NovelToon NovelToon

Satu Perempuan

1. Dua Anak Cukup

Rumah Bersalin Sayang Ibu, itu yang tertulis di papan besar yang berhasil membuat anak kecil bertubuh gemuk dengan pipi seperti bakpao mendongak menatap tulisan. Sudah sejak tadi ia menatapnya namun belum mampu membacanya. Gambar wanita dengan warna yang sengaja diberi mencolok serta bayi mungil berhasil menarik perhatiannya sejak tadi.

Motor-motor yang terparkir seakan menenggelamkan tubuh gemuknya, nyaris tidak terlihat. Tubuh gemuk yang merebut satu jatah lahan kosong untuk satu parkir motor. Hobinya hanya makan, yah hanya itu lalu apa lagi? Jika anak seusianya hanya mampu makan setengah piring tapi bocah gendut itu mampu menghabisi tiga piring sekaligus. Ada yang minat untuk mengadopsinya?

Namanya Pratama Putra, panggil saja ia Prata atau si gentong berkulit sawo matang akibat panas terik matahari. Anak yang baru berusia tiga tahun itu dibiarkan sendiri diluar. Bapaknya, Abdul sengaja mengikat pergelangan tangan bocah gemuk itu dengan tali rafia pada sebuah tiang yang menopang papan yang bertuliskan nama tempat dimana Marti, mamak Prata yang kini sedang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan adik kedua untuk Prata.

Abdul takut bocah rakus yang bisa menghabiskan tiga piring sekaligus itu hilang begitu saja. Sia-sia diberikan makan jika akan hilang begitu saja tanpa merasakan uang hasil kerja saat bocah rakus itu besar nanti.

Menghidupi satu anak gendut seperti Prata sangat susah, beras mahal setiap tahunnya. Semakin mahal beras semakin banyak pula yang dimakan oleh bocah gentong itu.

Pria berseragam satpam berwarna putih itu memandangi dari jauh. Sesekali menyeruput secangkir kopi yang ada di atas meja.

Kali ini tugasnya tidak hanya menjaga keamanan rumah sakit tetapi juga menjaga bocah gentong yang sudah beberapa menit ia pantau dari pos satpam.

"Tuh anak gendut amat, ya," komentar kawannya, Tori.

Pria kurus dengan ikat pinggang yang sampai di perutnya, terlalu tinggi. Gigi atasnya nampak keluar, terlihat sedikit agak menyeramkan sehingga Prata takut untuk mendekat di pos satpam. Takut digigit.

Kabo mendengus, membuka sedikit kancing baju pada bagian perut buncitnya yang sesak. tubuhnya juga gemuk mungkin jika Prata besar ia akan mirip dengan Kabo.

"Etdah, Jangan gitu bang! Aye juga gede gini," ujarnya dengan logat betawi ciri khasnya

"Tau gue, udah kelihatan. Anak gendut kayak gitu siapa juga yang mau curi."

"Cah ileh, pencuri mah juga milih-milih kali. bocah gentong kayak gitu mah cuman beratin mobil. Di simpan nggak guna, dijual juga nggak bakalan laku."

Lah!

...---------------...

Ruang bersalin

Marti mengedan kuat. Menjerit membuat Abdul ikut menjerit, yah rambutnya ditarik ke kiri dan kanan. Kulit kepalanya memerah sepertinya tidak lama lagi kulit kepalanya ikut terkelupas. Rohnya seakan ingin keluar, tak ada bedanya saat istrinya itu melahirkan Prata tiga tahun yang lalu tapi sepertinya yang dulu lebih parah karena ia sempat pingsan.

Bukan! bukan karena syok melihat istrinya melahirkan tapi karena kepalanya dipukul oleh botol infus oleh istrinya. Bukan tanpa alasan tetapi semua itu karena ia menyuruh istrinya untuk tidak menjerit.

Sekarang setelah kejadian itu Abdul tidak lagi berani untuk menyuruh istrinya diam. Ia pasrah dan hanya mengikuti alurnya saja, takut ia pingsan diketuk betul botol infus atau mungkin tiang infus. Hah, menyeramkan!

"Aaaa!" teriak Marti membuat Abdul juga ikut berteriak.

"Ya Allah, selamatkan rambutku!" teriak Abdul yang ikut berteriak. Matanya memerah seakan ingin meletus.

"Semangat Bu!"

