NovelToon NovelToon

Nikah Kontrak

wanita jadi-jadian

Gaun pengantin itu benar-benar menyiksa. Amira berdiri kaku di depan Ferdi Baskara, pria yang baru resmi jadi suaminya lima belas menit lalu. Usianya baru 22 tahun, tapi kini sudah terikat dalam sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan: pernikahan kontrak.

Ferdi, dengan setelan jas putih yang terlihat terlalu sempurna, menatapnya seperti menatap musuh bebuyutannya. Dalam hati, Ferdi mendesis, “Berani-beraninya kau, wanita kampung, jadi istriku. Akan kusiksa kamu.”

Ferdi melangkah maju, sepatu hitam mengkilapnya beradu dengan lantai marmer kamar mewahnya. Ia mengangkat selembar kertas yang sudah disiapkan oleh pengacaranya.

“Perjanjian nikah kontrak,” ucap Ferdi lantang, suaranya menggema.

Amira melirik sekilas, lalu kembali sibuk mengibas-ngibaskan gaunnya yang ketat.

Ferdi membaca keras-keras:

“Tidak ada sentuhan.”

“Tidak boleh melakukan hubungan suami istri.”

“Tidak boleh ikut campur urusan pribadi.”

“Satu kamar tapi tidak boleh satu tempat tidur.”

“Saat Laras kembali, harus minta cerai.”

“Habis cerai tidak ada tuntutan.”

Ferdi menatap Amira tajam. “Cepat tanda tangan.”

Amira masih menunduk. Dari wajahnya sulit ditebak apakah ia menahan tangis atau sekadar kesal.

“Kenapa hanya menunduk saja? Cepat tanda tangan!” ulang Ferdi.

Ia maju, menyentuh dagu Amira agar mendongak. Tapi alih-alih menangis seperti yang ia bayangkan, Amira malah mendengus.

“Tanda tangan, tanda tangan aja. bukain dulu baju gue cepet. Bisa mati gue pakai beginian. Bikin gaun ketat banget sih. Pacar lu tiang listrik apa gimana?”

Ferdi membeku. Astaga… mungut dari mana ibuku perempuan ini?

“Siapa kamu, hah? Berani-beraninya menyuruhku! Dan jangan menghina Laras. Kamu tidak layak dibandingkan dengannya!” Ferdi menepis, hendak meraih tangan Amira.

Namun sebelum sempat, Amira mencengkeram pergelangan tangannya. Cengkeraman itu kuat—terlalu kuat untuk seorang perempuan berbadan ramping.

“Kok… kok bisa sekuat ini?” gumam Ferdi terkejut.

Ia mencoba melawan dengan mendorong, bahkan hampir melayangkan pukulan. Tapi Amira sigap merunduk, lalu… bugh! Tinju Amira mendarat tepat di perutnya.

“Aduh!” Ferdi terhuyung mundur beberapa langkah.

Dalam refleks, Ferdi menarik lengan Amira. Keduanya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. Posisi berakhir kacau: Amira ada di atasnya, rambutnya berantakan menutupi wajah Ferdi.

Amira mendengus kesal. “Sabar dulu, napa? Pemanasan dulu? Bukain dulu baju gue. Habis itu baru bikin anak. kayak ga pernah lihat film dewasa aja lu.”

“Orang gila!” teriak Ferdi panik ferdi memang ceo tuan muda banyak harta tapi dia tidak pernah bermain wanita.

Ia berusaha mendorong Amira. Tapi dalam gerakan salah arah, wajah Amira malah terperosok ke wajah Ferdi. Brak! Bibir mereka bersentuhan.

Waktu seolah berhenti. Ada wangi manis samar dari Amira yang menusuk indra penciuman Ferdi. Detak jantungnya berdegup tak karuan.

“NAJIS! Najis!” Amira buru-buru menyeka mulutnya dengan punggung tangan. “Huft! Jangan GR. Itu kecelakaan.”

Ferdi terdiam, napasnya memburu. Kenapa tiba-tiba panas begini?

Amira berdiri, membelakangi Ferdi. Dengan santai ia membuka sedikit rambutnya yang kusut, lalu berkata, “Cepat lepasin resleting gue.”

Ferdi masih ternganga. “Hah?”

“Resleting, bodoh! Gue bisa mati kecekek baju kayak gini. Cepet!”

