NovelToon NovelToon

Dendam Dan Cinta Tuan Mafia

Bab 1

Dikamar yang gelap dengan cahaya tamaran, sepasang suami istri baru saja menyelesaikan penyatuan cintanya yang telah lama mereka nantikan, setelah beberapa bulan ini berpisah karna urusan pekerjaan.

Nafas keduanya tersengal-sengal, mencoba mengatur ritme jantung yang berpacu begitu cepat. Dimas merebahkan diri di samping Aira, memeluknya erat. Namun, Aira merasakan kekecewaan kembali menghampirinya. Ia belum mencapai kepuasan yang sama, sensasi yang ia dambakan masih menggantung di ujung angan.

Aira menoleh pada Dimas, pria yang telah menjadi suaminya selama tiga tahun. Ia menatap wajah lelah itu, mencoba mencari jawaban atas kekecewaan yang selalu ia rasakan. Lagi-lagi, ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Kenikmatan yang ia impikan selama berbulan-bulan, sejak Dimas bertugas di luar kota, hanya berlangsung beberapa menit saja.

Setelah kepulangan Dimas dari dinas kerja di luar kota selama berbulan-bulan, Aira sangat merindukannya. Ia membayangkan malam-malam penuh gairah, melampiaskan segala kerinduan yang membuncah. Namun, harapannya pupus. Dimas tak pernah bisa memberikan kepuasan yang ia inginkan di ranjang. Ia merasa seperti seorang pelari yang tak pernah mencapai garis finish, selalu tertinggal di belakang, merindukan sensasi yang tak pernah ia rasakan.

Melihat suaminya tertidur pulas tanpa merasa bersalah, Aira merasa hatinya semakin perih. Ia merasa seperti tidak dihargai, tidak diinginkan. Dengan perasaan campur aduk, Aira memilih untuk membungkus tubuhnya dengan bathrobe dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Di kamar mandi, matanya tertuju pada jaket yang dikenakan Dimas saat pulang. Jaket itu tergeletak di lantai, tampak lusuh dan berdebu. Sebuah benda terlihat mencurigakan dari saku jaket itu. Benda itu tampak asing, tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Aira mengambilnya dan terkejut mendapati sebuah pelembap bibir. Bukan pelembap bibir biasa, melainkan sebuah lip balm dengan aroma yang manis dan feminin. Aroma yang tidak asing, namun bukan aroma yang biasa digunakan oleh Dimas.

"Lip balm?" gumamnya lirih, mencoba mencerna apa yang dilihatnya. Jantungnya mulai berdebar kencang, firasat buruk mulai menghantuinya.

Tak ingin terburu-buru curiga, Aira memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Dimas. Ia ingin memberikan kesempatan pada suaminya untuk menjelaskan semuanya. Ia berharap, apa yang ia lihat hanyalah sebuah kesalahpahaman.

"Sayang, ini lip balm siapa?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang melandanya. Ia berdiri di samping ranjang, menatap Dimas yang masih terlelap.

Dimas, yang tadinya terpejam, langsung membuka mata dengan jantung berdebar kencang. Ia terkejut melihat Aira berdiri di depannya, memegang lip balm yang ia sembunyikan. Ia merasa seperti tertangkap basah melakukan kesalahan besar. Namun, ia berusaha menetralkan ekspresinya agar tidak membuat Aira curiga. Ia harus berpikir cepat, mencari alasan yang masuk akal untuk menjelaskan semuanya.

Ia duduk dan tersenyum pada Aira, berusaha terlihat tenang dan meyakinkan. "Oh, itu lip balm-ku, Sayang. Di Bandung cuacanya dingin banget, jadi bibirku pecah-pecah. Nggak enak kan kalau aku ketemu klien dengan bibir kayak gini," jawabnya dengan nada santai, berharap Aira mempercayainya.

"Oh... gitu. Aku kira..." jawab Aira, mencoba menyembunyikan keraguan yang masih menggelayuti hatinya. Ia ingin mempercayai Dimas, tapi ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.

"Kamu kira apa?" tanya Dimas, menelan ludah dengan gugup. Ia takut Aira mengetahui kebenarannya, rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

"Nggak ada kok. Ya udah, kamu tidur aja lagi," ucap Aira, berbalik dan berjalan menuju lemari. Ia mengambil pakaiannya dan bersiap untuk mandi. Ia tidak ingin melanjutkan percakapan ini, ia butuh waktu untuk sendiri, untuk merenungkan semuanya.

