Hujan mengguyur kota dengan derasnya, membasahi jalanan yang memantulkan kilau lampu neon. Bangunan-bangunan megah berdiri kokoh, menantang langit kelabu, sementara di sudut-sudut gelapnya, kehidupan manusia yang tersisih berjuang dalam keputusasaan yang tak berkesudahan.
Kota ini adalah ladang para dewa palsu—pejabat korup, pengusaha rakus, dan orang-orang kaya yang menganggap diri mereka berada di atas segalanya. Tapi mereka salah. Mereka semua hanyalah boneka yang menari di atas benang-benang keserakahan.
Malam ini, benang-benang itu akan putus. Malam ini, dia akan berburu.
Di dalam sebuah ruangan gelap di lantai paling atas sebuah gedung terlantar, seorang pria duduk di depan layar komputer. Cahaya monitor yang dingin menerangi wajahnya yang tirus, menampakkan mata tajam yang menatap data-data berserakan.
Rekening bank rahasia, bukti transaksi haram, daftar nama mereka yang berlumuran dosa—semua itu adalah peta harta karun yang menjijikkan, dan dia tahu persis di mana harus menggali.
Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, menari-nari bagaikan pemain piano yang gila. Dia meretas sistem keamanan yang konon tak tertembus, menyebarkan kebenaran ke dalam jaringan layaknya virus yang mematikan. Biarkan mereka melihat, biarkan mereka panik.
Biarkan mereka melihat bayangan kematian yang kini mengikuti langkah kaki mereka. Dan ketika mereka ketakutan, dia akan datang.
Mereka menyebutnya monster, iblis, hantu yang memburu para penguasa. Tapi dia bukan itu semua. Dia adalah keadilan yang tidak bisa dibeli, algojo bagi mereka yang mengira diri mereka abadi. Tidak ada pengampunan, tidak ada negosiasi. Hanya ada satu hukum yang berlaku baginya: darah akan mengalir. Malam ini, dan seterusnya.
Di balik kehidupan malam yang kelam, yang diselimuti oleh cahaya kota modern tahun 3200 M, Noir hanyalah seorang pria biasa yang baru dewasa, berusia 23 tahun. Ia menjalani hidupnya sebagai karyawan rendahan di sebuah perusahaan besar.
Setiap hari, ia bangun pagi dengan tubuh terasa remuk, pergi bekerja bagaikan zombie yang digerakkan oleh rutinitas, lalu pulang larut malam dengan tubuh lelah dan pikiran kosong. Rutinitas itu berulang tanpa akhir, seakan hidupnya hanyalah roda yang terus berputar tanpa tujuan.
Namun di balik wajahnya yang tenang dan matanya yang sepekat malam, Noir menyimpan luka yang tak terhapuskan. Seumur hidupnya, ia hanya merasakan kesakitan—diperalat, dihina, diinjak-injak oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan harta. Dunia ini tidak pernah memberinya kesempatan untuk bernapas. Ia hanya catur di papan permainan mereka.
Hujan rintik-rintik jatuh di atap rumah kecilnya, mengalun seperti bisikan lirih kenangan yang enggan pergi. Di dalamnya, Noir duduk diam di kursi reyot, tangannya menggenggam secarik foto usang. Kesunyian dan bayang-bayang masa lalu kini menjadi satu-satunya teman yang setia.
Ia pernah mencintai, mencintai dengan segenap hidupnya. Ia pernah menanam harapan dalam setiap langkahnya. Namun, harapan itu terkubur bersama jejak kaki sang istri yang memilih pergi. Katanya, cinta butuh lebih dari sekadar janji dan ketulusan. Katanya, cinta juga butuh kemewahan.
Noir masih ingat bagaimana wanita itu, yang pernah ia panggil dengan penuh kasih, mengemasi barangnya tanpa ragu. Meninggalkan rumah ini, meninggalkan dirinya, meninggalkan anak mereka yang bahkan belum bisa mengucapkan kata 'ayah' dengan sempurna. "Maaf," hanya itu yang wanita itu katakan, sebelum pergi dalam taksi yang melaju tanpa menoleh ke belakang, tanpa memedulikan hati yang hancur.
Kini Noir sendiri. Bukan benar-benar sendiri, karena ada anaknya yang masih terlelap dalam buaian malam. Namun, sepi yang menyelimuti hatinya terasa lebih menggema daripada suara tangis anaknya. Ia memandangi foto itu sekali lagi, menatap senyuman yang dulu adalah dunianya.
Ia ingin marah, ingin membenci, namun hatinya hanya mendekap luka tanpa dendam. Barangkali, cinta sejati adalah ketika kau tetap mendoakan seseorang yang telah meninggalkanmu.
