Malam itu langit di kampung Pulosari diterangi lampu seadanya. Namun yang paling terang justru berasal dari panggung dangdut sederhana di lapangan desa. Spanduk besar terpampang bertuliskan,
“Gebyar Dangdut Bersama Ayu Resma Yeni, Sang Primadona Hati Rakyat”
Di atas panggung, Ayu Resma Yeni, biduan muda penuh pesona, sedang tampil dengan gaun biru berpayet. Suaranya merdu, goyangannya penuh percaya diri. Penonton berdesakan, sebagian ikut berjoget, sebagian lagi bersorak sambil mengacungkan uang saweran.
"Wah anak emak emang juara, gak nyangka deh Si Ayu bakalan jadi artis dangdut!" celetuk Harsiwi begitu bangga
"Siapa dulu dong manajernya, emak tuh harus bersyukur karena Hera lah yang membuat kak Ayu jadi terkenal seperti sekarang," sahut Hera
"Iya Neng, makasih ya, lo memang anak kebanggaan emak, selain pinter, lo juga sudah mengangkat derajat keluarga kita, dengan kerja di kantor DPR!"
Hera pun tersenyum bangga saat mendengar pujian dari sang ibu.
Sementara itu di antara kerumunan, seorang pria tampak kikuk. Ia berbeda dengan penonton lain yang heboh. Herman Adi Nugroho, pria tampan berusia awal tiga puluhan berpakaian rapi dengan kemeja putih dan sepatu mengkilap. Dari wajahnya jelas ia bukan orang kampung sini.
“Serius, Nin, aku diseret ke tempat beginian?” Adi menghela napas panjang, suaranya agak kesal.
Di sampingnya, seorang perempuan cantik dengan rambut panjang bergelombang justru tampak bersemangat. Dialah Hanin, sahabat dekat Ayu sekaligus teman kuliah Adi dulu.
“Ya ampun, Di. Jangan cemberut gitu. Kamu tuh kurang hiburan. Lagian aku tahu banget kamu lagi cari istri, kan? Orang tuamu sampai rempong nyuruh kamu cepet nikah. Nih, aku punya kandidat bagus banget.”
Adi mengangkat alis. “Kandidat? Kamu kira ini audisi?”
Hanin cekikikan. “Ya semacam itulah. Namanya Ayu. Biduan, tapi bukan sembarang biduan. Cantik, suaranya merdu, hatinya tulus. Aku jamin kamu bakal suka.”
Adi hanya menghela napas. Seumur hidupnya, ia tidak pernah menyangka akan mencari calon istri di panggung dangdut. Tapi karena desakan orang tuanya dan rayuan Hanin yang tidak ada habisnya, ia akhirnya ikut juga.
“Pokoknya lihat aja dulu,” desak Hanin sambil menepuk bahu Adi. “Kalau nggak suka, yaudah. Tapi kalau suka, jangan nyesel nggak aku kenalin.”
Dan tepat ketika musik berganti ke lagu romantis dangdut, sorot lampu panggung jatuh tepat ke arah Ayu. Senyumnya mengembang, matanya berbinar. Sesaat, waktu seakan berhenti bagi Adi.
Ia tertegun. Entah kenapa, jantungnya berdetak lebih cepat.
Sementara itu, Ayu yang sedang bernyanyi tiba-tiba salah nada.
“Cinta… oh cinta… kadang datang tanpa ku minta…” suaranya mendadak meleset, membuat penonton ngakak.
“Wee fals biduane!” teriak seorang pemuda mabuk.
Ayu buru-buru merapikan nada suaranya sambil nyengir malu. Pipinya memerah. Biasanya ia bisa menatap penonton tanpa grogi, tapi kali ini lain. Tatapan pria kemeja putih itu membuatnya kehilangan konsentrasi.
“Duh, kenapa aku jadi salah nada, sih? Cuma gara-gara cowok itu?” gumam Ayu dalam hati.
