Langit sore di kota X mendung, seolah ikut menertawakan nasib seorang pria bernama Bima Satriya. Usianya baru dua puluh lima tahun, seorang karyawan biasa yang hidupnya tak pernah jauh dari layar komputer. Pekerjaan monoton, gaji pas-pasan, dan hobi bermain game sampai larut malam—itulah definisi hidupnya.
Hari itu, setelah lembur hingga mata merah, Bima pulang dengan langkah gontai. Tangannya masih sibuk menggenggam ponsel, memainkan game RPG favoritnya. Ironisnya, game itu bercerita tentang seorang tokoh yang jatuh ke dunia baru dan mendapatkan sistem canggih.
“Ah, coba aja gue bisa reinkarnasi juga. Jadi pahlawan atau apa gitu… Pasti hidupnya nggak ngebosenin,” gumam Bima, matanya tak lepas dari layar ponsel.
Namun, takdir punya selera humor aneh. Saat ia menyeberang jalan, sebuah truk kontainer melaju kencang dari arah kiri. Klakson meraung keras.
BRAAAAK!
Semuanya gelap.
Saat Bima membuka mata, ia tidak lagi mendengar suara hiruk-pikuk jalan Jakarta. Tidak ada cahaya lampu kota, tidak ada truk, tidak ada smartphone di tangannya. Sebaliknya, yang ia rasakan adalah rasa nyeri menusuk di sekujur tubuh. Kepala pusing, dada berat, dan aroma obat-obatan memenuhi udara.
Ia mendapati dirinya berbaring di sebuah ranjang besar berkanopi. Tirai beludru hitam menjuntai, lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya redup. Ruangan itu mewah, lebih mirip kamar bangsawan Eropa daripada rumah sakit.
“A-apa ini? Gue di mana?” suara Bima serak, tapi telinganya menangkap betapa dalam dan berat nada suaranya. Bukan lagi suara dirinya yang biasa.
Ketika ia berusaha bangkit, tubuhnya terasa asing. Otot-otot kencang, lengan penuh tato hitam, dan di sisi meja ada pistol berlapis perak.
Bima menelan ludah. “Ini… bukan tubuh gue.”
Saat itulah pintu kamar terbuka. Masuklah tiga pria berbadan besar, mengenakan jas hitam. Wajah mereka keras, dingin, namun begitu mereka melihat Bima bangkit, ketiganya serempak menunduk.
“Boss Dante! Anda sudah sadar!” kata salah satu dengan suara bergetar.
Bima ternganga. Boss… Dante?
Tak lama, kilatan ingatan asing menyerbu kepalanya. Seperti film yang diputar cepat, ia melihat fragmen kehidupan seseorang: pria kejam bernama Dante Romano, bos mafia paling ditakuti di Sisilia. Tubuh ini milik Dante—pria yang baru saja ditembak dalam perebutan wilayah, koma selama seminggu, dan kini bangun kembali.
“Woi, woi, jangan bilang gue reinkarnasi ke tubuh mafia?!” Bima hampir histeris.
Namun sebelum ia sempat meratapi, suara mekanis bergema di dalam kepalanya:
[Selamat, Host. Sistem Penebusan Dosa telah terikat pada jiwa Anda.]
[Identitas Terdeteksi: Dante Romano – Bos Mafia Kejam. Jiwa: Bima Satriya.]
[Misi Utama: Ubah takdir sang mafia. Dari pria kejam menjadi pria baik.]
Bima melongo. “S-sistem? Beneran kayak di game?!”
[Misi Pertama: Jangan membunuh siapa pun dalam 24 jam ke depan.]
[Hadiah: 100 Poin Kebaikan. Hukuman gagal: Tubuh Anda akan mati permanen.]
“APA?!” Bima berteriak dalam hati. Sialan! Belum apa-apa udah dikasih misi hidup-mati begini?!
Ketiga pria berbadan besar tadi saling pandang, lalu mendekat. “Boss Dante, Anda ingin kami membawa kepala pengkhianat yang menembak Anda? Kami sudah menangkapnya. Tinggal perintah Anda…”
Bima membeku. Ya Tuhan, baru bangun aja disuruh bunuh orang!
