NovelToon NovelToon

Selenophile

Kirana Mikayla Athaya

Rambut terurai, bulu mata lentik yang terpejam. Perlahan, kelopak itu terbuka, menampilkan kornea mata berwarna cokelat bening yang tampak indah namun sayu. Dia memandang langit-langit kamar dengan hampa, cerminan dari perasaannya yang telah lama hilang kebahagiaan.

Gadis itu menghela napas berulang kali. Entah sudah berapa lama dia mencoba untuk menutup mata dan menyudahi episode panjang hari ini, tapi matanya tak kunjung mengatup dan terbuai dalam mimpi. Setiap kali dia menutup mata, bayang-bayang masa lalu terus mengusik dan mengganggu pikirannya. Kadang pula, terbesit ide gila yang menghasut dirinya untuk mengambil jalan pintas, yaitu dengan cara mengakhiri hidupnya sendiri.

Kirana yang telah dipenuhi dengan perasaan gusar dan was-was, akhirnya bangkit dari ranjang, dan berjalan perlahan menuju balkon kamar.

Semilir angin malam menembus piyama tidurnya, namun dia tak menghiraukan dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia memandang ke atas langit, tepat pada bulan purnama yang selalu bersinar indah.

Sungguh, betapa malang nasibnya. Rembulan bahkan masih beruntung, karena memiliki ribuan bintang yang siap menemaninya. Sementara dirinya, satu per satu, orang-orang yang dia cintai, meninggalkannya tanpa pernah bertanya, apakah Kirana siap untuk ditinggalkan?

Tetesan bulir bening jatuh dari sudut matanya yang mengembun. Perasaan sesak yang dia rasakan sejak sepuluh tahun yang lalu selalu datang, menghantam dadanya bertubi-tubi seperti ombak yang menghantam batu karang.

Dia tidak tahu, sampai kapan mampu bertahan dari penderitaan ini, karena hatinya tak sekuat batu karang. Bahkan batu karang sekali pun, pasti akan rapuh pada masanya setelah dihantam bertubi-tubi oleh ombak di lautan.

Kirana merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan yang dalam. Jika tak teringat pada keluarganya yang masih tersisa saat ini, mungkin dia sudah menerjunkan diri dari balkon kamar atau menusukkan sesuatu ke lehernya.

"Kirana rindu Bunda. Kenapa Bunda yang harus pergi? Seharusnya malam itu Kirana menuruti perkataan Bunda, Bunda pasti masih hidup." Suara Kirana pilu terdengar, dan menyayat hati. Hanya rembulan yang menjadi saksi bisu dari rintihannya sepanjang malam.

Sepuluh tahun yang lalu, tepat di hari perayaan ulang tahunnya, Kirana harus kehilangan seseorang yang sangat dan paling berharga dalam hidupnya.

Nahas tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Tak ada yang tahu bahwa pada malam itu, malaikat maut sedang mengintai mereka. Betapa jelasnya kenangan yang membekas dalam ingatan Kirana, seolah semua itu baru saja terjadi kemarin.

Kirana ingat betul, bagaimana detik-detik ketika mobil yang dikendarai oleh ia dan bundanya, tergelincir lalu berguling. Kejadian itu begitu cepat, tiba-tiba saja Kirana terpental ke luar mobil dan mendarat di rerumputan yang tumbuh di pinggir jalan. Saat Kirana membuka matanya, dia melihat sang bunda tersenyum dengan cairan merah kental yang mengalir di wajahnya.

"BOOOM!"

Api memercik dan mobil itu sekejap berubah menjadi api unggun yang membara.

"Bundaaaaa!" Kirana berteriak dengan tangan yang terulur, menyaksikan bundanya dipanggang hidup-hidup oleh si jago merah.

Gadis itu membuka matanya, terbangun dari mimpi buruk yang terasa panjang. Hal yang dia lihat pertama kali adalah langit-langit kamar yang selalu sama. Saat dia menoleh ke arah jam weker di atas nakas, ternyata sudah pukul 6 pagi. Waktunya bangun dan bersiap untuk pergi ke kampus.