Adi di bawah panggung justru tersenyum. Ia semakin terpikat oleh kepolosan Ayu.
Selesai tampil, Ayu turun panggung dengan napas terengah. Hera Arum, adiknya sekaligus manajer pribadinya, langsung menyodorkan botol minum.
“Minum dulu, Mbak. Tadi sempet fals tuh, kenapa?” tanya Hera cekikikan.
Ayu manyun. “Ih jangan dibahas, Ra! Aku tadi grogi.”
“Grogi? Sejak kapan Ayu Resma Yeni grogi?”
Ayu hendak menjawab, tapi pandangannya terpaku pada pria kemeja putih tadi. Ternyata, ia sedang berjalan ke belakang panggung ditemani Hanin.
Ayu refleks menunduk, grogi bukan main.
Adi menghentikan langkahnya, ia tampak grogi saat hendak mendekati Ayu.
"Ayo jalan!" bisik Hanin sambil mencubit pinggang Adi
Adi mengernyit menahan sakit.
"Ish, sabar napa!" sahutnya
Ia pun berjalan perlahan mendekati Ayu yang sedang duduk di ruang ganti.
“Permisi,” suara pria itu dalam dan tenang. “Boleh kenalan? Saya Herman Adi Nugroho.”
Hera refleks maju, menghalangi. “Mas, kalau mau foto atau tanda tangan, antre ya. Mbakku capek habis nyanyi.”
Hanin langsung menukas, “Ra, Jangan terlalu formil gitu napa. Dia temanku, namanya Adi. Dia seorang Pengusaha, bukan fans biasa. Aku yang bawa dia ke sini, khusus buat kenalan sama Mbak Ayu.”
Adi hanya tersenyum. Hera menatap intens pria di depannya itu. Wajahnya tak asing, ia seperti mengenalnya.
"Adi Herman Nugroho, pengusaha Nikel yang lagi naik daun itu??"
"That's right baby!" seru Hanin
"Masya Allah, maaf ya mas saya gak tahu," Hera langsung merapikan penampilannya dan menjabat tangan Adi
"Maaf ya Mas Adi saya gak tahu, perkenalkan saya Hera manajernya mbak Ayu sekaligus Staff ahli komisi I DPR," ucap Hera memperkenalkan diri
"Wow, gak di sangka di tempat ini ada pejabat DPR rupanya," sahut Adi
"Ah Mas, jangan memuji!" Hera memerah
Gadis itu segera menarik Ayu dan membisikkan sesuatu padanya.
Ayu melirik kearah Adi.
"Siapa dia?" bisiknya
"Mas Adi Herman Nugroho, pengusaha yang lagi viral itu loh mbak!"
Ayu salah paham. Ia mengira pria ini salah satu panitia hajatan.
“Oh, Mas Herman ya? Jualan jamu di depan pasar itu, kan? Wah sukses, bisa sampai ke sini,” jawabnya polos.
Hera melotot. “Mbak! Astaga, itu bukan tukang jamu. Itu pengusaha Nikel yang lagi viral, tahu nggak!”
Adi malah tertawa terbahak. “Tidak apa-apa. Justru saya senang dianggap orang biasa.”
Ayu salah tingkah, wajahnya memerah. Ya Allah, malunya aku…
Namun justru di situlah Adi semakin terpesona dengan kepolosan Ayu.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di kursi plastik belakang panggung. Hanin tersenyum puas, merasa berhasil mempertemukan keduanya.
“Kalau boleh tahu, Mbak Ayu tinggal di mana?” tanya Adi sopan.
“Di rumah, Mas,” jawab Ayu polos.
Hera langsung menepuk jidat. “Ya jelaslah di rumah. Maksudnya alamatnya di mana, Mbak.”
Ayu kikik sendiri. “Oh iya, maaf. Di Jalan Melati, deket pasar.”
Adi mengangguk. “Saya ingin sekali bisa bertamu, kalau tidak keberatan.”