Dengan panik ia berdiri, mengibaskan tangan. “T-tidak! Jangan bunuh siapa pun!”
Para anak buah tertegun. Wajah mereka bingung. Selama ini, Dante Romano dikenal sebagai pria dingin yang tak segan menyuruh potong kepala lawan hanya karena tatapan mata salah. Dan sekarang… ia melarang membunuh?
“Boss… Anda yakin? Dia mencoba membunuh Anda,” ucap salah satu dengan ragu.
“Ya! Gue maksudnya… eee… kita jangan buru-buru. Kasih dia kesempatan… hidup.”
Kata ‘hidup’ meluncur canggung dari mulut Bima.
Di dalam kepala, suara sistem berbunyi lagi.
[Selamat, Host. Anda berhasil menunda pembunuhan pertama.]
[Poin Kebaikan +10.]
Bima hampir menangis lega. Oke, kalau gini caranya, gue masih bisa bertahan… mungkin.
Namun masalah tidak berhenti di sana. Kabar bangkitnya Dante Romano segera menyebar. Malam itu, ruang tamu vila mewah dipenuhi anak buah yang datang memberi hormat. Ada belasan pria bersenjata, wanita bergaun hitam, bahkan beberapa pengacara bayaran. Semua menatapnya dengan rasa hormat bercampur takut.
Bima duduk di kursi besar, jantungnya berdebar kencang. Di luar, hujan deras mengguyur, membuat suasana makin mencekam.
Seorang anak buah maju, menunduk dalam-dalam. “Boss Dante, apa perintah pertama setelah Anda bangkit dari koma?”
Semua mata tertuju padanya.
Bima panik. Ya ampun, gue cuma karyawan kantoran. Biasanya perintah gue cuma ‘tolong fotokopi’ atau ‘bikin laporan’. Sekarang disuruh kasih perintah ke mafia?!
Ia mengangkat tangan, mencoba terlihat berwibawa. “Perintah gue adalah… eee… jangan bikin masalah hari ini. Santai aja. Anggap… cuti.”
Suasana hening. Semua orang bengong.
“Cuti… Boss?”
“Ya! Cuti. Nikmati hidup kalian. Jangan ada yang… ngebunuh, atau ngerusak, atau nyolong. Oke?”
Mereka saling pandang dengan wajah bingung. Beberapa hampir tertawa, tapi takut mati. Namun pada akhirnya mereka serempak menjawab, “Baik, Boss!”
Bima menghembuskan napas lega. Tapi ia tahu, ini baru permulaan. Di luar sana, dunia mafia penuh darah, dendam, dan kekejaman. Dan ia, seorang pria biasa bernama Bima Satriya, kini harus menjalaninya dengan satu misi konyol: menjadi orang baik.
Dalam hati ia bergumam getir, “Sial… kalau hidup baru ini gagal, gue beneran mati dua kali. Tapi ya sudahlah… mungkin ini kesempatan buat gue bener-bener berarti.”
Di kepalanya, suara sistem kembali terdengar.
[Pengingat: Misi berjalan. Waktu tersisa: 23 jam 14 menit.]
Malam itu terasa panjang bagi Bima Satriya yang kini terjebak di tubuh Dante Romano. Setelah kehebohan pertemuan dengan anak buah, ia akhirnya kembali ke kamar mewahnya.
Ia menatap cermin besar di dinding. Bayangan yang kembali menatapnya adalah pria berwajah dingin, rahang tegas, mata tajam bak predator, dan tubuh penuh tato naga serta bunga mawar hitam. Wibawa Dante Romano memang tidak bisa dipungkiri.
Bima menghela napas panjang. “Ya ampun… ini bukan gue banget. Gue biasa kerja pakai kemeja murah, bukan jas hitam elegan kayak gini. Gimana caranya gue bisa jadi orang baik dengan tampang kayak gini? Orang lihat aja udah kabur duluan.”
Suara sistem tiba-tiba bergema di kepalanya.