Bahkan di tempat kerja pun Noir tak menemukan kedamaian. Setiap hari, ia hanya menjadi sasaran ejekan dan hinaan. Atasannya memandangnya dengan sebelah mata, menuntut lebih tanpa pernah memberi penghargaan. Rekan-rekannya tak berbeda. Mereka adalah serigala-serigala yang menunggu saat yang tepat untuk menerkam.
"Kau masih di sini? Kupikir kau sudah menyerah dan pergi," kata salah satu rekan kerjanya dengan tawa mengejek.
Noir hanya diam. Ia tahu, kemiskinan adalah dosa di mata mereka. Tak ada yang peduli bahwa ia bekerja lebih keras dari siapa pun. Tak ada yang peduli bahwa ia menanggung seorang anak seorang diri. Yang mereka lihat hanya seorang pria gagal, seseorang yang layak diinjak tanpa rasa kasihan.
Tapi Noir tetap bertahan. Bukan karena ia kuat, melainkan karena ia tak punya pilihan lain. Ia bekerja demi anaknya, demi memastikan ada makanan di meja kecil mereka, demi memastikan bahwa setidaknya ada secercah harapan, sekecil apa pun itu.
Ia menghadapi layar monitor dengan mata yang lelah. Setumpuk berkas tergeletak di mejanya, menunggu untuk diselesaikan. Kantor sudah hampir sepi, hanya tersisa suara dentingan keyboard dan dengungan lampu neon yang samar. Atasannya baru saja datang, melemparkan dokumen tambahan ke mejanya tanpa peduli apakah Noir masih sanggup atau tidak.
"Lembur lagi. Aku ingin semua ini selesai besok pagi. Jangan pulang sebelum beres," suara dingin itu menusuk seperti pisau tumpul yang menggores daging.
Tak ada tawaran, tak ada pertimbangan. Hanya perintah. Noir ingin membantah. Namun, ia tahu kata-katanya hanya akan berakhir menjadi bahan ejekan. Seperti sebelumnya. Seperti setiap kali ia mencoba membela dirinya sendiri.
Rekan-rekannya sudah pulang sejak tadi, meninggalkannya seorang diri di ruangan yang terasa semakin dingin. Beberapa dari mereka bahkan sempat tertawa sebelum pergi, melontarkan kalimat yang menyayat tanpa mereka sadari.
"Dasar pecundang, kau kerja mati-matian tapi tetap miskin."
"Mungkin istrimu benar meninggalkanmu."
Noir menggenggam pulpen di tangannya, berusaha menahan gemuruh di dadanya. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tak boleh jatuh. Belum. Masih ada satu nyawa yang bergantung padanya, satu nyawa yang harus ia lindungi dari kejamnya kota ini.
Langit bukan lagi biru. Sejak ratusan tahun lalu, atmosfer bumi berubah menjadi abu-abu kusam, terkontaminasi oleh sisa-sisa peradaban yang terus berulang kali runtuh dan dibangun kembali. Matahari jarang terlihat, tersembunyi di balik awan tebal polutan yang menggantung di angkasa seperti kain kafan raksasa yang menutupi planet yang sekarat.
Bumi, yang pernah menjadi rumah bagi miliaran makhluk hidup, kini hanyalah bayangan kelam dari kejayaannya yang lalu. Lahan hijau telah lama lenyap, digantikan oleh beton retak dan reruntuhan kota yang mati. Hanya sedikit yang tersisa, bertahan hidup di antara puing-puing peradaban yang tak henti-hentinya dihancurkan oleh tangan manusia sendiri.
Di tahun 3200, kehidupan bukan hanya sulit—ia nyaris mustahil. Hanya mereka yang kuat, cerdik, atau cukup beruntung yang bisa bertahan. Bagi yang lain, keberadaan hanyalah bentuk lain dari siksaan.
Pemerintahan yang Korup dan Kehancuran yang Berulang
Sejarah dunia adalah siklus yang berulang. Setiap kali peradaban mencapai puncaknya, ia jatuh. Bukan karena bencana alam, bukan pula karena perang besar, tetapi karena kerakusan manusia yang tak pernah berubah. Pemerintah berganti berkali-kali, namun korupsi tetap menjadi akar dari segala penderitaan.
Para elit yang menguasai dunia tinggal di kota-kota terapung di langit, di atas awan beracun yang membunuh siapa pun yang menghirupnya terlalu lama. Mereka adalah dewa-dewa palsu yang bersembunyi di balik perisai udara bersih.