Perlahan, dia pun bangkit dari tidurnya, karena nyawa yang belum terisi penuh. Setelah beberapa saat kemudian, dia pun bangkit menuju ke sisi cermin di dalam kamarnya, memandang pantulan dirinya di dalam cermin itu.

"Selamat beristirahat, Kirana. Aku tahu kamu lelah. Sekarang biarkan aku yang menggantikan tempatmu," ucap Chandra dari dalam cermin.

Chandra adalah alter ego atau sisi lain yang ada dalam diri Kirana. Kemunculannya menandakan bahwa Kirana sudah tidak sanggup lagi menjalani hari-hari yang melelahkan, dan ia mempercayai tubuhnya pada Chandra.

Chandra baru saja selesai berkemas, karena hari ini ada sesuatu yang harus dilakukan di kampus. Adapun pakaian yang akan dia gunakan hari ini cukup sederhana. Dia memilih kaos hitam lengan panjang dan celana panjang berwarna senada, pakaian yang memberikannya kebebasan bergerak.

Rambutnya yang panjang diikat kuncir satu. Dia tidak menyukai rambut yang digerai begitu saja. Itu membuatnya merasa sedikit risih. Apalagi kalau ditambah aksesoris kepala seperti bando, pita dan sejenisnya, dia sangat sangat tidak menyukainya-terlalu mengganggu.

Setelah merasa puas dengan penampilannya, Chandra menyambar tas hitam yang tergeletak di atas meja belajar, tas yang memang khusus digunakan ketika menjalani keseharian sebagai manusia normal.

Dengan sepatu sneaker berwarna putih, Chandra menuruni satu per satu anak tangga dengan elegan. Anak tangga yang terhubung dengan lantai dua itu berakhir di ruang keluarga yang menyatu dengan dapur, hanya disekat oleh bar mini.

Desain minimalis namun mewah menjadi daya tarik rumah berlantai dua itu.

Semua orang sudah berkumpul di meja makan, duduk di kursi mereka masing-masing. Melihat kedatangan Chandra, perhatian mereka langsung tersedot.

"Kak, itu sepertinya Chandra?" bisik perempuan yang lebih tua satu tahun usianya dari Kirana.

Lauri tak membalas perkataan Sandra, adik keduanya. Justru, dia memperlihatkan raut wajah yang tampak diliputi dengan kekhawatiran, dan terdengar mengembuskan napas dengan berat. Firasatnya mengatakan, bahwa telah terjadi sesuatu pada Kirana tadi malam, sehingga Chandra muncul dan mengambil alih kesadaran adiknya saat ini.

Memikirkan kondisi Kirana yang tak baik-baik saja, sudah cukup membuatnya merasa sesak. Dia tahu bahwa Kirana telah berjuang dengan keras melawan trauma yang menyeretnya ke dalam jurang kegelapan. Namun, kemunculan Chandra selalu menunjukkan bahwa Kirana kembali ke titik awal, atas ketidakmampuan adiknya untuk menghadapi rasa sakit hingga memaksa dirinya untuk membiarkan alter ego-nya mengambil alih.

Sejak malam tragis itu, hidup Kirana tidak pernah sama lagi. Trauma yang mendalam dan kesedihan yang tak terperi menciptakan celah di dalam dirinya, sebuah ruang hampa yang akhirnya diisi oleh sosok lain. Sosok yang kuat, berani, dan tak kenal takut, dan dia memanggil dirinya sebagai Chandra.

Chandra muncul sebagai alter ego yang memberikan perlindungan dan rasa aman saat Kirana terlalu lemah untuk menghadapi dunia. Chandra adalah sosok yang kuat dan siap menggantikan Kirana kapan pun diperlukan. Dia tidak takut pada apa pun, pemberani, suka menentang, dan tidak mau diatur.

Setiap kali Kirana merasa dunianya tidak baik-baik saja, dan juga tidak memiliki masa depan, Chandra akan mengambil alih kesadaran Kirana. Chandra menjalani hidup dengan keberanian yang tidak dimiliki Kirana, menjadi perisai yang melindungi dari kepedihan yang terlalu besar untuk ditanggung seorang diri.

"Kenapa adik saya jadi seperti ini, Dok?" tanya Lauri saat mendapati sikap Kirana yang kerap berubah-ubah setelah berhasil bangun dari masa kritisnya. Kadang dia bersikap seperti orang asing dan mengatakan bahwa dia bukan Kirana, dan memperkenalkan dirinya sebagai Chandra.

