Kehidupan yang kita alami itu tidak akan selamanya indah. Ada alur-alur yang telah Tuhan ciptakan di dalamnya. Tercantum di sebuah 'kitab' yang dinamakan takdir. Kadang-kadang tersimpan kisah pahit dan manis yang datang silih berganti. Tetapi sayang masanya kisah pahit juga seringkali berlangsung lama dan terasa menyakitkan.
Remaja berumur enam belas tahun itu tengah terisak dalam. Meratapi nasib kedua orang tuanya yang sekarang harus berada di bawah batu nisan. Hujan yang turun seolah-olah menambah kepedihannya. Sama seperti dirinya yang tidak bisa berhenti menangis. Revan masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Baru saja kemarin mereka bersama, tapi kini Tuhan telah membawa orang tuanya pergi.
Andrea, tantenya hanya bisa mengelus punggung keponakannya lembut. Di usia mereka yang sekarang, Revan dan Devan harus hidup tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Andrea juga tidak bisa melakukan atau mengatakan apapun untuk menenangkan Revan yang masih terisak. Dia tahu walau seringkali Revan terlihat kuat di luar, nyatanya dialah yang paling rapuh.
Devan sang adik mendekati kakak dan tantenya. Hatinya sakit melihat sang kakak kembar yang masih terisak. Ini adalah pertama kalinya Devan melihat Revan menangis begini dahsyat. Devan tidak pandai merangkai kata, yang dia lakukan hanyalah membawa Revan ke dalam pelukannya. Revan terbelalak, Devan kini sedang memeluknya. Suatu hal yang terkadang susah diminta dari Devan jika Revan tidak memaksa. Devan mengusap-ngusap punggung kakaknya lembut. Hingga Devan berkata dengan pelan.
"Please Rev, gue gak mau lihat lo kayak gini. Rasanya sakit".
"Tapi mama dan papa pergi Dev, apa mereka gak bisa pikir kalau kita gak akan mampu bertahan tanpa mereka".
Devan menggeleng, Revan memang keras kepala.
"Kita bisa Rev, gue yakin kita bisa karena lo masih punya gue. Semuanya akan bisa kita lewatin asal kita selalu berdua."
Revan menatap lurus ke mata sang adik. Disana tersimpan keyakinan luar biasa dan tekad yang tidak goyah. Dia mengakuinya, Devan adalah orang yang paling tegar bukan dirinya. Di saat seharusnya dia yang menenangkannya namun Devan melakukan yang sebaliknya. Revan perlahan-lahan mulai tenang.
"Maafin gue Dev, disaat seperti ini harusnya gue kuat dan bukan malah bersikap seperti anak kecil kayak gini."
"Lo gak salah Rev, gue juga sedih mama dan papa udah pergi. Tapi memang mungkin ini udah takdir dari Tuhan dan yang terbaik buat mereka. Dan dari sini kita bisa belajar untuk mulai mandiri tanpa kehadiran mama dan juga papa."
Walau ada sedikit nada sesak disana Devan tidak ingin menunjukkannya.
"Gue janji bakal jadi pengganti mereka buat lo Dev. Gue akan lakukan hal apapun untuk melindungi lo Dev. Lo janji kan gak akan ninggalin gue kayak mama dan papa?"
"Gue bakal ninggalin lo lah." Ada nada candaan dari Devan.
Sayang Revan menganggapnya serius. "Maksud lo Rev?"
Devan menyeringai. "Ya elah, iyakali pas gue nanti punya istri gue tidur sama lo dan tinggal sama lo. Merinding juga gue ngebayanginnya. Ngeri ah".
"Gue serius Devano!" Revan mendengus sebal ke arah adiknya.
Devan tersenyum lembut, tekadang Revan bisa menjadi lebih kekanakan darinya. "Gue janji kak. Gue gak kemana-mana sampai kita punya anak cucu nanti. Gue janji Kak."
Mendengar itu, hati Revan menghangat. Meski kesedihannya belum menghilang namun Devan bisa membuatnya kembali tersenyum. Setiap kali kesedihan datang, Devan adalah orang yang mampu menghiburnya. Revan tidak akan bisa membayangkan seperti apa kehidupannya nanti jika dia harus kehilangan Devan juga.
Andrea hanya bisa tersenyum menyaksikan perbincangan diantara kakak beradik kembar tersebut. Revan sudah tidak lagi menangis dan berganti untuk tersenyum atau lebih tepatnya menjahili sang adik. Hari sudah semakin larut, Andrea memutuskan untuk pamit. Namun sebelum itu dia menawarkan kepada Revan dan Devan agar ikut untuk tinggal bersama di rumahnya. Tetapi dengan halus Revan menolak tawaran tersebut. Tantenya itu sudah memiliki keluarga, dia tidak mau harus membuat bebannya bertambah. Andrea yang tahu Revan itu tidak bisa dibantah hanya bisa pasrah. Namun dia memberi petuah kepada anak-anak itu jika terjadi sesuatu yang sulit jangan sungkan untuk menghubunginya.
.
.
.
.
~Three Month Later~
Alarm terdengar nyaring dari sebuah kamar yang bernuansa babyblue. Saking nyaringnya suara alarm tersebut sampai membuat seseorang yang tengah berkutat di dapur geleng-geleng kepala. Dia melepas apron dan melangkah cepat ke atas untuk menemui pelaku yang memasang alarm tetapi tidak kunjung bangun.
Dibukanya pintu kamar yang tidak pernah terkunci tersebut. Revan hanya bisa memutar bola matanya kala melihat kembarannya masih tertidur pulas dibalik selimutnya. Revan maju perlahan dan mematikan alarm yang suaranya memekakan telinganya dari tadi. Revan menghembuskan nafasnya kasar sebelum dengan cepat menarik selimut yang masih digunakan Devan.
Devan mengerjap perlahan karena merasakan kehangatan dari selimut kesayangannya tiba-tiba menguap. Dia menatap Revan yang berdiri sekilas dan hanya ber'oh ria. Tapi detik selanjutnya dia segera bangun dan memberikan cengirannya karena menangkap Revan yang sebentar lagi akan memulai ceramahnya.
"Gue bangun Rev, gue bangun dan mau mandi. Jadi tausiyah lo tunda aja dulu oke." Devan bergegas bangun meraih handuk dan pergi ke kamar mandi.
Revan menggeleng. "Lo itu harus berapa kali dibilangin sih kalau main game jangan sampe malem-malem."
"Abis nanggung kemaren level gue udh mau max." Devan menjawab dari arah kamar mandi.
Revan merapikan kasur Devan yang tampak berantakan. "Bodo amat max atau apalah, lo tahu kan kalau badan lo gak tahan sama angin malem."
"Kuat kok denger angin mamiri aja gue seneng." Devan masih saja menjawab.
Revan memutar bola matanya malas. "Itu lagu bego. Lo kalau dibilangin tuh gak usah bantah apa."
"Gue gak bantah Rev gue cuma jawab." Devan juga sebenarnya adalah orang yang keras kepala.
Revan kini agak meninggikan suaranya. "Jawab aja terus! Diem bisa gak sih kalau dibilangin tuh. Sekali lagi lo ketahuan main game sampai tengah malem, gue sita Hp ma PSP lo."
Devan keluar dari kamar mandi dan menuju lemari pakaiannya tanpa menjawab setiap perkataan Revan.
"Lah kok diem, jawab kek. Punya mulut kan lo?" Revan kesal karena sekarang Devan mendiamkannya.
Devan mendengus sebal, tadi kakaknya itu bilang dia harus diam sekarang giliran dirinya diam, Revan masih juga marah dan mengomel. Apa sih yang diinginkan kakak super protektifnya itu. "Oke. Kak Revan gue gak akan main game sampe tengah malem lagi. Gue akan tidur tepat pada jam 9 malem setelah sebelumnya minum susu dan gosok gigi dulu."
"Nah tinggal jawab gitu dari tadi apa susahnya. Gue tunggu di bawah ya." Revan beranjak meninggalkan Devan.
Devan mendumel sendiri mendengar jawaban Revan. Dia mencebikkan bibirnya ke depan dan menggembungkan pipinya. Itu adalah tanda kalau Devan sedang sebal. Sayang hal itu malah tertangkap oleh Revan. Devan yang merajuk terlihat menggemaskan baginya. Devan itu meski kembarannya dia lebih memiliki wajah yang manis dan imut. Dengan jahil sebelum benar-benar beranjak dari kamar Devan, Revan mencuri satu ciuman di pipi Devan.
CHU
"BINASA LO HOMO KAMPRET!" Devan langsung melemparkan benda apapun ke arah Revan. Tapi sayang langkah Revan itu lebih cepat untuk menyelamatkan diri.
Devan menuruni anak tangga dengan wajah yang masih saja cemberut. Pokoknya dia harus mencari tahu apakah kembarannya itu belok atau tidak. Jika sampai belok, dirinya sendiri akan bertaubat dan memohon pengampunan sebesar mungkin pada Tuhan kemudian berdoa agar Revan segera diberikan hidayah, kalau bisa sama jodohnya sekalian. Jadi yang akan diciumnya setiap hari adalah jodohnya bukan dirinya.
