Sendang Wangi~ Dok Tahun 1970.
"Bu ... Ningsih sama Mas Rusman berangkat dulu, ya!" Ucap Ningsih setelah keluar dari kamar pengantinya.
Pagi ini, keluarga Bu Nimas-Ibunda Ningsih sedang mengadakan acara kunjungan ke besanya, yang dimana menurut adat desa, memberikan sebuah nasi lengkap beserta lauk pauknya, yang nanti akan diantarkan oleh kedua pasang pengantin.
"Sih ... Ini, Ibu sudah siapkan semuanya! Nanti kalian diantar sama Mas Darman, ya? Nggak baik soalnya kalau kalian berdua jalan sendiri!" jawab Bu Nimas sambil menata nasi tadi diatas bakul besar.
Rusman sudah keluar dari kamar. Ia kini duduk di kurai kayu sederhana, dengan alas lantai tanah. Di Desa itu, bukan hal aneh, karena rumah penduduk masih banyak dari anyaman bambu, maupun kayu. Alasnya pun juga sama saja, masih banyak yang tanah.
"Nggak usah, Bu! Lagian, rumahnya Emak deket kok! Nanti biar Ningsih dan Mas Rusman jalan hati-hati saja!" tolak Ningsih yang tidak ingin merepotkan orang lain.
Sambil menggeser bakul besar tadi, Bu Imas terlihat cemas. Sorot matanya menahan resah, takut terjadi suatu hal yang tidak ia inginkan.
Rusman kini bangkit, "Benar, Bu! Nanti malah repoti Mas Arman saja! Lagian, Mas Arman juga nanti mau ke kebun buar panen padi."
"Ya sudah ... Kalau begitu kalian hati-hati, ya! Ingat pesan ibu ... JANGAN MAMPIR, HANYA UNTUK BERTEDUH! Kalau capek, ditahan ... Biar cepat sampai!" Bu Imas sangat mewanti putri serta menantunya, agar tidak lengah oleh keadaan.
"Kami pamit, Bu!" Ningsih sudah menggendong bakul nasi tadi menggunakan selendang batik milik Ibunya.
Bu Imas menatap miris, masih berdiri diambang pintu, sambil melambaikan tangan lemah. Dalam batinya yang terdalam, doa terpanjatkan untuk keselamatan mereka berdua.
Pukul 7 pagi, dan keadaan masih terasa sunyi, mengingat desa Sendang masih asri dengan banyaknya pepohonan besar. Rumah disana pun masih terlihat jarang.
Pagi itu, tidak ada yang mejanggal dalam perjalanan mereka. Ningsih maupun Rusman berjalan penuh dengan rasa cinta. Jalanan kecil penuh dengan batu kerikil, kini menjadi saksi betapa mesranya kedua pengantin baru itu.
"Permisi, mari Bu!" Sapa Ningsih, begitu ia melewati rumah warga yang didepanya ada wanita menyapu.
Wanita parubaya itu hanya mengangguk lemah saja. Wajahnya datar tanpa ekspresi apapun. Panggil saja ia Bu Wuluh, orang terpandang se Desa Sendang itu. Rumahnya sudah tembok, dan hanya di cat putih tulang saja. Lantainya juga sudah di keramik. Rumah dengan adat joglo besar itu ... Penuh dengan nuansa mistis.
Seorang pria tua keluar. Namanya Pak Seno. Saat ini kedudukannya sebagai kepala Desa disana.
"Itu kan putrinya Bu Imas, yang 3 hari lalu di nikahkan, Bu? Kok jalan sendiri? Apa nggak takut sama mitos Desa sini?" Ucap Pak Seno ketika sudah duduk diteras. Netranya masih memandang lurus, yang dimana kedua pengantin tadi semakin berjalan jauh tertelan pohon-pohon besar.
"Biarkan saja! Anak jaman sekarang, susah dikasih tahu!" Acuh Bu Wuluh, masih menyapu pelataran rumahnya degan sapu lidi itu.
Namun begitu Pak Seno kembali masuk kedalam, Bu Wuluh tiba-tina membuang sapu lidinya tadi. Sorot matanya seakan mengikuti langkah kedua pengantin tadi dari belakang.
"Apa capek, Dek?" tanya Rusman menatap istrinya sekilas.
Ningsih tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya, "Belum, Mas!"
"Iya, kalau capek ditahan, ya! Ingat kata Ibu!" Rusman kembali mengingatkan wejangan mertuanya tadi.