"Melihat dari gejalanya dan setelah saya melakukan beberapa pemeriksaan serta observasi, kami menemukan sesuatu yang cukup unik dalam kondisi pasien. Pasien sepertinya mengidap suatu kondisi yang disebut "alter ego"."

"Alter ego? Saya baru mendengarnya, Dok. Bisa Dokter bantu jelaskan, apa itu Alter ego?"

"Alter ego adalah suatu kondisi di mana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Dalam kasus pasien, pasien memiliki dua identitas atau karakter yang berbeda. Saya paham bahwa ini mungkin sulit dipahami, dan kami akan memberikan dukungan serta penjelasan sebaik mungkin."

"Bisa bantu jelaskan pada saya, Dok. Kenapa Kirana sampai memiliki alter ego?"

"Salah satu faktor yang membuat kepribadian atau identitas yang lain muncul dalam diri seseorang bisa disebabkan oleh trauma atau kesedihan mendalam yang dialami oleh pasien. Dalam kasus pasien, pasien baru saja mengalami kesedihan dan kehilangan sosok yang begitu berharga dalam hidupnya. Oleh sebab itu, saya akan memantau perkembangan psikolog pasien dan mencoba mencari cara untuk mengatasinya. Kita akan melihat sudah sejauh mana alter egonya mendominasi. Namun tentu saja, saya tidak bisa melakukannya sendiri. Saya harap sebagai keluarganya, Anda bisa memberikan dukungan terbaik kepada Kirana," papar sang dokter menjelaskan panjang lebar mengenai keadaan yang sedang Kirana alami saat ini.

Bersambung

Jum’at, 22 Agustus 2025

Sandra Nathania Athaya

Dua wanita yang tinggal bersama Kirana adalah saudari kandungnya. Yang tertua bernama Laurenthia Talitha Athaya, biasa dipanggil Lauri. Yang tengah bernama Sandra Nathania Athaya atau panggil saja Sandra.

Perbedaan usia Lauri dan Sandra berkisar sepuluh tahun, sementara Sandra dan Kirana hanya terpaut satu tahun saja. Kirana adalah anak bungsu di keluarga Athaya, namun paling tertutup di antara kedua saudarinya itu.

"Halo, Kakak-kakakku yang cantik," sapa Chandra dengan wajah ceria. "Sudah lama kita tidak bertemu, ya. Apa kabar kalian? Senang, tidak, bertemu denganku?" ucapnya frontal dan blak-blakan, menyindir Lauri dan Sandra yang tidak pernah menyukai kehadirannya. Meskipun mereka tidak mengatakannya secara langsung, siapapun yang melihat bisa merasakan ketidaksukaan mereka. Kedua saudari ini tidak bisa berpura-pura atau berbohong dengan baik.

Ingin sekali Lauri mencecar Chandra dengan berbagai pertanyaan terkait Kirana, namun dia harus menahan diri. Dia tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa membuat Chandra kesal. Bagaimanapun juga, kesadaran Kirana sedang diambil alih oleh kepribadian yang lain.

"Ayo duduk," ajak Lauri sambil menarik kursi di sampingnya.

"Terima kasih, Kakak," ucap Chandra, diiringi dengan senyum lebar seperti biasanya. Saat dia melirik ke arah Sandra, dia tertarik dengan aksesori yang dikenakan oleh gadis itu.

"Bando mu cantik sekali, warna pink," komentarnya dengan nada mengejek.

Seketika itu juga, wajah Sandra berubah menjadi masam. Kalau bukan karena mengingat bahwa tubuh yang sedang berhadapan dengannya saat ini adalah tubuh Kirana, sudah habis Chandra di tangannya.

Sandra sangat membenci Chandra, tetapi dia sangat menyayangi Kirana. Sifat Chandra yang terlalu blak-blakan dan bicara tanpa saring itulah yang acapkali menimbulkan perdebatan di antara mereka, dan seperti biasa, Chandra selalu keluar sebagai pemenang.