Seperti sapi dicocok hidungnya, Ferdi mendekat dengan tangan gemetar. Saat resleting terbuka sedikit, terlihat punggung putih mulus Amira. Aroma sabun bunga bercampur parfum murahnya justru membuat kepala Ferdi berkunang-kunang.

“Kenapa tangan lu gemeter? Nafsu ya?” sindir Amira tanpa menoleh.

“Siapa juga yang nafsu!” balas Ferdi, buru-buru menyelesaikan resleting lalu menjauh.

Amira menghela napas panjang.

"Ah… lega sekali!" serunya sambil akhirnya berhasil melonggarkan resleting gaun pengantin super ketat itu.

Tanpa malu, ia langsung melepaskan gaun dan hanya tersisa bra serta pengaman segitiga tipis yang menutupi area sensitifnya.

Ferdi langsung melotot.

“Orang gila… ini orang gila beneran!” gumamnya tercekat, menelan ludah berkali-kali.

Di depan matanya berdiri Amira—wanita dengan tubuh sempurna: dada membusung, pinggang ramping, pinggul bulat, kulit putih mulus. Bahkan aroma wangi tubuhnya menusuk hidung Ferdi.

"Astaga… aku lupa!" seru Amira tiba-tiba.

Ferdi kaget. “kenapa kamu telanjang di depanku..dasar ga tahu malu” ucap Ferdi panik seumur hidup dia baru mengenal perempuan seperti itu.

Amira panik, menutupi tubuhnya dengan selimut. “Bajuku… baju aku kemana? Ibu lu buang, ya?”

Ferdi mendengus. “Mana aku tahu. Tiba-tiba kamu udah nyelonong pakai gaun pengantin dan jadi pengantin perempuan”

Amira mendekat, wajahnya serius. “Pinjem baju lu, sekarang!”

“Enak aja. Mana ada aku pinjemin baju ke orang!” sahut Ferdi menolak mentah-mentah.

Amira menurunkan selimutnya sedikit, menatap nakal. “Pinjemin nggak? Kalau nggak… gue perkosa lu sekarang juga.”

Ferdi terpaku. “K-kamu… kamu memang gila! Mana ada perempuan merkosa laki-laki…”

Amira menyeringai. “Pinjemin baju atau pacar lu bakal nyesel… soalnya lu nggak perjaka lagi.”

Ferdi langsung pucat. “APA?! Ini… ini vampir apa perempuan sih…” Dalam hati ia mengeluh, Harusnya gue yang intimidasi dia, kenapa jadi kebalik begini?!

Dengan pasrah, Ferdi bangkit menuju lemari. Ia asal tarik baju, lalu melemparkan kaos lusuh dan celana pendek.

Amira memungutnya. Matanya melebar. “Serius ini? Celana kolor?! Ada gambar Ka Ros lagi!”

Ferdi nyengir malas. “Kenapa emang? Kaos Doraemon, celana Ka Ros. apa salahnya!”

Amira melotot. “Gue kira lu pewaris keluarga konglomerat. Ini malah kayak bocah SD habis main layangan.”

Ferdi mendengus. “Sudahlah, pakai aja. Semua baju aku ibuku yang beliin. Aku nggak pernah beli sendiri.”

Amira akhirnya memakai kaos Doraemon kebesaran dan celana kolor bergambar Ka Ros dari Upin & Ipin. Saat dia berdiri, tubuh anggunnya tenggelam di baju kekecilan Ferdi.

Ferdi masih duduk di tepi ranjang, menatap lembaran perjanjian nikah kontrak di tangannya.

“Ya ampun, Bu… kenapa harus cari wanita seperti ini buat aku? Pusing kepala tujuh keliling,” gerutunya sambil menjambak rambut.

Dari kamar mandi, terdengar suara pintu terbuka. Sorot lampu kamar jatuh ke tubuh Amira yang baru keluar, kulitnya bercahaya, lekuk tubuhnya terlihat jelas di balik kaos kebesaran Doraemon dan celana kolor Ka Ros. Ferdi spontan menelan ludah.

Amira tanpa ragu naik ke ranjang, lalu merebahkan diri santai di sampingnya.

“Suamiku… ayo bobo. Aku nggak bisa tidur kalau nggak dikelonin,” ucapnya manja, suaranya lembut namun menggoda.