Revan hanya tertawa renyah menyaksikan raut wajah adiknya yang masih saja kusut. Menggoda Devan setiap pagi sudah menjadi kebiasaannya. Devan mengambil nasi goreng yang sudah dimasak oleh Revan ke atas piringnya. Dia melahapnya dengan perlahan. Rasanya cukup memuaskan. Dulu saat pertama kali Revan memasak, semua yang dimasaknya terasa begitu nano-nano bahkan rasanya waktu itu Devan hampir keracunan dan membuat Revan panik hingga menangis. Tapi makin kesini sepertinya Revan sudah terbiasa, dia tidak mau Devan mengalaminya lagi. Devan tahu, jika seorang Revan sudah berjanji dia tidak akan pernah mengingkarinya. Lalu apakah dirinya bisa menjadi seperti Revan untuk tidak mengingkari janjinya?
Revan membenarkan piring-piring bekas sarapan dirinya dan Devan. Dia masih tersenyum puas karena berhasil mengerjai Devan lagi. Dirinya tersenyum melihat wajah Devan yang masih saja merajuk. Tidak sadarkah bahwa Revan kini tengah menahan diri untuk tidak mencuri satu ciuman lagi di pipi sang adik. Dilihati seperti itu oleh Revan, membuat Devan bergidik. Dia mendorong jauh-jauh tubuh Revan darinya.
"Mikir apaaan lo sampe liatin gue kayak gituh?" Tanya Devan dengan judes.
Revan menyeringai. "Mikirin penawaran lo waktu tiga bulan lalu, yang bilang walau kita punya istri nanti kita tetep tidur bareng."
"Najis lo, sana jauh-jauh. Lagian gue gak bikin penawaran kayak gitu." Devan kembali menggembungkan pipinya sebal.
Revan gemas sendiri melihat tingkah Devan. "Gue cium lagi ya, abis lo imut kalau gembungin pipi."
Devan segera memajukan langkahnya cepat ke depan menuju parkiran motor. Revan tersenyum menang. Tapi dia langsung menyadari kalau Devan belum memakai jaketnya "Eh tunggu Dev, pake dulu jaketnya."
"Rev, cuaca terik kok gue harus pake jaket. Lo aja pake kemeja tipis." Devan menatap teriknya matahari.
Revan menggeleng. "Tetep pake. Lo dibonceng kena angin."
"Elah gak ada angin, cuaca panas kayak padang pasir gini." Devan masih saja berkeras.
Revan menyodorkan jaket ke Devan. "Pake atau gue tinggal."
Nada bicara Revan terdengar tegas. Devan tahu jika nada bicara Revan seperti itu artinya dia memang tidak mau dibantah. Mengalihkan dengan mencoba menaiki bus pun percuma karena itu hanya akan membuatnya terlambat. Tanpa sanggahan apa-apa lagi, Devan mengenakan jaketnya dan menaiki motor yang akan dikemudikan oleh Revan. Setelah memastikan Devan mengenakan jaket dan duduk dengan benar, Revan mulai melajukan sepeda motornya menuju sekolah.
Devan bernafas lega ketika sudah sampai di kelasnya. Dia merasa beruntung karena dirinya berada di kelas IPS bukan di kelas IPA seperti Revan. Tidak bisa dibayangkan jika mereka satu kelas, Devan yakin Revan akan mencegah ini itu untuk dirinya. Dari dulu sebelum kedua orang tua mereka meninggal, Revan memang sudah protektif padanya dan sekarang kadar ke protektifnya Revan terhadap Devan tambah berkali-kali lipat. Tidak heran juga karena memang kondisi tubuhnya lebih rentan diserang sakit dibandingkan Revan.
Devan melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di kursi. Sungguh dari tadi dia sudah kepanasan sendiri. Terima kasih kepada Revan karena kembarannya itu harus memastikan bahwa Devan mengenakan jaketnya hingga ke dalam kelas. Devan mendelik kesal pada teman sebangkunya Ardli. Teman seper-TK-annya itu puas menyaksikan Devan yang mendumel sendiri karena harus memakai jaket di tengah cuaca yang panas.
Devan melotot ke arah Ardli tanda bahwa dia sedang marah. Namun bukannya takut tawa Ardli malah semakin pecah. Pelototan Devan itu seperti pelototan balita berumur tiga tahun di matanya. Merasa tidak berhasil membuat Ardli takut, Devan memberikan usapan sayang padanya menggunakan buku ekonomi yang tebalnya tiga ratus halaman. Ardli menarik ucapannya kembali, karena menurutnya balita berumur tiga tahun tidak akan melakukan kekerasan seperti yang dilakukan Devan.
Sementara itu Revan sudah tiba di kelasnya. Semua wanita di kelas memandang Revan takjub. Bagaimana tidak, Revan adalah pujaan semua siswi di satu sekolah. Revan duduk dan mengeluarkan bukunya. Hal yang dilakukannya adalah membaca. Para siswi disana tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari sang 'Prince of High School'.
Namun tontonan asyik mereka dipotong oleh kehadiran Kian dan Raka, teman-teman Revan. Kian dan Raka membuat para siswi disana mendengus, karena pasti Revan malah akan sibuk dengan mereka berdua atau lebih tepatnya Revan dipaksa untuk dibuat sibuk.
"Rev, gue liat PR matematika dong, gue lupa ngerjain." Raka hanya memberikan cengirannya.
Revan hanya membalas singkat. "Nggak bisa."
"Idih pelit amat sih lo, ini kan baru pertama kalinya gue liat." Raka tetap memohon.
"Kerjain sendiri." Jawab Revan acuh.
"Nah kan si Raka tuh permintaannya mustahil, gue aja nih. Gue lupa bawa buku catetan, gue pinjem punya lo yah biar gue gak dimarahin Bu Sheila." Kali ini Kian yang bicara.
Revan mendengus. "Lo itu bukan lupa tapi kebiasaan. Artinya gak bisa."
"Gue bakal beliin lo makan siang deh kalau lo pinjemin PR lo." Raka membujuk.
Kian tidak mau kalah. "Gue juga bakal beliin minumannya, kan makanannya udah dari Raka."
"Lah kok lo lebih murah dari gue Yan? Gak adil." Raka tidak menerima tawaran Kian.
Tidak mau mendengarkan perdebatan konyol diantara dua sahabat anehnya itu, Revan kembali memfokuskan diri pada bacaannya. Tetapi fokusnya hanya bertahan beberapa saat karena dia melihat seseorang yang sangat dikenalinya berlari dengan terengah menghampirinya, jangan lupakan wajahnya yang pucat. Revan segera menutup buku bacaannya, menyingkirkan Kian dan Raka agar Devan bisa duduk.
"Lo kenapa Dev, sampe lari kayak gitu? Ntar kalau lo kecapekan gimana?" Tanya Revan dengan sangat lembut.
Devan menetralkan nafasnya sejenak. "Buku catetan gue ketinggalan Rev, Bu Sheila pasti ngehukum gue."
"Tenang lo gak akan kena hukum, lo ambil buku catetan gue aja oke. Tenang gue yang akan mastiin lo gak kena hukumannya." Revan menenangkan kembarannya tersebut.
Devan menatap Revan khawatir. "Tapi lo gimana?"
"Gue gak apa-apa asal lo gak apa-apa oke." Revan kembali menenangkannya.
Devan memainkan jemarinya. "Sama Kak Rev, gue lupa ngerjain matematika. Soalnya kan kebetulan sama."
"Nih ambil, tapi lain kali lo harus bilang sama gue oke kalau lo belum ngerjain." Revan menyodorkan buku matematikanya juga.
Devan segera mengambil bukunya dan memeluk Revan sayang. "Gue sayang lo Kak Revan."
Hati Revan kembali menghangat dengan perlakuan Devan kepadanya. Jarang sekali Devan terang-terangan kepadanya. Kian dan Raka hanya saling bertukar pandang satu sama lain. Mereka harus membujuk dengan penawaran makan siang plus minuman sementara Devan tanpa penawaran apapun langsung diberi tanpa banyak pertanyaan. Dan sekarang mereka melihat Revan tengah tersenyum. Seorang Revano tersenyum dan tentu siswi disana kembali histeris melihatnya.
Revan yang sadar dipandangi seperti itu langsung mengembalikan ekspresinya pada yang biasa. Dia juga tidak mempedulikan Kian dan Raka yang masih sibuk mengamatinya, walaupun ekspresinya sudah berubah dingin kembali. Tidak perlu menghitung sampai satu, dua, tiga kedua makhluk itu langsung memprotes perlakuan Revan kepada mereka. Tetapi Revan hanya menjawab seadanya saja. Jawabannya adalah jika yang meminta adalah Devan maka Revan tidak akan segan untuk memberikannya.
Tidak terasa bel tanda istirahat sudah berbunyi. Kian, Raka dan Revan mereka berjalan menuju kantin sekolah. Revan duduk di meja kosong, meja yang biasa ditempati oleh mereka. Dia hanya duduk menunggu selagi Kian dan Raka sedang memesan. Dia melihat sang adik Devan juga tengah menikmati istirahat makan siangnya. Seperti biasa Devan ditemani oleh Ardli.