***

Sandra turun dari atas motor yang dibawa oleh Chandra dengan wajah masam dan bibir maju beberapa senti. Nyawanya seakan berada di kerongkongan saat bersedia dibonceng oleh Chandra.

Gadis itu, kalau sedang membawa motor, seperti malaikat maut sedang mengintai dan siap mencabut nyawa mereka kapan saja. Chandra selalu membawa motor seperti orang yang bosan hidup, ngebut dan ugal-ugalan di jalan. Jika diprotes, dia akan menjawab tak mau kalah.

Dia buru-buru mengambil cermin kecil di dalam tasnya. Sesuai dugaan, penampilannya benar-benar berantakan. Sandra syok dan spontan berteriak.

"Aduh, Chandra. Kamu mau mati, ya! Lihat ini, dandanaku, rambutku, semuanya berantakan!" omel Sandra akhirnya kehilangan kesabaran.

"Salah sendiri. Kuliah itu bukan mejeng, tapi menuntut ilmu," balas Chandra dengan nada mencebik.

Sandra melirik Chandra dengan tatapan maut. "Kayak kamu ke kampus mau kuliah aja? Paling juga sok jagoan ngajak orang berantem!" skak Sandra sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Chandra menyeringai. Bertengkar memang keahliannya. Entah sudah berapa banyak laki-laki dan perempuan sewaktu SMA dulu yang babak belur oleh tangannya. Karena kekuatannya itu, tidak ada yang berani macam-macam dengan Kirana. Namun, pada akhirnya, Kirana dipandang sebagai orang aneh karena kepribadiannya yang sering berubah-ubah.

Masa lalu adalah masa lalu. Sekarang Kirana sudah resmi menjadi mahasiswa baru di Lavrinda University. Belum ada yang mengetahui tentang alter ego yang dimilikinya.

Alter ego tidak sama seperti kepribadian ganda. Alter ego merupakan kepribadian atau karakter yang tercipta atas kesadaran sang pemilik raga. Alter ego dibentuk untuk memudahkan sang pemilik raga menjalani situasi tertentu.

Dalam kasus Kirana, dia menyadari adanya Chandra dan memberikan Chandra wewenang untuk mengendalikan raganya. Seseorang yang mengidap gangguan kepribadian ganda tidak memiliki kesadaran penuh ketika kepribadian lain mengendalikan dirinya.

"Selama nggak ada yang ganggu dan nantangin, aku nggak akan ngajak mereka berantem. Salah sendiri sok jagoan, ditonjok dikit langsung babak belur."

"Gimana nggak babak belur, kamu nonjoknya kayak lagi kerasukan setan," cibir Sandra sambil merapikan rambut dan riasannya kembali.

"Lama nungguin kau. Aku cabut duluan, ya." Chandra tak punya banyak waktu berdebat dengan Sandra, karena ada hal lain yang harus dia selesaikan. Untuk itulah, dia secepat mungkin mengakhiri perdebatan sengit di antara mereka.

"Itu Chandra, ya?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Untuk kesekian kalinya, jantung Sandra diuji. Untung saja dia tidak mempunyai riwayat penyakit jantung. Kalau ada, entah apa yang terjadi dengannya saat ini.

"Kamu bisa lihat sendiri dari penampilannya itu," ketus Sandra bete.

"Kamu sendiri ngapain, San. Kenapa wajahmu berantakan gitu?" Pria itu bertanya sambil memandang setiap sudut wajah Sandra yang sudah tidak berbentuk lagi.

"Nggak usah banyak tanya! Tanya aja sama tuh anak. Naik motor kayak orang kerasukan aja. Bosan hidup kali, ngebutnya nggak ngotak," omel Sandra melampiaskan kekesalannya pada pria di sampingnya.

"Lah, bukannya memang sekarang dia lagi kerasukan?" balas Hans yang memang sudah mengetahui soal alter ego yang mendiami tubuh Kirana.

Sandra sudah menceritakan tentang Kirana dan Alter egonya pada Hans, tepat setelah pria itu mengatakan bahwa dia menyukai Kirana.

Bukan karena memiliki maksud jahat atau tidak suka jika ada yang mendekati adiknya. Hanya saja, dia tidak ingin Kirana merasa kecewa.

