresi tidak suka.
"Aku tutup teleponnya dulu ya, nanti aku telepon lagi," ucap Rian kepada lawan bicaranya di telepon. Ia kemudian mematikan sambungan telepon dengan kasar.
Rian menatap Alea dengan tajam. "Kenapa kamu masuk nggak ketuk pintu dulu? Apa kamu nggak ngerti sopan santun?" bentaknya dengan nada tinggi.
Alea terkejut mendengar bentakan Rian. Matanya berkaca-kaca menahan air mata. Ia tidak menyangka Rian akan semarah ini hanya karena ia masuk tanpa mengetuk pintu.
"Aku... aku cuma khawatir sama kamu," jawab Alea lirih dengan suara bergetar. "Aku teleponin dari tadi nggak diangkat-angkat. Aku cuma pengen tahu kamu baik-baik aja."
Rian mendengus kasar. "Khawatir? Kalau khawatir nggak perlu sampai masuk tanpa permisi begini. Ini ruang kerja aku, bukan kamar tidur kamu. Lain kali, ketuk pintu dulu sebelum masuk!"
Alea semakin terisak mendengar kata-kata kasar Rian. Ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Ia tidak mengerti, mengapa Rian selalu bersikap dingin dan kasar kepadanya. Padahal, ia sangat mencintai Rian dan selalu berusaha menjadi istri yang baik.
Alea menundukkan kepalanya, air mata mulai membasahi pipinya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Maaf, Aku nggak bermaksud ganggu kamu. Aku cuma khawatir..."
Alea mencoba meraih tangan Rian, namun Rian dengan kasar menepis tangannya. "Maaf? Maaf aja nggak cukup! Sekarang keluar!" bentak Rian dengan nada yang semakin tinggi.
Alea sangat terkejut dan ketakutan melihat kemarahan Rian yang begitu besar. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berlari keluar dari ruang kerja Rian. Ia tidak ingin berlama-lama berada di dekat Rian yang sedang marah.
Dengan langkah tergesa-gesa, Alea berlari menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamar dengan keras, lalu bersandar di balik pintu sambil terisak-isak. Ia tidak mengerti, mengapa Rian selalu memperlakukannya seperti ini. Mengapa Rian selalu marah dan membentaknya? Apa salahnya? Mengapa Rian tidak bisa melihat betapa ia mencintainya?
Alea merasa sangat sedih dan terluka. Ia merasa seperti tidak berharga di mata Rian. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Rian mencintainya.
Alea terisak-isak di balik pintu kamarnya. Air mata terus mengalir deras membasahi pipinya. Ia merasa begitu hancur dan sendirian. Semua kesedihan dan kekecewaan yang selama ini ia pendam, akhirnya meledak menjadi tangisan yang tak terkendali.
Alea memang selalu memendam semua masalahnya sendiri. Ia tidak pernah menceritakan apa yang ia rasakan kepada siapa pun, bahkan kepada keluarganya sendiri. Walaupun ia memiliki keluarga, namun ia merasa tidak memiliki tempat untuk berbagi.
Ibunya telah lama meninggal dunia. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita dan memiliki seorang putra. Ayahnya sangat menyayangi putranya, sementara Alea merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Alea menikah dengan Rian karena perjodohan yang diatur oleh ayahnya sebelum ibunya meninggal. Saat itu, Alea baru berusia 23 tahun, usia yang terlalu muda untuk menikah. Namun, ayahnya bersikeras agar ia segera menikah, karena ia merasa Alea adalah beban baginya.
Alea merasa sangat terluka dengan sikap ayahnya itu. Ia merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan. Ia merasa seperti tidak memiliki arti apa pun bagi keluarganya.
"Kenapa hidupku seperti ini?" ratap Alea dalam hati. "Kenapa aku harus menikah dengan orang yang tidak mencintaiku? Kenapa keluargaku tidak pernah peduli padaku? Apa salahku?"
Alea terus menangis hingga ia tertidur pulas di balik pintu kamarnya. Dalam tidurnya, ia berharap ada seseorang yang datang dan menyelamatkannya dari kehidupan yang penuh dengan kesedihan dan kekecewaan ini.
Alea terlelap dalam tidurnya yang penuh air mata, hatinya dipenuhi luka yang menganga. Ia tidak memiliki teman dekat, sejak kecil ia selalu bersama Rian. Dulu, Rian adalah sosok yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, melindunginya dari segala kesulitan. Alea selalu merasa aman dan nyaman berada di dekat Rian.