Revan diam-diam tersenyum mengamati gerak-gerik dari adiknya. Semuanya yang ada pada diri Devan adalah cerminan dirinya, hanya saja Devan memang terlihat lebih manis dibandingkan tampan sepertinya. Sementara itu Raka dan Kian yang sudah selesai memesan sudah duduk bersama dengan Revan. Mereka aneh sendiri melihat Revan senyum-senyum sendiri.
Kian mencoba mengikuti arah pandang Revan. Ternyata dugaannya benar, yang sedang dipandangi Revan sambil tersenyum itu adalah Devan. Raka yang melihat gerakan dari Kian mulai mengerti hal apa yang membuat temannya itu tersenyum seperti orang gila.
"Lo sayang banget ya sama adek lo Devan." Kian membuka suaranya.
Pandangan Revan langsung teralihkan. "Itu gak perlu ditanya, Devan segalanya buat gue. Terlebih dia adalah satu-satunya yang gue punya sekarang."
"Oh sweet banget, gue ngiri tuh. Kakak gue aja cueknya kebangetan sama gue." Raka mendramatisir.
Kian mencibir. "Iya lo nya sih susah dibilangin, dan bikin kakak lo capek."
"Eh biji ketumbar diem aja lah. Tapi gue emang salut sama kalian. Gue baru pertama liat ikatan kayak gini, tanpa alesan kalian adalah kembar ya." Raka ikut memuji persaudaraan di antara Revan dan Devan.
Revan tersenyum tipis. "Bagi gue Devan adalah oksigen. Kalau oksigen itu hilang maka gue gak bisa bernafas."
"Romantisnya kayak Romeo dan Juliet. Eh lo kagak belok kan Rev? Disini lo populer tapi masih jomblo." Kian bergidik membayangkannya.
Revan mendengus ke arah Kian tapi sedetik kemudian dia menyeringai. "Emang kenapa? Gue suka kok sama Devan suka banget, sayang dan cinta sama Devan gue yang manis dan imut. Kenapa emang, lo suka sama gue?"
"Raka gue saranin bawa sahabat lo ini ke poli kejiwaaan! Najis tujuh turunan, gue masih suka cewek bohay!" Kian membayangkannya saja sudah kesulitan.
Revan tertawa beberapa saat. "Sekalipun gue udah menikah dan punya anak nanti, Devan tetaplah hal yang paling utama buat gue. Karena bagi gue bisa bertahan sampai saat ini di tengah berbagai badai yang datang adalah Devan. Dialah yang ngebuat gue selalu menjadi kuat dalam keadaan apapun."
Raka termenung. Revan memang sekarang menjadi kepala keluarga menggantikan sosok ayah dan ibu untuk Devan. Dia merangkul bahu sahabatnya itu kemudian. "Lo juga jangan lupa kalau punya gue Rev, sahabat lo. Kalau sekiranya ada sesuatu yang gak bisa lo tanganin sendiri lo bisa dateng ke gue."
"Iyakali, gue emang gak dianggep ya disini." Kian mencibir.
Revan mengangguk dan menatap kedua sahabatnya. "Makasih Ka, gue juga makasih kok sama lo Yan. Terlebih sama kekonyolan lo yang sering bikin mood baik."
"Asem lo!" Kian membalas dengan nada candaan.
Devan tampak berbinar ketika pesanan baksonya sudah sampai di mejanya dan Ardli. Beda dengan Devan yang berbinar, Ardli malah was-was. Dia bisa melihat ada Revan duduk dari dua meja di belakangnya dan Devan. Revan itu tidak pernah mengizinkan Devan makan pedas juga minum dingin. Tapi karena Devan itu pemberontak dia berhasil beberapa kali mengelabui Revan. Namun sekarang Ardli merasa kalau Devan sedang dalam keadaan sial.
Ardli memakan baksonya dengan ragu-ragu. Rasanya dia kenyang seketika karena kini mata Revan menatap tajam ke arah mejanya dan Devan. Ardli sudah ingin berlari kencang meninggalkan meja, tapi dia tidak tega meninggalkan sahabatnya sendiri. Terlebih Revan akan sangat menyeramkan kalau sudah marah.
Di tengah acara makannya Revan tidak bisa fokus. Devan memakan makanan yang sangat dilarang oleh dirinya. Pedas dan juga minuman dingin. Devan juga terlihat lahap memakannya. Geram karena makanan tidak sehat itu sudah banyak masuk ke dalam tubuh adiknya, Revan beranjak menuju meja Devan.
Sekarang apa yang ditakutkan Ardli benar-benar terjadi. Revan sudah berdiri tegap di hadapan dirinya dan Devan yang masih saja sibuk memakan makanannya tanpa menyadari keadaaan.
"Kapan gue bolehin lo makan pedes sama minum es?" Nada biacara Revan terdengar tajam.
Devan menghentikan acara makannya. "Rev, gue bukan bayi yang gak boleh makan ini itu."
"Tapi lo tau akibatnya nanti ke kondisi tubuh lo." Kalimat tegas lagi-lagi diberikan Revan.
Ardli mencoba menengahi perdebatan itu. "I...ini di kantin, jangan ribut napa."
"Diem lo!" Bentakan terdengar jelas keluar dari mulut Revan. "Jangan dimakan lagi, pesen yang lain gue yang bayar." Revan memberikan penawaran pada Devan.
Devan meghembuskan nafasnya kasar. "Apaan sih lo Rev, gue mau lanjutin makan ini. Cuaca juga panas lagian."
'PRANG'
"Gue bilang pesen yang lain Devano!" Suara pecahan mangkok dan bentakan terdengar dengan sangat jelas.
Bahu Devan bergetar, seumur hidupnya dia baru melihat kemarahan asli Revan. Pertengkaran itu menjadi tontonan semua yang ada di kantin. Dia segera beranjak dan berdiri dari duduknya. "Lo itu Lebay Kak! Gue benci sama lo Kak Revan!"
Ardli hanya bisa menghela nafasnya. "Rev gue tahu lo emang sayang banget sama Devan, tapi bukan gini caranya. Gue kali ini setuju sama Devan kalau lo berlebihan."
Revan mendudukkan dirinya dengan keras. Dia mengusap wajahnya kasar. Sebelum itu dia meminta maaf kepada Ibu penjaga kantin karena sudah membuat keributan. Kian dan Raka langsung menghampiri sahabatnya itu. Mereka berdua mengerti memang tadi Revan berlebihan tetapi Revan juga tidak bisa disalahkan. Terlebih setelah mendengarkan penuturan bahwa Devan adalah segalanya untuk Revan.
Revan merutuki dirinya sendiri. Hari ini dia membentak Devan dan memperlakukannya dengan kasar. Padahal dia berjanji tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyakiti Devan namun sekarang justru dirinya orang yang menyakiti Devan. Kalimat Devan yang mengatakan kalau dia membencinya masih terngiang di benak Revan. Bagaimana dirinya akan hidup jika Devan harus pergi meninggalkannya? Raka dan Kian hanya bisa menghela nafasnya karena Revan masih tidak mau bicara.
Revan menunggu Devan keluar dari kelasnya setelah bel pulang sekolah berbunyi. Devan masih enggan menatap wajah Revan. Akhirnya Ardli yang mengatakan pada Revan bahwa Devan akan ikut pulang bersamanya. Dia juga berjanji akan menjaga Devan sampai selamat ke rumah. Revan tidak membantah dan menaiki motornya tanpa membonceng Devan seperti biasa.
Rupanya Revanlah yang sampai terlebih dahulu ke rumah. Selang beberapa menit Ardli dan Devan sudah tiba. Setelah mengantar Devan, Ardli langsung pamit undur diri. Devan langsung mengganti baju seragamnya dan membersihkan diri tanpa harus disuruh terlebih dulu oleh Revan. Sampai makan malam tiba pun tidak ada satu orang pun diantara mereka yang membuka suara. Mereka menyantap makan malam di dalam keheningan.
Sekarang sudah menunjukkan jam sembilan malam. Revan mengecek kamar adiknya, memastikan bahwa Devan sudah tertidur tidak bermain game lagi seperti kemarin malam. Revan melihat wajah yang serupa dengannya itu sudah tertidur lelap. Ada bekas air mata di pipi Devan. Sakit rasanya melihat hal tersebut. Revan memutuskan untuk duduk di sisi ranjang Devan dulu sembari mengelus rambutnya sayang.
