NovelToon NovelToon

Pembalasan Mafia Kejam

Bab 1. Dendam

Dor!

Suara tembakan menguar di dari dalam rumah keluarga Matthew. Remaja yang baru saja pulang sekolah itu terkejut. Dia terpaku di halaman rumah, menatap bangunan tempatnya biasa beristirahat. Dadanya bergemuruh, apalagi ketika ia melangkah mendekat, matanya mendapatkan pemandangan yang sangat sadis. Satpam penjaga rumahnya tergeletak di depan pintu rumah tak sadarkan diri dengan cairan merah yang membasahi lantai saat ini.

Tubuhnya gemeteran, tapi dia tetap melanjutkan langkahnya. Saat berhasil membuka pintu rumahnya, suasana sunyi menyelimuti. Tapi terdengar seseorang berbicara dari lantai atas. Remaja laki-laki itu memutuskan ke sana.

Sesampainya di sebuah ruangan. Ia terpaku di depan pintu. Dengan tubuhnya yang berubah lemas. Di depan sana, ia bisa melihat sang ayah yang tergeletak berlumuran darah bersama seseorang yang ia amat kenal. Dario Alexander, sahabat sang ayah. Yang saat ini di tangan pria itu menggenggam sebuah pistol. Posisi Dario duduk di dekat ayahnya.

"Papi..." Suara Raffaele tercekat, dan hanya terdengar lirih.

Ini adalah kenangan terburuknya. Kenangan terburuk seorang Raffaele Matthew. Melihat ayahnya sendiri tak sadarkan diri di sana dengan mengenaskan.

Ia ingin berlari menghampiri ayahnya itu. Tapi sebuah tangan menahannya, menariknya dari sana.

"Papi! Papi jangan tinggalkan Raffaele." Di tengah dirinya yang ditarik seorang pria asing itu, Raffaele menangis sejadinya.

Hingga mereka berdua saat ini sudah berada di halaman rumah. Di dekat sebuah mobil berwarna hitam ini. Raffaele terus menatap ke dalam rumahnya. Kakinya ingin melangkah lagi masuk ke dalam tapi lagi-lagi di tahan.

"Jangan masuk! Kamu bisa dibunuh juga sama pria tadi." Ujar pria dewasa seumuran dengan ayahnya itu.

"Tapi Papiku... Papiku di dalam sana kesakitan. Aku harus menolongnya. Tolong bantu aku." Balas Raffaele dengan pandangan kosong dan air mata yang membasahi wajah remaja laki-laki itu.

"Maaf nak, aku tidak bisa membantumu untuk masuk ke dalam lagi. Dia pria yang licik, sebaiknya kamu ikut bersamaku. Kamu tinggal denganku. Aku berjanji akan merawatmu dengan baik." Kata pria itu lagi.

Raffaele tetap enggan untuk meninggalkan rumahnya. Meninggalkan ayahnya di dalam sana yang sangat membutuhkan pertolongan.

"Aku tidak mau meninggalkan Papi sendiri, paman. Kalau aku pergi, Papi juga harus ikut." Jawab Raffaele.

"Tidak bisa nak. Dengarkan aku baik-baik, ikutlah denganku sekarang, sebelumnya pria yang membunuh Papimu menemukanmu." Pria itu mencoba membujuk Raffaele lagi.

Pada akhirnya, Raffaele harus meninggalkan sang ayah. Ikut bersama pria asing yang menolongnya. Sebelum meninggalkan kediamannya tersebut. Raffaele terus menatap ke belakang, dengan air matanya yang sulit dirinya tahan.

Rumah masa kecilnya. Rumah tempatnya pulang dan berbincang hangat dengan sang ayah, kini semua itu akan hilang dari kehidupannya. Ayahnya telah tiada di dalam rumahnya. Dan dirinya tidak bisa membawa jasad sang ayah bersamanya.

...****...

"Ini rumah kamu juga sekarang." Ujar pria asing itu.

Dia lalu mengulurkan tangannya ke arah Raffaele. Lantas Raffaele membalasnya. Menjabat tangan pria seumuran ayahnya itu.