Namun, mengapa Rian yang dulu ia kenal begitu berbeda dengan Rian yang sekarang menjadi suaminya? Mengapa Rian begitu dingin dan kasar kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, tanpa ada jawaban yang pasti.
Alea masih ingat dengan jelas kata-kata Rian saat mereka akan menikah, "Jangan harap aku bisa mencintaimu. Aku temanmu, bukan pasanganmu." Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk hatinya, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terpaksa menerima perjodohan itu demi menyenangkan ayahnya.
Sudah satu tahun mereka menikah, namun mereka belum pernah berhubungan suami istri sama sekali. Rian selalu menolak setiap kali Alea mencoba mendekatinya. Ia selalu tidur di kamar yang berbeda, dan memperlakukan Alea seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Alea merasa sangat kesepian dan terasingkan. Ia merasa seperti hidup dalam neraka yang tak berujung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengubah situasi ini. Apakah ia harus terus bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia ini, ataukah ia harus menyerah dan mencari kebahagiaannya sendiri?
Alea terbangun dari tidurnya yang panjang, merasakan matanya berat dan bengkak karena terlalu banyak menangis. Hari sudah sore ketika Bi Inah mengetuk pintu kamarnya, menyampaikan perintah Rian agar Alea segera turun untuk makan.
Alea menghela napas panjang. Ia tahu, ia tidak memiliki nafsu makan sama sekali. Namun, ia tetap harus menuruti perintah Rian. Ia tidak ingin membuat Rian semakin marah kepadanya.
Dengan langkah gontai, Alea bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap dapat mengurangi sedikit bengkak di matanya. Ia tidak ingin Rian melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan.
Setelah merasa sedikit lebih baik, Alea keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya di balik senyum tipis.
Alea selalu berusaha menuruti apa pun yang dikatakan Rian. Ia selalu berharap, dengan begitu Rian akan luluh dan menerimanya sebagai istrinya. Ia selalu berdoa, suatu hari nanti Rian akan mencintainya seperti ia mencintai Rian.
Di ruang makan, Rian sudah duduk dengan tegap di kursinya. Alea menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan tenang. Makanan sudah tertata rapi di atas meja, namun Alea hanya mengambil sedikit nasi dan lauk. Ia sama sekali tidak memiliki nafsu makan.
Rian hanya menatap Alea tanpa berbicara sepatah kata pun. Tatapannya sulit diartikan, apakah ia peduli ataukah ia hanya acuh tak acuh.
Suasana di meja makan terasa sangat hening dan tegang. Hanya suara denting sendok dan garpu yang sesekali memecah keheningan. Alea merasa tidak nyaman dengan tatapan Rian yang terus mengawasinya. Ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada makanannya, meskipun hatinya terasa sangat sakit.
Alea berharap, Rian akan mengatakan sesuatu, meskipun hanya sekadar bertanya tentang keadaannya. Namun, Rian tetap diam membisu, seolah-olah Alea tidak ada di sana.
Alea mengaduk-aduk makanannya tanpa selera. Setelah beberapa saat, ia merasa sudah cukup dan meletakkan sendoknya. Rian sudah selesai makan sejak tadi dan kini sedang asyik dengan ponselnya.
Dengan suara pelan, Alea berpamitan, "Aku... aku ke kamar dulu ya."
Rian tidak menjawab, namun matanya yang tajam mengikuti setiap gerakan Alea. Tatapan itu membuat Alea merasa tidak nyaman dan takut. Ia mempercepat langkahnya menuju pintu, berharap segera bisa keluar dari suasana yang mencekam ini.
Alea menghembuskan napas lega begitu memasuki kamarnya. Ia merebahkan diri di tempat tidur. Ia meraih ponselnya dan mulai bermain dengan media sosial, mencoba mengalihkan pikirannya dari kejadian di ruang makan tadi.
Alea terus menggulir layar ponselnya, melihat-lihat postingan teman-temannya. Namun, hatinya tetap terasa kosong dan sedih. Ia tidak bisa menikmati apa pun yang ia lihat.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu yang disusul dengan panggilan dingin, "Alea." Itu suara Rian.
Alea terdiam. Ia tahu Rian sedang memanggilnya, namun ia tidak ingin bertemu dengan Rian saat ini. Ia pura-pura tidur, berharap Rian akan pergi.
Rian memanggil lagi, namun tetap tidak ada jawaban dari Alea. Setelah beberapa saat, pintu kamar terbuka perlahan. Rian masuk dan menghampiri Alea yang sedang berbaring di tempat tidur.