"Maafin gue Dev. Gue gak pernah bermaksud ngebentak lo kayak tadi. Maafin gue yang lebay Dev. Gue ngelakuin semua itu karena gue sayang sama lo Dev. Gue gak pernah mau lo sakit. Gue pengen selalu memastikan kalau keadaan lo baik-baik aja. Terlebih lo emang gampang kena sakit dari kecil Dev. Gue semata-mata ngelakuin ini karena gue gak mau kehilangan lo juga sama seperti gue kehilangan mama dan papa. Cuma lo satu-satunya yang gue punya sekarang Dev. Lo adalah alasan gue untuk tetap bertahan. Lo adalah oksigen yang harus selalu gue hirup biar gue bisa bernafas. Tapi apa yang gue lakuin bener kata Ardli tadi, gue terlalu berlebihan. Lo pasti benci banget sama gue kan? Gue emang kakak yang gak berguna, gue gak bisa gantiin peran mama sama papa buat lo. Tapi yang harus lo tahu sayangnya gue sama kayak mereka, tapi sayang lo udah benci sama gue. Dengan lo diem kayak tadi, sama aja gue udah kehilangan lo Dev. Rasanya sesak Dev, karena oksigen gue gak bisa lagi gue hirup. Apa yang harus gue lakuin Dev..." Revan tidak bisa lagi melanjutkan kalimatnya, tangisnya sudah pecah bahkan sekarang dia terisak.
Tanpa dirinya sadari, sedari tadi Devan hanya berpura-pura tertidur. Mendengar penuturan itu membuat hatinya ikut merasakan sakit. Harusnya dia juga mengerti perasaan kakaknya tersebut. Devan bangun dari tidurnya dan memeluk Revan dari belakang.
"Maafin gue Rev, gue harusnya ngerti perasaan lo." Devan ikut menangis di pundak Revan.
Revan tersentak, ternyata adiknya belum tertidur. Dia berbalik dan menatap Devan yang wajahnya sudah berderai air mata. "Lo gak perlu minta maaf. Lo gak salah Dev, gue aja yang terlalu ngekang lo. Gue emang lebay."
"Gak lo gak lebay. Lo ngelakuin itu demi kebaikan gue." Devan menghapus kasar air matanya.
Revan menunduk sedih. "Tapi itu malah nyakitin lo."
"Mungkin agak dikurangin sedikit bisa ngebantu kok. Kalau bisa lo tunjukin aja kadar pedes yang harus gue makan itu berapa sendok." Jawab Devan dengan candaan sambil menghapus-hapus air matanya lucu.
Revan membantu sang adik menghapus air matanya. "Oke deal. Sekali lagi maafin gue ya Dev."
"Gimana kalau gue maafin lo asalkan malem ini lo tidur bareng gue disini?" Devan memberikan penawarannya.
Revan langsung menempatkan tubuhnya berbaring di atas ranjang Devan. "Sini bobo cepet gue kangen pengen meluk lo."
"Nah kan mulai lagi ke-nggak warasannya lo Rev, cari jodoh sana." Devan mencibir namun mulai berbaring dan mendekatkan tubuhnya pada Revan. Pelukan dari Revan tidak ditolak olehnya.
Revan tersenyum kecil. "Tar aja gue masih asyik sama lo, jodoh mah nanti juga dateng. Karena saat ini keutamaan gue adalah lo Dev."
Devan rupanya sudah terlarut dalam mimpinya. Akhirnya Revan juga memutuskan untuk menyusul ke alam mimpi.
.
.
.
.
.
~Time Skip~
Sudah dua hari ini Devan mengalami demam dan panasnya tidak kunjung turun. Hal itu tentu saja membuat Revan sangat khawatir. Untung saja sekolah sedang libur, jadi Revan bisa fokus untuk mengurus Devan yang sedang sakit. Pergantian cuaca dari panas menjadi hujan memang membuat kesehatan Devan menjadi rentan.
Revan membangunkan Devan yang nampak terlelap dengan pelan. Ini sudah siang dan sekarang waktunya Devan makan dan minum obat. Meski enggan Devan akhirnya membuka matanya. Disana Revan sudah duduk dengan semangkuk bubur yang sudah siap untuk Revan suapi kepadanya.
Sejujurnya Devan merasa sangat mual dan tidak bisa memakan apapun. Namun karena melihat perjuangan Revan, dia menjadi tidak tega. Dilawannya rasa mual itu oleh Devan dan mulai memakan suapan-suapan bubur yang diberikan oleh Revan kepadanya. Rasa mualnya rupanya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Devan menutup mulutnya menahan agar dirinya jangan dulu memuntahkan isi perutnya.
Revan yang melihat itu langsung menyimpan buburnya dan membantu memapah Devan berdiri untuk berjalan menuju toilet. Namun baru saja dirinya berdiri, Devan merasakan kepalanya sangat pusing. Sesuatu yang hangat terasa mengalir dari hidungnya. Cairan, cairan itu berwarna merah keluar dari hidungnya. Revan semakin cemas, tanpa rasa jijik dia mengelap hidung Devan. Namun kepanikannya semakin bertambah karena Devan sudah jatuh tidak sadarkan diri.
Revan terduduk di ruangan tunggu dengan tangannya yang masih bergetar hebat. Kejadian siang ini membuatnya kalang kabut. Devan memang sering sakit tapi tidak pernah sampai seperti ini. Di lengan bajunya masih tersisa darah yang tadi dirinya bersihkan dari hidung Devan.
Setelah setengah jam akhirnya pintu itu terbuka. Sosok dokter muda berumur 27 tahun itu keluar dari sana. Revan langsung berdiri untuk menanyakan mengenai keadaan sang adik. Tapi kenapa saat sang dokter akan mengatakannya dunia Revan seakan runtuh.
"Ini hanya sebuah perkiraan, semoga saja hasilnya besok negatif."
Devan tidak akan pergi bukan? Dia sudah berjanji pada waktu itu?
.
.
.
.
.
To Be Continue.....................
Gimana ceritanya? Mohon maaf kalau masih banyak kekurangan yah.
Jangan lupa tinggalin jejak ya
Kehidupan itu tidak bisa ditebak dan tidak bisa diterka. Ada peristiwa-peristiwa tak terduga terjadi di dalamnya tanpa diketahui. Mungkin jika peristiwa tidak terduga itu merupakan hal yang menyenangkan saat ini juga sang pemuda akan meloncat kegirangan sembari menyalakan kembang api. Tetapi dia hanya menunduk sambil berjalan, suara yang berkeliaran di telinganya seakan sunyi didengar. Revan, pemuda itu sangat mengharapkan bahwa ini hanyalah mimpi semata. Sayangnya ini adalah sebuah realita.
Revan membuka pintu kamar seseorang yang saat ini terus dikhawatirkannya. Nampak sang kembaran sudah sadar dari pingsannya dan kini Devan sedang duduk sembari memberikan senyuman khas anak kecil miliknya pada Revan. Mata Revan memerah, jutaan air mata sudah berdemo ingin keluar mengaliri pipi. Revan menahannya walau sesak. Benarkah dia harus kehilangan lagi?
Devan hanya terheran ketika melihat Revan hanya diam dan malah terus melangkah mendekatinya. Devan membulatkan matanya ketika Revan memeluknya dengan sangat erat, seolah Revan tidak menginginkannya untuk pergi barang sedetik saja.
"Maafin gue, maafin gue, maafin gue..." Revan terisak sambil terus memeluk Devan erat.
Hati Devan sangat sakit mendengar isakan Revan. "Ada apa? Lo bisa cerita sama gue Rev. Plis jangan nangis."
"Gue gagal jadi kakak yang baik buat lo Dev, gue gagal. Gue gak becus sama sekali." Isakan Revan masih sangat menyakitkan.
Devan menggeleng dalam dekapan Revan. "Lo tuh adalah kakak terbaik di dunia ini bagi gue, mau orang mandang kayak gimana lo adalah kakak yang paling gue sayang."
"Kalau gue terbaik, kenapa gue biarin penyakit sialan itu selama dua bulan ini ada di badan lo. Gue kakak yang bego." Revan mengepalkan tangannya erat.
Devan membisu, melirik kertas yang tergeletak di atas brankar. 'Leukimia stadium 2.' Dia sangat mengerti satu kalimat diagnosa tersebut. Dunia seolah berhenti berputar bagi Devan. Bagaimana dengan janjinya pada Revan? Hanya itu yang ada di pikirannya.
Devan tersenyum, menyembunyikan perasaannya yang hancur. Kalau dia hancur bagaimana Revan? "Kak gue akan lawan penyakit ini kok. Tapi sih kalau lo nya aja udah nyerah gini semangat gue malah turun loh."
Revan hanya bisa membisu.
"Mana ada semangat dong gue kalau orang yang harus nyemangatin gue aja putus harapan." Devan tersenyum dengan sangat tulus.
Kebisuan masih saja setia menemani Revan.
Devan menggenggam tangan Revan, menatap matanya dalam. "Gue percaya sama lo Kak. Kakak juga harus percaya sama gue."
"Maafin Kakak Dev, gue janji gue akan selalu kuat dan melakukan apapun demi kesembuhan lo." Revan akhirnya mampu menerima kenyataan ini.
Devan tersenyum mendengarnya, Revannya sudah kembali seperti dulu. "Gitu dong, baru namanya kakak gue."
Percakapan itu terus berlanjut hingga hari mulai berubah menjadi pekatnya malam. Menyadari waktu yang sudah beranjak, sang sulung mengakhiri percakapan hangat mereka. Dia membenarkan letak tubuh Devan agar berbaring. Menandakan bahwa remaja berumur 16 tahun itu tengah menyuruh sang adik untuk mengistirahatkan tubuhnya. Mata adik kembarnya mulai memejam. Revan membenarkan selimut sang adik hingga menutupi dadanya. Tidak lupa dia mencium kening Devan dalam. Seolah memberi tahu sang adik bahwa dia sangat menyayanginya.