"Nama kamu siapa? Kenalkan, namaku Keith Giovanni. Kamu mulai sekarang bisa memanggilku daddy. Aku akan mengangkat kamu menjadi putraku." Keith mengusap kepala Raffaele remaja.

"Raffaele Matthew." Balas Raffaele dengan rasa kesedihan yang masih ada, dan mungkin akan terus ada.

Keith mengangguk. Dia membawa Raffaele menuju ke sebuah kamar yang cukup besar, sama seperti kamar di rumahnya.

"Ini kamar kamu. Kamu sekarang bisa beristirahat di sini. Daddy tau kamu sekarang masih sangat bersedih atas kehilangan papimu." Ujar Keith.

"Kamu masuklah dan istirahat. Daddy masih ada urusan sebentar." Keith kembali berbicara dan akan meninggalkan Raffaele, tapi ditahan.

"Tunggu Daddy." Raffaele langsung memanggilnya dengan sebutan itu. Membuat Keith tersenyum penuh arti.

"Ada apa Raffaele?" Tanya Keith.

"Apa Daddy bisa mencari tahu informasi Papiku? Di mana dia dimakamkan, atau mungkin pria itu...hanya meninggalkan Papiku begitu saja di dalam rumah." Kata Raffaele sedih.

Keith mengusap bahu Raffaele, dan mengangguk. Lantas setelahnya pergi meninggalkan Raffaele yang sedang terdiam di dalam ruangan yang asing baginya ini.

"Kamu mendapatkan keberadaan Raffaele?" Tanya Dario pada anak buahnya.

"Maaf tuan Dario, saya dan yang lainnya sudah berusaha mencarinya. Tapi putra tuan Adriano tidak bisa kami temukan tuan." Balas anak buahnya.

Dario memijat pangkal hidungnya. Dia pusing beberapa hari ini mencari keberadaan putra Adriano itu. Mengapa tiba-tiba menghilang?

"Papa...papa!" Teriak anak berusia 5 tahun itu. Dengan rambut dikucir dua dan baju dress berwarna peach.

Pria itu melebarkan kedua tangannya. Bersiap menerima pelukan dari putri kecilnya itu. Valeria Irene Alexander, putri bungsunya yang kini berumur 5 tahun itu amat lucu dan cantik. Mata indah berwarna coklat hazel itu menatap sang ayah dengan sinar bahagianya.

"Papa, lihat ini! Mama belikan aku boneka cantik sekali, Valeria suka sekali." Ucap gadis kecil itu, memamerkan bonekanya kepada sang ayah.

"Wah! Cantiknya boneka berbie Valeria, sama cantiknya seperti pemiliknya." Balas Adriano memuji kecantikan putrinya juga.

Kedua pipi gadis kecil itu memerah. Tersipu dengan pujian sang ayah. Valeria kecil lantas memeluk leher Adriano penuh sayang. Ia sangat menyayangi kedua orang tuanya ini.

"Valeria sayang Papa dan Mama. Sayang banget." Ujar Valeria.

Tangan besar itu terangkat mengusap punggung putrinya. Membalas penuh kasih sayang. Lalu pintu ruangan kerja Adriano kembali terbuka. Sang istri muncul dari sana dengan senyum melihat putri dan suaminya yang saling menyalurkan kasih sayang itu.

"Di sini ternyata kamu Valeria. Mama cari kamu ke mana-mana." Ucap Dasha.

"Putri kita baru saja memamerkan boneka yang kamu belikan sayang." Sahut Adriano.

Lantas Dasha mengangguk. Tapi pandangannya berpindah ke arah anak buah suaminya ini. Kerutan di dahinya menandakan kebingungan. Apakah ada masalah lagi?

"Kenapa Kyle ada di sini? Apakah ada masalah lagi?" Tanya Dasha.

Adriano menggeleng. "Tidak ada, semua sudah terselesaikan."

...****...

Lima belas tahun kemudian.

Bugh!

Bugh!

Di ruang bawah tanah kediaman Raffaele. Pria yang kini sudah berusia 29 tahun itu tengah mengasah kemampuan bela dirinya. Tumbuh menjadi pria dingin dan dominan, membuatnya ditakuti oleh anak buah dan kolega kerjanya.