Rian berdiri di samping tempat tidur, menatap wajah Alea yang terlihat tertidur. Ia mengamati setiap detail wajah istrinya itu, dari mata yang bengkak hingga bibir yang pucat.
Tiba-tiba, terdengar suara Rian yang pelan dan lirih, "Maaf, Alea. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa kepadamu."
Alea terkejut mendengar ucapan Rian. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu kepadanya. Hatinya berdebar-debar, berharap Rian akan mengatakan sesuatu yang lebih dari itu.
Namun, setelah mengucapkan kata-kata itu, Rian berbalik dan pergi keluar dari kamar. Alea terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Apakah Rian benar-benar menyesal dengan perlakuannya selama ini? Apakah Rian mulai membuka hatinya untuknya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya.
Alea membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ia berharap, kata-kata Rian tadi adalah awal dari perubahan yang lebih baik dalam hubungan mereka.
Setelah Rian pergi, Alea bangkit dari tempat tidur dan duduk termenung. Ia mencoba mencerna kata-kata Rian tadi. Hatinya masih ragu, namun ia memutuskan untuk bersikap biasa saja. Ia tidak ingin terlalu berharap, namun ia juga tidak ingin menutup diri sepenuhnya.
Alea bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia menggosok giginya dan mencuci wajahnya, mencoba menyegarkan diri. Setelah itu, ia menuju meja riasnya dan mulai memakai skincare. Ia ingin terlihat cantik dan segar di hadapan Rian.
Setelah selesai dengan ritual kecantikannya, Alea mengambil pulpen dan buku sketsanya. Ia mulai menggambar beberapa model baju untuk butiknya. Menggambar adalah salah satu cara Alea untuk melupakan masalahnya dan mengekspresikan dirinya.
Alea larut dalam dunianya sendiri, menciptakan berbagai macam desain baju yang indah dan kreatif. Ia berharap, suatu hari nanti butiknya akan sukses dan dikenal banyak orang. Dengan begitu, ia bisa membuktikan kepada semua orang, termasuk Rian dan ayahnya, bahwa ia bisa mandiri dan sukses.
Alea terus menggambar hingga larut malam. Setelah merasa cukup, ia menutup buku sketsanya dan meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan melihat status teman-temannya.
Tanpa sengaja, matanya tertuju pada status WhatsApp Rian. Jantungnya berdegup kencang saat melihat foto yang diunggah Rian. Itu adalah foto tangan seorang wanita yang memakai cincin. Cincin itu terlihat mewah dan berkilauan.
Alea terkejut. Ia tidak tahu siapa wanita itu. Perasaan cemburu dan curiga mulai menghantuinya. Ia bertanya-tanya, siapa wanita yang ada di foto itu? Apakah Rian memiliki hubungan dengan wanita lain?
Tidak lama kemudian, foto itu menghilang dari status WhatsApp Rian. Sepertinya Rian segera menghapusnya setelah menyadari kesalahannya.
Alea semakin bingung dan penasaran. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rian darinya. Ia ingin bertanya langsung kepada Rian, namun ia takut Rian akan marah dan membentaknya.
Alea tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Ia memutuskan untuk mencari Rian dan menanyakan tentang foto itu. Ia berjalan menuju kamar Rian, namun kamar itu kosong dan gelap.
Alea mencoba mengetuk pintu ruang kerja Rian, namun tidak ada jawaban. Ia semakin khawatir dan cemas. Ke mana Rian pergi? Mengapa ia pergi tanpa memberitahunya?
Alea menghampiri Bi Inah yang sedang membersihkan dapur. Dengan gugup, ia bertanya, "Bi, Rian ke mana ya? Apa Bibi lihat dia pergi?"
Bi Inah menghentikan pekerjaannya dan menatap Alea dengan tatapan bingung. "Den Rian sudah pergi sejak tadi, Non. Setelah masuk ke kamar Non, Tuan langsung pergi."
Alea terkejut mendengar jawaban Bi Inah. "Pergi ke mana, Bi? Apa Bibi tahu?"
Bi Inah menggelengkan kepalanya. "Bibi tidak tahu, Non. Tuan tidak bilang apa-apa."
Alea merasa semakin cemas dan khawatir. Ke mana Rian pergi? Mengapa ia pergi tanpa memberitahunya? Siapa wanita yang ada di foto itu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuatnya semakin bingung dan takut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!