Pintu ruangan tertutup, Revan sudah beranjak meninggalkan kamar rawat adiknya. Tanpa dia ketahui bahwa Devan sekarang tidak lagi memejam. Remaja itu bangun dari posisinya, dia terduduk. Air mata itu meluncur tanpa dikomandoi. Sesak. Devan tidak marah karena vonis ini. Devan tidak menyalahkan takdirnya ini. Hanya saja dia begitu takut. Bukan karena bayangan kematiannya yang dekat, tetapi ketakutan bahwa mungkin dia akan melanggar janjinya pada Revan.
.
.
.
.
.
.
Setelah tiga hari dirawat, akhirnya Devan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Ini juga didukung dengan keadaannya yang semakin membaik. Kini Devan dan Revan sedang membereskan barang-barang untuk dibawa kembali pulang. Walau bisa dibilang hanha Revan saja yang sibuk membereskan semua barangnya.
Sebenarnya Devan juga mencoba untuk membantu, tetapi Revan langsung menolaknya. Dengan alasan hal itu bisa membuat Devan lelah. Devan ingin sekali membantahnya tetapi melihat binar mata Revan yang serius membuat Devan hanya bisa menuruti apa yang diinginkan sang kakak.
Beberapa menit, akhirnya Revan sudah membereskan semuanya. Urusan administrasi untuk syarat kepulangan pasien sudah ditangani oleh Andrea. Devan dan Revan memang dijemput oleh mobil yang dibawa Andrea. Kali ini Revan tidak menolak karena memperhitungkan keadaan Devan yang masih lemah. Semua barang-barang sudah dimasukkan ke dalam mobil. Revan dan Devan langsung masuk ke dalam mobil. Baru beberapa menit perjalanan Devan sudah terlelap ke dalam mimpi. Hal itu membuat Revan dan Andrea tertawa ringan. Devan yang tertidur benar-benar polos seperti anak kecil.
Kini mereka sudah tibah di rumah Revan dan Devan. Meski begitu Devan masih betah dengan dunia mimpinya. Tidak tega untuk membangunkan, Revan memilih untuk menggendong Devan masuk ke dalam rumah. Setelah menidurkan Devan ke dalam kamar, Revan menghampiri Andrea yang duduk di ruang tamu.
"Tan makasih ya udah bantuin aku sama Devan. Maaf ngerepotin juga." Seperti biasa Revan itu adalah orang yang tidak pernah mau membebani orang lain.
Andrea hanya bisa tersenyum. Hafal sekali dengan sifat mandiri Revan. "Rev, kenapa minta maaf? Sebagai keluarga kamu tante itu wajib untuk mengurusi kalian tau. Dan sama sekali tante gak merasa direpotkan."
"Tapi banyak hal yang udah dilakuin keluarga tante buat kita. Biaya sekolah sampai kuliah nanti bahkan tante yang bayarin plus sama biaya rumah sakit kemarin." Revan merasa tidak enak karena dia belum bisa membalas semua kebaikan Andrea.
Andrea menjawab dengan lembut. "Udah tante bilang kan tadi, itu semua udah jadi kewajiban tante."
"Makasih banyak tante. Tapi untuk kali ini izinin Revan buat ikut sedikit bertanggung jawab. Mulai sekarang Revan akan cari kerja paruh waktu buat nambah biaya yang lain-lain. Di luar biaya sekolah. Tante pokoknya harus izinin Revan. Terlebih keadaan Devan sekarang, perawatannya bukan sesuatu yang murah, Revan ngerti banget. Makanya izinin Revan ya tante. Revan gamau bebanin tante lebih dari ini. Revan janji Revan bakal bisa jagain Devan sebaik mungkin dan jadi pengganti papa sama mama yang baik untuk Devan." Kilat mata milik Revan terlihat begitu sungguh-sungguh. Di dalam pandangan itu tersimpan sebuah tekad yang besar.
Andrea mengelus lembut pundak milik Revan. "Sekalipun tante cegah kamu, kamu pasti akan ngelakuinnya bukan? Tapi dengan syarat disaat kamu memang sudah gak sanggup lagi wajib buat kamu datang ke tante."
"Makasih banyak tan, aku sayang tante." Revan memeluk Andrea membuat wanita itu tersenyum.
"Mungkin takdir yang sedang kalian jalanin lagi berat, tapi percaya Rev suatu saat nanti semua akan berubah jadi indah. Maka dari itu kamu harus tetap kuat supaya tetep bisa jadi penyokong Devan biar dia tetap mampu untuk berdiri." Andrea memberikan nasihatnya sebelum pamit pulang.
Suara alarm terdengar berbunyi nyaring di dalam kamar seseorang. Remaja itu meraba-raba meja mencari sumber suara bising yang hendak membangunkannya. Lengannya berhasil mendapatkan benda yang mengeluaran suara bising. Matanya sedikit membuka menatap sebuah angka yang tertera lalu sedetik kemudian dia kembali ke alam mimpi.
Namun detik berikutnya matanya membuka dan melebar. Ini sudah hampir pukul 7 pagi dan dia masih terbaring di atas tempat tidur. Devan langsung meloncat dari tempat tidurnya dan lekas masuk ke kamar mandi. Di hari ini dia ada ulangan dari salah satu guru killernya.
Setelah bersiap Devan langsung menuju meja makan. Dia melihat Revan yang sudah sangat siap untuk berangkat sekolah. Tanpa menyentuh sarapan, Devan langsung berlari menghampiri Revan yang sudah mau menaiki sepeda motornya. Revan menghentikan pergerakannya ketika Devan menghampirinya dengan seragam lengkap.
"Elah Rev, kok lo ninggalin gua sih?" Devan mendumel karena Revan malah mau berangkat sendiri.
Revan memandang Devan dari atas sampai bawah. "Lo yang ngapain? Pake seragam lengkap segala. Masih sakit juga."
"Lah kalau gue masih sakit mana ada gue disuruh pulang ke rumah." Devan itu paling bisa untuk membantah.
Revan memutar matanya malas. "Tapi masih harus istirahat."
"Istirahat mulu siap geraknya kapan coba?" Devan malah mempelesetkan pernyataan Revan.
Revan menghembuskan nafasnya kasar. Lalu dia berucap tegas. "Devano lo bisa gak kalau dikasih tau gak usah bantah? Kalau kata gue lo harus istirahat ya istirahat."
"Iya iya maaf. Tapi Rev plis hari ini tuh ada ulangan, Bu Sheila lagi. Kalau gue gak ikut susah banget minta susulan ke dia. Ya ya ya kak Revan izinin gue sekolah ya?" Devan mulai merengek, baginya ini adalah senjata terkuat untuk Revan.
Terdengar helaan nafas dari Revan. "Ok.. Ok gue izinin. Dengan catatan cuma belajar, gak ada makan pedes, minum dingin dan ngelakuin kegiatan-kegiatan yang berat."
"Ah elah peraturan perundang-undangan mana lagi itu?" Devan mendengus mendengar persyaratan yang diajukan Revan.
"Lo tinggal iyain aja atau gue berangkat sendiri sekarang juga." Revan heran, adiknya ini selalu saja bisa menjawab perkataannya dengan jengkel.
Devan mendengus. "Iya gue nurut. Dah puas?"
"Gitu dong, gih pake jaket dulu." Revan kembali memerintah.
Devan heran cuaca sekarang sedang sangat terik. "Rev ini udah kayak di Arab Saudi lo tau, tambah pake jaket makin panas macem sahara."
"Oke Devano, gue berangkat ya istirahat di rumah ya." Revan mulai menstater sepeda motornya.
Devan segera memakai jaketnya dengan cepat. "Ok. Ok lo menang, udah nih gue pake."
Devan menaiki sepeda motor Revan. Mereka berdua akhirnya berangkat menuju sekolah. Revan tertawa ringan, dia masih mendengar gerutuan Devan yang sedang dibonceng olehnya. Mereka sudah tiba di sekolah lima menit sebelum pintu gerbang ditutup. Untung saja jarak sekolah tidak terlalu jauh. Devan dan Revan berpisah untuk menuju kelas masing-masing.
Baru saja Devan duduk di bangkunya, Bu Sheila sudah datang memasuki ruangan kelas. Untung saja dia datang sebelum Bu Sheila kalau tidak dia pasti sudah dihukum dan tidak boleh ikut ulangan.
Di tengah ulangan itu Devan menggeram. Bukan karena soalnya yang terbilang sulit tetapi karena Ardli yang terus saja menyikutinya. Sahabatnya itu pasti tidak belajar lagi. Devan untung saja sudah menyelesaikan soalnya. Meski sangat berat hati, Devan akhirnya memberi sedikit contekan pada Ardli
Mata pelajaran Bu Sheila sudah mau habis. Satu per satu siswa sudah menyerahkan lembar kertas ulangan mereka. Termasuk Devan dan Ardli. Semua murid bernafas lega setelah Bu Sheila meninggalkan ruangan kelas mereka. Pelajaran mereka terus berlanjut hingga pukul 12.00.
