NovelToon NovelToon

The Bride Of Vengeance

Kehilangan

Malam yang dingin tengah menyelimuti kekaisaran Calestria. Di suatu daerah, jauh dari hiruk pikuk ibu kota, sebuah kediaman tengah mengadakan pesta sederhana, walaupun tak begitu mewah, namun suasana terasa begitu hangat dengan kebersamaan keluarga.

Gadis muda bersurai silver itu menatap dengan bersemangat kue ulang tahun yang terletak di atas meja di depannya. Kue bertingkat dua dengan krim merah muda dan putih itu tidak terlalu mewah, namun tidak juga bisa dibilang sederhana.

Gadis muda yang biasa di panggil Calista itu tersenyum lebar saat ia akan memotong kue ulang tahunnya yang ke-10. Ia kemudian memberikan kue pertama itu pada ibunya, kemudian tak lupa pada ayah dan kakak laki-lakinya.

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang diadakan dengan mewah, Di ulang tahunnya yang ke-10 ini, Calista sendiri yang meminta agar perayaan ulang tahunnya diadakan dengan sederhana, hanya dihadiri keluarganya.

Axel, kakak laki-laki Calista yang terpaut 5 tahun diatasnya memberikan sebuah kotak hadiah berukuran kecil warna putih dengan pita pink diatasnya “Tupai kecil, ini hadiah dari kakak, kau bisa membukanya!”

Calista mengerucutkan bibir mendengar panggilan aneh untuknya, “Berhenti memanggilku seperti itu!” ucapnya kesal.

“Apa kau tidak suka panggilan itu?” Axel memutar bola matanya seraya berfikir sejenak, “Bagaimana kalau musang, sepertinya itu lebih cocok untuk mu, hewan itu juga suka mencuri buah,” ucap Axel sembari tertawa renyah. Bukan tanpa alasan Axel memanggilnya seperti itu, karena walaupun seorang perempuan, Calista sangat gemar memanjat pohon untuk memetik buah di sekitar kediaman, walaupun sudah dilarang dan beberapa kali jatuh pun, gadis itu tak pernah jera.

“Axel, berhenti mengejek adik mu!” peringat Count Blair, ayahnya, membuat Axel seketika berhenti tertawa.

“sudah-sudah, biarkan Calista membuka hadiahnya,” ucap sang ibu menjadi penengah.

Calista mulai membuka hadiah yang kakaknya berikan. Sebuah pin rambut bunga azalea, namun yang membuat aksesori itu unik adalah ujung pinnya yang tajam, seolah di buat khusus sebagai senjata perlindungan.

“Bagaimana, cantik bukan? Aku memesan desain khusus agar ujungnya dibuat runcing. Kalau suatu saat nanti seseorang mau mencelakaimu, kau bisa menggunakan itu untuk mempertahankan diri,” ujar pemuda berambut pirang itu tersenyum lebar.

Calista memandangi hadiah kakaknya itu dengan senyuman, “Ini sangat cantik, terima kasih kak.”

Setelah pesta selesai, Calista bersiap untuk tidur di kamarnya. Gadis itu tak segera tidur. Ia masih mencoba hadiah yang kakaknya berikan, juga sebuah gaun dan boneka, hadiah dari orang tuanya. Ia dengan senangnya menatap cermin sembari memakai pin rambut itu, juga gaun baru yang orang tuanya berikan. Gadis itu mulai menguap beberapa kali, ia pun melepaskan gaunnya dan membereskan untuk kemudian beranjak tidur.

“Calista, Calista. Ayo bangun,” terdengar suara samar-samar memanggil nama gadis yang masih setengah sadar itu.

Calista berusaha membuka matanya yang lengket, ia melihat ibunya yang berusaha membangunkannya dengan panik. Namun mengapa ibunya itu membangunkannya larut malam begini? Padahal ia baru saja tertidur beberapa menit yang lalu.

“Ada apa bu?” ucap Calista seraya mengucek matanya yang masih memerah.