"Tuan Raffaele, ada pertemuan dengan Tuan Keith jam 7 malam nanti." Ujar Gilbert, anak buah Raffaele yang paling dekat dengannya dari awal dirinya tinggal bersama Keith.

Mata tajam dan dingin itu menatap Gilbert. Dan menghentikan aktivitasnya. Melepas atribut bela dirinya. Lalu menenggak air minumnya.

"Apa Daddy menelepon?" Tanya Raffaele.

"Iya, tuan Keith tadi mengatakan sudah mencoba menelepon tuan Raffaele beberapa kali. Tapi tuan tidak mengangkatnya." Jawab Gilbert.

"Baiklah, siapkan semuanya aku akan membersihkan diri dulu." Kata Raffaele.

"Putraku, kamu akhirnya datang juga. Daddy meneleponmu tidak ada yang kamu angkat. Apakah kamu sibuk?" Keith menyambut kedatangan Raffaele dengan memeluk putra angkatnya.

Tak banyak berbicara, Raffaele langsung duduk di sofa ruang tamu rumah ayah angkatnya tersebut. Sejak berumur 25 tahun, Raffaele sudah memutuskan untuk pindah ke rumahnya sendiri. Dia sudah tumbuh menjadi seorang CEO di perusahaannya sendiri. Dan semua itu berkat bantuan sang ayah angkat. Namun dibalik identitasnya itu, ada sisi lain Raffaele yang tidak banyak orang luar ketahui. Hanya orang-orang kepercayaannya dan ayah angkatnya yang mengetahuinya.

Raffaele merupakan seorang Mafia. Jadi jangan heran dengan kekayaannya sekarang yang sangat bergelimang harta. Transaksi ilegal selalu ia lakukan bersama orang-orangnya. Tidak ada yang tahu sisi Raffaele yang ini. Hanya orang-orang tertentu saja.

"Raffaele sedang ada di ruangan bawah tanah Daddy. Tidak mendengar telepon dari Daddy. Maafkan aku." Balas Raffaele.

Keith mengangguk mengerti, sembari menepuk bahu putra angkatnya itu.

"Daddy ada kabar baik. Ada celah untukmu membalas dendam ke keluarga Alexander." Perkataan Keith tersebut membuat perhatian Raffaele tertuju ke arahnya. Pria itu menegakkan tubuhnya. Ia seperti mendapatkan angin segar dengan kabar tersebut.

"Bagaimana caranya Daddy? Aku sudah sangat menantikan hal ini. Cepat katakan padaku, aku akan segera menghabisi keluarga itu!" Tangan Raffaele sudah terkepal erat di pinggiran sofa.

"Jadi begini, dengarkan rencana Daddy." Ucap Keith.

Bab 2. Pertemuan

Raffaele menunggu sang ayah angkat mengatakan idenya. Sejauh ini, mengikuti masukan dari sang ayah angkatnya ini selalu sebuah keberhasilan yang Raffaele dapat.

"Daddy memiliki rencana bagus. Kamu dekati Adriano dengan nama yang asing baginya. Bukan nama yang dia tau." Ujar Keith.

"Lalu aku harus menggunakan nama apa untuk mendekatinya? Dia sudah amat mengenal namaku, Dad." Balas Raffaele.

"Kamu pakai nama belakang Daddy saja. Perkenalkan diri kamu sebagai Giovanni." Sebuah ide dari Keith.

Pria berumur 29 tahun itu mengetuk-ngetuk pinggiran sofa, ia sedang berpikir. Mata tajamnya itu sedikit berbinar karena sebuah peluang dirinya balas dendam. Sudut bibirnya terangkat, memperlihatkan bagaimana sisi kejamnya seorang Raffaele ketika sedang menjadi Mafia.

"Ide Daddy menarik. Dan cukup benar untuk dilakukan. Terimakasih Daddy, karena selalu membantuku walaupun aku ini bukan anak kandung Daddy." Ujar Raffaele.