Ferdi refleks menoleh cepat, wajahnya tegang. Dalam hati ia menggerutu, Tadi dia galak kayak macan, sekarang malah kayak kucing manja… wanita ini punya berapa kepribadian sih? Jangan-jangan ini tipe nakal… bisa-bisa aku kena penyakit macam-macam!

Ia bergidik, buru-buru menggeleng.

“Enggak bisa. Kamu tidur di sofa! Kasur ini milikku,” tegas Ferdi sambil menunjuk arah sofa.

Amira menghela napas dramatis. “Astaga, sayang… pesta kita mewah sekali, masa kamu nggak mau tidur sama istrimu? Lihat nih…” Tangannya turun membelai paha mulusnya sendiri, lalu ia menatap Ferdi dengan lirikan nakal.

"ayo sayang.. kita main kuda-kudaan" ucap Amira genit. Menepuk-nepuk kasur.

Ferdi panik. “Tidak! Aku nggak mau. Kamu pasti wanita nakal… aku nggak mau ternoda!”

Alih-alih tersinggung, Amira justru tersenyum genit, lalu mengedipkan matanya.

“Aku masih ting-ting loh… ayo coba. Biar kamu nggak rugi.”

Ferdi makin panik, wajahnya memerah. “Nggak… nggak mau!”

Amira mendekat sedikit, suaranya pelan tapi seperti bisikan iblis betina yang menggoda.

“Ah… mulut kamu bilang nggak, tapi burung kamu itu kaya mau,, sayang.”

Ferdi buru-buru melirik ke bawah, lalu wajahnya tambah merah padam. “Tidak! Aku tidak mau! Aku sukanya wanita lembut, bukan… bukan makhluk jadi-jadian seperti kamu!”

kamu akan jatuh cinta padaku

“Pergi sana! Itu kasur milikku! Aku paling benci kalau ada orang lain yang tidur di atasnya,” kata Ferdi sambil melotot.

Amira rebahan santai, malah selonjoran. “Bodo amat, weee,” jawabnya sambil menjulurkan lidah.

“Pergi nggak?” suara Ferdi mulai naik.

“Enggak,” Amira menjawab singkat.

“Pergi!”

“Enggak… enggak… enggak… nggak!” Amira menirukan gaya anak kecil ngeyel.

Ferdi memijat pelipis. “Astaga, ini kasurku! Sehari dua kali seprei diganti, bantalnya dirapikan, aromanya harus wangi. Kasur ini suci, nggak pernah ditempati orang lain!”

“Terus kenapa kalau gue tidur di sini?” Amira membalik badan, wajahnya menempel bantal.

“Karena kamu cuma istri kontrak! Jangan sok merasa istri asli. Dasar nggak tahu diri!” Ferdi menunjuk-nunjuk.

Amira mendengus. “Astaga, Tuan Ferdi Sambo…”

“Ferdi Baskara! Jangan ngawur!” Ferdi langsung menyela dengan urat leher tegang.

“Ya ya, itulah pokoknya. Denger baik-baik, lu punya telinga kan? Gue ini nggak kenal sama lu, terus tiba-tiba harus nikah kontrak. Lu pikir gampang? Emang lu tipe gue? Bukan!” Amira menepuk-nepuk kasur.

“Lah terus tipe kamu apa?” Ferdi melipat tangan di dada, menantang.

Amira berdiri, mengangkat dagu. “Tipe gue tuh… Joker.”

“Joker? Badut gila itu?” Ferdi melongo.

“Ya iyalah! Lu ngerti nggak sih? Misterius, keren, sedikit bahaya. Lah, sekarang bandingin sama lu… lu tuh mirip Upin Ipin! Mana bisa standar gue nggak anjlok? Dari Joker ke Upin Ipin, coba bayangin. Turun kelas parah.”

Ferdi bengong, lalu refleks menepuk dahinya. “Aku? Upin Ipin?!”

Amira nyengir. “Ya iyalah. Favorit lu aja kartun bocah botak. Mana ngerti Joker. Harusnya lu hargai pengorbanan gue, tahu!”

“Pengorbanan apaan? Kamu itu dibayar. Aku tahu kok, ibu yang ngatur semua ini.” Ferdi berdecak.