Ayu menunduk, pipinya memerah. “Boleh… asal jangan bawa jamu,” jawabnya asal ceplos.
Mereka tertawa bersama.
Sejak malam itu, kehidupan Ayu berubah. Adi benar-benar datang bertamu. Ia membawa bingkisan untuk ibunda Ayu, Harsiwi, dan juga Hera. Ia juga sering menonton Ayu manggung.
Kehadiran Adi membuat Ayu sering salah tingkah. Pernah ia jatuh tersandung kabel karena terlalu lama menatap Adi. Penonton malah mengira itu bagian dari aksi panggung.
Namun di balik semua itu, Ayu merasakan sesuatu yang berbeda. Ada getaran aneh setiap kali melihat pria itu.
Beberapa bulan setelah pertemuan pertama, Adi datang ke rumah keluarga Ayu. Ia membawa setangkai mawar merah dan sebuah cincin sederhana.
“Ayu Resma Yeni, sejak pertama kali melihatmu, saya tahu kamu bukan hanya penyanyi berbakat. Kamu perempuan yang tulus, apa adanya, dan itu yang membuat saya jatuh hati. Maukah kamu menikah denganku?”
Ayu terdiam. Ibunya, Harsiwi, menutup mulut menahan tangis. Hera melotot kaget, sementara Hanin tersenyum puas, seolah berkata tuh kan, cocok!
Ayu menunduk, wajahnya memerah. “Mas Adi… aku ini cuma biduan dangdut kampung. Apa pantas… jadi istrimu?”
Adi menggenggam tangannya dengan lembut. “Bukan hanya pantas. Kamu adalah pilihan hatiku.”
Ayu tersenyum haru. “Aku mau…”
Sorak sorai keluarga memenuhi ruangan. Hanin bertepuk tangan paling keras.
Malam itu, semua orang percaya, Ayu adalah biduan paling beruntung.
"What, menikah??" Hera melotot saat mendengar keputusan sang kakak yang langsung menerima lamaran adik untuk menjadi istrinya.
"Yang benar aja kak, emangnya kakak nggak mau cek dulu bibit bebet bobotnya Mas Adi. Lagian kalian kan baru kenal belum lama, masa sih mau langsung nikah. Bisakan pacaran dulu atau penjajakan dulu jangan langsung nikah. Lagian sayang kan karier kakak lagi bagus-bagusnya kalau kakak langsung menikah secara otomatis karir kakak bakal redup, kan sayang!" Hera terus memberikan pengertian kepada Ayu, namun sayangnya Ayu juga sudah terpesona dengan ketampanan Adi sehingga tak menghiraukan ucapan sang adik.
"Kalau aku sih prinsipnya lebih cepat lebih baik Ra, apalagi kalau udah saling cinta. Abis gimana ya masa sih gue tolak lamaran cowok ganteng dan tajir kaya Adi. Kalau masalah karier mah itu urusan nanti, yang penting hati dulu Ra. Lagian kapan lagi ada cowok ganteng yang mau sama kaka lo ini, paling mentok juragan kambing kan. Anggap aja Mas Adi adalah jackpot, dan aku tidak bisa menolaknya," sahut Ayu
Sepertinya cinta ayu memang sudah mentok, sehingga ia tak mendengarkan adiknya kali ini.
Ia bahkan merencanakan pernikahannya dengan Adi di waktu dekat.
Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba dua bulan dari lamaran, Adi mantap menggelar resepsi pernikahannya di sebuah hotel mewah.
Resepsi pernikahan Ayu dan Adi berlangsung megah namun tetap hangat. Aula besar yang disewa dipenuhi bunga mawar putih dan ungu, sesuai dengan keinginan Ayu. Hanin, seperti biasa, sibuk mondar-mandir ke sana ke mari, lebih mirip EO daripada sekadar sahabat. Sementara Hera, sang manajer sekaligus adik Ayu, duduk dengan wajah antara bahagia sekaligus kesal, karena semua orang lebih memperhatikan kecantikan Ayu ketimbang dirinya.