Keith yang saat ini sedang duduk dengan posisi angkuh itu mengangguk. Tersenyum atas ucapan putra angkatnya tersebut. Tangannya meraih gelas berisi wine dan mengangkatnya ke arah Raffaele. Mengajaknya untuk bersulang. Tanpa ragu, pria itu mengiyakan ajakan sang ayah angkat. Mereka tertawa bersama atas kemenangan yang akan mereka dapatkan tidak lama lagi.

"Kita sudah sampai tuan Raffaele." Ujar Adam, sopir Raffaele.

Pria tampan itu yang awalnya menatap fokus ke ponselnya, kini beralih memandangi bangunan tinggi di hadapannya saat ini.

Benda pipih itu segera ia masukan ke dalam saku. Merapikan pakaiannya, lalu bersiap untuk memasuki perusahaan Alexander Group. Sebelum itu, pria itu memastikan sesuatu dahulu.

"Apa Leon sudah datang?" Tanya Raffaele.

Adam mengangguk. "Sudah Tuan. Satu jam yang lalu dia sampai, sekarang sedang menunggu Tuan Raffaele di lobby."

"Baiklah aku akan turun sekarang." Ujar Raffaele.

Tak perlu sebuah perintah, pria berusia 54 tahun itu segera keluar. Dan membukakan pintu mobil untuk sang Tuan.

Raffaele mulai berjalan dengan langkah tegasnya. Aura dominan seketika itu menguar. Orang-orang yang melihatnya langsung menepikan diri, memberikan jalan untuknya.

Di depan sana, asisten pribadinya telah menunggunya. Leon datang menghampiri Tuannya itu dan membungkuk hormat.

"Kamu sudah mengabari jika kita akan datang ke perusahaannya ini kan, Leon? Jangan sampai kamu lupa, dan berakhir membuat saya malu." Ujar Raffaele, dari nada bicaranya saja sudah mencekam. Jika bukan karena Leon sudah terbiasa dengan perangai Raffaele, mungkin dirinya juga sudah ketakutan sekarang ini.

Suara Raffaele ini memang terdengar berat dan tegas, ditambah dengan aura dingin tak tersentuhnya dan sorot mata tajam bagaikan burung elang. Tak jarang berada di dekat pria ini orang lain akan berubah tak berkutik saking dominannya seorang Raffaele.

"Tuan tenang saja, saya sudah membuat janji kemarin dengan mereka. Dan sekarang Tuan Dario sudah menunggu di ruangannya." Balas Leon.

Tak ada balasan. Namun Leon tahu, jika atasannya ini puas dengan cara bekerjanya. Mereka berdua masuk. Beberapa karyawan Alexander Group membungkuk, menyambut kedatangan Raffaele. Apalagi mendengar kabar jika perusahaan mereka kedatangan salah satu pebisnis terkemuka di Italia ini.

Mereka belum mengetahui nama dan rupa sang pebisnis dan baru melihatnya langsung sekarang. Karena memang identitas Raffaele yang sangat tertutup dan privasi. Semua itu demi menyembunyikan dirinya, sebab melindungi bisnis gelapnya yang menjadi seorang Mafia kelas kakap. Meski begitu, dikalangan petinggi perusahaan, Raffaele sangat dikenal dan disegani.

Ketampanan yang dimiliki seorang Raffaele ini membuat beberapa mata karyawan wanita tertuju ke arahnya. Mereka terpesona. Pria itu terlihat sempurna bak dewa Yunani. Namun, meskipun mereka terpesona, tak lantas membuat mereka mendekati Raffaele. Mereka takut dengan aura dominan yang dipancarkan pria tersebut. Dan tak ingin berurusan juga dengan seseorang yang sangat berpengaruh sepertinya.

...****...

"Silakan masuk Tuan. Atasan saya sudah menunggu di dalam." Seorang pria membukakan pintu sebuah ruangan.

Raffaele tak langsung masuk. Pria itu menatap ruangan yang di dalamnya ada seseorang yang pertemuannya sudah sangat lama dirinya nantikan. Selama 15 tahun ini dirinya sudah menunggu. Berhadapan langsung dengan pembunuh sang ayah yang sudah lama tak ia lihat.