Amira menepuk dada dramatis. “Astaga… bayaran segitu receh, sebut pengorbanan? Nih ya, coba bayangin kalau nggak ada gue. Mau ditaruh di mana muka keluarga lu? Pernikahan kontrak ini tuh bikin citra keluarga lu aman, ngerti nggak? Sekarang gue cuma tidur di kasur aja udah masalah besar. Apa gue bilang aja ke semua orang kalau gue ini istri kontrak, biar malu sekalian?”

Ferdi langsung terperanjat. “Hei! Jangan berani-berani!”

Amira tersenyum licik, menggulung-gulung selimut Ferdi. “Tuh kan… takut juga. Jadi kesimpulannya… gue tidur di kasur, lu di sofa. Deal?”

Ferdi mendesah keras, kayak habis kalah perang. “Ini rumahku… kamarku… kasurku… tapi aku disuruh tidur di sofa?”

Amira menepuk bahu Ferdi sok iba. “Sabar, Upin. Hidup emang nggak adil.”

Ferdi menatap langit-langit kamar sambil menahan emosi. Dalam hati ia berteriak: Astaga, kenapa ibu pilih wanita absurd ini jadi istriku?!

“Hey… hey…” Amira mengibaskan tangannya di depan wajah Ferdi.

“Astaga! Kenapa kamu tiba-tiba ada di depan ku?!” Ferdi kaget dia sedang larut dalam lamunannya memikirkan nasibnya jadi tragis gara-gara ibunya mencarikan pengantin pengganti model wanita setengah vampir.

“Hahaha… terpesona ya?” Ucap Amira nyengir dia benar-benar senang menggoda Ferdi.

“terpesona apanya, kamu itu mimpi buruk bagiku” jawab Ferdi kesal sekaligus prustasi.

Bukannya marah Amira malah nyengir..dengan lembut dia berkata "suamiku tidur bareng yu" ajak Amira.

“Kenapa lagi?” Ferdi menatap curiga.

“Aku nggak bisa tidur kalau nggak megang telinga orang,” ucap Amira dengan nada polos, matanya berbinar seolah permintaannya wajar.

“Enggak! Enggak. Aku nggak mau. Nggak sembarangan orang bisa menyentuhku!” sahut Ferdi frustrasi. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri, seolah malam ini akan menjadi malam paling menyebalkan dalam hidupnya.

“Ya ampun… cuma pegang telinga doang kok. Pelit banget sih. Masa sama istri sendiri aja perhitungan?” Amira manyun, bibirnya maju seperti anak kecil.

Ferdi mendengus. “Awalnya pegang telinga, terus pegang yang lain. Ih! Aku harus operasi telinga kalau sudah kena pegang kamu. Kamu itu banyak virusnya!”

Amira terkekeh, semakin menjadi-jadi menggoda. “Tenang saja, Sayang. Hanya telinga, aku janji nggak akan yang lain. Aku ini wanita polos.”

“Polos apanya?! Kamu itu lebih berbahaya dari bom waktu!” geram Ferdi.

Namun tawa Amira mendadak berhenti. Wajahnya berubah serius. “Suamiku… emang gue jelek, ya?”

Ferdi terdiam sejenak. Lalu tiba-tiba wajahnya menyeringai jahat. “Jelek! Kamu kayak vampir… kayak zombie… kayak kuntilanak! Bahkan lebih menyeramkan dari kuntilanak.”

Alih-alih tersinggung, Amira malah rebahan di pangkuan Ferdi. “Pergi! Jangan tidur di situ!” Ferdi mendorong kepalanya, tapi Amira justru makin nyaman.

Sambil merem, Amira bertanya lembut, “Emang tipe cewek lu kayak apa sih?”

Ferdi menghela napas panjang, mencoba menahan emosi. “Yang jelas bukan kamu.”

“Terus kayak apa?” Amira mengucek mata, sok penasaran.

“Cantik, lembut, tahu sopan santun,” jawab Ferdi mantap.

Amira langsung ngakak. “Hidup lu tuh kayak jalan tol.”

Ferdi mengernyit. “Kenapa emang?”

“Datar! Mulus banget, nggak ada lubangnya. Bosenin,” Amira menepuk pahanya sendiri sambil tertawa puas.