Ketika ada orang yang ingin mendekati Kirana, orang itu harus bersedia menerima segala kekurangan dan kelebihan Kirana, termasuk alter ego yang dimilikinya.

"Eh, sembarangan aja kalo ngomong. Kalau berani di depan orangnya langsung," sewot Sandra. Walaupun dia suka mengomel tentang tabiat Chandra, namun dia tidak ingin ada orang lain yang menjelek-jelekkan adiknya.

"Nggak ahh, nanti patah tulangku dibantingnya. Padahal hari ini aku mau ngelihat Kirana, bukan Chandra." Hans mengatakannya dengan nada yang lesu. Sorot matanya juga tampak menggambarkan kekecewaan.

"Lah, kan sama aja. Kirana ya Chandra. Chandra ya Kirana. Cuma dandanannya aja yang beda."

"Beda. Kirana itu cantik, kalem, anggun, dan pokoknya adem kalau dilihat. Nggak kayak Chandra, udah bar-bar, mana kelakuan kayak jantan."

"Makanya, kalau Kirana ada tuh disamperin, diajak temenan. Ini nggak, cuma dilihatin dari jauh. Giliran gini aja, bawaannya jadi nyesel, kan? Aku mau lihat Kirana. Basi banget," omelnya lagi dengan bibir yang mencucu.

"Bukannya nggak mau ngajak Kirana ngobrol. Dia tiap kali dideketin langsung kabur," curhat Hans sambil menghela napas panjang.

Jika disuruh memilih antara Kirana dan Chandra, keduanya sama-sama sukar dihadapi. Kirana sulit untuk didekati, sementara Chandra sulit diajak bicara baik-baik. Dengan Chandra, rasanya seperti mengajak berkelahi terus. Heran juga lama-lama.

"Ya udah deh, kita buruan ke kelas sekarang. Bentar lagi ada matkul," ajak Hans pada Sandra. Lantas, keduanya melenggang bersama, meninggalkan area parkir kampus.

Hansen Galasky Louw, atau Hans dengan nama bekennya merupakan pria yang memiliki banyak penggemar. Dia dan Sandra terlibat sebagai partner dalam sebuah band yang cukup populer dan namanya melanglang buana hingga ke luar kampus.

Sebagai gitaris yang berbakat, Hans selalu memukau penonton dengan permainannya yang memikat. Sedangkan Sandra, dengan suaranya yang indah dan penampilannya yang memukau, menambah daya tarik band mereka.

Kombinasi keduanya membuat band ini menjadi sorotan di berbagai acara, baik di dalam maupun di luar kampus.

Hubungan kerja mereka yang erat di atas panggung sering kali menimbulkan spekulasi di kalangan teman-teman dan penggemar tentang adanya hubungan spesial di antara keduanya. Namun, baik Hans maupun Sandra selalu menepis rumor tersebut dengan menjelaskan bahwa mereka hanya memiliki hubungan profesional dan persahabatan yang kuat. Meski demikian, chemistry mereka yang terlihat jelas saat tampil bersama membuat banyak orang tetap bertanya-tanya.

Di balik kesuksesan mereka di panggung, Hans adalah sosok yang rendah hati dan peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Dia selalu siap membantu teman-temannya dan memberikan dukungan, terutama kepada Sandra, yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri.

Bagi Hans, musik adalah cara untuk mengekspresikan diri dan berbagi kebahagiaan dengan orang lain, dan keberadaan Sandra sebagai partner yang sejiwa dalam bermusik membuat segalanya terasa lebih mudah dan menyenangkan.

Dengan segala bakat dan pesona yang dimiliki, Hans tidak hanya menjadi idola di kalangan mahasiswa, tetapi juga inspirasi bagi banyak orang yang ingin mengejar impian mereka dalam dunia musik. Bersama Sandra, dia terus berusaha untuk membawa band mereka mencapai kesuksesan yang lebih besar dan menginspirasi lebih banyak orang dengan karya-karya mereka.

"Kamu yakin mereka nggak ada hubungan sama sekali? Padahal mereka itu kelihatan sangat serasi, lho! Yang satunya ganteng, yang satunya cantik," ujar seorang gadis yang duduk bersama beberapa temannya di bawah pohon cemara.