“Eh, jangan taruh kue di situ! Nanti nutupin background foto pengantin!” teriak Hanin ke salah satu kru katering, padahal itu bukan urusannya.
“Lo tuh kayak resepsi punya lo aja, Nin,” sindir Hera.
Hanin cengar-cengir. “Ya, kan kalo Ayu yang jadi pengantin, gue berasa ikut bahagia. Lagian siapa tahu habis ini giliran gue.”
“Giliran ditinggalin, mungkin,” balas Hera ketus.
Para tamu undangan tertawa geli melihat kelakuan mereka berdua yang seperti Tom and Jerry. Bahkan Adi yang sedang duduk di pelaminan sampai geleng-geleng kepala.
“Ayu, kita tuh kayak nggak butuh MC, Hanin sama Hera aja udah cukup bikin panggung rame,” bisiknya.
Ayu menahan tawa, lalu menjawab pelan, “Iya, tapi kalau mereka nggak berantem sehari aja kayaknya dunia berasa sepi.”
Momen ijab kabul berlangsung khidmat. Suara Adi yang lantang saat mengucapkan akad membuat Ayu menunduk, air matanya menetes. Tangannya bergetar saat menerima cincin sederhana berkilau yang disematkan Adi. Semua saksi dan keluarga mengucap syukur.
“SAH!” teriak para saksi kompak.
Hanin spontan mengangkat tangan. “Yes, jackpot! Akhirnya sah juga. Gue udah deg-degan kalau Adi salah sebut nama jadi Ayu Ting-Ting.”
Semua orang pecah tertawa. Bahkan penghulu sampai tersenyum tipis.
Ayu menepuk pelan lengan Hanin, “Astaghfirullah, Nin! Bisa aja.”
Adi cuma nyengir malu, “Untung nggak, kalau iya bisa trending seminggu penuh.”
Resepsi pun bergulir dengan banyak candaan. Salah satu momen paling kocak adalah ketika fotografer meminta Adi menggendong Ayu untuk foto romantis. Adi yang tidak biasa pamer kemesraan jadi salah tingkah.
“Pak, serius nih? Harus digendong?” tanya Adi sambil garuk kepala.
“Lah, ya iya. Biar fotonya romantis!” balas fotografer.
Ayu tersipu malu.
“Ya udah, coba deh.”
Adi akhirnya mencoba menggendong, tapi karena gugup, ia hampir kehilangan keseimbangan. Ayu menjerit kecil.
“Woy, jangan sampe jatoh di hari pertama nikah! Bisa viral lagi,” celetuk Hanin sambil ngakak.
“Kalau jatuh, judul beritanya, Pengantin Baru Terpeleset, Rumah Tangga Belum Sebulan Udah Goyang!” tambah Hera sarkas.
Beruntung Adi sigap menyeimbangkan diri. Fotografer berhasil menangkap ekspresi kaget mereka yang justru terlihat natural dan manis. Semua hadirin bertepuk tangan riuh.
Beberapa minggu setelah pernikahan, Ayu dan Adi menikmati bulan madu sederhana ke Bali. Adi, yang biasanya kaku soal romansa, justru bikin Ayu geli sepanjang perjalanan.
“Sayang, kamu tahu nggak kenapa aku ajak kamu ke Bali?” tanya Adi dengan wajah serius.
Ayu menggeleng sambil penasaran.
“Soalnya kalau aku ajak kamu ke Kalimantan, nanti yang nemenin malah orang utan,” jawab Adi polos.
Ayu langsung ngakak sampai perutnya sakit. “Ya Allah, Mas! Garing banget tapi kok lucu.”
Adi nyengir. “Yang penting kamu ketawa.”
Di pantai Jimbaran, mereka makan malam romantis. Adi, yang jarang makan seafood, sempat salah ambil garpu.
Bukannya udang, ia malah nyapit lilin dekorasi.
“Mas, itu bukan udang, itu lilin!” Ayu hampir tersedak menahan tawa.