Ferdi membalas dengan senyum sinis. “Iya lah. Hidupmu tuh kayak petasan tahun baru, meledak-ledak nggak jelas.”

Amira menyipitkan mata nakal. “Tapi lu suka kan?”

“Tidak! Tidak akan pernah!” Ferdi buru-buru geleng, seolah kalimat itu perlu digarisbawahi.

Amira tersenyum miring. “Gimana kalau nanti lu jatuh cinta sama gue?”

Ferdi mendongak ke langit-langit kamar. “Sampai langit runtuh pun aku nggak akan suka sama kamu.”

Amira menjentikkan jarinya di depan wajah Ferdi. “Alah, jangan ngomong gitu. Biasanya dari benci jadi cinta.”

Ferdi pura-pura cuek, tapi pipinya memerah. Ia menoleh ke arah lain, takut ketahuan.

Amira tiba-tiba mengelus perut Ferdi pelan. “Nih, udah mulai kan deg-degan?”

Ferdi meloncat kaget. “Astaga! Tanganmu itu taruh di tempat yang bener!”

Amira tertawa sambil tetap selonjoran di pangkuannya. “Ih, muka lu merah tuh. Ngaku aja… darah lu berdesir, kan?”

“Aku nggak berdesir! Pergi sana! Beraninya kamu tidur di pahaku. Di kontrak sudah jelas, kita nggak boleh saling menyentuh, nggak boleh tidur satu kasur, dan nggak boleh ikut campur urusan masing-masing,” ucap Ferdi tegas.

Namun, tak ada jawaban.

Ferdi menoleh, dan ternyata Amira sudah tertidur pulas. “Yeh… malah tidur dia,” gumamnya.

Ia menatap wajah Amira dari dekat. Ada keheningan aneh yang membuat dadanya berdegup. “Cantik juga sih,” lirihnya tanpa sadar.

Tangannya hampir terulur membelai rambut Amira, namun buru-buru ia tarik kembali. “Tidak. Aku tidak akan menyentuhnya,” ucapnya menegaskan pada diri sendiri.

Meski begitu, matanya sulit lepas dari wajah Amira. Helaan napas teratur perempuan itu terasa begitu damai. Ferdi menghirup samar aroma khas wanita yang entah kenapa membuat pikirannya kacau.

Akhirnya, dengan hati-hati ia menggendong Amira dan memindahkannya ke atas kasur. “Aku nggak mau bangun tidur langsung ribut. Malam ini kamu tidur di kasurku,” gumamnya pelan.

...

...

Di luar kamar Amira dan Ferdi, suasana hening. Namun di ruang tamu, Anton—paman Ferdi—sedang menelpon seseorang dengan wajah tegang.

“Ibu… Viona sudah berbohong. Dia mempermainkan pernikahan ini,” ucap Anton dengan suara penuh emosi.

Dari seberang telepon, terdengar suara berat milik Renata, ibu angkat Anton sekaligus nenek Ferdi. “Kenapa, Nton? Jelaskan padaku.”

Anton mengepalkan tangan. “Viona menikahkan Ferdi hanya untuk mendapatkan warisan dari Ibu. Pernikahan itu… hanyalah pernikahan kontrak. Ferdi tidak benar-benar membangun rumah tangga, hanya pura-pura demi harta.”

“Brak!” Renata spontan menggebrak meja kerjanya. Suara dentuman terdengar hingga membuat vas di atas meja bergetar.

Mata tua Renata memerah karena amarah. “Baik. Besok aku akan datang sendiri. Aku ingin lihat sejauh mana kebohongan itu,” ucapnya dingin, sebelum menutup sambungan telepon tanpa basa-basi.

Aku mau mencekiknya

“Bu, jadwal operasi akan dilakukan lusa,” ucap seorang perawat pada wanita setengah baya bernama Rahayu. Wanita yang selama ini merawat amira

“Lho, kok sudah ditetapkan jadwalnya? Saya kan belum ada uangnya,” jawab Rahayu dengan wajah melas.

“Oh, anak Ibu sudah membayarnya kemarin. Jadi kami langsung menjadwalkan operasinya,” jelas perawat.

Rahayu tertegun sejenak. “Oh… begitu ya? Terima kasih, Bu.”