Tiba-tiba, Dimas memeluknya dari belakang. Ia memeluknya erat, seolah takut kehilangan Aira. "Maaf ya, kamu pasti belum puas?" tanyanya dengan nada menyesal. Ia tahu, ia belum bisa memberikan kebahagiaan yang seutuhnya pada Aira.

Aira hanya membalas pelukan Dimas dengan senyuman tipis. Ia tidak ingin membahas masalah ini lagi, ia lelah. Ia hanya ingin merasakan kehangatan pelukan Dimas, meskipun hanya sesaat.

Dimas menarik Aira untuk kembali berbaring. Mereka pun tertidur dengan Dimas memeluk Aira dari belakang. Namun, pikiran Aira masih berkecamuk. Ia tidak bisa tidur nyenyak, bayangan lip balm itu terus menghantuinya.

"Maafkan aku, Aira," batin Dimas, merasa bersalah karena telah menyembunyikan sesuatu dari istrinya. Ia tahu, ia telah melukai hati Aira.

Malam yang panjang berganti dengan mentari yang bersinar cerah. Hari yang lembut dengan kicauan burung dan suara ayam berkokok menciptakan suasana yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tidak merasuk ke dalam hati Aira. Ia masih merasa gelisah, tidak nyaman.

Aira membuka matanya, tetapi tidak melihat Dimas di sampingnya. Ia bangkit dari tempat tidur dan menyusuri setiap ruangan, mencari keberadaan suaminya. Ia menemukan Dimas di ruang kerja, sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon.

"Oke, nanti aku ke sana," ucap Dimas dengan nada tergesa-gesa.

"Mas Dimas teleponan sama siapa pagi-pagi begini?" gumam Aira, berdiri di dekat pintu sambil melihat suaminya yang membelakanginya. Ia merasa curiga, siapa yang ditelepon Dimas sepagi ini?

"Mas...?" panggilnya dengan nada ragu.

Dimas terkejut dan segera mengubah topik pembicaraannya, seolah-olah sedang berbicara dengan atasannya. Ia berusaha terlihat profesional dan meyakinkan.

"Baik, Pak, saya akan kerjakan semuanya," ucap Dimas, lalu menutup teleponnya dan menghampiri Aira. Ia tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupan yang melandanya.

"Sayang, kamu sudah bangun?" tanyanya, yang dibalas anggukan oleh Aira.

"Kamu habis teleponan sama siapa pagi-pagi begini?" tanya Aira dengan nada menyelidik. Ia ingin tahu siapa yang ditelepon Dimas, dan apa yang mereka bicarakan.

"Ah... Biasalah, Pak Danu minta Mas buat lembur di kantor hari ini," jawab Dimas dengan nada santai, berharap Aira mempercayainya.

"Loh, tapi kan ini jadwal libur kamu. Kok main lembur aja?" protes Aira, merasa tidak adil. Ia ingin menghabiskan waktu bersama Dimas, setelah berbulan-bulan berpisah.

"Sayang, tapi keadaan di kantor lagi genting. Perusahaan terancam bangkrut, jadi Mas harus urus beberapa dokumen. Kamu ngertiin ya," rayu Dimas, mencoba membujuk Aira. Ia tahu, ia telah mengecewakan Aira.

Namun, Aira tidak menatapnya. Air mata mulai keluar dari sudut matanya, membasahi pipinya. Bibirnya bergetar, menahan isak tangis. Ia merasa sakit hati, dikhianati.

"Kamu baru aja pulang setelah tiga bulan dinas! Dan hari ini, jatah libur kamu harus dipake lembur di kantor? Terus waktu buat aku-nya kapan, Mas?" protes Aira lagi, dengan suara bergetar. Ia merasa tidak dihargai, tidak dicintai. Ia pun memilih kembali ke kamar dan mengurung diri, menangisi nasibnya.

Sementara Dimas, hanya mengusap pelipisnya dengan kasar. Ia merasa bersalah, telah membuat Aira kecewa. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki semuanya. Tapi, ia tidak tahu harus mulai dari mana.

*

*

Dimas pun berangkat dengan keadaan hati yang gusar, bagaimana tidak Aira sejak tadi tak bergeming dan mengacuhkannya. Hingga Dimas pun memilih untuk pergi kekantor dengan keadaan sang istri yang masih marah.

mendengar suara mobil Dimas yang melaju menjauh, Aira yang sejak tadi menutup diri dengan selimut tebal pun membukanya. Ia tak menyangka Dimas akan meninggalkannya begitu saja.

Aira bangun, dan pergi kedapur untuk mencari air minum. Saat minum ia tak sengaja melihat sebuah coklat dengan selembar catatan.