"Yang satunya lagi pintar main gitar, yang satunya lagi jago nyanyi," celetuk temannya menimpali.

"Ya, mau gimana lagi. Kita juga kadang ilfeel sama teman sekelas. Mau seganteng apa pun itu, kalau udah sekelas, udah nggak menarik lagi. Mungkin gitu yang Sandra rasain," jawab yang lain terdengar cukup logis.

"Tapi, bukannya Hans suka sama Kirana, ya?"

"Kirana juga cantik, sih. Tapi sayang, dia agak aneh. Kadang kelihatan pendiam, kadang juga kelihatan bad girl gitu."

"Udah-udah ngomongin orang lain, ketua kelas udah nyuruh kita masuk. Katanya bentar lagi Pak Budi masuk. Ayo buruan cabut." Ajakan itu berhasil membubarkan perkumpulan ghibah tersebut.

Bersambung

Jum’at, 22 Agustus 2025

Laurenthia Talitha Athaya

Suara denting yang tercipta dari gelas dan sendok yang beradu menghadirkan harmoni yang mengisi kesunyian. Sorot risau mengisi tiap sudut wajahnya yang masih cantik meski telah menginjak usia kepala tiga. Sesekali dia menghela napas panjang, seolah begitu sulit untuk sekadar menghirup oksigen di sekitarnya.

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Kirana. Sejauh ini, Chandra tidak pernah menempatkan Kirana pada kondisi berbahaya," kata Bintang mengambil posisi duduk di kursi yang berhadapan dengan Lauri. Jarak mereka hanya dibatasi oleh meja bundar saja.

"Nggak berbahaya katamu? Terakhir kali aku harus pergi ke kantor polisi karena Chandra berkelahi dengan preman pasar. Entah apa yang dipikirkan berandalan itu padahal dia hanya menumpang di dalam tubuh Kirana," rutuk Lauri dengan emosi yang meluap-luap.

Bintang tersenyum kecil mendengar ocehan sahabatnya itu. Meski sepuluh tahun sudah berlalu, di matanya Lauri tidak pernah berubah sama sekali. Dia masih seorang gadis yang cerewet seperti dulu.

"Bagiku, dia tetaplah Kirana. Kirana tidak sepenuhnya tidak sadar atas apa yang diperbuat Chandra. Chandra hadir sebagai tameng dan kekuatan Kirana untuk menjalani hidup yang keras ini," ujar Bintang memberikan sudut pandangnya sebagai seorang dokter kejiwaan yang telah menangani kasus Kirana selama dua tahun belakangan.

"Tapi sampai kapan, Bintang? Sampai kapan Kirana akan hidup dengan bantuan Chandra?" Suara Lauri terdengar risau.

"Chandra akan hilang, setelah Kirana ikhlas pada masa lalunya, dan ikhlas atas kepergian orang yang paling dia cintai. Kamu adalah kakaknya Kirana, Lauri. Kamu adalah orang yang paling paham dengan keadaan Kirana. Dalam kecelakaan yang merenggut nyawa Tante Anin sepuluh tahun yang lalu, Kirana merasa dialah penyebab kematiannya."

Lauri terdiam. Mencerna perkataan Bintang yang mengingatkannya pada insiden kecelakaan sepuluh tahun yang lalu.

Dia mengerti dengan kesedihan yang Kirana rasakan, sebab Kirana menjadi saksi atas kematian bunda mereka dengan mata kepalanya sendiri. Setelah kecelakaan itu, Kirana mengalami masa kritis yang cukup panjang.

Semua orang sangat mengkhawatirkan Kirana. Doa-doa tulus tidak pernah berhenti dan terus dipanjatkan, mengharap gadis malang yang kini telah yatim piatu itu segera siuman dan membuka matanya kembali.

"Aku paham, Bintang. Tapi, Kirana tidak bersalah. Tidak ada yang menyalahkannya atas kematian Bunda. Justru Bunda akan merasa sedih kalau melihat keadaan Kirana yang seperti ini."