Abdul melotot menatap wanita bertubuh agak berisi itu, ibu bidan. Wanita yang sama membantu persalinan istrinya saat melahirkan Prata.

"Bu bidan, kurang semangat apalagi istri saya? Saking semangatnya rambut saya juga ikut rontok."

Perawat yang berdiri di belakang Ibu bidan itu cengengesan. Baru kali ini ia melihat proses persalinan yang mengancam nyawa sang suami.

"Diam!" teriak Marti sembari menambah kekuatan jemari tangannya membuat Abdul menjerit.

Nafasnya tersengal-sengal, cucuran keringat membasahi sekujur tubuhnya. rambutnya pun ikut berantakan tetapi lebih berantakan lagi rambut suaminya. Maksudnya berantakan hingga berserakan di lantai.

Para pasien lain di depan ruangan melotot dan saling berpandangan bahkan salah satu pria mendekatkan telinganya ke permukaan pintu berusaha mendengar lebih jelas suara yang ada di dalam sana.

Setiap kali jeritan atau teriakan yang berasal dari dalam ruangan persalinan membuat para pasien lain ikut meringis ngilu.

"Gila, ngeri juga. Suara orang melahirkan bisa berubah-ubah, " ujar pria itu sembari menatap ke arah pasien yang sedang duduk di kursi antri.

"Itu bukanya suara kambing ya?"

"Lah?" kagetnya menatap nenek tua yang ikut jongkok di sampingnya.

Suara tangisan bayi terdengar memenuhi isi ruangan kamar bersalin. Jemari tangan Marti terkulai lemas. Cepat-cepat Abdul mengusap kepalanya yang terasa sakit.

Tuhan, akhirnya jemari tangan Marti lepas juga dari rambut Abdul. Jika bayi itu tidak keluar sejam ke depan mungkin saja ia akan pingsan kedua kalinya di dalam ruangan persalinan.

"Alhamdulillah Bu, pak bayinya sudah lahir."

Marti tersenyum haru, "Laki-laki atau perempuan?"

Abdul mengusap kepalanya, sakit. Berjalan sedikit berniat untuk mendekati ibu bidan yang sudah menggendong anak barunya itu.

"Laki-laki," jawab ibu bidan sembari meletakkan bayi berselimut biru itu ke dalam dekapan Marti.

"Alhamdulillah," syukur Abdul sembari berjalan di sisi ranjang.

Marti tersenyum menatap wajah tampan Putra keduanya. Wajahnya tidak jauh beda dengan wajah putra pertamanya itu tapi yang ini nampak seperti bayi perempuan hanya saja kulitnya lebih putih.

"Kita beri nama apa, Bu?"

"Pradu Putra," bisiknya lembut membuat Abdul mengernyit heran.

"Unik, artinya?"

"Pradu artinya putra kedua."

Abdul mengangguk, tidak nyambung sama sekali.

"Kita sudah punya dua anak laki-laki," bisik Abdul sembari ikut tersenyum haru.

Ujung jari telunjuknya menyentuh lembut pipi mungil yang masih terdapat sedikit bercak darah. Senang rasanya, kali ini ia sepertinya harus bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi dua anak dan semoga saja putra keduanya ini tidak rakus seperti putra pertamanya.

Marti mendecap kesal, tak terima.

"Tapi kita belum punya anak perempuan," sinisnya sembari menjeling suaminya itu.

Senyum Abdul lenyap, itu berarti penderitaan yang dirasakan hari ini akan ia rasakan lagi nanti. Oh, Tuhan apakah Engkau akan memberikan penderitaan lagi untuk dirinya.

"Dua anak cukup, ya Bu, pak!"

Keduanya menoleh menatap ibu bidan yang nampak membereskan peralatan. Abdul tersenyum, setuju dengan ucapan ibu bidan.

"Tidak Bu bidan."

Abdul melotot, bibirnya bergetar ingin menangis.

"A-a-apa?'"

"Saya mau punya anak perempuan."

"Tapi kita sudah punya dua anak, Bu," ujarnya pelan seakan menekan intonasi suaranya.

"Tapi bukan perempuan."

la Ilaha illallah!

Abdul menepuk jidat! Rasanya ia ingin mencekik lehernya sendiri. Terserah, Abdul malas untuk berdebat dengan istrinya itu.

"lalu mau punya anak kapan?"