“Kita harus segera pergi dari sini. Ayo ikut ibu!” ujar Amelia terlihat pucat. Wanita bersurai silver itu menarik lengan putrinya untuk turun dari ranjang. Ia kemudian dengan tergesa-gesa memakaikan gaun coklat sederhana untuknya.

“Tapi bu, kita mau pergi ke mana malam-malam begini,” tanya Calista heran.

Ibunya tak menjawab, selesai mengganti pakaian putrinya itu, Amelia melangkah keluar bersama Calista. Mereka berjalan cepat dilorong menuju sebuah ruangan tak jauh dari kamar Calista berada.

Wanita itu kemudian membuka sebuah pintu rahasia yang ada disana. Terlihat sangat gelap, tak ada satupun penerangan di lorong itu. Amelia kemudian mengambil sebuah tempat lilin yang ada dimeja. Calista bukan lagi anak kecil polos yang tidak menyadari situasi. Jika ibunya membawanya ke lorong rahasia, itu artinya situasi saat ini tengah genting

“Ibu, ayah dan kakak ada dimana?” tanya Calista khawatir.

“Mereka sudah menunggu di luar, kita akan menyusul mereka,” ujar ibunya terlihat pucat. Amelia menyuruh Calista untuk mengikutinya dari belakang, sementara ia memandu di depan memasuki lorong gelap itu.

Saat keduanya berhasil keluar, terdengar suara dentingan pedang beradu tak jauh dari tempat keduanya berada. Karena penasaran dengan situasinya, Calista mengintip sedikit di balik sebuah pohon. Matanya sontak membulat melihat pasukan dengan pakaian serba hitam dan penutup wajah itu menyerang kediamannya. Terlihat juga api mulai membesar di sekitar bangunan, menjalar membakar kediamannya. Sementara Ayahnya berusaha menyerang pasukan musuh, dibantu dengan beberapa prajurit. Jika dilihat sekilas saja, pasukan ayahnya kalah jumlah dengan pasukan hitam itu.

Mata Calista menangkap momen ketika sebuah pedang menusuk dada kakaknya, Calista sontak terhenyak melihat tubuh kakaknya itu limbung ketanah dengan tubuh bersimbah darah. Menyadari Axel terluka, sang ayah menatap kearah putranya itu, namun karena lengah, salah seorang pasukan hitam menusuk perut ayahnya.

“AYAH!” pekik Calista. Ia tidak dapat membendung air matanya keluar. Saat gadis kecil itu akan melangkah pergi menuju ayahnya, Amelia menahannya.

“Calista, ayo kita harus segera pergi dari sini!” Amelia segera menarik lengan putrinya itu pergi menjauh dari tempat kejadian.

“Tapi bu, ayah, kakak mereka…”

“Kita harus menyelamatkan diri sebelum mereka mengejar kita,” ucap Amelia memotong cepat kalimat putrinya seraya menatap ke depan.

Namun sayangnya, salah seorang pasukan hitam menyadari kepergian Calista dan Amelia, dia kemudian memerintahkan beberapa rekannya untuk mengejar keduanya.

Beberapa anak panah melesat kearah kedua orang itu, namun sayangnya saat tengah berlari, satu anak panah melesat, mengenai punggung Amelia, membuatnya tersungkur ke tanah.

“IBU!” pekik Calista panik saat tau ibunya terkena anak panah.

Amelia berusaha berdiri dibantu Calista, mereka berlari dengan tertatih-tatih, hingga akhirnya mereka terjebak di tepi tebing. Tidak ada jalan lain, didepan mereka sekarang hanya ada sungai yang mengalir deras.

Pasukan itu berlari mendekat, namun anak panah mereka terus ditembakkan. Disaat terdesak itu, Amelia berusaha melindungi Calista dari anak panah itu dengan memeluknya. Tubuh wanita itu semakin melemah, entah sudah berapa banyak anak panah mengenai pungungnya, sementara Calista hanya menangis di pelukan ibunya, tak tau harus berbuat apa.

“Sebenarnya siapa mereka, kenapa mereka menyerang kita, bu?” tanya Calista sembari menangis tersedu sedu.