Akhirnya salah satu bunyi bel yang membuat mereka bahagia berbunyi. Apalagi jika bukan bel tanda istirahat. Devan dan Ardli langsung pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang sudah berdemo ingin dimasuki oleh makanan. Ardli memesan seporsi lumpia basah sementara Devan dia hanya memesan bakso yang dibening.
"Lah tumben lo gak diem-diem minta ke gue buat nambahin sambel ke mangkuk lo?" Ardli heran, tumben sekali Devan tidak membangkang.
Devan tersenyum mendengarnya. "Kalau gue bilang karena gue lagi sakit gimana?"
"Sakit digigit kutu aja lo mah paling. Tar juga sembuh." Ardli mengeluarkan candaannya.
Devan menunduk. Meski akan membuat sahabat sejak kecilnya itu bersedih, Devan akan tetap mengatakannya. "Leukimia stadium 2 Dli."
"Apa Mia? Gebetan baru lo?" Ardli dengan polosnya bertanya.
Devan pasrah. Ardli memang sedikit ya begitulah. "Gue sih pengennya jawab begitu, tapi gue rasa beda dengan persepsi lo. Coba deh lo inget sedikit tentang pelajaran IPA."
Ardli mulai berpikir. Sebuah penjelasan terlintas di benaknya. Mulutnya terkatup rapat. Dan tidak ada sedikitpun kalimat candaan yang terbesit di otaknya. "Ka...kanker darah? Devano kalo lo bohong dan ngeprank sumpah prank lo gaada lucu-lucunya tau gak?"
Devan hanya terdiam memandang Ardli dengan dalam. Meski Ardli tak sepintar Devan dia tahu maksud semua ini. Yang dikatakan Devan adalah kejujuran.
"Dev gue mohon lo jangan pernah pergi. Lo harus bertahan Dev." Ardli memohon dengan tulus dan terlihat ada air mata di dalam kelam bola matanya.
Devan memakan baksonya dan mendengus. "Apaan sih gue bukan orang yang gampang nyerah kok. Apalagi gue masih punya janji buat Revan. Udah ah wajah lo gak cocok melow-melowan makin jelek kayak cunguk."
"Nih orang ya belum pernah ngerasain ditendang kudanil." Ardli yang tadinya serius sedikit kesal karena balasan Devan.
Devan memasang pose berpikir. "Pernah kok."
"Lah kapan? Gue mau terima kasih sama tuh kudanil." Tanya Ardli sedikit heran.
Devan menunjuk muka Ardli. "Pan kudanilnya lo Dli."
"Gue tendang beneran lo Devano!" Kesal Ardli pada Devan meski tidak sepenuhnya serius.
Devan tersenyum karena berhasil menjahili Ardli. Baguslah sahabatnya sudah ceria lagi. Meski kenyataan ini memang menyedihkan yang diinginkam Devan hanyalah melihat orang-orang yang disayanginya tetap tersenyum.
.
.
.
.
.
Sementara itu di sebuah kelas lain terlihat 3 orang remaja berkumpul. Salah satu diantara mereka tampak sedang menatap ponselnya dan menuliskan beberapa kata. Matanya sibuk dengan serius menulusuri setiap hal yang ada di dalam ponselnya.
Dua orang lainnya, Raka dan Kian hanya bisa saling pandang satu sama lain. Merasa aneh dengan tingkah sahabatnya yang satu ini yang tidak kunjung ke luar sejak bel istirahat dibunyikan. Raka mendekati Revan, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya membuat sahabatnya iyu sampai tidak mau beranjak.
"Lowongan kerja? Lo cari loker buat siapa Rev?" Raka sedikit heran.
Revan menjawab tanpa mengalihkan fokus pandangannya. "Buat gue Ka."
"Oy oy lo mau kerja karena bosen sekolah? Jangan segitunya kali Rev. Sayang lo tuh bintang kelas, pinter lagi jalanin aja dulu ya." Kian langsung ikut menimpali pembicaraam Raka dan Revan.
Revan berhenti sejenak dari kegiatannya. "Gak lah gue gak bakal sampe putus sekolah kayak gituh. Gue harus cari tambahan uang buat gue, terlebih Devan."
"Devan? Anak itu minta sesuatu yang mustahil ke lo Rev?" Raka tahu kadang permintaan Devan itu tidak masuk akal.
Revan sudah selesai dengan catatannya. "Kalau bisa gue emang pingin bikin sesuatu yang mustahil bagi Devan itu jadi mungkin."
Kian menggelengkan kepalanya. "Tuh anak ya, lo tuh coba jangan nurutin kemauannya terus."
"Gue bakal lakuin apapun asal adek gue sembuh Ka, Yan." Kedua orang itu bisa melihatnya bagaimana Revan menundukkan kepalanya dan pandangan sendu yang begitu mengiris.
Raka tahu ada suatu beban tambahan yang pasti sedang dipikul oleh sahabatnya ini. "Apa terjadi sesuatu pada Devan?"
"Devan gue sakit Ka, dia sakit kanker darah. Gue takut Ka, gue takut oksigen yang harusnya gue hirup suatu saat nanti akan pergi." Kalimat ini mengutarakan semua rasa frustasi milik Revan.
Mulut Kian terkatup. Sementara Raka memegang lembut pundak Revan. "Rev lo harus kuat. Lo tahu bahwa keajaiban Tuhan itu nyata bukan? Lo gak boleh nyerah Rev. Lo harus kuat. Disaat seperti ini lo adalah orang yang harus kuat dari siapapun juga, karena gue yakin Devan bakal terus berjuang karena liat lo yang semangatinnya terus."
"Yang dibilang Raka bener Rev. Asalkan kita terus berusaha dan berdoa, Tuhan akan memberikan hadiahnya." Kian ikut memegang pundak Revan, seolah menyalurkan semangatnya juga untuk Revan.
Revan memandang kedua sahabatnya itu. "Makasih ya, kalian berdua emang sahabat gue yang paling baik."
Revan sangat bersyukur meski ditengah rasa kesepian dan cobaannya yang bertubi-tubi, dia masih memiliki orang-orang yang menyayanginya dan juga adiknya. Mengingat adik, Revan belum menanyakan kabarnya. Dia mengetikkan pesan singkatnya pada Devan.
To: My Devano adik imut.
Dev lo udah makan kan?
To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang
Udah kok tadi ngebaso.
To: My Devano adik imut.
Gak pake pedes kan? Kalo lo boong gue tau loh.
To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang
Nggak Rev nggak elah gak boong.
To: My Devano adik imut.
Udah minum obatnya? Lo tau kan lo gak boleh telat minum obat.
To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang
Udah 'mommy' udah
To: My Devano imut.
Good boy baby. Tar gue tunggu di parkiran ya baby. Kangen pengen uyel-uyel lo.
To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang
Jijik sumpah. Lama-lama gue bawa lo ke pskiater juga Rev. Gila lo.
To: My Devano imut.
Pan gue gila karena lo Dev.
To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang
NAJIS. NAJIS. Pas pulang pasti gue tabok lo Rev!
Revan tersenyum melihat jawaban terakhir yang diberikan Devan padanya. Sebuah kesenangan tersendiri bagi Revan jika berhasil menjahili sang adik. Revan sudah bisa membayangkan bagaimana ekspresi sang adik saat ini. Mata bulatnya pasti membola dengan memasang pose ngambek. Memikirkan itu membuat Revan gemas sendiri.
Sementara itu Ardli yang tidak sengaja melihat chat diantara kakak beradik itu hanya bisa cengo. Sebenarnya apakah dunia sudah mau kiamat atau apa sih? Sekarang makin banyak hal yang seperti ini.
"Anjir, Dev gue saranin lo mulai saat ini jauh-jauh dari si Revan." Ardli ngeri sendiri untuk membayangkannya.
Devan menatap Ardli dan menghembuskan nafasnya. "Kalau bisa gue bawa dia ke biro jodoh dari dulu."
"Nggak waras nggak waras." Ardli menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba saja bunyi notifikasi pesan di ponsel milik Devan kembali terdengar.
From: Kakak H*mo kamvret tapi sayang
Kalau si Ardli bilang gue gak waras, tiati dia juga ntar gue incer.
Saat itu juga Ardli merasa semakin ngeri. Sementara di kelas sana Revan tertawa puas karena berhasil juga menjahili sahabat Devan.
.
.
.
.
.
.
Hari berikutnya di pagi hari Devan mengernyit bingung melihat Revan memasak sambil bersenandung ceria. Kakak kembarnya itu seperti sedang mendapatkan sesuatu jackpot yang besar. Dia juga tidak mengomelinya karena tadi Devan cukup susah untuk dibangunkan.
Bahkan sampai saat Revan meletakkan semua makanan di meja, kakak kembarnya itu terus bersenandung. Devan merasa khawatir apakah kesehatan jiwa Revan sudah terganggu? Karena penasaran, Devan secara tiba-tiba menarik Devan dan mendudukkannya secara paksa. Meraba kening sang kakak.
"Lah gak panas?" Devan mengeluarkan ekspresi bingungnya.