"Kalau tahun ini saya bisa hamil lagi, yah saya hamil. Pokoknya saya mau punya anak perempuan."

lailahaillallah!!!

2. Hamil Lagi?

Satu Tahun Kemudian...

Perut buncit yang berusia 7 bulan itu nampak membesar tak seperti kehamilan sebelumnya. Marti mengusapnya dengan lembut sembari melangkah keluar rumah.

"Pak! Ibu belanja sayur dulu, ya."

Abdul menoleh. Rambutnya sudah acak-acakan. Bagian bawah matanya nampak lebih gelap akibat tidak diberi jatah tidur oleh kedua anaknya. Prata memang sudah berusia 4 tahun tapi saat tengah malam ia selalu menangis minta diberi makan sementara Pradu yang lebih kecil selalu menangis minta digaruk.

Masalah anak kini merupakan masalah bagi Abdul. Dirinya seperti babysitter tanpa bayaran.

Pletak!

Abdul meringis saat Prata melempar sendok hingga mengenai kakinya.

"Aduh, kenapa lagi, nak?"

"Mau akan, ambah agi!" teriak bocah itu dengan bahasa bayinya.

Sementara di luar sana segerombolan ibu-ibu nampak menatap ke arah Marti sambil berbisik. Kang sayur ikut mendekatkan telinganya seakan penasaran dengan gosip pagi ini.

Setiap paginya selalu ada berita baru yang ia dapatkan dari ibu-ibu kompleks yang berkerumun di gerobak sayurnya.

"Lihat tuh! Hamil lagi," ujar salah satu ibu-ibu dengan roll rambut di bagian poninya.

Matanya menatap ke arah Marti sementara tangannya sibuk mengacak-acak sayur yang ada di atas gerobak. Para ibu-ibu berdaster ikut menoleh sementara satu wanita gendut dengan tubuh pendek nampak melompat-lompat seakan penasaran dengan sosok yang dijadikan bahan gosip setiap harinya.

"Padahal kan anaknya masih kecil-kecil," tambahnya lagi, namanya Jeng Melyy tukang gosip nomor satu di kompleks.

Mungkin jika ada lomba membawa gosip paling hot mungkin dia akan menjadi pemenangnya. Hobinya hanya gosip dan gosip.

"Biarin aja Jeng Melly, kan yang hamil dia sendiri toh. Wong jangan dipikirin!"

Nah, yang satu ini tetangga Marti dengan logat jawa ciri khasnya. Tubuhnya sedikit kurus dengan jilbab yang menutupi sedikit dadanya yang nampak rata. Namanya mbak Jumianti dan tugasnya adalah membela korban bahan gosip dari Jeng Melly.

"Aku setuju sama Jeng Melly," sahut salah satu wanita gendut yang sibuk memilih bawang. Namanya Jeng Mirna, sahabat segosip bertubuh pendek itu.

"Anaknya yang terakhir ini belum bisa lari masa udah hamil lagi," tambahnya dengan bibir yang mengerucut.

"Hust! Dia datang!" tegur ibu-ibu lain ketika mendapati Marti sudah dekat. Buru-buru mereka berhenti bicara lalu berakting menyibukkan dirinya memilih sayur-sayuran yang dijual.

"Ada sayur kangkung, Kang?"

Jeng Melly memberi kode pada ibu-ibu kompleks lain berusaha menyuruh teman-teman penggosipnya itu untuk melihat ke arah perut Marti.

"Udah hamil lagi, ya," singgung Jeng Melly membuat Marti hanya tersenyum tipis.

"Ini Bu sayur kangkungnya totalnya lima ribu."

Marti merogoh kantong baju daster yang ia gunakan mengeluarkan beberapa lembaran uang lalu menyerahkannya kepada Kang Damang, si tukang sayur itu lalu berpaling berniat meninggalkan ibu-ibu yang kini masih sibuk menatapnya.

Jeng Melly mendecapkan bibirnya kesal karena tak direspon oleh Marti. Penggosip akan kepanasan jika bahan gosipnya tidak direspon.

"Ibu-ibu kalau semisalnya mau punya anak banyak makan sayur kangkung, tuh kayak si Bu Marti anaknya belum bisa jalan udah hamil lagi."

Suaranya sengaja dibesarkan dan diperjelas agar Marti mendengar sindirannya. Langkah Marti menjadi pelan sejenak berusaha mencerna kalimat Jeng Melly. Ia hanya menarik nafas panjang lalu melanjutkan langkahnya.