Saat masih berada dalam pelukan ibunya, dari kejauhan, mata Calista menangkap seseorang bersurai hitam menunggang kuda ke arahnya. Pemuda itu terlihat tidak asing, rupanya ia adalah Alister valdemar. Seorang bangsawan ibu kota, yang sudah beberapa kali mengunjungi kediamannya. Apa pria itu yang merencanakan semua ini, tapi kenapa, ia melakukannya?

Dengan sisa tenaganya, Amelia mengalungkan sebuah kalung pada putrinya, wanita itu kemudian berujar, “Calista, kau harus berjanji untuk tetap hidup,” pesan Amelia dengan lemah untuk terakhir kalinya. Wanita itu mendorong tubuh putrinya ke aliran sungai yang ada di bawah.

“TIDAK! IBU!” pekik Calista, tubuhnya mulai hanyut.

Aliran deras air sungai menghanyutkan tubuh kecil Calista. Suhu dingin air itu seolah membekukan setiap inci di tubuhnya, tak terhitung berapa banyak air masuk ke dalam mulutnya. Kesadaran gadis itu kian menghilang, matanya tak lagi bisa terbuka. Apakah hidupnya akan berakhir begitu saja?

Bertemu penyelamat

Calista mengernyitkan keningnya. Kelopak mata gadis itu bergerak pelan, ia mulai membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, namun beberapa saat kemudian pandangannya mulai membaik. Gadis itu menatap langit-langit sebuah bangunan, rupanya ia sekarang berada di sebuah ruangan asing.

Calista menoleh ke samping, terlihat seorang perempuan dewasa tengah berjongkok di depan perapian, sedang memasukkan beberapa kayu bakar untuk menghangatkan suhu ruangan. Selesai memasukkan kayu bakar itu, wanita dengan surai coklat kemerahan itu berbalik, menatap kearah ranjang yang Calista tempati.

“Nak, kau sudah sadar?” tanyanya ramah seraya berjalan kearah Calista.

Calista berusaha mendudukkan tubuhnya yang terasa lemah. “Dimana aku? Dan siapa kau?” tanya Calista pada wanita yang usianya sekitar 35 tahunan itu.

Wanita itu menuangkan secangkir teh hangat di atas nakas, “Minumlah dulu, ini akan menghangatkan tubuhmu,” ujar wanita itu memberikan minuman itu pada Calista. Gadis itu menerima cangkirnya dan meminumnya hingga habis tak tersisa.

“Namaku Julianne. Tiga hari yang lalu, aku menemukan mu tidak sadarkan diri di muara dekat dengan villa yang ku tempati, lalu aku membawamu kesini. Apa kau ingat bagaimana kau bisa terjatuh ke sungai?” tanya Julianne penasaran.

Calista mengernyitkan keningnya, ia teringat kejadian sebelum ia jatuh ke sungai, “Ibu, ayah. Ada pasukan, mereka membunuh,” ujar Calista tidak jelas, nafasnya terengah-engah, dadanya terasa sesak mengingat kejadian di hari ulang tahunnya.

“Nak, tenangkan dulu dirimu. Ceritakan dengan jelas,” ujar Julianne mengusap punggun gadis dengan bola mata ungu itu.

Calista berusaha menenangkan dirinya, ia mulai bercerita sekaligus mengingat kejadian malam itu, “Malam itu, ibu membangunkan ku. Ada pasukan pembunuh datang ke kediaman ku. Mereka membakar mansion. Ayah, ibu, kakak, mereka… mereka,” kata-kata Calista tertahan, “Aku harus menyelamatkan mereka,” gadis itu menyibak selimutnya untuk turun dari kasurnya, namun sebelum itu terjadi, Julianne lebih dulu menahannya.

“Tunggu dulu, kondisi mu masih belum stabil. Kediaman mana yang kau maksud?” tanya Julianne penasaran.

“Kediaman Count Blair” ujar Calista sembari menatap Julianne.