Adi buru-buru meletakkan lilin itu. “Pantes keras banget, ya Allah malu…”
Mereka menghabiskan malam penuh canda dan kehangatan. Ayu merasa yakin bahwa pilihannya tidak salah. Meski Adi bukan pria paling romantis di dunia, ia bisa membuatnya merasa aman, dicintai, dan… bahagia.
Beberapa bulan setelah pernikahan, Ayu mulai merasakan perubahan dalam tubuhnya. Ia sering mual pagi-pagi, gampang lelah, dan tiba-tiba ingin makan mangga muda padahal jam dua dini hari.
Suatu malam, Adi pulang kantor dan menemukan Ayu sedang duduk di ruang tamu sambil memegang test pack. Wajah Ayu tegang, tapi matanya berbinar.
“Mas…” suara Ayu bergetar.
Adi langsung panik. “Kenapa? Kamu sakit? Ada apa? Aku panggil dokter sekarang juga, ya?”
Ayu menggeleng cepat. Lalu, ia menyodorkan test pack itu. Dua garis merah jelas terlihat.
Adi terdiam beberapa detik. Lalu senyumnya melebar, wajahnya berbinar seperti anak kecil dapat hadiah.
“Serius? Kita bakal punya baby?”
Ayu mengangguk pelan, air matanya menetes.
“Iya, Mas. Aku hamil…”
Adi langsung melompat kegirangan seperti juara lotre. “Alhamdulillah! Ya Allah, makasih… makasih…” Ia memeluk Ayu erat.
Namun, momen haru itu kembali berubah jadi kocak karena Adi tiba-tiba berteriak, “Nin! Hera! Sini, cepat! Ayu hamil!”
Hanin yang lagi main ke rumah langsung panik. “Hah? Gimana? Kalian udah nikah baru sebentar, kok cepet banget sih? Mesin turbo apa gimana?”
Hera langsung manyun. “Ya elah, Nin, jangan norak. Namanya juga rezeki. Lagian kalau kamu yang hamil duluan baru tuh heboh satu kampung.”
Ayu tertawa sambil mengusap perutnya yang masih rata. “Mas, tolong jangan heboh dulu, ya. Ini baru awal.”
Adi mengangguk, tapi tetap tak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. “Mulai sekarang, kamu jangan capek-capek lagi. Aku yang nyapu, aku yang masak, aku yang beliin cilok tengah malam kalau kamu ngidam!”
Ayu terkekeh. “Siap, Pak Suami siaga. Tapi jangan lupa, aku masih punya Hera yang siap jadi satpam kalau kamu ngelunjak.”
Hera menepuk bahu Adi. “Betul. Jangan macem-macem sama kakak gue.”
Malam itu, Ayu tidur dengan perasaan bahagia. Tangannya menggenggam tangan Adi yang tak lepas dari sisinya. Ia merasa kehidupannya kini benar-benar lengkap: suami penyayang, sahabat kocak yang selalu ada, dan sebentar lagi… seorang buah hati.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada tatapan lain yang menyimpan sesuatu. Hera, yang berdiri di depan kamar, menatap pintu dengan sorot mata penuh misteri. Bibirnya menyunggingkan senyum samar, entah bahagia, entah menyimpan rahasia.
Beberapa bulan setelah pernikahan mereka yang sederhana namun begitu meriah, rumah tangga Ayu dan Adi seolah menjadi bahan perbincangan di mana-mana. Bukan karena ada gosip buruk, tapi justru karena romantisme absurd mereka yang bikin iri sekaligus ngakak tetangga kanan-kiri.
Setiap pagi, Adi punya kebiasaan baru: membangunkan Ayu dengan cara… menyanyi dangdut.
“Bangun sayang, mentari pagi telah datang…” suaranya fals, melengking di ujung nada.
Ayu membuka mata dengan wajah kaget, lalu langsung menutup telinga dengan bantal. “Ya Allah, Mas! Itu lagu siapa? Kenapa suaranya kayak belalang patah sayap?”