Langkahnya mantap dan tegas. Pandangannya tak beralih sama sekali, terus menatap tajam ke depan. Sesampainya di sana, tatapannya bertemu dengan sorot mata pria yang sudah tak lagi semuda dulu. Ada beberapa kerutan di wajahnya. Pria itu mengulas senyumnya, menyambut kedatangan Raffaele dengan senang hati.

Raffaele hanya membalas dengan sebuah satu anggukan di kepalanya. Menjabat tangan musuh dengan hangat. Sebelum nantinya menikamnya perlahan. Di dalam hati, Rafael tertawa keras, licik, dan penuh muslihat .

"Selamat datang tuan Giovanni." Sapa Dario.

"Saya tidak menyangka Tuan Giovanni akan datang dan tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan saya ini." Ujar Dario dengan perasaan senangnya, tidak tahu jika ada sebuah bahaya mengintainya saat ini. Dia juga memanggil Raffaele dengan nama Giovanni, sesuai dengan ide masukan dari Keith untuk Raffaele memperkenalkan dirinya dengan nama itu.

Raffaele tersenyum tipis. "Saya merasa perusahaan Tuan Dario ini sangat cocok dengan perusahaan saya."

"Terimakasih. Mari silakan duduk, kita bisa mulai membahasnya sekarang." Titah Dario, mempersilakan Raffaele dan Leon duduk.

Mereka bertiga telah berdiskusi dan menyetujui beberapa persyaratan. Dario kembali berjabat tangan dengan Raffaele atas kerja sama ini.

"Saya ingin mengucapkan terimakasih sekali lagi atas hal ini. Dan saya berharap, nantinya kerja sama kita bisa berjalan baik." Ujar Dario.

"Tentu saja." Jawab Raffaele singkat.

Ia kemudian berdiri. Ia merasa sudah tidak ada hal yang penting lagi untuk berada di ruangan yang sama dengan pria pembunuh ayahnya ini. Hanya ada rasa sesak yang memenuhi dadanya ketika berhadapan langsung dengan Dario. Mengingat bagaimana pria di hadapannya ini menghabisi ayahnya dengan sebuah pistol digenggamannya. Namun saat akan berbalik. Sebuah suara menarik perhatiannya.

"Papa tolongin aku. Aku ingin jalan-jalan ke Prancis tapi mama melarang! Upss..." Valeria menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia tidak tahu jika saat ini sang ayah sedang ada pertemuan dengan klien.

"Maaf Papa, Valeria tidak tahu kalau Papa sedang sibuk sekarang ini. Vale akan keluar lagi." Lanjutnya dan berbalik badan, tapi sebuah suara terdengar menghentikannya. Suaranya dalam dan berat.

Gadis berambut panjang berwarna coklat itu menoleh. Matanya mengerjap pelan, mata yang cantik dan membuat perhatian Raffaele sejenak hilang fokus.

Ternyata gadis kecil itu kini sudah sebesar ini. Usianya saat ini menginjak 19 tahun. Tumbuh menjadi gadis cantik dan, lihatlah! Senyumnya begitu menawan. Raffaele sampai hampir saja terpesona lagi jika dirinya tak langsung menyetir kendali tubuhnya sendiri. Lain halnya dengan asisten pribadinya, yang sama sekali tak berkedip sejak melihat kedatangan Valeria.

"Kamu tidak perlu keluar, karena saya sudah akan pergi. Silakan berbicara dengan Tuan Dario." Ucap Raffaele. Tatapannya lekat ke arah Valeria. Ia menjadi mempunyai sebuah rencana lain lagi. Seulas senyum yang sangat tipis muncul di bibirnya. Tapi hanya Raffaele saja yang mengetahui senyumannya ini.

Bab 3. Pria Menyeramkan

"Kamu yakin dengan pilihanmu itu Raffaele?" Tanya Keith yang cukup kaget dengan perkataan putra angkatnya sehabis bertemu dengan Dario.

Pria bermata tajam itu diam sembari mengulas senyum misterius. Tangannya mengetuk-ngetuk meja kerja Keith. Kemudian mengangguk.