Julianne mengerutkan keningnya, “Count Blair? Tiga hari yang lalu, aku mendapat kabar kalau kediaman itu sudah hangus terbakar, begitu juga dengan seluruh keluarganya, mereka terjebak di dalam dan tidak ada yang selamat. Tidak ku sangka kalau kau adalah putri dari keluarga itu,” ujar Julianne terlihat sedih.

Calista terhenyak, berita yang di sampaikan Julianne membuatnya lemas seketika, “Ti-tidak mungkin, aku harus ke sana untuk memeriksanya sendiri,” ucapnya tak percaya.

Julianne Manahan bahu Calista, “Tenangkan dulu dirimu. Aku akan menemanimu ke sana tapi setelah kondisimu pulih,” ucap Julianne menenangkan. Awalnya Calista tidak ingin menunggu kondisinya pulih untuk melihat kediamannya, namun karena paksaan dari Julianne, ia akhirnya menuruti perkataan wanita yang menyelamatkannya itu dan beristirahat selama satu hari.

Julianne menarik laci di nakas dan mengambil sesuatu disana, ia kemudian memberikan sebuah kalung perak dan pin rambut pada Calista, mengembalikan barang itu kepada pemiliknya.

Calista menerima kedua benda itu dengan raut sendu, kalung perak yang terukir burung phoenix itu ia genggam dengan erat, kalung itu adalah satu satunya bukti, kalau ia adalah bagian dari keluarga Blair.

Sedankan pin rambut pemberian kakaknya itu, ternyata ia masih memakainya saat kejadian. Ia sedikit senang, masih memiliki barang-barang berharga ini. Atensi matanya kemudian beralih ke Julianne.

“Terima kasih, sudah menolong ku. Aku berhutang nyawa padamu,” ucap Calista dengan suara lirih.

“Tidak perlu dipikirkan. Kalau boleh tau. Waktu itu, apa kau tau siapa orang dibalik penyerangan keluarga mu?” tanya Julianne penasaran.

“Alister Valdemar,” timpal Calista dengan penuh keyakinan seraya menatap lurus kedepan.

Julianne menautkan alisnya, “Duke Alister Valdemar?” tanyanya memastikan. Julianne sedikit terkejut, pemuda yang sudah menjadi Duke sejak usia 13 tahun setelah orang tuanya meninggal itu melakukan pembantaian kejam terhadap satu keluarga.

“Apa kau yakin kalau dia yang membunuh keluarga mu?” tanya Julianne ingin memastikan.

“Aku sangat yakin, saat kejadian aku melihat dia berada diantara pembunuh itu. Pasti dia juga yang membakar kediaman ku dengan kekuatannya,” ujar Calista seraya mengepalkan telapak tangannya.

Siapa di kekaisaran ini yang tidak tahu Alister Valdemar. Menjadi Duke diusia yang sangat muda dan satu satunya orang yang mewarisi kekuatan api naga di keluarganya, menjadikannya kebanggaan bagi kekaisaran ini. Namun siapa sangka, pria yang baru saja menginjak usia dewasa itu membantai satu keluarga dengan sangat kejam.

Calista pernah bertemu dengan Alister beberapa kali di kediamannya. Sejak kecil pria itu selalu datang bersama ayahnya setahun dua kali, namun sejak orang tuanya meninggal ia selalu datang sendiri. Calista sendiri tidak tau, mengapa pria itu dengan rutin mengunjungi kediamannya setiap tahun, awalnya Calista mengira itu karena alasan bisnis, namun entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak ia ketahui selama ini.

***

Sehari setelah kesadarannya kembali, Calista pergi menuju tempat tinggalnya bersama dengan Julianne. Mengendarai kereta kuda yang di tempuh selama kurang dari tiga puluh menit.

Setelah turun dari kereta kuda, Calista berlari kearah kediaman tempatnya dibesarkan selama ini. Kediaman yang sebelumnya berdiri kokoh dan terawat dengan baik, kini sudah tak lagi berbentuk, bangunan itu sekarang hangus terbakar. Hanya menyisakan reruntuhan dan puing-puing. Calista masuk ke dalam dan mulai memanggil-manggil ibu, ayah dan kakaknya dengan putus asa.