Rumah kedua orang tua Rusman tidak terlalu jauh, karena tetangga desa dari Desa Sendang. Namun karena mereka berdua jalan kaki ... Hal itu membuat keringat mengalir di pelipis Ningsih.
Pada saat itu, kendaraan masih sangat jarang sekali. Di Desa Sendang, hanya ada 3 orang yang memiliki kendaraan. Itu pun, tidak mewah. Dan hanya orang berada yang memiliki motor butut itu.
Karena terdapat sebuah truk yang sedang memuat beberapa pohon tebu, dan posisinya berada di tengah jalan, mau tidak mau Ningsih mengajak Rusman melewati jalanan di ujung Desa. Meski terkenal angker, namun Ningsih yakini jika pagi pasti banyak orang yang berlalu lalang pergi ke sawah.
Entah mengapa, disaat Ningsih baru menginjakan kakinya di awal jalan itu, seolah banyak pasang kasat mata yang sedang menyambutnya. Angin tiba-tiba berhembus lirih, hingga membuat anak rambutnya menyibak.
Seharusnya, hal yang ia rasakan adalah dingin. Namun tidak dengan Ningsih. Pikirnya, mungkin efek berjalan cukup jauh jadi banyak mengeluarkan keringat. Nafas Ningsih menajadi tak beratur, hingga terpaksa membuatnya berhenti.
"Mas ... Aku capek! Kita berteduh disana, Yuk!" Tunjuk Ningsih pada pohon besar yang cukup rindang itu.
Rusman sampai ikutan mengelap keringat istrinya Itu. Sejujurnya ia tidak setuju. Namun karena melihat wajah Ningsih teramat lelah, jadi Rusman menyetujui.
Seakan ada yang menghampirkan kedua pengantin tadi, hingga Ningsih dan Rusman berjalan kearah pohon besar tadi.
Baru saja mereka berdua menginjakan tanah Keramat itu, tiba-tiba ... Langit yang semula cerah, kini mendadak gelap dengan sapuan angin kencang. Kilap dalam langit juga saling memancar, bersahutan tanpa henti.
DUAR!
Satu kilatan besar itu memancar, hingga percikan kecil itu tiba ditanah, pas dibawah kedua kaki sepasang pengantin tadi.
Ningsih sudah cemas. Wajahnya ketakutan, dan saling tatap dengan suaminya. Hingga ... Kilatan kedua itu, mereka berdua tiba-tiba berteriak.
Aww ....!!!!
Jeritan miris itu, menjadi akhir dari segalanya.
Dan setelah beberapa menit kemudian, langit kembali cerah. Namun tidak dengan dua pohon jati yang tiba-tiba muncul itu. Keduanya berdiri tegap, menyangga beberapan ranting, dan beberapa bunga kering diatasnya, bagaikan mahkota tusuk pengantin.
Dan disinilah tempat JATI KERAMAT .
.................
Sendang Wangi~Tahun 1990.
Pagi itu, suasana desa Sendang Wangi sedang cerah-cerahnya. Mengingat tadi malam desa itu habis di guyur hujan, jadi udaranya terasa sejuk.
Sama seperti aktivitas biasanya, dibalik rumah petak dengan dinding anyaman bambu itu, keluarga kecil Pak Joko sedang melakukan sarapan bersama.
Di sana ada Gendhis, putri sulung Pak Joko yang sedang membantu Ibunya membawa sebakul nasi kedepan. Sementara Aini, bungsu dari Pak Joko itu baru terbangun, dan langsung duduk disamping Ayahnya. Usianya selisih 10 tahun dari usia sang Kakak-Gendhis.
Keluarga kecil itu sarapan dengan tenang, meskipun hanya di temani rebusan daun ubi dan cocolan sambal bawang saja.
"Bu ... Nanti Bapak di suruh buat nebang pohon jati sama Pak lurah!" Seru Pak Joko setelah selesai sarapan.
"Nebang di mana memangnya, Pak?" tanya Bu Siti sambil membereskan sisa makanan yang tercecer diatas tikar.
Gendhis tampak menyimak obrolan kedua orang tuanya itu.
"Di ujung desa, Bu! Nanti juga ada Arman dan Mukti yang ikut." Timpal kembali Pak Joko.
Bu Siti agak cemas. "Di ujung desa? Bukanya itu tempat Jati Keramat, ya Pak? Kalau bisa nggak usah ikut deh Pak! Ibu khawatir, kalau nanti terjadi apa-apa."