"Tentu yakin Dad. Kenapa tidak yakin?" Balas Raffaele.

"Daddy hanya memastikannya. Hanya tidak ingin kamu bertindak ceroboh dengan tambahan caramu itu." Ujar Keith.

Lalu Raffaele menegakkan badannya, yang awalnya bersandar di kursi. Kini tegak menampilkan sisi tegas dan berwibawanya. Melihat Raffaele, sekilas Keith mengingat mendiang ayah kandung anak angkatnya ini. Mereka cukup mirip, dari segi wajah sampai gestur tubuhnya.

"Tenang saja Daddy, Raffaele tidak akan ceroboh dan melakukan kesalahan. Aku tetap akan menghancurkan keluarga itu, sama seperti pria tersebut menghancurkan keluargaku." Ungkap Raffaele.

"Daddy berharap begitu. Semoga saja kamu tidak berubah pikiran di tengah jalan rencana kita." Kata Keith.

Tawa keras Raffaele memenuhi ruang kerja Keith. Pria itu mengambil sebuah gelas berisi air berwarna merah keunguan itu menenggaknya hingga tandas. Lalu tatapannya terfokus pada gelas kosong di genggamannya. Terlihat tangannya itu semakin mengerti pada gelas tersebut. Hingga suara pecahan terdengar mengagetkan seorang Keith. Mata pria itu terbelalak sempurna saat melihat pemandangan di depannya.

Darah segar mengalir dari telapak tangan Raffaele. Ia seakan tak merasakan kesakitan akan luka yang baru saja dihasilkannya. Terlatih keras sejak remaja, hingga tumbuh menjadi Mafia. Raffaele sudah tak bisa merasakan rasa sakit setelah kepergian sang ayah dan dilatih oleh Keith untuk hidup keras. Bahkan dulu Raffaele sempat koma akibat pelatihan yang dilakukan Keith. Namun dari situlah awal hidup Raffaele berubah tak tersentuh dan lebih kuat lagi, saat melawan musuh, tembakan Raffaele tidak akan pernah melesat sama sekali.

"Apa yang kamu lakukan pada dirimu sendiri Raffaele?!" Nada suara Keith meninggi, dia terkejut.

Sedangkan putra angkatnya itu hanya tersenyum. Lalu mulai melepaskan genggaman tangannya. Pecahan gelas kaca itu terjatuh di lantai, berserakan dengan warna merah di sana. Bukan minuman yang Raffaele tenggak tadi. Melainkan warna merah yang dihasilkan dari goresan dari tangan pria tersebut.

"Kami gila Raffaele! Tunggu di sini biar Daddy panggilkan maid untuk mengobati lukamu." Sambung Keith berbicara lagi.

Tangan Raffaele terangkat. Meminta sang Daddy berhenti. "Tidak perlu Dad. Aku masih hidup, tidak perlu mengobati luka ini. Biar nanti aku mengobatinya sendiri, atau mungkin nantinya akan sembuh sendiri."

Bahu pria itu diangkat sebentar, sebelum kembali diturunkan. Raffaele terlihat santai dengan lukanya. Membiarkan aliran cairan berwarna merah itu menetes terus di lantai.

Keith memijat pangkal hidungnya, sembari geleng-geleng kepala.

"Apa motivasimu melakukan semua ini? Bodoh kamu melukai diri sendiri!" Bentak Keith.

"Aku tidak melukai diriku sendiri Dad." Jawab Raffaele, sudut bibirnya membentuk senyum seringai.

"Aku sedang memberikan gambaran pada keadaan keluarga Alexander nanti." Imbuhnya.

Kening Keith tertekuk. Pandangannya terus beralih dari wajah putra angkatnya lalu ke tangan dan gelas yang kini hancur berkeping-keping itu. Pria 60 tahun itu sama sekali belum mengeluarkan suaranya lagi.

"Seperti gelas yang hancur berserakan di lantai ini, mereka juga akan hancur tak tersisa." Kata Raffaele, cukup mengerikan untuk di dengar saja.

"Tapi tidak harus juga kamu melukai dirimu sendiri." Balas Keith.