“Ibu, ayah, kakak kalian dimana?” pangilnya seraya melangkah masuk ke dalam. Setelah satu jam mencari, ia tak berhasil menemukan mayat keluarganya. Gadis itu terduduk di atas puing-puing, suara tangisnya pecah, memenuhi ruangan yang sunyi.

Ditengah tangisnya, Calista mengepalkan tangannya kuat-kuat, Alister, kenapa dia melakukan semua ini? Aku pasti akan membunuh mu. Membalaskan dendam keluarga ku, tekatnya dalam hati.

Julianne yang sedari tadi menunggu di belakang, berjalan menghampiri Calista untuk mengajaknya kembali karena matahari sudah akan turun. Setelah puas menangis, Calista kemudian kembali ke kereta kuda bersama Julianne.

“Apa, kau mau ikut bersama ku ke ibu kota?” tanya Julianne di tengah perjalanan menuju villa tempatnya menetap selama ini. Ia hanya menetap beberapa hari di wilayah ini untuk keperluan bisnis, setelah urusannya selesai, ia akan kembali ke ibu kota.

“Ibu kota?” mata sembab Calista mengerjab, menatap wajah Julianne.

“Iya, kurasa disana kau akan lebih aman, kau bisa tinggal bersama ku,” tawar Julianne tersenyum tipis.

Calista berfikir sejenak, ibu kota adalah tempat tinggal Alister, ini menjadi kesempatan yang bagus untuknya membalaskan dendam pada pria itu, terlebih ia tidak lagi punya siapapun di tempat ini.

Calista menatap wajah Julianne dengan mantap, “Terima kasih atas tawarannya, aku akan ikut,”

“Oh iya, aku dengar keluarga Blair memiliki kekuatan penyembuh secara turun temurun, apa itu benar?” tanya Julianne kemudian. Anggota keluarga Blair, memiliki kemampuan spesial yang tidak dimiliki manusia biasa pada umumnya yaitu kekuatan penyembuhan, mereka bisa memiliki kekuatan tersebut karena salah satu leluhur di keluarga ini adalah seorang elf.

Calista sedikit menundukkan kepalanya, “Itu memang benar, tapi di keluarga ku hanya aku yang tidak memiliki kekuatan itu,” ucap Calista jujur. “Selama ini, aku berusaha mendapatkan kekuatan seperti ayah dan kakak ku, tapi sepertinya aku tidak akan pernah memiliki kekuatan itu,” lanjut Calista lesu.

“Tidak perlu memusingkan itu, memangnya apa salahnya hidup menjadi manusia biasa? Mungkin saja suatu saat nanti kekuatan itu akan muncul,” timpal Julianne dengan senyum tipis.

Pergi ke Ibukota

Kereta kuda yang Calista dan Julianne kendarai akhirnya tiba di ibu kota setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 5 hari. Julianne turun terlebih dulu diikuti Calista. Gadis kecil itu menatap kagum bangunan besar yang sebagian besar bermaterial kayu didepannya.

Julianne mengajak Calista masuk ke dalam. Gadis itu menatap polos ruangan yang di penuhi meja dan kursi, seperti restoran. Namun terlihat sepi, tak ada seorangpun pengunjung. Julianne menjelaskan, kalau ruangan itu adalah bar dan mulai di buka sore sampai malam hari, karena saat mereka berdua sampai ibu kota masih pagi, bar yang Julianne kelola masih belum buka.

Calista kemudian menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu, mengikuti Julianne dari belakang, matanya tak berhenti menatap setiap sudut ruangan yang asing baginya. Mereka berdua berjalan menapaki lorong di depan pintu-pintu kayu, dan naik lagi di lantai tiga. Julianne berhenti di depan sebuah pintu kemudian membukanya dengan kunci.

“Nah, Calista. Ini akan menjadi kamar mu. Walaupun tidak sebesar kamar mu sebelumnya, aku harap kau nyaman disini,” ujar Julianne.