"Emangnya, di ujung desa ada apa sih, Bu? Padahal 'kan, Gendhis juga sering melewati tempat Keramat itu." Ucap Gendhis mencoba menyangkal semua ucapan Ibunya. "Oh ya, Pak! Memang sih ... Disana ada dua pohon jati besar banget! Mungkin kalau di jual, nilai harganya tinggi!"
Hust!!!
Bu Siti memotong ucapan putrinya. "Kamu jangan ngawur, Ndis! Itu Jati Keramat! Menurut mitos warga sini, dua jati itu bukan sembarang jati. Ada yang menjaganya!"
*
*
*
Hai kak jumpa lagi dicerita baru septi. Yang suka cerita horor bisa dibaca ya kak❤
Jam tayangnya setiap pukul 09.00 dan 15.00🦋❤ terimakasih🙏❤
Pak Joko mendesah dalam. "Sudahlah, Bu! Nggak usah percaya yang namanya mitos-mitos seperti itu. Itu tahayul!" Sanggahnya.
"Loh, Bapak ini dibilangin nggak percaya! Bapak nggak inget ... Dulu anaknya Budhe Imas hilang saat melewati tempat keramat itu?!" Sahut kembali Bu Siti.
"Sudah 10 tahun berlalu itu, Bu! Ya ... Mungkin mereka sejatinya pergi dari desa, bukanya menghilang! Sudah, ah ... Bapak mau siap-siap, nanti keburu siang. Panas!" Pak Joko tetap tidak mengidahkan ucapan istrinya. Ia kini bangkit, dan langsung berjalan ke belakang untuk mengganti pakaiannya.
Sementara Bu Siti dia hanya mampu menghela nafas berat, sambil menggelengkan kepala lemah.
"Bapakmu itu susah kalau di bilangi, Ndis!" lirihnya.
Gendhis mengusap bahu Ibunya, sambil berkata, "Sudah, Bu ... Kita doakan saja, semoga Bapak selalu di lindungi Gusti Allah, dimana pun berada!"
"Nanti, Aini mau lihat ah, sekalian main sama teman-teman di lapangan!" Celetuk putri bungsu Bu Siti.
"Kamu ini, kerjanya main mulu! Ayo, mumpung libur lebih baik bantuin Ibu dikebun buat cabuti rumput-rumput liar!" Sahut Bu Siti menatap jengah.
Gendhis Banuwati, yang saat ini bekerja sebagai penjaga Toko Mas milik lurahnya sendiri. Toko itu tidak jauh dari tempatnya, yakni masih berada di wilayah kecamatanya sendiri.
Belum memiliki kendaraan yang mewah, Gendhis selalu berangkat menggunakan sepedanya sewaktu sekolah.
Pagi ini, Gendhis berpamitan dengan Ibunya, dan segera pergi bekerja.
Di desanya, Gandhis sering di juluki kembang desa karena paras ayunya. Gadis berusia 20 tahun itu sering di dekati banyak pria desanya, namun tidak ada satu pun yang Gendhis terima. Dan tanpa ada yang tahu, diam-diam Gendhis menjalin hubugan dengan bungsu Pak Lurah, yang bernama Nandaka.
Sebelum berangkat ke Toko, Gendhis mampir ke rumah Lurahnya, untuk mengambil kunci Toko. Disana, ia menyandarkan sepedanya di pagar, lalu segera berjalan masuk kedalam.
20 tahun sudah berlalu pun, keadaan Desa Sendang tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama, paling hanya ada beberapa lahan kosong yang sudah menjadi rumah hunian.
Tok!
Tok!
"Permisi, Pak Woyo ...!" Meskipun rumah itu salah satu pintunya terbuka, namun Gendhis masih mengetuknya, tidak ingin lancang masuk sembarangan.
Biasanya, rumah Lurah selalu terlihat cerah. Namun berbeda dengan rumah Pak Woyo Triseno itu. Rumah peninggalan orang tuanya, yakni Lurah Seno dahulu, kini ia tempati dengan anak istrinya, dan tidak ada yang berubah dari segi warna catnya pun. Rumah itu tampak senyap, seolah tidak ada kehidupan di dalamnya.
Seorang wanita tua memakai tongkat kayunya, kini berjalan keluar. Meskipun usianya susah renta, yakni 80 tahun. Eyang Wuluh masih tetap terlihat sehat, dan tak mau merepotkan siapa-siapa. Apapun di rumahnya ia kerjakan sendiri, meskipun sang menantu masih memakai jasa pembantu.