Mereka menikmati kemewahan yang tak terbatas, udara bersih yang disaring dengan teknologi mutakhir, dan teknologi canggih yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan dunia—tetapi justru digunakan untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Di bawah mereka, di permukaan bumi yang retak dan terbakar, rakyat jelata hidup dalam penderitaan. Mereka bekerja tanpa henti, menggali reruntuhan demi menemukan barang-barang sisa peradaban lama yang bisa dijual. Mata uang bukan lagi kertas atau emas, melainkan air bersih dan makanan sintetis yang hanya bisa dibeli dengan harga yang semakin melambung tinggi. Kehidupan adalah barter konstan dengan kematian.
Hukum adalah ilusi. Keamanan dijual kepada mereka yang bisa membayarnya, dan bagi mereka yang miskin, hidup adalah pertarungan tanpa akhir melawan kelaparan, penyakit, dan kekejaman manusia lainnya. Setiap sudut jalan adalah medan pertempuran, setiap hari adalah perjuangan untuk tetap hidup.
Sisa-Sisa Teknologi dan Ilusi Kemajuan
Meskipun dunia telah runtuh berkali-kali, teknologi tetap ada, namun hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ada mobil-mobil yang bisa melayang, tetapi hanya bisa dikendarai oleh mereka yang tinggal di langit. Ada robot pelayan, tetapi mereka tidak melayani manusia, melainkan para korporasi yang memperbudak dunia. Mereka adalah lambang ilusi kemajuan di tengah kehancuran.
Di tanah yang hancur, manusia yang tersisa hanya bisa menggunakan potongan-potongan teknologi lama yang mereka temukan di reruntuhan. Beberapa berhasil merakit senjata dari komponen usang, yang lain membuat alat penyuling air dari puing-puing pabrik yang sudah mati. Namun, tidak peduli seberapa keras mereka berusaha, mereka tetap berada di dasar rantai makanan dunia yang sudah bobrok.
Ilmuwan-ilmuwan terbaik dunia bekerja bukan untuk menyelamatkan bumi, melainkan untuk membantu para elit memperpanjang usia mereka, memperkuat kekuasaan mereka, dan memastikan bahwa rakyat jelata tidak pernah bisa memberontak. Pengetahuan dan inovasi telah dibajak untuk melayani keserakahan, bukan untuk kebaikan bersama.
Manusia yang Bertahan dan Harapan yang Hampir Punah
Di tengah kehancuran, masih ada mereka yang bermimpi. Segelintir kecil manusia masih percaya bahwa dunia bisa diperbaiki, bahwa mungkin ada tempat di mana kehidupan bisa dimulai kembali. Mereka adalah para penjelajah, para pemberontak, dan para pemimpi yang terus mencari jalan keluar dari neraka ini.
Beberapa dari mereka percaya pada legenda tentang "Tanah Baru"—sebuah tempat tersembunyi yang konon masih memiliki air bersih, tanah yang subur, dan langit yang masih bisa melihat matahari. Tidak ada yang tahu apakah tempat itu benar-benar ada, atau hanya dongeng untuk membuat orang-orang tetap berharap.
Namun, di dunia yang sudah mati ini, bahkan harapan sekecil apa pun bisa menjadi alasan untuk terus hidup.
Di langit yang dipenuhi debu dan reruntuhan, seorang anak kecil menatap bintang-bintang yang nyaris tak terlihat. Ia belum tahu bagaimana dunia ini bekerja, belum tahu tentang korupsi, kehancuran, dan keputusasaan. Ia hanya tahu bahwa ia ingin melihat matahari suatu hari nanti.
Dan mungkin, hanya mungkin, harapan kecil itu cukup untuk mengubah segalanya.
Dulu, Noir adalah seorang anak kecil yang penuh mimpi. Langit yang kelabu tidak memengaruhi hatinya. Matahari yang terbit di pagi hari selalu memberinya harapan baru, dan dunia terasa luas, penuh dengan kemungkinan. Ia percaya bahwa cinta bisa menyembuhkan segalanya, bahwa kerja keras akan membuahkan hasil, dan bahwa kejujuran adalah mata uang yang paling berharga.
Dunia tampak seperti taman yang penuh dengan bunga, meski kadang terhalang oleh badai kecil.
Namun, waktu mengajarkan sesuatu yang jauh lebih pahit daripada yang ia bayangkan. Seiring bertambahnya usia dan menginjak dewasa, harapan-harapan itu mulai memudar, tergerus oleh realitas yang kejam. Dunia yang dulu tampak penuh keindahan kini terasa seperti tempat yang dipenuhi kebohongan.
Noir menyaksikan bagaimana para pemimpin dunia, yang dulu ia anggap bijaksana, hanya peduli pada kekuasaan dan keuntungan pribadi. Ia melihat banyak orang yang berjuang keras untuk bertahan hidup, namun dihina, diperas, dan dibuang oleh sistem yang sudah rusak.