Calista berjalan masuk ke kamar yang akan ditempatinya. Ruangan yang dindingnya terbuat dari kayu pinus ini terlihat nyaman dan hangat, walaupun memang tidak sebesar kamarnya sebelumnya. Gadis itu berjalan kearah jendela yang terletak di samping kasur, kemudian menatap kearah luar jendela, dibawah sana terlihat suasana pasar yang cukup ramai. Para pedagang yang menawarkan dagangannya pada pembeli yang lewat didepannya, juga para wanita-wanita yang sibuk memilih buah dan sayur untuk kebutuhan rumah tangga. Calista sedikit membuka mulutnya, kagum. Baru pertama kali ia melihat pemandangan seperti ini.

Setelah puas melihat keluar jendela, Gadis itu berbalik dan mendekat ke Julianne, “Madam Julianne, terima kasih kau sudah mau menampungku di sini. Sebagai rasa terima kasih, kau bisa mempekerjakan ku di sini tanpa perlu menggajiku,”

Julianne yang tengah bersandar di tepi pintu terkekeh kecil, “Aku membawamu ke sini bukan untuk mempekerjakanmu. Sudahlah, beristirahatlah dulu. Aku akan mengajak mu berkeliling tempat ini setelah makan siang nanti,” ujar Julianne, wanita itu melangkah pergi dari kamar Calista untuk membiarkan gadis kecil itu beristirahat.

Sesuai janjinya, setelah makan siang, Julianne mengajak Calista untuk berkeliling. Ia membawanya ke bagian depan bangunan yang difungsikan sebagai bar, kemudian di lantai dua adalah penginapan dan lantai tiga sebagai tempat tinggal Julianne dan ruang kerjanya.

“Selama ini aku kira hanya laki-laki yang bisa menjalankan bisnis, aku tidak menyangka seorang perempuan bisa mengelola tempat sebesar ini,” puji Calista pada Julianne.

Julianne tersenyum tipis, “Bisnis ini adalah bisnis keluarga, orang yang membangun pertama kali adalah kakek ku, karena ayah ku tidak punya anak laki-laki, akhirnya dia terpaksa mewariskan semua ini pada ku,” timpal wanita itu.

Tak hanya itu, tempat ini ternyata mempunyai tempat rahasia lain, yang letaknya berada di bagian paling belakang bangunan. Calista masih mengekor di belakang punggung Julianne, terlihat lorong yang ia lewati saat ini semakin gelap. Julianne berhenti di depan sebuah pintu kayu tua, ia kemudian membukanya.

Di sudut ruangan itu, terpasang berapa obor untuk penerangan, karena memang rungan yang akan Calista masuki cukup gelap. Gadis kecil itu menuruni tangga seraya menatap heran ruangan bawah tanah itu.

Walaupun berada di bawah tanah, ruangan ini cukup luas, jika di bandingkan dengan bangunan atas, tempat ini dua atau tiga kali lebih luas. Semakin berjalan masuk, Calista dapat mendengar suara dentingan pedang sedang beradu. Mata gadis itu melebar, melihat ruangan yang penuh dengan laki-laki tengah berlatih bela diri. Terlihat beberapa orang sedang berlatih separing, ada juga yang berlatih memanah, Sebagian yang lain berlatih pedang sendiri menggunakan balok kayu.

“Tempat apa ini?” tanya Calista heran seraya menatap Julianne.

“Ini adalah tempat berlatih pasukan, mereka akan bekerja sesuai perintah dari klien” timpal Julianne santai seraya menatap lurus.

Dahi Calista mengernyit, “M-maksud mu mereka pembunuh bayaran?” tanyanya seraya menatap Julianne.

“Benar, selain membunuh mereka juga terlatih untuk melindungi” timpal Julianne.

Julianne mengambil sebuah panah kecil didekatnya dan memberikannya pada Calista, “Apa, kau mau mencobanya?” tawarnya, ia sengaja memilih panah ringan yang terbuat dari kayu untuk Calista yang masih kecil.

Calista tak segera mengambil, mata ungunya mengerjab menatap Julianne. Beberapa saat kemudian ia berujar, “Tidak, aku tidak bisa memanah,” tolaknya.