Revan memandang aneh sang adik. "Lah emang gue gak sakit kok."
"Tapi gue pikir lo sakit sih. Sakit jiwa tepatnya." Devan langsung mengungkapkan.
Revan memandang kesal Devan. "Sembarangan lo! Gue jahit juga tuh mulut."
"Abisnya lo nari-nari gaje, nyanyi-nyanyi gaje. Masih mending sih kalau suara lo enak didenger, lah ini boro-boro." Devan kembali ke posisinya dan mulai memakan sarapannya.
Revan menghela nafasnya, menahan kesal. "Mulut lo tuh ya kalo ngomong. Gak tahu orang lagi seneng apa."
"Seneng? Seneng kenapa? Ditembak cewek lo? Ah syukur deh kalau emang bener, akhirnya lo tobat juga Rev." Devan bersyukur sekali jika memang itu terjadi.
Revan mulai ikut memakan sarapannya. "Cuwak cewek lo ah. Masalah cewek gampang banyak kok yang ngantri ke gue, satu sekolah malah."
Devan mencibir. "Nah nah mulai kan ke-PDannya. Jadi kalau bukan karena cewek kenapa lo cengar-cengir kayak tadi Rev?"
"Gue diterima kerja Dev. Kerja paruh waktu di *WCD. Susah kan cari kerjaan part time, tapi gue langsung diterima dong." Revan terlihat sangat bahagia tidak melihat ekspresi Devan yang mulai menyendu.
Devan berkata pelan. "Emang harus banget ya? Apa ini karena penyakit gue? Sampe lo harus kerja kayak gituh. Gue tau perawatan dan obat yang gue dapet gak murah kan. Gue bebanin lo ya Rev..... Kalau gituh mending.."
"Mending 'Gue gak usah dikemo dan berhenti minum obat aja' kalau gue denger kalimat itu keluar dari mulut lo, gue lebih baik mati sekarang juga!" Kalimat Revan memang tidak membentak tetapi tersirat jelas nada tinggi yang tercantum di dalamnya.
Devan menunduk, mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. "Maaf Rev, gue gak maksud..."
Ada getar yang terdengar keluar dari mulut Devan. Revan menghembuskan nafasnya, berjalan perlahan menuju sang adik. Direngkuhnya tubuh Devan ke dalam pelukannya. Seolah memberitahu bahwa dia tidak marah padanya.
"Gue lakuin semua ini buat lo Dev, jadi tolong jangan pernah bilang kayak gitu lagi. Karena bagi gue, semua impian yang gue miliki udah ada di lo Dev." Revan berucap dengan sangat lembut.
Ada setitik air yang terjatuh dari sudut mata Devan namun segera dihapusnya. Devan mulai menganggukkan kepalanya. "Gue juga akan berjuang Rev, makasih karena lo selalu jadi penopang hidup gue."
"Gue juga makasih dek, karena kamu udah jadi oksigen yang bisa kakak hirup ditengah semua cobaan ini. Jadi kakak mohon sekali lagi jangan pernah coba untuk menghilang oke?" Revan mengacak surai lembut milik Devan.
Meski hatinya sangat penuh keraguan, Devan menganggukan kembali kepalanya. Apa boleh dia membuat janji lagi untuk Revan? Di saat janji yang sebelumnya belum tentu bisa dirinya penuhi.
.
.
.
.
.
.
Di kelas IPS Devan suasana nampak meriah dan riuh. Kali ini mereka tengah membahas mengenai acara makrab. Malam keakraban yang diadakan setiap setahun sekali. Ini sangat dinantikan oleh semua murid di kelas IPS itu. Bahkan oleh Devan. Dia tahun kemarin juga ikut, acaranya sangat seru dan mengasyikan apalagi dengan pemandangan gunung yang menakjubkan.
Akhirnya semua murid sudah memutuskan bahwa makrab mereka akan diadakan di daerah Ciwidey Bandung. Tentu saja hal itu semakin membuat Devan terlihat senang. Dia belum pernah kesana sebelumnya. Sampai pulang sekolah keceriaan tidak kunjung luntur dari wajahnya.
Sampai pulang akhirnya Devan membicarakan hal yang sedang diinginkannya. Tetapi pada saat itu juga keceriaannya memudar. Revan memandangnya dengan lurus. Pandangannya tajam seolah tidak ingin dibantah.
"Gak boleh." Tegas dan lugas.
Devan memprotes keputusan Revan. "Kenapa gak boleh? Tahun kemarin aja gue ikut."
"Tapi pulangnya lo demam tinggi dan gak sekolah selama tiga hari." Revan menjelaskan kejadian tahun lalu.
"Rev, kalau gue maksa tetep mau pergi gimana?" Devan tetap memaksakan kemauannya.
Revan mendelik, menatap marah pada Devan. "Sekarang gue balikin. Kalau gue tetap maksa lo gak boleh ikut gimana?"
"Rev, cuma satu hari satu malam itu juga pergi sabtu pulang minggu siang. Disana juga ada temen-temen yang lain. Ardli juga ada." Sekali lagi Devan mencoba membujuk kakak kembarnya.
Revan menggelengkan kepalanya, keputusannya tetap sama. "Bisa gak sih gak usah ngeyel kalau dikasih tahu?"
"Gue gak ngeyel, gue cuma lagi minta izin dari lo. Yodah kalau lo gak ngasih izin gue minta izin ke tante Andrea aja." Devan mencoba mencari alternatif lain.
Revan mencoba menahan amarahnya tetapi gagal. "Devano!" Bentakan keluar dari mulut Revan. "Sekali gue bilang gak boleh berarti gak boleh! Kondisi lo tuh udah beda dari dulu! Sadar diri!"
Devan mematung mendengarnya. Cukup syok dengan kalimat terakhir Revan. Hingga akhir Revan tidak mengubah keputusannya. Devan juga sudah tidak bisa membantahnya dengan kalimat apapun. Karena sudah tidak mau berdebat lebih panjang lagi, Revan memutuskan untuk masuk ke kamarnya tanpa mau menoleh pada sang adik.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya berjalan seperti biasa, seolah pertengkaran semalam sama sekali tidak terjadi. Revan yang bersikap seperti biasanya, mengomel karena Devan susah dibangunkan dan kejahilannya untuk menggoda sang adik. Devan juga melakukan hal yang sama. Dia tidak ingin memperpanjang hal yang kemarin malam terjadi. Karena Devan tidak mau melihat Revan marah lagi.
Revan dan Devan memakan sarapannya dengan tenang. Ini hari jumat, pelajaran di sekolah juga cukup sedikit. Waktu untuk masuk kelas pun masih terbilang cukup lama, jadi mereka bisa sedikit bersantai dulu. Terlebih untuk Devan, dia bisa memainkan game kesayangannya. Mata milik Devan terus saja tidak beralih dari benda kotak yang ada di tangannya.
Revan sendiri sudah menyelesaikan sarapannya. Dia mulai membereskan piring bekas makannya. Namun ketika melirik Devan, anak itu sama sekali belum menghabiskan sarapannya. Revan menggeleng saat melihat Devan sedang sibuk bermain game.
Revan sengaja menunggu agar Devan cepat menghabiskan sarapannya. Tetapi sudah mau 10 menit berlalu, anak itu tidak menyentuhnya juga. Karena kesal dengan cepat Revan menghampiri Devan dan mengambil ponselnya itu.
"Ah Rev siniin hp gue, kalau mau main lo juga kan punya hp sendiri!" Devan kesal karena Revan mengambil ponselnya tiba-tiba.
Revan memasukkan ponsel Devan segera ke dalam tas miliknya. "Sarapan lo abisin dulu terus minum obat, baru gue kasihin nih hp."
"Bentar kali, masuk kelas juga masih lama tar juga gue abisin kok. Siniin cepetan daily gue belum kelar itu." Devan mulai mencoba mengambil tas Revan untuk mendapatkan ponselnya.
Sayang tangan Revan lebih cepat memegang ponsel Devan. "Bodo amat, nih gue uninstall nih game."
"Gue makan nih gue makan Revano, susah lagi kalau lo unistall gue harus ulang dari awal lagi nanti." Devan tau kalau Revan itu tidak pernah main-main dengan ancamannya.
Revan tersenyum menang. "Oke gue sita dulu hp lo sampe lo selesai minum obat."
"Cerewet dasar ibu-ibu." Devan mencibir pelan.
Revan bertanya dengan pandangan menyeramkannya. "Bilang apa lo barusan?"
"Gue bakal sarapan terus minum obat Kak Revanku sayang." Devan sengaja menekankan kata-kata di kalimat terakhirnya tadi.
Senyum kemenangan kembali terhias di wajah Revan. Devan sudah melakukan apa yang diperintahkannya, bahkan adiknya itu juga membereskan bekas makannya. Sebuah kemajuan ah atau mungkin keajaiban yang luar biasa. Baru saja mereka akan berangkat menuju sekolah, Revan menerima sebuah telepon.