Bruak!!!

Abdul tersentak dari tempat duduknya. Wajah lusuhnya menoleh menatap raut wajah Marti yang nampak kesal.

"Dasar penggosip! Memangnya salah ya kalau saya hamil lagi, kan yang hamil saya bukan mereka, gila!"

"Heran sama ibu-ibu sekarang suka banget mikirin hidup orang lain. Emangnya salah ya kalau saya hamil? Yang salah itu kalau hamil tapi nggak punya suami."

Abdul menghela nafas dan hanya diam. Ia tidak heran jika mendengar istrinya mengomel sendiri karena setiap pagi ia selalu melakukannya. Abdul tahu pelakunya siapa tapi tak ada gunanya jika ia ikut berkomentar.

Marti menghela nafas panjang sembari menatap pemandangan di samping rumahnya dari balik jendela yang ia biarkan terbuka.

Marti menunduk menatap perutnya yang kian hari semakin membesar. Usianya baru tujuh bulan tapi rasanya kehamilan ketiganya ini sangat berbeda dari kehamilan sebelumnya. Rasanya semakin hari semakin berat saja bahkan jika ingin bangun dari tempat tidur ia harus meminta bantuan Abdul untuk menariknya.

"Nak, semoga saja kamu perempuan, ya."

"Mama capek kalau harus di-bully sama tetangga-tetangga kompleks, tadi kamu dengar sendiri kan mereka bilang apa."

"Pokoknya kalau kamu lahir nanti kamu harus pukul anak-anak mereka biar kapok."

Abdul mendekat dengan langkah yang begitu pelan. Mengendap-ngendap seperti pencuri, takut jika suara langkahnya didengar oleh dua bocah yang kini sudah tertidur dengan lelap.

"Bu, laki-laki atau perempuan itu sama saja. kita boleh berencana tapi yang menentukan ya hanya Tuhan. Kita sebagai hamba hanya menjalankan saja."

"Anak itu titipan dari Tuhan jadi laki-laki atau perempuan ya kita harus terima."

Marti memonyongkan bibir seakan tak setuju dengan ucapan suaminya itu.

"Yah, masa Tuhan gak mau ngasih kita anak perempuan."

"Yang namanya rezeki kan sudah diatur," jawabnya lagi.

"Bapak tuh enak ngomongnya. Masa kita nggak punya anak perempuan."

"Memangnya kenapa, sih Bu? Ibu ini mau banget punya anak perempuan?"

"Yah pokoknya Ibu mau anak perempuan titik!" kekehnya lalu melangkah ke arah kursi depan TV, menjauhi suaminya.

"Ibu, laki-laki dan perempuan kan sama saja."

"Yah jelas beda, pak. Perempuan ya perempuan, laki-laki ya laki-laki. Kalau anak perempuan itu kan rambutnya bisa diikat, dipakaikan rok pink, bajunya serba pink. Lucu, pak," celotehnya.

Abdul hanya terdiam. Setiap perdebatan selalu istrinya yang menjadi pemenangnya. Marti membuka lemari di bawah tv dan mengeluarkan beberapa pakaian baju bayi berwarna pink yang masih berada dalam plastik.

"Nih, pak! Cantik, kan?"

Baju bunga-bunga berwarna pink dengan pita mungil yang membuat baju itu terlihat sangat cantik. Baju yang telah berada di dalam lemari selama 4 tahun lamanya. Dulu mereka pikir jika anak pertamanya itu adalah perempuan jadi Marti sengaja menyiapkan pakaian itu untuk anak perempuannya tapi nyatanya itu semuanya hanya sia-sia.

"Iya cantik, bagus."

Abdul meraih baju berwarna pink itu, melipat dan memasukkannya ke dalam plastik dengan rapi. Sedih juga melihat istrinya seperti ini.

"Bapak ngerti, bu. Sabar, ya!"

Marti hanya terdiam lalu meraih baju pink itu dan menempelkan pada perut buncit miliknya.

"Semoga saja kamu perempuan ya, nak."

"Bu!"

"Apa?"

"Ini usianya baru tujuh bulan, ya?"

Marti mengangguk.

"Tapi kok kayak udah sembilan bulan ya, Bu."

"Iya pak, apa ada kelainan ya sama bayi kita."