“Baiklah, kalau kau tetarik kau bisa ke sini untuk mencobanya. Tidak ada salahnya berlatih bela diri, kau bisa melindungi diri tanpa bergantung pada orang lain, bukan?” ujar Julianne. Wanita itu mengambil anak panah dan membidik sebuah boneka kayu yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya berada. Tanpa menunggu lama, anak panah itu melesat, mengenai tepat salah satu kepala boneka kayu, membuat seorang pemuda bersurai coklat yang tengah berlatih dengan boneka kayu itu terlonjak kaget.

Calista berdecak kagum dengan kemampuan memanah Julianne. Walaupun jarak sasaran jauh, wanita itu bisa mengenai titik vital sasarannya. Rupanya selain menjadi pemilik sebuah guild pembunuh bayaran, wanita itu tak kalah hebat dengan mereka yang berlatih disini.

Keesokan harinya, Calista kembali lagi ke tempat latihan. Ia hanya menonton para pria berlatih bela diri di sudut ruangan. Menurutnya cukup menyenangkan melihat orang lain berlatih bela diri.

“Apa yang membuat gadis kecil seperti mu ke tempat ini?” tanya Finnick, seorang pria yang usianya sekitar 40 tahunan, walaupun sudah paruh baya ia memiliki tubuh yang kuat dan kekar.

“Aku hanya melihat lihat saja, paman” jawab Calista santai.

“Tempat ini bukan untuk gadis kecil sepertimu, lebih baik kau segera pergi dari sini,” usir pria bersurai coklat itu galak.

Calista melipat kedua tangannya, “Madame Julianne sudah memberiku izin ke sini, kau tidak bisa mengusirku!”

Pria itu mendengus kesal, “Dasar gadis kecil keras kepala,” ujarnya kemudian beranjak pergi, membiarkan gadis itu tetap berada di tempatnya.

Selama satu bulan, rutinitas yang dijalani Calista sama. Pagi harinya, ia menyapu dan mengepel lorong di lantai dua tempat penginapan. Setelah itu ia pergi ke tempat latihan, tidak hanya menonton, Calista mulai berlatih menggunakan panah, walaupun beberapa orang disana terlihat tak menyukai kehadirannya, ia tidak peduli. Lagi pula mereka tidak bisa mengganggu Calista, karena gadis itu dibawa langsung oleh Julianne.

Sore ini, Calista mulai bekerja di bar. Julianne tidak memaksa gadis itu bekerja, namun Calista berinisiatif untuk bekerja disana. Ia tidak mau hanya menumpang tanpa melakukan apapun. Disana, Calista membawakan pesanan pelanggan dan membersihkan meja, membantu karyawan lain.

Malam ini, suasa bar cukup ramai. Calista dan beberapa karyawan lain sedikit kewalahan melayani pelanggan yang kian bertambah. Saat Calista sedang membawa nampan berisi minuman dan daging panggang untuk diantar ke meja pelanggan, seorang pria bertubuh

gemuk tak sengaja menabrak Calista, membuat minuman yang Calista bawa tumpah mengenai pria yang menabraknya, daging panggang yang ia bawa tercecer di lantai.

“Apa yang kau lakukan? Lihat, gara-gara kau, pakaian ku jadi basah begini,” dengus pria gempal setengah mabuk itu.

“Tapi kan, anda yang menabrak saya lebih dulu” ujar Calista tidak terima disalahkan.

“Apa? Dasar anak kurang ajar, bisa-bisanya kau menuduh ku seenaknya!” pria bertubuh gempal itu mendorong tubuh kecil Calista hingga terjatuh ke lantai, gadis itu meringis kesakitan saat tangannya mengenai pecahan kaca gelas yang jatuh.

Keributan itu memancing atensi pelanggan lain, mereka meninggalkan mejanya masing-masing untuk melihat keributan yang terjadi, namun tidak ada yang berinisiatif untuk menghentikan pria gemuk itu.

“Tuan, tenang dulu. Kami akan mengganti kerugiannya,” salah seorang karyawan perempuan berusaha menenangkan pelanggannya itu.