Adi malah nyengir, penuh percaya diri. “Lagu ciptaanku spesial buat kamu. Kalau kamu nyanyi, orang bayar. Kalau aku nyanyi, tetangga yang bayar biar berhenti.”
Ayu ngakak sampai terbatuk. “Mas, plis, jangan nyanyi lagi. Nanti bayi tetangga keguguran sebelum lahir!”
Meski penuh kelucuan, Ayu juga mulai merasakan hidupnya benar-benar berubah. Dulu ia hanya biduan panggung hajatan, sekarang ia sering tampil di acara televisi. Semua itu berkat Adi yang mendukung penuh, tapi juga tak lepas dari tangan dingin Hera, manajernya.
Hera masih setia mengurus jadwal Ayu, mulai dari tampil di acara hajatan skala kampung sampai panggung televisi. Tapi, di balik wajahnya yang selalu tersenyum manis, ada rasa iri yang mulai ia simpan diam-diam.
Setiap kali melihat Ayu bahagia bersama Adi, hatinya bergetar. Ia tak bisa melupakan bagaimana dulu ia hampir menikah dengan Arvin, tapi batal karena terlalu sibuk mengurus Ayu. Dan kini, justru Ayu yang menikah dengan pria kaya raya.
Namun, Hera pandai menyembunyikan perasaannya. Di depan Ayu, ia selalu tampak seperti adik yang penuh perhatian.
“Kak Ayu, jangan lupa nanti sore kita fitting baju untuk acara TV minggu depan,” kata Hera sambil merapikan rambut Ayu.
“Siap, Bos! Aku manut. Pokoknya kamu yang atur. Aku cuma tau nyanyi sama masak buat Mas Adi.”
Hera tersenyum tipis, tapi matanya menatap Adi yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Ada perasaan aneh yang bergejolak, semacam campuran iri, kagum, sekaligus… keinginan terlarang.
Sementara itu, Hanin sahabat setia Ayu makin sering datang ke rumah mereka. Hanin merasa lega, karena rencananya mengenalkan Adi pada Ayu ternyata berhasil. Setiap kali ia melihat Adi memperlakukan Ayu dengan penuh cinta, ia merasa jadi pahlawan tak bergaji.
“Alhamdulillah, misiku sukses! Aku pantes dapet penghargaan Pahlawan Jodoh Nasional,” katanya sambil minum es teh di teras rumah Ayu.
Adi melongok dari dapur, “Nin, makasih ya, sudah ngenalin Aku sama Ayu. Kalau nggak, mungkin sekarang saya masih dijodohin sama anaknya Bu RT yang hobinya melototi orang lewat di pagar.” celetuk Adi
Ayu nyengir. “Mas, jangan gitu dong. Nanti kalau Bu RT denger, aku nggak diundang arisan lagi.”
Mereka semua tertawa, suasana rumah penuh keceriaan. Tapi di balik itu, ada bayangan gelap yang belum terlihat. Bagaimana nasib Ayu yang kelak akan berubah setelah kehamilannya.
Beberapa minggu kemudian, Ayu terlambat haid. Ia mulai curiga, apalagi tubuhnya cepat lelah dan mudah mual.
Suatu malam, ia memberanikan diri mengatakan pada Adi.
“Mas, aku kok telat ya? Udah hampir dua minggu.”
Adi langsung terbelalak. “Telat? Jangan bilang… kamu hamil?”
Ayu menggigit bibir. “Kayaknya iya, Mas. Tapi aku belum cek.”
Adi lompat kegirangan seperti anak kecil dapat sepeda baru. “Ya Allah! Alhamdulillah! Aku bakal jadi bapak! Sayang, mulai sekarang kamu jangan capek-capek nyanyi dulu. Biar aku aja yang kerja!”
Ayu mendengus. “Mas, kerja kamu kan udah banyak. Lagian aku masih bisa nyanyi, nggak papa kok.”