[Pengingat: Misi Utama Anda adalah mengubah takdir Dante Romano. Mulailah dari hal kecil.]
[Misi Sampingan: Tolonglah seseorang tanpa menakutinya.]
[Hadiah: 20 Poin Kebaikan. Waktu: 6 jam.]
Bima terbelalak. Hah? Tolong seseorang tanpa menakutinya? Dengan tampang setajam ini?! Gila! Orang bakal pingsan duluan sebelum ditolong.
Keesokan paginya, hujan reda. Matahari menembus jendela besar vila. Para anak buah sudah sibuk berjaga, mobil-mobil hitam berjejer di halaman. Begitu Dante alias Bima keluar, semua langsung menunduk hormat.
“Selamat pagi, Boss!” seru mereka serempak.
Bima melambaikan tangan kikuk. “Pagi… eee… kalian sehat, kan?”
Anak buah terdiam. Mereka saling pandang. Biasanya, Dante bangun pagi dengan makian kasar atau perintah dingin. Tapi kali ini? Menanyakan kesehatan mereka?
“B-Baik, Boss,” jawab mereka kompak, walau ekspresinya jelas kebingungan.
Bima mencoba mencari cara untuk menyelesaikan misi sampingan. Ia menatap halaman vila. Seorang wanita tua tetangga terlihat sedang berusaha mengangkat keranjang buah yang berat di luar pagar.
Yes! Target misi ketemu. Kalau gue bantu nenek itu, gampang kan?
Bima berjalan cepat menghampiri, melewati pagar dengan dua anak buah mengikutinya.
“Nenek, sini saya bantu,” katanya dengan senyum kaku.
Begitu nenek itu menoleh, matanya langsung melebar. Yang ia lihat adalah pria bertubuh tinggi besar, penuh tato, wajah sangar, diikuti dua pria berjas hitam. Senyum Dante Romano malah terlihat seperti ancaman.
“A-Aaaa!!! Jangan bunuh saya! Ambil saja buahnya!!” teriak nenek itu sambil kabur, meninggalkan keranjang di jalan.
Bima membeku. “…..”
Anak buah menahan tawa. Salah satu berbisik, “Boss… Anda menakut-nakuti nenek-nenek?”
[Misi Gagal Sementara. Target kabur karena ketakutan.]
[Saran: Ubah pendekatan. Jangan gunakan wajah intimidatif.]
Bima hampir melempar kepalanya ke tembok. Ya gimana nggak intimidatif, ini wajah emang udah kayak preman level dewa!
Tak mau menyerah, ia mencoba lagi. Kali ini ia melihat seorang anak kecil berlari mengejar bola yang terlempar ke jalan. Sebuah mobil melaju dari arah berlawanan.
Refleks, Bima berlari cepat, meraih anak itu, lalu mengangkatnya tinggi sebelum mobil sempat menabrak. Mobil berhenti mendadak, klakson meraung.
Anak itu selamat. Tapi begitu melihat wajah penuh tato Dante, anak itu langsung menangis histeris.
“Mamaaaa!! Monster!!”
Bima tertegun. “Monster? Gue?!”
Ibunya datang tergopoh, langsung menjemput anaknya sambil menatap Dante ketakutan. “Ja-jangan sakiti anak saya, Tuan! Kami akan pergi sekarang!”
Mereka kabur secepat mungkin.
[Misi Gagal Sementara. Target terlalu takut.]
[Catatan: Host terlihat terlalu menyeramkan.]
Bima mendengus frustasi. “Serius nih sistem?! Gue udah nyelametin nyawa anak kecil, masih gagal juga cuma gara-gara muka?!”
Salah satu anak buah, pria berkepala plontos bernama Alex, mendekat dengan ekspresi bingung. “Boss… apa Anda sedang mencoba… berbuat baik?”
Pertanyaan itu membuat Bima hampir tersedak ludahnya sendiri. “E-eh? A-apa maksud lo?”