"Masuk, Gendhis!" Seru Eyang Wuluh dengan suara seraknya. Wanita itu berhenti ditengah-tengah rumah, dan menyuruh Gendhis untuk segera masuk.
Meskipun sudah hampir 1 tahun ikut di Toko Mas milik Lurahnya, namun hingga kini Gendhis masih bergidik ngeri jika memasuki kediaman itu.
"Eyang ... Saya mau mengambil kunci Toko. Apa Bu Fani ada di rumah?" Tanya Gendhis dengan hati-hati. Wanita cantik dengan dua kepangan itu, kini agak tertunduk segan. Ia masih belum mampu menatap kedua mata Eyang Wuluh.
"Woyo dan Asih baru keluar kota tadi malam! Kamu ambil saja sendiri, di laci iti," tunjuk Eyang Wuluh pada bifet ukir yang sangat besar.
Gendhis agak menunduk, "Permisi Eyang," Gendhis langsung mengambil kunci tadi, dan segera menutup kembali laci itu. "Kalau begitu Gendhis pamit dulu, Eyang!"
Eyang Wuluh hanya mengangguk. Sejak dulu, disaat masih menjadi istri Lurah, hingga kini ... Sosok Eyang Wuluh sangatlah tertutup dan sikapnya penuh dengan teka teki. Wanita itu selalu berpakaian hitam, entah itu daster, pakaian kebaya, atau busana lainya. Rambut Eyang Wuluh selalu terurai meskipun agak gelombang.
Begitu Gendhis sudah menggayuh sepedanya agak jauh. Tiba-tiba ...
Krieettt!!!
Pintu rumah Eyang Wuluh tertutup dengan sendirinya.
***
Sementara itu, Pak Joko dan dua rekanya sudah berangkat menuju tempat Keramat itu. Sejatinya, tidak ada yang membedakan antara tempat Keramat itu dengan tempat lainya. Semuanya terlihat sama, yang ada hanyalah pohon besar dan dua pasang pohon jati. Tempatnya berada diujung desa, dekat Sendang Wangi.
Mereka berdua hanya membawa peralatan menebang seadanya. Alat gergaji panjang, dan beberapa golok besar saja.
"Istriku sejak malam sudah melarang aku pergi, Pak joko!" Seru Mukti sambil berjalan menapaki jalanan batu itu.
Sambil memikul gergaji itu, Pak Joko menjawab, "Sama, Muk! Mbakmu juga melarangku! Katanya jati yang akan kita tebang itu jati keramat. Jaman sekarang masih percaya mitos! Ya nggak bekerja kita, ya nggak?!"
"Benar, Mas! Paceklik kaya gini, mau apa lagi yang dapat kita andalkan?!" Sahut Arman sang adik.
Sepanjang perjalanan, semuanya masih tenang dan aman. Pagi itu sangat cerah. Waktu sudah menunjukan pukul 8, tapi sinar matahari sudah sangar terik.
Tak sedikit pula para petani membawa cangkul ke sawah, dan ada yang menggiring ternaknya ke sebuah kebun. Penduduk disana sangat ramah. Setiap bertemu satu sama lain, mereka bertegur sapa.
Akan tetapi, baru saja ketiga orang itu menginjakan tanah Keramat itu. Awan yang semula cerah, kini mendadak mendung gelap sekali. Sapuan angin lirih menemani setiap langkah para pria dewasa itu, hingga mereka tiba didepan pohon besar tadi.
"Tadi cerah, kok tiba-tiba banget mendung ya," ucap Mukti mengedarkan pandangan ke seluruh langit.
"Iya, Muk! Biasanya banyak orang kerja di sawah itu. Tadi hari ini kok tumben pada libur," timpal Arman menatap hamparan sawah yang ditanami ubi jalar.
Perasaan Pak Joko sempat tidak enak. Namun ia enyahkan, dan memilih meletakan barang-barangnya terlebih dahulu.
Wushh!!!
Angin kencang seolah baru saja lewat, di sertai suara rintihan tangis seseorang.
Heee ... Hiks ... Hiks?!!
Reflek, Pak Joko menoleh ke belakang. Suara yang semula jauh, kini seakan nyaring dalam pendengarannya. Suara rintihan itu, sangat mengiris hati bagi siapapun yang mendengarnya.