"Semuanya butuh proses, Lauri. Rasa sakit itu tidak bisa hilang dalam sekejap. Ada yang butuh berpuluh-puluh tahun untuk mengikhlaskannya. Kadang juga, saat rasa sakit itu memudar, suatu kejadian memicu kembali rasa sakit itu, atau bisa kita sebut trigger. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah selalu berada di sisi Kirana dan selalu mendukungnya. Kita tunjukkan pada Kirana, bahwa masih ada kita yang peduli dengannya."

Lauri menganggukkan kepalanya, tanda setuju dengan perkataan Bintang.

Benar. Hanya Kirana yang merasakan sakitnya, hanya Kirana yang tahu bagaimana rasa sakit itu. Adiknya itu adalah gadis yang sangat hebat, tetap bertahan hidup meski terus mengingat detik-detik kematian bundanya.

Rasanya egois jika Lauri memaksa Kirana untuk melupakan kejadian itu, dan hidup seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sekarang apa pun yang akan terjadi kedepannya, Lauri akan selalu menjaga Kirana, karena hanya dialah keluarga dan orang tua yang bisa melindungi adik-adiknya.

"Terima kasih, Bintang. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku sadar. Kamu juga bersedia menjadi pendengar yang baik untukku. Kalau tidak ada kamu, aku tidak tahu ke mana akan berbagi cerita."

Bintang begitu khusyuk mendengar ucapan Lauri, terlebih menyaksikan senyum di wajahnya yang terlihat begitu lelah. Jauh di dalam hati kecilnya, dia sudah bertekad, akan menjaga Lauri dan membantunya dalam segala kesulitan dan masalah yang akan datang di masa depan. Sama seperti janjinya beberapa belas tahun yang lalu, sewaktu dirinya dan Lauri menginjak bangku sekolah menengah atas.

"Kamu mau ke mana, Lauri?" Tanya Bintang sambil mengekori Lauri, dan berusaha menyamakan langkah sahabatnya itu.

"Kamu nggak lihat, aku lagi sibuk nyiapin berkas buat tes masuk universitas," jawab Lauri terlihat agak jengkel karena sedang terburu-buru.

"Kamu rajin banget sih. Emang kamu mau masuk jurusan apa?"

Mendapat pertanyaan demikian, Lauri langsung menghentikan langkahnya, diikuti dengan Bintang yang ikut terdiam di tempat.

"Rajin banget katamu? Aku gak rajin, tapi kamunya yang terlalu malas. Sebentar lagi pendaftarannya mau tutup loh, kamu malah nyantai aja. Emang kamu nggak punya masa depan gitu, atau kamu mau jadi apa?" cerocos Lauri persis seperti ibu-ibu mengomeli anaknya.

"Emang benar, sih. Aku nggak tahu setelah ini mau lanjut ke mana. Makanya, aku nanya sama kamu, Lau," bantah Bintang sambil cengar-cengir sendiri.

Lauri menggeleng melihat kelakuan temannya ini. "Nih, kamu lihat sendiri. Aku mau daftar ke fakultas kedokteran. Aku mau jadi dokter spesialis organ dalam," beritahu Lauri sambil menyerahkan selembar kertas yang berisikan formulir rekomendasi pendaftaran universitas.

"Apa aku jadi dokter aja, ya?" tanya Bintang meminta pendapat.

Lauri menaikkan bahunya, dengan kedua ujung bibir yang turun ke bawah. "Itu sih terserah kamu. Kalau kamu sanggup, ya ... dicoba aja."

Bintang tampak berpikir. "Tunggu, aku mau ambil formulirku dulu."

Detik itu juga, Bintang langsung berlari dan masuk ke dalam kelasnya. Tak berapa lama, dia keluar dari kelas dengan membawa berkas di tangannya.

"Wah, siapa sangka, ternyata Mamang kita ini sudah mempersiapkan berkasnya?!" ledek Lauri.

"Aku memang sudah menyiapkannya, tapi aku belum mengisi formulirku. Sebelum kamu mengumpulkan formulirmu, kamu temani aku dulu," pinta Bintang, kemudian menarik tangan Lauri untuk ikut bersamanya. Mereka pergi ke taman sekolah.

"Kenapa kamu harus bingung? Memangnya kamu nggak punya minat di satu bidang gitu? Apalagi kamu kan jago matematika dan fisika, bisa aja kamu pilih teknik," pendapat Lauri.