Alex menggaruk kepala. “Selama ini, Anda kan terkenal dingin dan kejam. Tapi sekarang… Anda menolong orang? Menanyakan kesehatan kami? Melarang pembunuhan? Semua anak buah bingung, Boss. Mereka kira Anda… kerasukan.”
Bima menahan diri untuk tidak memaki. Ya jelas kerasukan, woy! Gue jiwa orang lain yang masuk ke tubuh bos lo!
Namun ia tak bisa jujur. Maka ia hanya menjawab dengan nada penuh wibawa palsu, “Alex… dunia ini butuh keseimbangan. Kadang… yang kuat harus melindungi yang lemah.”
Alex tercengang. Ia lalu berbisik ke anak buah lain, “Boss Dante… tercerahkan. Mungkin selama koma dia mendapat wahyu.”
Desas-desus itu menyebar cepat. Dalam hitungan jam, seluruh vila mulai heboh.
“Boss kita berubah!”
“Dia sekarang peduli sama kesehatan anak buah!”
“Tadi pagi dia hampir bantu nenek-nenek, loh!”
Bima menepuk kening. Ya Tuhan… malah jadi gosip aneh.
Namun ternyata gosip itu memberi dampak positif. Siang harinya, beberapa orang warga sekitar vila mulai berani mendekat. Biasanya mereka menjauh karena takut, tapi kini mereka penasaran dengan “Bos Dante yang berubah.”
Seorang ibu muda menghampiri pagar, wajahnya cemas. “Tuan Dante… anak saya sakit. Tidak ada biaya ke dokter. Apa Anda bisa… membantu?”
Bima langsung berdiri. Yes! Kesempatan kedua!
Ia memanggil Alex “Bawa anak buah, antar ibu ini ke klinik. Bayar semua biayanya. Jangan nakut-nakutin. Ngerti?!”
Alex menunduk hormat. “Siap, Boss!”
Ibu itu terperangah, matanya berkaca-kaca. “Te-terima kasih banyak, Tuan Dante! Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda.”
> [Misi Sampingan Berhasil!]
[Hadiah: 20 Poin Kebaikan.]
Bima hampir melompat kegirangan. YES! Akhirnya berhasil juga!
Malam itu, ia duduk di ruang kerjanya, menatap notifikasi sistem.
> [Poin Kebaikan: 30/100.]
[Level Sistem: 1.]
[Fitur Baru Terbuka: Toko Penebusan.]
“Toko Penebusan?” gumam Bima. Ia membuka panel virtual, dan daftar item muncul.
Aura Intimidasi Positif Lv.1 (50 Poin) → orang takut tapi segan, bukan benci.
Karisma Alami Lv.1 (30 Poin) → ucapan terdengar meyakinkan.
Obat Luka Ringan (10 Poin)
Bima menatap daftar itu dengan mata berbinar. Gila, ini beneran kayak game! Oke… gue pilih Karisma Alami. Biar kalau ngomong nggak kayak bos mafia abis ngamuk.
Begitu ia membeli, tubuhnya bergetar. Entah bagaimana, aura yang ia pancarkan terasa lebih ramah meski wajahnya tetap sangar.
Bima tersenyum puas. “Sip. Mulai sekarang… Dante Romano bukan cuma bos mafia. Dia bos mafia baik-baikan.”
Dan dari situlah, kisah konyol sang mafia berhati baru dimulai.
Perubahan sikap Dante Romano mulai terasa di seluruh vila. Bagi anak buahnya, bos besar itu seperti mengalami pencerahan setelah koma. Tak lagi murka, tak lagi mengeluarkan perintah kejam, bahkan sempat menyuruh mereka… cuti.
Rumor pun merebak dengan cepat.
“Boss kita berubah…”
“Katanya dia nyuruh anak buah bawa warga ke dokter, dan bayar semua biayanya!”
“Serius? Biasanya Boss Dante lebih suka nembak kepala orang ketimbang ngasih amal!”
Mereka semua kebingungan. Sebagian lega, sebagian cemas, dan sebagian lagi curiga.