"Bagaimana kalau kita USG," sarannya membuat raut wajah Marti menjadi sumringah.

"Betul juga tuh pak sekalian Marti juga mau tahu anak kita ini laki-laki atau perempuan."

Abdul mengecutkan wajah, ujung-ujungnya kalimat itu lagi yang terdengar.

"Kapan pak?"

"Besok!"

3. USG

Motor merek honda berwarna merah tua itu memasuki area rumah bersalin sayang ibu, tempat dimana Marti melahirkan kedua putranya itu.

Kedua mata Kabo, si satpam rumah sakit itu membulat. Air kopi yang berada di dalam mulutnya nyaris tersembur keluar saat melihat Abdul dan Marti serta kedua bocah yang mereka bonceng. Pratama, si bocah gendut itu duduk di bagian paling depan sementara Pradu duduk di tengah-tengah dihimpit oleh Abdul dan perut buncit Marti.

Bukan karena adegan berbonceng empat yang nyaris mirip seperti satu keluarga yang ingin mudik atau pulang kampung tapi yang membuat Kabo terkejut tetapi perut mati yang kembali membesar, hamil lagi!

"Tor! Tor!" panggil Kabo cepat sembari menyikut Tori yang baru berniat menyeruput secangkir kopi hangatnya.

Giginya yang baru menyentuh ujung gelas seketika menjauh. Gagal lagi minum kopi.

"Duh, apa sih? Mau minum kopi aja nggak bisa."

"Noh, liat! Buka mate lu!"

Kabo memegang kepala Tori dan mengarahkannya ke arah parkiran di mana Abdul Marti dan kedua bocahnya masih ada di sana.

"Kenapa tuh?" tanya Tori tak mengerti.

"Lu liat noh!" tunjuknya.

"Yang mana?"

"Noh!"

Tori menyipitkan kedua matanya berusaha memperjelas kedua Indra penglihatannya ke arah parkiran. Tak lama Tori mendecapkan bibir lalu menoleh menatap sahabat kerjanya yang nampak terlihat sangat syok.

"Apaan sih?"

"Etdah nih orang tua kagak liat apa ya. Noh! Buka mate luh!" geramnya sambil menunjuk ke arah parkiran lagi.

"Ah!" Tori memberontak menghempas tangan Kabo yang sejak tadi memegang kepalanya.

"Lo pikir gue tidur? Nih, mata gue udah kebuka dari tadi."

"Yeh kalau mata elu udah kebuka terus ngapa lu nggak lihat, pe'a!"

"Gue nggak ngerti yang cuman pakai tunjuk-tunjuk segala. Gue mau langsung ke inti aja. Pusing gua."

"Masalah gue udah banyak pusing gue," sambungnya.

Kabo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sangat kesal dengan pria kurus yang ada di hadapannya. Jika saja ia tidak bersahabat lama dengan si pria kurus yang nyaris hanya mengisahkan tengkorak saja mungkin dia sudah menghantamkan kepala Tori ke tiang listrik.

"Noh liat!" tunjuknya lagi.

"Lo lupa sama pak Abdul si tukang kayu itu?"

Tori terdiam sejenak berusaha mengingat. kedua matanya menatap ke arah Abdul yang kini nampak mengikat dua putranya dengan tali rafia ke tiang tempat yang sama di mana ia pernah mengikat Pratama.

"Oh iya, gue ingat sekarang yang tahun lalu ke sini karena istrinya melahirkan ya?"

Kabo tersenyum bahagia, akhirnya pria tua ini mengerti.

"Cakep!" senangnya memberikan jempol.

"Lah terus kenapa?"

Senyum Kabo memudar. Rasanya ia ingin mencolok kedua mata Tori.

"Lah buset dah! Noh istrinya hamil lagi!" teriaknya membuat semua orang menoleh menatap ke arah dua satpam yang berada di pos jaga.

"Hah?!!" kagetnya.

...----------------...

"Jangan pergi-pergi, ya! Pratama jagain adek!" pesan Abdul sembari mengikat tangan Prtama dengan tali rafia.

Kali ini Abdul tidak takut jika putranya itu hilang tetapi ia takut jika Pratama kabur dan memakan jualan orang pinggir jalan. Bisa rugi.

Abdul mengusap rambut bocah berkulit lembut itu, putra keduanya lalu gerakan tangannya terhenti saat suara teriakan dari salah satu satpam yang ada di pos jaga terdengar sembari menunjuk ke arahnya.