Adi menggeleng keras-keras. “Nggak bisa! Kamu harus istirahat. Kalau perlu aku beliin 7 bantal tambahan, 3 guling, dan kasur baru biar kamu tidur lebih nyaman.”
Ayu ngakak sampai terpingkal. “Mas, mau bikin aku tidur atau mau bikin toko kasur?”
Sejak itu, Adi semakin bucin tak karuan. Ia bahkan bikin aturan rumah baru: Ayu nggak boleh makan pedas, nggak boleh naik motor, dan… nggak boleh nyanyi lagu patah hati karena takut bayinya baper.
Namun, kebahagiaan itu mulai terusik dengan tanda-tanda aneh. Malam-malam, Ayu sering bermimpi buruk. Ia melihat bayangan wanita berambut panjang yang menatapnya dengan senyum licik.
Suatu malam, ia terbangun dengan keringat dingin. Adi yang tidur di sampingnya ikut bangun.
“Sayang, kenapa? Mimpi apa?”
Ayu menelan ludah. “Aku… aku mimpi ada perempuan yang ngeliatin aku. Rasanya kayak beneran, Mas. Dia bilang aku harus hati-hati.”
Adi mengusap rambutnya lembut. “Udah, jangan takut. Itu cuma mimpi. Kamu kan lagi hamil, wajar kalau mimpi aneh-aneh.”
Tapi entah kenapa, Ayu merasa mimpi itu seperti peringatan.
Sementara itu, hubungan Ayu dan Adi makin hari makin mesra.
Suatu sore, Ayu yang sedang ngidam tiba-tiba minta hal aneh.
“Mas, aku pengen sate kelinci. Tapi kelincinya harus warna putih, terus dibakar pake arang dari pohon mangga, trus makannya di bawah pohon pisang.”
Adi melongo. “Sayang, itu sate apa ritual mistis?”
Ayu manyun. “Ya namanya juga ngidam. Kalau nggak diturutin, aku bisa marah-marah terus loh, Mas.”
Akhirnya, Adi keliling kota cari sate kelinci. Saking paniknya, ia hampir beli kelinci hias di toko hewan buat dibakar. Untung penjualnya cepat-cepat mengusirnya.
“Mas, ini kelinci peliharaan, bukan lauk makan!”
Adi pulang dengan wajah kucel, tapi berhasil membawa sate ayam. “Sayang, sate kelincinya lagi habis. Aku beliin sate ayam dulu ya.”
Ayu melotot. “Mas! Aku mintanya sate kelinci, bukan ayam!”
Adi langsung jongkok, pura-pura menangis. “Ampun sayang, kelincinya kabur semua. Mungkin mereka takut sama wajah aku.”
Ayu ngakak nggak bisa berhenti. “Ya udah deh, sate ayam aja. Kasian Mas udah kayak ninja berkelana.”
l
Namun, malam itu, Ayu kembali bermimpi buruk. Kali ini lebih jelas. Sosok wanita bergaun putih menabur daun kelor di depan rumahnya.
Saat terbangun, Ayu menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan takut dan cemas, namun ia berusaha menghalaunya.
"Ingat Ayu, mimpi hanya bunga tidur, jangan dianggap serius," gumamnya
Keesokan harinya saat Ayu sedang membersihkan halaman rumah, ia tak sengaja menemukan banyak celana dalam yang tergeletak di halaman rumahnya.
"Ni kerjaan siapa sih, buang celana dalam di depan rumah gue, ngerusak pemandangan aja!" cibirnya
Hari itu Ayu menganggapnya itu hanya ulah tetangga iseng. Ia pun mengambil celana dalam itu dan membuangnya.
Malam itu sepulang dari acara TV Ayu buru-buru masuk kamar untuk beristirahat. Namun saat ia hendak merebahkan tubuhnya ia melihat daun kelor yang masih segar tergeletak di atas ranjangnya.
"Kerjaan siapa ini, gak mungkin Mas Adi kan??"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!