Rintihan miris itu seolah nyata. Dari balik rintihan itu, seakan ada sebuah luka terbalut penyeselan, yang hingga kini tidak dapat tersalurkan dengan semestinya.
Tubuh Pak Joko meremang, saat rintihan itu berubah menjadi suara tawa yang melengking.
Hihihi ... Ckickicki ...
Hingga ...
Sret!!!
Tubuh Pak joko di tarik oleh dua rekanya, "Pak, mau kemana?" tegur Mukti yang sudah panik.
Pak Joko tersadar. Ia mencoba menggelengkan kepalanya, mengusir halusinasi dalam pikiranya saat ini. Suara-suara aneh itu seketika hilang.
"Nggak, Muk! Tadi, saya hanya mau mencari daun buat pegangan saat menebang nanti!" Sanggah Pak Joko. "Ya sudah, mendung sudah mulai hilang. Kita mulai saja gergajinya!" lanjutnya sambil bersiap-siap.
'Perasaan, tadi ada orang yang nangis dan ketawa? Tapi kok hilang, ya?' tanya batin Pak Joko yang kini belum terpecahkan.
Suasana kembali normal.
Pak Joko dan para rekanya segera menjalankan tugas dari Lurahnya itu. Mukti sudah ada disebelah barat. Sementara Pak Joko berada disebelah utara. Dan untuk Arman, ia memegang tali tambang, gunanya untuk menarik pohon jati nantinya.
Baru saja gergaji itu di tancapkan kearah batang pohon jati itu. Tiba-tiba ....
Awhhh!!!!
Suara rintihan kesakitan dari seseorang, namun suara itu hanya sekali, dan hilang terbawa angin. Dan untuk kali ini, ketiga pria dewasa itu mendengarnya.
Ketiganya saling tatap. Seolah kini jantung ketiga pria itu berdetak kuat, hingga membuat suasana mencekam seketika.
Namun lagi-lagi Pak Joko mengenyahkan semua itu. "Sudah, ayo kita lanjutkan biar cepat selesai!"
Grek ... Grek ... !!!
Baru dua dorongan gergaji manual itu bergerak. Namun lagi-lagi kejadian di luar nalar terjadi.
Darah segar tiba-tiba mengalir dari dalam batang jati itu. Tak mengidahkan, Pak Joko dan Mukti terus saja menggergaji pohon jati itu.
Pikir mereka, memang pohon jati mengeluarkan getah bewarna merah. Dan hal itu tidak terlalu mereka fikirkan. Namun yang terjadi, getah bewarna merah itu menimbulkan bau yang sangat anyir.
Semakin dalam mereka menggergaji, darah merah kental itu mengalir, bak aliran anak sungai yang tiada henti. Di penghujung, Arman menarik tali tambang tadi, dengan aba-aba Mukti.
"1 ... 2 ... Iyak, Tarik!" Hingga ...
BRAK!!!!
Tumbang lah satu pohon satu itu.
"Pak, kok baunya amis, ya? Kaya bau darah?" celetuk Mukti sambil menoel sedikit darah segar itu.
Arman mendekat. Ia juga penasaran. Dan setelah mencium aromanya, itu benar-benar darah, bukan getah pohon.
"Sudah, ayo selesaikan satunya, biar cepat dikirim sama Indro!" Lagi-lagi Pak Joko enggan bersuara tentang darah segar itu.
Untuk menutupi darah itu, Pak Joko segera mengambil pasir miliknya di pinggir sungai, untuk merumpuki sisa aliran darah segar tadi.
"Sudah, gini kan nggak ke cium lagi baunya. Yok, kita kerja lagi!" Pak Joko kembali mengambil gergaji yang masih berlumuran darah itu, untuk ia gunakan menebang jati satunya.
Dan untuk penebangan kali ini, tidak sejanggal penebangan jati satu tadi. Namun, hanya saja darah yang keluar sangatlah banyak, dibanding pohon jati tadi. Bahkan, darah itu memuncrat ke tubuh Pak Joko dan Mukti, begitu juga Arman. Sempat menghentikan sejenak untuk membersihkan wajahnya dari sisa-sisa darah tadi, kini mereka bertiga kembali melanjutkan aktivitasnya.
Bebrapa jam kemudian, dan hampir pukul 12 siang.
Semua kayu sudah terpotong, dan di tata didalam bak truk pengiriman. Mereka bertiga saling gotong royong membersihkan dahan-dahan, dan ranting yang berhamburan.