Dia penasaran dengan jalan pikir sahabat sekaligus saingannya ini. Padahal, Bintang terkenal jago dalam segala hal. Entah akademis maupun olahraga, tapi kenapa soal beginian saja dia payahnya minta ampun.

"Aku nggak punya minat pada apa pun. Sekarang, karena kamu mau masuk kedokteran, aku juga akan masuk kedokteran. Aku akan memasukkan formulir ku di universitas yang sama denganmu," ucap Bintang mengutarakan isi hatinya.

"Mana bisa gitu! Aku tuh bosen ketemu kamu mulu. Masa nanti harus satu kampus juga!" protes Lauri menahan Bintang untuk tidak melanjutkan keinginannya yang ingin mendaftar di universitas yang sama dengan Lauri.

Dari masuk SMA sudah berteman dan selalu mendapatkan satu kelas yang sama, sekarang harus masuk universitas yang sama lagi? Apa pria itu tidak bosan bertemu dengannya? Seperti tidak ada manusia lain saja di bumi ini.

Lauri memandangi Bintang yang sedang serius mengisi formulir pendaftaran universitas. Pikiran Lauri melayang, memikirkan perjalanan panjang persahabatan mereka. Dari awal masuk SMA, mereka selalu berada di kelas yang sama, dan sekarang, tampaknya, akan melanjutkan ke universitas yang sama lagi. Bagaimana mungkin dia tidak bosan?

"Kenapa kamu terus mengikuti aku?" tanya Lauri, setengah bercanda namun juga setengah serius. "Apa kamu nggak bosan bertemu denganku setiap hari?"

Bintang berhenti menulis sejenak, menatap Lauri dengan senyum yang khas. "Bosan? Itu kan kamu, kalau aku sih nggak, ya."

Perkataan Bintang berhasil mengundang gelak tawanya. Bintang memang orang yang paling pandai dalam mendebat orang lain, tapi entah mengapa, perasaannya merasa hangat sekarang.

"Ya, aku tahu, itu memang hak kamu. Tapi tetap saja, kadang-kadang aku berpikir, apa nggak ada orang lain yang bisa jadi teman baikmu?"

Bintang mengangkat bahu. "Tentu saja ada. Tapi, tidak ada yang seperti kamu, Lauri. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Lagi pula, kita selalu punya cerita seru dan tantangan baru setiap hari. Kenapa harus mencari yang lain kalau yang sekarang sudah sempurna?"

Lauri terdiam, merenungi kata-kata Bintang. Memang benar, persahabatan mereka selalu penuh dengan petualangan dan dukungan satu sama lain. Meskipun kadang merasa bosan atau jenuh, Lauri tahu bahwa persahabatan mereka adalah sesuatu yang berharga.

"Baiklah, kamu menang," kata Lauri sambil tersenyum. "Kita memang tim yang tak terpisahkan, kan?"

Bintang tertawa mendengar perkataan Lauri. Seperti biasa, gadis ini tidak pernah peka dengan perasaan Bintang yang sudah seterang ini."Benar sekali. Jadi, ayo kita siapkan diri untuk petualangan berikutnya."

Meskipun perjalanan ke depan penuh dengan ketidakpastian, ketika memiliki seseorang yang bisa memberikan dukungan satu sama lain, maka tidak ada yang tidak bisa dihadapi. Bintang tak pernah memiliki keinginan besar yang begitu bertele-tele. Namun, sejak bertemu dengan Lauri, dia selalu ingin merasakan pengalaman baru yang menguji adrenalin.

Perasaan berdebar-debar setiap kali bersama dengan Lauri, menyadarkannya bahwa dia tidak pernah menganggap hubungan ini sebatas persahabatan semata. Tetapi lebih dari itu, dia sudah menjadikan Lauri sebagai tujuan hidupnya. Hanya dengan bersama Lauri, Bintang yakin bisa menghadapi masa depan.

Awalnya semua berjalan sesuai rencana. Lauri dan Bintang begitu bersemangat menanti hari pengumuman masuk universitas jalur tanpa tes. Namun, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan terjadi. Di hari pengumuman tersebut, Lauri menerima kabar buruk, yang mengubah hidupnya.

Bersambung

Jum’at, 22 Agustus 2025

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!