“Kenapa kalian tidak pecat saja, anak kecil yang tidak becus bekerja ini?” tunjuk pria gempal pada Calista. “Cepat, kau minta maaf pada ku!” perintahnya pada Calista.

“Yang seharusnya minta maaf itu anda, dengan badan sebesar itu, siapa yang tidak jatuh jika anda menyenggol orang lain sedikit saja,” ejek Calista.

“APA? Apa kau tidak pernah diajari sopan santun pada orang yang lebih tua?” pria itu menarik paksa Calista untuk berdiri. Salah satu tangannya terangkat ke udara, hendak menampar gadis kecil itu.

“Berhenti! Ada keributan apa ini?” suara itu sontak menghentikan tamparan pria bertubuh gempal. Ia kemudian menoleh ke sumber suara. Julianne dengan langkah tenang berjalan menuruni tangga.

“Siapa kau?” tanya pria bertubuh gempal, galak.

“Saya pemilik tempat ini, apa yang akan anda lakukan pada karyawan saya?” tanya Julianne seraya melipat kedua tangannya.

“Bocah ini, dia menabrakku sampai membuat bajuku basah kuyup seperti ini. Tapi dia malah menuduh aku yang menabraknya,” ujarnya masih memegang lengan Calista dengan erat, membuat Calista kesakitan.

“Saya minta maaf atas kecerobohan karyawan saya, tuan. Setelah ini saya akan memberinya hukuman. Sebagai ganti rugi, kami akan membayar 3 gold pada anda,” ucap Julianne.

Mendengar Julianne akan memberinya 3 gold, pria bertubuh gempal itu langsung melepaskan genggaman tangannya pada Calista. “Baiklah, kalau begitu aku tidak akan memperpanjang urusan ini,”

Akhirnya masalah terselesaikan. Setelah menerima uangnya, pria bertubuh gempal itu keluar dari bar dengan perasaan senang. Sementara pembeli yang lain mulai kembali ke mejanya masing-masing.

“Calista, ikut dengan ku!” perintah Julianne, wanita itu kemudian berjalan meninggalkan tempat kejadian.

Dengan wajah lesu, Calista berjalan menapaki tangga mengikuti Julianne dari belakang. Alih-alih memarahinya, wanita itu membawa Calista ke ruang kerjanya untuk mengobati luka di tangan gadis kecil itu.

“Kenapa kau diam saja? Apa kau takut aku akan menghukum mu?” tanya Julianne seraya mengoleskan obat pada luka Calista.

“Maafkan aku,” ucap Calista menundukkan pandangan.

“Kenapa kau minta maaf? Kau tenang saja, aku tidak akan menghukum mu. Aku tau kau tidak bersalah, tapi dalam dunia bisnis, pelanggan selalu benar,” timpal Julianne sembari tersenyum tipis.

“Kau bisa kembali beristirahat di kamar mu,” ucap Julianne setelah mengobati luka pada lengan Calista. Wanita itu kembali menutup kotak obatnya.

“Madam, sebenarnya ada yang ingin ku bicarakan,” ujar Calista kemudian. Julianne menatap Calista dan memintanya bicara.

“Aku ingin bergabung dengan mereka, menjadi bagian dari guild Mortalis,” ucap Calista sembari menatap Julianne dengan tekat.

Julianne mengerjabkan matanya, ia menatap Calista dengan raut terkejut. “Apa kau yakin? Bergabung dengan mereka tidaklah mudah. Kau harus berlatih sangat keras untuk benar-benar layak menjadi bagian dari guild ini.”

“Iya, aku yakin. Aku akan berlatih dengan keras. Aku terlalu lemah sekarang, dengan kemampuan ku yang seperti ini, aku tidak akan pernah bisa membalaskan dendam ku pada Alister, aku mohon, biarkan aku bergabung dengan mereka,” pinta Calista seraya menangkupkan kedua tangannya.

Julianne menghembuskan nafas pendek, “Baiklah, aku akan memberimu kesempatan,” ujar Julianne membuat senyum mengembang di bibir kecil Calista.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!