'Maafin aku ya sayang, aku janji akhir pekan kita liburan. Sayang kamu, muuacch' tulis Dimas, tiba-tiba saja kalimat itu membuat bibir Aira seketika mengembang.

Hati yang tadinya begitu mendung, kini kembali cerah. Lupakan soal rasa kesalnya pada pekerjaan Dimas, karna ia tahu untuk sampai ke titik ini, membutuhkan perjuangan yang begitu sulit. Jadi ia harus memaklumi jika dirinya prioritas kedua setelah pekerjaan.

*

Aira bersiap untuk pergi kedai rotinya. Dan saat dilampu merah, disebrang sana ia tak sengaja melihat mobil Dimas yang juga tengah menunggu lampu hijau, namun Aira begitu bingung saat melihat bukan Dimas yang mengendarai mobil itu, melainkan seorang wanita.

*,

Bersambung---

Jangan lupa tinggalkan komen

Bab 2

Setelah lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, mobil Dimas meluncur dengan kecepatan yang membuat Aira sedikit kesulitan untuk mengimbanginya. Jantungnya berdebar kencang, setiap detaknya seolah berpacu dengan laju mobil di depannya. Perasaan cemas, takut, dan curiga bercampur aduk menjadi satu, menciptakan badai emosi yang dahsyat di dalam dirinya. Ia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, dan memfokuskan pandangannya pada mobil Dimas.

Aira memutuskan untuk membuntuti mobil suaminya dengan kecepatan sedang, menjaga jarak aman agar tidak terlalu mencolok dan menimbulkan kecurigaan. Ia sadar, tindakannya ini mungkin salah, melanggar privasi Dimas, tetapi ia tidak bisa menahan diri. Ia harus mencari tahu kebenaran di balik semua kejanggalan yang selama ini ia rasakan. Ia ingin membuktikan, apakah Dimas benar-benar setia padanya, ataukah ada wanita lain yang telah merebut hatinya.

Semakin jauh mobil Dimas melaju, semakin dalam pula Aira terjerumus ke dalam labirin ketidakpastian. Ia tidak tahu ke mana Dimas akan pergi, apa yang akan ia temukan, dan bagaimana ia harus menghadapi kenyataan jika dugaannya benar. Namun, ia bertekad untuk tidak menyerah. Ia ingin memperjuangkan rumah tangganya, meskipun ia harus menghadapi kenyataan pahit sekalipun.

Akhirnya, mobil Dimas memasuki sebuah kompleks perumahan mewah yang sangat asing bagi Aira. Kompleks itu tampak begitu eksklusif, dengan gerbang tinggi yang dijaga ketat oleh petugas keamanan. Rumah-rumah di dalamnya berdesain modern dan megah, dengan taman-taman yang tertata rapi dan kolam renang pribadi. Aira semakin heran, mengapa mobil suaminya pergi ke tempat seperti ini? Apakah ia memiliki urusan bisnis di sini, ataukah ada alasan lain yang lebih pribadi?

Debaran jantung Aira semakin tak terkendali saat melihat mobil Dimas berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah yang tampak sepi. Rumah itu memiliki pagar tinggi yang menutupi sebagian besar bangunan, sehingga Aira tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di dalamnya. Ia menghentikan mobilnya agak jauh dari rumah itu, tetapi masih dalam jarak pandang yang cukup untuk mengamati apa yang terjadi.

Beberapa saat kemudian, Wanita itu keluar dari mobil Dimas. Penampilannya langsung membuat hati Aira mencelos. Wanita itu mengenakan atasan crop top berwarna merah menyala yang memperlihatkan perutnya yang ramping, dipadu dengan hotpants denim yang sangat pendek. Kakinya jenjang dan mulus, tampak begitu menggoda dalam balutan high heels berwarna senada dengan atasannya. Rambutnya panjang bergelombang, terurai indah di punggungnya, menambah kesan seksi dan menggairahkan.

Aira merasa minder melihat penampilan wanita itu. Ia merasa tidak sebanding, tidak menarik, dan tidak pantas untuk bersanding dengan Dimas. Ia merasa seperti wanita yang gagal, tidak bisa memuaskan suaminya, dan tidak bisa menjaga rumah tangganya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap untuk tumpah kapan saja.

Wanita itu membawa beberapa kantong belanjaan bermerek dari dalam mobil. Kantong-kantong itu tampak penuh dengan barang-barang mewah, seperti pakaian, sepatu, dan aksesoris. Aira semakin sakit hati melihat pemandangan itu. Apakah Dimas membelikan semua barang itu untuk wanita itu? Apakah ia telah menghambur-hamburkan uangnya untuk bersenang-senang dengan wanita lain, sementara ia di rumah berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?