Raffaele mengangkat dan memandangi telapak tangannya yang terluka. Ia tersenyum remeh. Luka yang dihasilkannya ini tidak seberapa. Ia masih bisa menahannya.

"Luka ini tidak seberapa Dad. Ini hanya luka kecil, bukankah Daddy pernah melihatku terluka yang lebih parah dari ini? Dan buktinya aku masih hidup sampai sekarang." Ujar Raffaele dengan sombongnya.

"Terserah kamu Raffaele." Sahut Keith yang merasakan tidak ada gunanya memberitahumu Raffaele.

...****...

Di kediaman keluarga Alexander. Valeria sedang duduk dekat-dekat sang ayah. Gadis itu sedang berbincang ringan dan ingin meminta bantuan sang ayah untuk membujuk ibunya ini yang tak kunjung memberikan ijin dirinya ke Perancis.

"Papa yang di kantor itu tadi siapa?" Tanya Valeria.

Dario mengernyit. "Yang mana?"

"Yang tadi itu Pa, di ruangannya Papa. Dia menyeramkan sekali orangnya." Balas Valeria. Jawabannya tersebut membuat Dario tertawa kecil.

Lalu ia kembali mengingat wajah seseorang yang tampak tak asing di ingatannya.

"Oh, dia tuan Giovanni. Kamu sembarangan kalau berbicara, pria tampan begitu kamu bilang menyeramkan." Dario berkata sembari tak bisa menahan tawanya.

"Tapi memang menyeramkan Papa, caranya menatap tadi membuatku merinding." Jawab Valeria.

"Walaupun tatapannya dingin dan tajam. Tapi dia orang terpandang Vale, pebisnis terkemuka di Italia sana. Dia juga biak karena menawarkan kerja sama di perusahaan Papa, jadi dia cukup baik orangnya." Dario menjelaskan bagaimana sosok Raffaele yang dikenalnya sebagai Giovanni.

Valeria tidak mau peduli. Yang ia lihat, pria tadi memang menyeramkan dan auranya benar-benar dingin. Walaupun memang wajahnya tampan sekali. Bahkan dirinya tadi sempat terpana sebentar.

"Valeria tidak peduli Papa, mau dia orang berkuasa sekali pun. Karena soal dunia bisnis, hanya Papa yang bisa." Sahut Valeria, dan mereka berdua tertawa.

"Oh iya! Papa harus bisa bujuk mama ya pokoknya." Rayu Valeria, memeluk lengan sang ayah manja.

Dario mengusap puncak kepala putrinya itu. Meskipun umurnya sudah menginjak 19 tahun, baginya Valeria akan terus menjadi sosok putri kecil di hidupnya. Tak jarang, apapun yang putrinya minta akan selalu ia berikan.

"Papa usahakan. Tapi Papa juga tidak janji mama kamu itu akan mengijinkan mu." Balas Dario.

Valeria mencebikan bibirnya. Dengan menatap Dario menggunakan puppy eyes agar sang ayah mengusahakannya.

Melihat jurus ninja-nya sang anak, Dario kalah. Akhirnya ia mengangguk lagi.

"Papa akan membuat mama kamu mengerti." Ucap Dario, membuat sebuah senyuman di bibir gadis cantik itu terangkat.

Tawa senangnya memenuhi ruang tamu, bahkan saat ini Valeria sampai berdiri dan berjingkrak-jingkrak saking senangnya.

"Yes! Makasih Papa. I love you more Papa." Valeria memeluk sang ayah dan mencium pipinya.

"Ada apa ini? Kayaknya lagi pada senang ya?" Suara Dasha menyahuti dari arah tangga.

Melihat kedatangan sang ibu Valeria langsung membisikkan suatu ke sang ayah membuat pria 9 tahun itu mengangguk.

"Mama ada yang mau Papa bicarakan sama Mama." Ucap Dario.

Di sampingnya Valeria sudah senyum-senyum sendiri, mencuri perhatian sang ibu. Ada keanehan di sini, Dasha bisa merasakannya.

"Mau bicara apa Pa?" Tanya Dasha ikut duduk di sofa ruang tamu bersama suami dan putrinya.