Dunia yang ia bayangkan sebagai tempat yang adil, ternyata hanyalah permainan bagi mereka yang cukup kuat untuk mengendalikan roda kehidupan.
Dalam setiap langkahnya, Noir merasa semakin terperosok. Ia bekerja lebih keras, namun semakin ia bekerja, semakin ia merasa tidak berarti. Dunia ini tidak membutuhkan orang sepertinya. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang bisa memanipulasi, yang tahu cara menipu dan berkompromi.
Kejujuran tidak lagi menjadi nilai, tetapi menjadi kelemahan yang mudah dimanfaatkan. Atasannya, yang dulu tampak seperti sosok yang mampu membimbing, kini menjadi sumber keputusasaan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah yang menindas. Rekan-rekannya yang dulu tampak ramah, kini berubah menjadi musuh tersembunyi, mengejek, mencemooh, dan memperlakukan Noir seperti sampah.
Dengan setiap hari yang berlalu, Noir merasa dunia ini semakin kejam. Setiap harapan yang tumbuh di dalam dirinya hancur satu per satu, terinjak oleh kenyataan yang semakin tak tertahankan. Dulu, ia ingin dunia ini menjadi lebih baik. Kini, ia tahu bahwa dunia ini tidak peduli padanya.
Ia hanya menjadi bagian dari mesin besar yang menggiling semuanya menjadi debu. Dunia ini, menurutnya, adalah dunia yang penuh dengan kebusukan, tempat para penipu dan pembohong memegang kendali, sementara orang-orang seperti dirinya, yang pernah percaya akan kebaikan, hanya menjadi pion yang tersingkirkan.
Dunia ini telah mengubahnya. Dari seorang anak kecil yang naif yang percaya pada kebaikan, menjadi lelaki yang tahu betul bahwa hidup tidak lebih dari sekadar bertahan dalam kebusukan ini. Namun, meskipun ia begitu lelah dan frustasi, Noir tidak pernah benar-benar menyerah.
Mungkin, harapan itu sudah sangat tipis, namun ia masih mempertahankan sejumputnya, karena tanpa itu, hidupnya akan benar-benar kosong.
Setelah istrinya pergi dengan membawa anak bayinya, Noir merasa seakan-akan dunia runtuh di hadapannya. Kehidupan yang pernah ia bayangkan—yang penuh dengan harapan dan mimpi—terasa seperti reruntuhan yang hancur seketika. Dia berdiri di tengah ruangan kosong, memandang ke arah pintu yang tertutup rapat, seolah berharap bahwa semuanya hanya sebuah mimpi buruk.
Namun kenyataannya terlalu nyata. Istrinya yang dulu ia cintai, yang pernah menjadi pelengkap hidupnya, memilih untuk pergi tanpa kata-kata yang berarti. Anak bayinya, yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan dan semangatnya, kini juga hilang dari hidupnya.
Mereka pergi, meninggalkannya sendirian, seolah semua yang telah mereka bangun bersama selama bertahun-tahun hanya sebuah ilusi.
Noir merasa seperti dirinya telah dicuri dari dalam dirinya sendiri. Kosong. Ia merasa kosong, pikirannya seakan membeku dalam keheningan yang menyesakkan. Tidak ada lagi tujuan, tidak ada lagi alasan untuk terus bertahan. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya—apakah ia masih perlu berjuang untuk sesuatu yang bahkan tidak lagi ada?
Keadaan semakin buruk ketika ia harus kembali ke rutinitas hariannya. Kerja keras yang dulu memberinya kebanggaan kini hanya menjadi beban yang semakin menekan. Setiap pagi, ia terbangun dan melihat wajah kosong di cermin, seakan semua cahaya dalam dirinya telah padam. Ia mengingat wajah istrinya, senyum anaknya, dan bagaimana hidup mereka pernah terasa sempurna.
Semua itu kini hanya kenangan pahit yang terus menghantui setiap langkahnya.
Di tempat kerja, ia merasa semakin terasing. Ketika ia masuk ke ruangan itu, seakan dunia hanya ada di luar sana, dan ia hanyalah bayangan yang melayang di antara meja dan tumpukan pekerjaan yang tak ada habisnya. Rekan-rekannya?
Mereka hanya melihatnya sebagai alat—sebuah benda yang bisa dipakai dan dibuang begitu saja. Atasan yang dulu memberi harapan, kini hanya memberi perintah dan tekanan.
Kosong. Hanya kata itu yang mengisi pikirannya. Dan ketika malam tiba, Noir merasa bahwa keheningan rumah yang ia tinggali semakin menyesakkan, menambah berat beban yang sudah terlalu berat untuk dipikulnya. Rumah itu—yang dulunya penuh dengan tawa dan kebahagiaan—kini terasa seperti kuburan yang sunyi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!