Abdul cukup kenal dengan kedua pria itu. Mereka merupakan salah satu kakak kelas saat ia menempuh sekolah dasar dahulu.

Tak ingin ambil pusing Abdul dan Marti kemudian melangkah pergi meninggalkan dua bocah di parkiran, sepertinya masih aman menyimpan anaknya di sana.

Tori dan Kabo memandang dari kejauhan. Kedua mata mereka mengikut langkah pasangan suami istri yang masih melangkah masuk ke dalam rumah sakit.

"Gila si Abdul. Istrinya dibikin hamil lagi."

"Bukan gila ini mah, tapi gacor," ujar Kabo sambil geleng-geleng kepala.

...----------------...

"Lah! Bu Marti?"

Ibu bidan terkejut. kedua matanya membulat menatap Marti yang melangkah masuk ke dalam ruangan sambil memegang perut buncitnya. Ia menatap dari ujung rambut hingga ke ujung kaki lalu berakhir ke perut.

"Hamil lagi?" syoknya tak menyangka.

Marti hanya cengengesan sembari menggaruk telinganya yang tak gatal lalu menjawab dengan anggukan kepala.

Ibu bidan menghela nafas panjang, kali ini benar-bener sangat berat.

"Bu Marti ini gimana, sih? Kan saya sudah bilang kalau dua anak cukup."

"Yah mau gimana lagi bu bidan, kan saya maunya punya anak perempuan. Lahiran kemarin kan anak saya laki-laki."

Ibu bidan hanya terdiam sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi hitam miliknya. Tangannya menopang kepalanya yang pusing menghadapi klien seperti Marti.

"Saya datang ke sini mau USG, bu bidan soalnya usia kandungan saya kan baru 7 bulan tapi rasanya kok berat sekali bahkan kalau mau bangun tidur pun harus ditarik."

Ibu bidan hanya menghela nafas lalu mengangguk pelan. "Yah mau gimana lagi. Silakan Bu Marti baring dibrangkar!"

Marti tersenyum sumringah lalu bangkit dan membaringkan tubuhnya di atas brangkar dibantu oleh asisten ibu bidan yang berpakaian serba putih.

Layar lebar mirip TV itu nampak memperlihatkan isi rahim dengan janin berwarna hitam putih. Suara jantung terdengar seperti suara lari kuda memenuhi ruangan membuat Marti tersenyum bahagia.

Di satu sisi ibu bidan terlihat mengkerutkan dahi menatap dengan teliti pada layar USG.

"Loh ini kembar!"

"Hah?" teriak Marti dan Abdul secara bersamaan, tak menyangka.

Bibir Abdul bergetar seakan ingin menangis. Tuhan, sudah cukup engkau memberikan dua bocah yang tidak memberikan jatah tidur untuknya dan sekarang engkau menitipkan dua bocah kembar yang mungkin akan membuatnya sekarat. Bukan tidak bersyukur tapi lailahaillallah!!!

"Ke-ke-kembar?" tanya Marti tak menyangka.

"Iya, Bu Marti. Ini kepalanya yang ke satu dan ini yang kedua. Ini kakinya, tangannya dan-"

"Anak saya laki-laki atau perempuan?" potong Marti penasaran.

Ibu bidan menatap layar USG dengan serius sembari menggerakkan dengan pelan alat yang menempel di perut buncit milik Marti.

Marti terdiam penuh penasaran, menunggu jawaban dari ibu bidan yang masih terdiam. Detak jantung Marti meningkat hingga tubuhnya juga terasa panas. Rasanya sangat cemas sekali.

Marti sangat berharap jika kehamilan ketiganya ini adalah perempuan. Ia tak mau lagi jika harus hamil dan dibully oleh tetangga. Pokoknya kalau ini perempuan, Marti ingin pakai KB kalau perlu tutup kandungan saja.

Di satu sisi Abdul nampak menggigit ujung jemari tangannya. Takut untuk mendengar jawaban dari ibu bidan yang kini masih terdiam.

"Dua-duanya laki-laki."

"Apa?!!" teriak Marti begitu sangat syok.

Bruak!!!

Semua orang yang ada dalam ruangan langsung menoleh ke arah Abdul yang sudah tergeletak di lantai. Yah, Abdul pingsan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!