"Pak Joko, potongan kayunya kok bau anyir, ya? Apa cuma perasaan saya saja?" Ujar Pak Dul sopir truk.
"Itu cuma perasaan Anda saja, Pak Dul! Sudah, cepat bawa kayu ini. Kami mau istirahat dulu. Kalau Anda mau ikut rokokan, ayok!" Jawab kembali Pak Joko.
Pak Dul hanya menatap kayu yang sudah tertata itu sekilas, lalu mengikuti Pak Joko untuk istirahat dulu dibawah pohon besar tadi.
***
Gendhis seharian tadi melayani customer banyak sekali. Ia yang jaga dengan dua orang teman lainnya, kini harus beristirahat secara bergantian, karena keadaan toko memang tidak seperti biasanya.
Toko Emas Pak Lurah berada dipusat kecamatan, tepatnya disebelah pasar tradisional Kecamatan Tlogo Asih.
Namanya Fitri dan Ningrum. Keduanya sudah bekerja hampir 2 tahun di Toko Emas itu. Fitri dan Ningrum bukan orang Desa Sendang, mereka tinggal di sebuah desa yang tak jauh dari kecamatan Tlogo Asih.
"Mbak Ning, saya istirahat dulu ya! Mau sholat dhuhur sekalian makan!" Ucap Gendhis yang tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
"Iya, Ndis! Sholat lah dulu! Nanti gantian sama Fitri!" Meskipun beragama katolik, tapi Ningrum selalu mengingatkan kedua temanya yang beragama islam untuk mengingat Tuhanya masing-masing. "Oh ya, Ndis! Ingat ya ... Jangan buka kamar yang di tertutup! Kamu ingat 'kan pesan Pak Lurah?!" lanjut Ningrum, sambil meletakan sebuah cincin di etalase.
"Iya, Mbak! Ingat kok. Ya sudah, saya ke belakang dulu!" Gendhis kini segera berjalan ke belakang Toko, untuk menuju kamar mandi.
Toko yang Pak Lurah sewa itu bukan semacam ruko. Melainkan bangunan besar, yang memang di bangun khusus untuk berjualan toko sembako juga disebelah Toko Mas tadi. Jadi, bangunan itu sangat besar dan luas. Di belakang, terdapat satu kamar mandi satu gudang, dan satu kamar yang selalu terkunci. Dan untuk di Toko sembako sebelahnya, juga terdapat bagian-bagian terlarang yang sudah Pak Lurah terapkan juga.
"Ini kok gelap banget, apa lampunya mati ya?" Gendhis berjalan melewati lorong yang sangat gelap. Meskipun tidak panjang, namun hal itu terasa sunyi sekali. Di kedua sisi lorong itu terdapat gudang, dan kamar yang selalu terkunci.
Pak Lurah bilang, itu kamar untuk menyimpan Emas batangan, dan beberapa uang. Para karyawan pun percaya begitu saja, karena memang mereka tengah bekerja dengan barang mewah (Emas).
Kriettt ..
Gendhis tersentak, ketika pintu di gudang terbuka dengan sendirinya.
Deg!!!
Deg!!!
Jantung Gendhis spontan berdetak kuat, dan refleknya ia langsung lari kembali kedepan.
Ia urungkan niatnya untuk ke kamar mandi, karena pintu tadi tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Padahal, tidak ada angin, ataupun kucing yang lewat. Dan, jikapun itu tertera angin, tidak mungkin pintu yang sudah tertutup sempurna akan dapat terbuka dengan sendirinya.
Wajah Gendhis kini memucat. Ia berdiri di ambang pintu masuk, dan dengan nafas yang sulit terkendali.
Fitri yang baru akan menimbang Emas, kini menatap temanya dengan mengernyit. "Ndis, kamu kenapa?"
Gendhis masih diam. Pikiranya seolah melekat dengan kejadian janggal tadi. Ia mencari hal sewajarnya, namun kejadian tadi menunjukan hal sebaliknya.
Fitri semakin di buat bingung. Ia lalu mengambil sebotol air minum, dan langsung di berikan pada temanya itu. "Di minum dulu!" Perintahnya.
Gendhis masih diam. Ia menerima botol minum tadi dengan tangan bergetar. Setelah menenggak setengahnya, Gendhis mencoba membuang nafas perlahan, lalu menatap Fitri dengan lamat. Nafas gadis itu terengah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!