“Baik, jaga kesehatan Bapak, ya. Nanti malam akan ada pemeriksaan dari dokter Amora. Beliau hanya datang sebulan sekali karena praktiknya di berbagai negara. Jadwalnya padat, tapi Ibu beruntung. Kali ini beliau mau tinggal seminggu karena katanya penyakit Bapak unik, jadi ingin ditangani langsung olehnya.”

“Baiklah, Bu,” jawab Rahayu singkat.

Perawat meninggalkan ruangan.

“Bu… maafin Bapak merepotkan Ibu terus,” ucap Yono, suaminya, dengan suara lirih.

“Maaf… maaf… itu saja terus. Kalau dari dulu berhenti merokok, pasti nggak sampai begini. Yang repot kan Amira lagi,” jawab Rahayu ketus.

“Ibu kok galak banget sama Bapak. Orang sakit itu butuh dukungan, bukan tekanan mental seperti ini,” Yono menggenggam tangan istrinya.

Air mata menggenang di pelupuk Rahayu. “Aku cuma kasihan sama Amira, Pak. Pagi, siang, sore dia banting tulang cari uang buat kita. Padahal… dia bukan anak kita. Aku jadi nggak enak. Makanya, Bapak cepat sembuh, ya. Setelah ini berhenti merokok.”

“Iya…” Yono hanya mampu mengangguk singkat.

Suasana kamar mendadak hening.

Beberapa menit kemudian Yono membuka suara, pelan namun tegas, “Bu, kalau umur Bapak nggak panjang, jangan sampai rahasia itu terbongkar.”

Rahayu menoleh kaget. “Kenapa, Pak? Apa Bapak mau bawa rahasia itu sampai mati?”

“Nyawa Ibu bisa dalam bahaya kalau Amira tahu jati dirinya. Amira memang baik, tapi apa keluarganya akan menerima kalau anak mereka dulu kita culik, kita besarkan seadanya, dan sekarang malah harus menanggung beban kita? Amira bukan dari keluarga biasa, Bu.”

“Ah… tenang saja. Sepertinya Amira memang dibuang. Kalau nggak dibuang, mana mungkin keluarganya nggak bisa menemukan dia? Mereka punya kekuasaan luas, bukan hanya di negeri ini tapi juga di Asia,” ucap Rahayu, seperti menenangkan dirinya sendiri.

“Mudah-mudahan saja begitu  Bu. Bapak hanya takut, kalau Bapak nggak ada, kamu akan diburu keluarga amira” lirih Yono.

Kesunyian kembali menyelimuti ruangan.

Pasangan suami istri itu diliputi dilema: Amira, anak yang mereka besarkan penuh cinta, mungkin suatu hari akan tahu siapa keluarga aslinya. Padahal Amira sudah menjadi alasan mereka berubah. Yono, mantan maling, berhenti mencuri sejak merawat Amira. Rahayu, mantan pekerja seks, meninggalkan masa lalunya demi merawat anak itu.

Mereka hidup miskin, tapi pantang membiarkan Amira dihina.

Amira sendiri adalah anak yang unik. Tak pernah marah saat disebut “anak gembel” atau “anak pemulung.” Justru ia sering tersenyum seolah hinaan itu hiburan. Yang membuat orang heran, Amira justru senang jika dimarahi. Semakin keras orang berteriak, semakin lebar senyum di bibirnya.

Namun ada satu kelemahannya: Amira tidak bisa menerima kekerasan fisik.

Pernah suatu kali, seorang anak laki-laki bertubuh besar memeluknya. Seketika Amira menghajarnya habis-habisan hingga wajah anak itu tak berbentuk. Di sekolah pun pernah terjadi, seorang guru menamparnya. Akibatnya, guru itu harus dirawat karena gegar otak—Amira mengamuk tak terkendali.

Amira bisa menahan hinaan, tapi sabarnya setipis tisu ketika tubuhnya disentuh paksa.

“Bu?” suara Yono memecah lamunan istrinya.

“Apa sih? Ngagetin saja. Ibu lagi melamun,” balas Rahayu.

“Bu… Amira dapat uang dari mana ya?” tanya Yono, penuh curiga.

“Iya, dari mana ya? Dia kan cuma tukang parkir plus jaga kafe,” Rahayu mulai gelisah.

“Mungkin dia jadi debt collector. Katanya, kalau Amira yang nagih, semua orang langsung bayar,” Yono menebak-nebak.