"Papa dengar, Valeria ingin ke Prancis tapi Mama tidak mengijinkannya. Jadi Papa ingin, supaya mama memberikan ijin Valeria pergi." Jawab Dario.

Sudah dirinya duga. Putrinya ini pasti akan mencari dukungan ke sang ayah yang selalu memanjakannya. Dasha bisa melihat bagaimana putrinya itu tengah cengengesan.

"Tidak bisa Pa. Apalagi dia cuma sendiri ke sananya. Memang di sana ada Brian nantinya, tapi tetap saja Mama khawatir ke putri kita." Ucap Dasha. Ia bukan tanpa alasan tidak memberikan ijin ke Valeria. Sebagai seorang ibu, ia memiliki kekhawatiran tersendiri.

"Tapikan aku udah besar Mama. Valeria udah 19 tahun, terus nanti di sana langsung ketemu sama kakak. Jadi Mama tenang saja jangan khawatir." Sahut Valeria.

"Tetap tidak bisa Valeria." Jawaban Dasha tak bisa diganggu gugat.

Valeria mencebikan bibirnya. Kepalanya tertunduk, dan bahunya merosot lemah. Sekilas ia melirik ke arah sang ayah dengan menarik-narik ujung baju Dario.

"Papa..." Rengeknya.

"Mama, tolong ijinkan Valeria pergi ke Perancis. Papa bisa menjamin putri kita ini baik-baik saja." Dario mencoba membujuk istrinya.

Dasha seperti satu lawan dua. Ayah dan anak ini saling membujuk dirinya agar memberikan ijin. Tapi entah kenapa rasanya dirinya ingin dekat dengan putrinya terus. Apalagi nantinya Valeria akan di Perancis sekitar semingguan. Ia akan sangat merindukannya.

"Mama nangis?" Suara Valeria membuat Dario melihat ke arah sang istri.

Betapa terkejutnya melihat istrinya itu menangis secara tiba-tiba. Padahal caranya membujuk tidak kasar. Tapi kenapa istrinya ini menangis? Lantas segera Dario menghampiri Dasha, berpindah duduk di samping sang istri. Valeria pun juga ikut duduk di sisi yang lain. Mengelus punggung sang ibu dan memeluknya dari samping.

"Jangan nangis Mama. Kalau Mama tidak memberikan ijin tidak apa-apa. Valeria tidak akan ke Perancis, akan nurut perkataan Mama." Ujar Valeria.

"Kamu dengar Ma? Valeria sudah tidak kekeh lagi ingin ke Perancis, jangan nangis lagi ya. Maafkan Papa juga yang mungkin menyakiti hati Mama tadi." Sahut Dario.

Tapi Dasha menggeleng. Dia menghapus air matanya. "Tidak perlu minta maaf Pa."

"Papa tidak salah. Mama hanya sensitif aja perasaannya. Entah kenapa Mama ingin terus dekat dengan putri kita. Kalau Valeria ke Perancis selama seminggu, Mama akan sangat merindukannya Pa." Sambungnya.

Astaga. Jadi karena itu ibunya ini menangis. Valeria lantas mencoba menghiburnya. Dengan senyum hangat dan manisnya, ia lalu kembali memeluk sang ibu.

"Valeria juga pasti merindukan Mama juga. Tapikan setelahnya kita bertemu lagi Ma. Hanya seminggu aja Valeria di Perancis, buat ketemu Erin." Kata Valeria.

"Tapi kalau Mama tidak mengijinkannya, ya sudah Valeria tidak akan memaksa." Lanjutnya kini pasrah.

Dasha merasa kasihan dengan wajah sedihnya Valeria. Jadi akhirnya ia memberikan ijin. Mungkin dirinya hanya sedang sensitif saja perasaannya.

"Kamu boleh ke sana nak. Tapi harus terus dengan kakak kamu ya? Jangan nakal juga di sana." Ucap Dasha penuh peringatan.

Dengan antusias Valeria mengangguk. Ia sangat senang karena akhirnya mendapatkan ijin ke Perancis juga. Walaupun dengan drama penuh tangisan seperti ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!