Aira merasa marah, kecewa, dan sakit hati. Ia ingin menghampiri Dimas dan wanita itu, melabrak mereka, dan menanyakan semua kebohongan yang selama ini ia sembunyikan. Namun, ia tidak berani. Ia takut menghadapi kenyataan yang mungkin lebih buruk dari apa yang ia bayangkan. Ia takut kehilangan Dimas, meskipun ia tahu, mungkin ia sudah kehilangannya sejak lama.

*

*

Bersambung---

3

"Mas, semoga kamu nggak seperti yang kupikirkan," bisik Aira lirih, berharap semua yang ia lihat hanyalah ilusi, mimpi buruk yang akan segera berakhir. Ia ingin percaya pada Dimas, pada cinta mereka yang telah terjalin selama bertahun-tahun.

Ia ingin percaya bahwa Dimas adalah pria yang baik, setia, dan mencintainya sepenuh hati. Namun, kenyataan pahit di depan matanya seolah menamparnya dengan keras, menghancurkan semua harapan dan keyakinannya.

Dengan tangan gemetar, Aira meraih ponselnya dan menekan nomor Dimas. Ia ingin mendengar suara suaminya, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia ingin memberikan kesempatan pada Dimas untuk menjelaskan semuanya, meskipun ia tahu, mungkin tidak ada penjelasan yang bisa membenarkan apa yang ia lihat.

Begitu telepon terhubung, mata Aira semakin memanas. Ia melihat Dimas menyambut wanita itu dengan senyum hangat dan pelukan mesra. Mereka tampak begitu bahagia, seolah tidak ada beban atau masalah yang menghantui mereka. Aira merasa seperti orang asing yang tidak berhak berada di sana, menyaksikan kebahagiaan orang lain.

Namun, pemandangan yang paling menyakitkan adalah ketika Dimas dan wanita itu berciuman. Ciuman itu bukan sekadar ciuman biasa, melainkan ciuman penuh gairah dan cinta. Aira merasa jantungnya seperti ditusuk ribuan jarum, setiap detaknya terasa begitu menyakitkan. Ia merasa dikhianati, direndahkan, dan tidak dihargai.

Ponsel yang berada di tangannya terjatuh begitu saja, seolah tidak sanggup lagi menahan beban kesedihan yang ia rasakan. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah ruah, membasahi pipinya. Ia tidak bisa lagi menahan isak tangisnya, semua emosi yang selama ini ia pendam meledak menjadi tangisan yang memilukan.

Tangan Aira mencengkeram setir mobilnya dengan erat, mencoba mencari kekuatan untuk menahan rasa sakit yang mendalam. Ia merasa seperti kehilangan segalanya, kehilangan cinta, kepercayaan, dan harapan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ke mana ia harus pergi, dan bagaimana ia harus menjalani hidupnya tanpa Dimas.

Di tengah tangisnya yang pilu, Aira teringat akan janji yang pernah ia ucapkan pada Dimas, janji untuk selalu mencintai dan setia padanya dalam suka maupun duka. Ia merasa gagal memenuhi janji itu, gagal menjaga rumah tangganya, dan gagal menjadi istri yang baik untuk Dimas.

Namun, di saat yang sama, ia juga merasa marah dan kecewa pada Dimas. Bagaimana bisa ia tega mengkhianati cintanya, mengkhianati janji sucinya, dan menghancurkan hatinya? Bagaimana bisa ia bersikap seolah tidak ada apa-apa, seolah ia tidak pernah ada dalam hidupnya?

Aira merasa bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin pergi dari sana, melupakan semua yang telah terjadi, dan memulai hidup baru. Namun, ia juga ingin menghadapi Dimas, menanyakan semua kebohongannya, dan menuntut pertanggungjawabannya.

Dalam kebingungannya, Aira memutuskan untuk tetap berada di sana, mengamati apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia ingin melihat sejauh mana Dimas akan berbohong padanya, dan seberapa besar ia akan menyakitinya. Ia ingin mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan yang mungkin lebih buruk dari apa yang ia bayangkan.

"pembohong kamu, mas! Arrrrghhhh" teriaknya, lalu disambung oleh tangisannya yang semakin sakit, dadanya terasa seperti dihantam batu yang sangat besar.

Tenggorokannya tercekat, karna rasa sakit yang begitu terasa dihatinya. Padahal baru saja semalam ia memulai lagi, setelah sekian bulan mereka terpisah karna pekerjaan sang suami..

Tapi sekarang apa? dikhianati oleh orang yang sangat ia cintai?

*

*

Bersambung---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!