“Siapa, Pak, yang mau kasih komisi sampai seratus juta? Nggak masuk akal,” bantah Rahayu.

Yono menghela napas panjang, lalu tiba-tiba pikiran buruk melintas dikepalanya.

“Bagaimana kalau… Amira jual diri, Bu?”

“Ibu tidak terima pak,,ibu tidak terima kalau Amira sampai jual diri gara-gara ingin membuayai operasi bapak, biar kita saja yang rusak jangan sampai Amira yang rusak pak” ucap rahayu dengan suara gemetar.

“Coba hubungi Amira, Bu. Kita harus tahu kebenarannya. Kalau benar dia jual diri, bilang sama Amira, Bapak nggak mau dioperasi,” ucap Yono tegas.

Dengan tangan gemetar, Rahayu mengambil ponsel dan mencoba menelepon Amira. Namun berkali-kali panggilannya gagal.

“Tidak aktif, Pak…” bisik Rahayu, wajahnya pucat.

“Gimana dong, Pak?” tanyanya panik.

“Coba Ibu hubungi temannya Amira,” usul Yono cepat.

Rahayu segera menekan nomor Johan. Tak lama, suara di seberang menjawab.

“Jo, kamu tahu di mana Amira?” tanya Rahayu tergesa.

“Loh, emang nggak ada sama Ibu?” Johan balik bertanya heran.

“Kamu ini… kalau ada sama Ibu, ngapain Ibu nanya ke kamu!” suara Rahayu meninggi, emosinya bercampur cemas.

“Oh… iya, iya. Kemarin Amira dibawa ibu-ibu dengan banyak pengawal ke mobil mewah. Dia sempat bilang ada pekerjaan, Bu. Jadi ya aku biarin aja. Lagian kelihatannya orang-orang itu baik, bajunya rapi, banyak yang pakai jas hitam,” jelas Johan.

Rahayu tercekat.

“Apa? Kenapa kamu nggak bilang ke Ibu?” suaranya bergetar.

“Kirain aku Ibu udah tahu…” jawab Johan terbata.

“Oh ya sudah… terima kasih ya, Jo,” ucap Rahayu cepat lalu menutup telepon.

“Bagaimana, Bu?” tanya Yono, sorot matanya penuh kegelisahan.

Rahayu menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Katanya… Amira dibawa ibu-ibu yang dikawal banyak pria berjas hitam.”

Deg! Jantung Yono berdetak keras. Tangannya mencengkeram selimut.

“Mungkinkah… keluarga Amira sudah menemukannya?” gumamnya, wajahnya tegang.

.

.

Di kamar, Ferdi gelisah di sofa. Ia berguling-guling tanpa arah, harga dirinya terasa diinjak. Ia tuan rumah, tapi justru merasa seperti tamu.

"Apa aku cekik saja dia sampai mati? Tapi… kalau aku cekik, Ibu pasti marah besar. Lagian, Laras… kenapa malah pergi pas hari pernikahan? Ke mana sih kamu, Laras? Padahal kamu janji akan datang…" gumam Ferdi, kepalanya pening.

Ia menatap Amira yang tertidur lelap. Tekanan batin membuat pikirannya kacau.

"Mending aku cekik saja. Kalau mati, tinggal aku bilang dia terpeleset," pikirnya dengan tekad yang semakin bulat.

Ferdi berdiri, melangkah perlahan ke arah ranjang. Tatapannya penuh amarah bercampur frustrasi.

"Vampir… kamu harus mati. Kalau kamu masih hidup, aku yang akan mati. Kamu sudah memakai bajuku, tidur di kasurku… ini penghinaan," desisnya dalam hati.

Tangannya bergetar saat meraih sepasang sarung tangan dari lemari. Ia memakainya dengan rapi, seolah sedang menyiapkan ritual. Kemudian, Ferdi menatap bantal di sisi ranjang.

Ia mengubah rencana. Tadinya ingin mencekik dengan tangan kosong, kini ia memilih menutup wajah Amira dengan bantal—agar tak meninggalkan jejak.

Ferdi mengangkat bantal itu perlahan. Jantungnya berdetak cepat, napasnya memburu. Setiap langkah mendekat, tekadnya semakin kuat

Ferdi menngakat bantal dan siap menekan Amira sampai kehabisan nafas

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!