Di ruang kerjanya, Bima alias Dante bersandar di kursi kulit. Ia baru saja membeli kemampuan Karisma Alami Lv.1 dari Toko Penebusan. Hasilnya cukup mengejutkan—setiap kali ia berbicara, anak buah lebih mudah percaya, walau wajah sangar tetap sama.
“Hmm… kalau karisma ini naik level, mungkin gue bisa jadi semacam motivator mafia,” gumamnya sambil terkekeh.
Namun senyum itu cepat memudar ketika suara sistem bergema lagi.
> [Misi Baru Tersedia.]
[Misi Harian: Hentikan aksi pemalakan anak buah Anda.]
[Hadiah: 30 Poin Kebaikan. Waktu: 12 jam.]
Bima mendesah. Ya ampun… ternyata anak buah gue hobi malak warga. Harus dihentikan? Gimana caranya? Gue aja baru sehari jadi bos mafia!
Siang itu, ia memutuskan untuk menyamar. Mengenakan hoodie hitam menutupi sebagian tato di leher, ia naik mobil bersama Marco, anak buah paling setia.
“Bos, Anda yakin mau turun langsung?” tanya Alex heran.
“Tentu saja. Kalau gue nggak turun, anak-anak itu nggak bakal berhenti.”
Di dalam hati, Bima sebenarnya panik. Ya Tuhan, semoga nggak ketahuan kalau gue nggak ngerti cara jadi mafia beneran.
Mereka berhenti di sebuah pasar kecil. Benar saja, tiga anak buah Dante sedang berteriak ke pedagang, memaksa menyerahkan uang setoran. Warga sekitar hanya bisa menunduk, takut.
Bima mendekat dengan langkah berat. Anak buah itu segera menoleh, kaget bukan main.
“B-Boss Dante?!”
Bima menatap mereka dengan tajam. “Apa yang kalian lakukan di sini?”
Mereka saling pandang gugup. “Ka-kami… hanya memastikan setoran bulanan, Boss.”
Bima menghela napas, lalu berkata lantang, “Mulai hari ini, nggak ada lagi yang namanya setoran. Kita bukan tukang palak. Kita keluarga. Kalau kalian lapar, minta ke dapur vila. Kalau butuh uang, minta ke kas resmi. Tapi jangan pernah ambil dari rakyat kecil!”
Pedagang di sekitar terperangah.
Anak buahnya terdiam, lalu salah satu memberanikan diri berkata, “Tapi, Boss… bukankah ini tradisi lama keluarga Romano? Kalau kita hentikan, geng lain bakal menertawakan kita!”
Bima tersenyum tipis, mencoba berwibawa. “Biarin aja. Mereka boleh ketawa hari ini… tapi suatu hari, mereka bakal hormat karena kita beda.”
> [Misi Harian Berhasil.]
[Hadiah: 30 Poin Kebaikan.]
Bima hampir bersorak kegirangan, tapi ia menahannya. Ia hanya melirik Alex. “Catat itu. Siapa pun yang ketahuan malak lagi, gue sendiri yang bakal kasih pelajaran.”
Ketiga anak buah menunduk dalam. “Ba-baik, Boss…”
Malamnya, gosip makin liar.
“Boss Dante melarang pemalakan!”
“Dia bilang kita keluarga, bukan penjahat!”
“Gila… apa ini akhir dunia?”
Sebagian anak buah merasa lega, sebagian lagi mulai resah. Beberapa yang setia tersenyum, tapi yang lain mulai berbisik diam-diam, khawatir bos mereka sudah tidak lagi ‘layak’ memimpin dunia mafia.
Sementara itu, di kota sebelah, seorang pria berjas putih duduk di bar mewah. Ia mendengar kabar perubahan Dante dari bawahannya. Pria itu tersenyum dingin.
“Jadi… si Dante Romano yang kejam itu tiba-tiba berubah jadi malaikat? Hahaha… ini kesempatan emas. Mafia baik hati tidak akan bertahan lama.”
Nama pria itu adalah Salvatore De Rossi, rival lama Dante.
Dan tanpa disadari Bima, perubahan kecilnya baru saja memicu badai besar di dunia bawah tanah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!