Ternyata dia mendapat telepon dari atasannya. Revan diminta untuk menggantikan salah satu karyawan disana yang tidak dapat masuk di akhir pekan. Dia juga diminta untuk menginap karena toko itu akan mengadakan sebuah event yang cukup besar. Revan sangat ingin menolak tapi dia tidak bisa, apalagi dia baru kemarin-kemarin diterima disana. Pada awalnya Revan sedikit khawatir setelah menjelaskan ini pada Devan, tetapi adiknya itu terlihat baik-baik saja dan meyakinkan Revan bahwa dia bisa menjaga dirinya dengan baik.
Tanpa diketahui Devan memang sedikit senang karena Revan ada pekerjaan mendadak seperti itu, dengan acara menginap segala. Kalau begitu Devan mempunyai cara untuk ikut acara makrab di hari tersebut bersama teman satu kelasnya. Maafkan Devan, kali ini dia memang tidak bisa melewatkan kegiatan tersebut.
.
.
.
.
.
.
Weekend ini jadi hari yang sempurna bagi Devan. Setelah semua hal yang terjadi Devan memang merasa dirinya membutuhkan refreshing. Untung saja Revan sudah pergi dari jam 5 pagi tadi. Devan dengan tenang mempersiapkan barang-barangnya dan mulai pergi ke sekolah dimana mereka menetapkan tempat berkumpul disana.
Ardli cukup terkejut melihat Devan yang juga ikut dalam makrab kali ini. Bukannya Devan dilarang untuk ikut dalam acara makrab tahun ini? Bagaimana bisa anak itu datang dengan wajah ceria ke tempat ini sekarang.
Devan dengan cepat duduk di atas sepeda motor milik Ardli. Sementara Ardli tetap memasang wajah kebingungannya. Melihat itu Devan mengerti bahwa Ardli membutuhkan penjelasannya.
"Gue boleh ikut kok tenang aja." Devan memberikan penjelasannya.
Ardli bertanya heran. "Tapi Dev, gue tau banget kalau Revan itu gak pernah ngubah keputusannya. Kok bisa?"
"Revan lagi ada kerjaan ngedadak dia pulangnya besok pas kita juga pulang. Jadi gak akan ketahuan kalau gue ikut makrab." Devan memberi tahu Ardli agar sahabatnya itu tidak terlalu panik.
Ardli terkejut mendengar penjelasan Devan. "Lo ngapain coba? Revan kalau tau bisa marah besar dia. Udah ah mending gue anter lo balik lagi."
"Plis lah Dli gue udah kelamaan diem di rumah mulu, sekali-kali gue juga butuh refreshing. Refreshing juga bagus kok buat kesehatan." Devan merayu sahabatnya ini dan jangan lupa dengan tatapan memelasnya.
Ardli menghembuskan nafasnya kasar. "Ok. Ok. Lo ikut. Tapi lo harus tetep barengan sama gue, jangan lakuin aktivitas berat apapun."
"Lah kok gituh sih? Emangnya gue masih kecil apa?" Devan menolak perlakuan Ardli tersebut.
Ardli tetap pada keputusannya. "Kalau gak mau sekarang juga gue anter lo balik lagi ke Revan."
Devan memutar bola matasnya malas. "Iyah! Gue nurut! Lama-lama lo jadi nyebelin kayak Revan tau gak."
"Bodo amat, ayo berangkat sekarang." Ardli tidak mempedulikan protesan Devan.
Mereka semua mulai berangkat menuju lokasi. Devan memandang sekitarnya dengan berbinar. Sudah lama sekali dia tidak melihat pemandangan dan merasakan udara segar seperti ini. Setelah tiba mereka langsung membangun tenda.
Devan Ardli berada di dalam satu tenda yang sama. Banyak kegiatan alam yang mereka lakukan. Devan juga ikut serta, walau Ardli yang lebih banyak melakukan aktivitas. Udara disini sangat segar, pantas saja banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri yang mengunjungi tempat ini.
Di sisi lain ternyata Revan sudah pulang malam ini. Eventnya berakhir lebih cepat dari dugaan. Jadi dia tidak perlu menginap. Revan sangat senang jadi dia tidak perlu meninggalkan Devan cukup lama. Tetapi dahinya langsung mengerut saat mulai memasuki rumah.
Tidak biasanya rumah dalam keadaan gelap. Devan itu selalu menyalakan lampu. Entah kenapa perasaan Revan menjadi sangat tidak tenang. Dia segera menuju kamar Devan. Namun keadaan kamar itu sangat rapi. Hal yang membuat jantungnya berpacu dengan sangat cepat adalah karena Revan tidak menemukan keberadaan adiknya disana.
Revan mencari keberadaan Devan dimana-mana, tetapi tidak kunjung dia temukan juga. Revan juga menelepon Andrea tantenya meski tengah malam begini. Tetapi Andrea menjawab bahwa Devan tidak ada di tempatnya saat ini. Revan panik takut terjadi hal yang sangat tidak diinginkan terjadi pada Devan. Berbagai hal buruk terlintas di pikirannya.
Revan langsung mencoba menghubungi ponsel Devan. Dia cukup bernafas lega ketika ponselnya sudah tersambung. Tetapi lama sekali Devan mengangkatnya. Matanya langsung melebar ketika suara seseorang mulai menyapanya.
"Dev lo dimana? Gue gak nemuin lo di rumah? Lo gak kenapa-napa kan?" Revan langsung menyerbunya dengan pertanyaan.
Tidak ada lagi jawaban yang membalasnya.
"Devano kalau kakak lo nanya tuh jawab!" Revan jadi panik kembali karena Devan tidak menjawabnya lagi.
Sekarang ada sebuah suara familiar yang mulai terdengar. "Dli ngapain lo pegang-pegang hp gue, berisik tau tidur lagi besok baru pulang kan."
"Re..revan Dev... Dia udah pulang." Ardli bicara sangat pelan.
Devan menguap tidak menanggapi. "Apaan sih, si Revan baru pulang besok sama kayak kita. Lo ngelindur kali."
Ardli langsung menunjukkan nama yang tertera disana. Devan langsung bangun dan segera mengambil ponselnya dari tangan Ardli. "R....R .... Rev kerjaan lo udah beres?"
"Sebutin lo dimana sekarang." Dingin, tidak ada ekspresi dari wajah Revan.
Devan berucap pelan. "Acara makrab yang di Ciwidey."
"Sekarang juga beresin barang lo, gue jemput kesana." Lagi-lagi Devan tidak bisa menangkap ekspresi Revan.
Ini sudah sangat malam, Devan menolaknya. "Gue besok pulang kok bareng yang lain, gue juga baik-baik aja disini."
"Gue. Kesana. Sekarang." Penuh penekanan. Hingga akhirnya Revan memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.
Seperti orang gila Revan mengendarai sepeda motornya. Dia tidak mempedulikan semua suara kendaraan yang mengklaksoninya. Di pikirannya saat ini hanyalah Devan. Hanya dalam waktu setengah jam Revan sudah tiba di lokasi.
Dengan kasar dia memarkirkan sepeda motornya. Matanya dengan tajam menelusuri arah mencari keberadaan seseorang.
"Kak Revan..." Devan berucap pelan sekali terlalu takut dengan kilat yang penuh amarah itu.
Revan segera mengambil tas Devan dan memakainya. Menarik lengan Devan dengan keras. Revan sama sekali tidak mengeluarkan suaranya barang sedikitpun. Devan meringis karena tarikan Revan.
Ketakutannya semakin bertambah saat Revan mulai memboncengnya. Revan melajukan sepeda motornya dengan sangat cepat. Devan menunduk takut. Semarah-marahnya Revan, dia tidak akan sampai seperti ini. Mereka sudah tiba di rumah dengan cepat. Revan membanting pintu masuk rumh dengan sangat keras. Dia mendudukkan Devan dengan kasar di atas kursi. Sementara adiknya itu masih menunduk, terlalu takut untuk sekedar memandang wajah Revan.
"Asal lo tahu kekecewaan gue ke lo lebih besar dari semua kemarahan gue ke lo Devano." Revan berucap dengan sangat dingin dan berlalu meninggalkan sang adik begitu saja.
Devan sudah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Lebih baik Revan memarahi ataupun memukulnya saja daripada seperti ini. Dia sangat sakit mendegar kalimat itu. Bagaimana dia melihat bahwa sirat amarah itu ternyata lebih banyak mengandung luka.
Revan menulikan pendengarannya meski isakan sang adik terdengar semakin keras.
.
.
.
.
.
.
To Be Continue......
Senandung kicauan burung mulai terdengar. Bintang yang paling bercahaya di seluruh alam itu mulai menampakkan dirinya. Seolah dia baru saja terbangun dari istirahatnya selana 12 jam. Cahaya terangnya kini sudah menerangi banyak kehidupan yang sudah memulai untuk melakukan berbagai aktivitas.
Tidak terkecuali dengan salah satu rumah yang di dalamnya juga mulai beraktivitas. Terlebih hari ini adalah hari senin, dimana aktivitas padat dimulai kembali. Dimulai dari orang yang berangkat kerja hingga pergi untuk sekolah.
Hanya saja di dalam rumah tersebut tidak terdengar percakapan yang terjadi. Sebuah kebisuan dan kesunyianlah yang kentara disana. Dua orang berwajah mirip itu hanya terdiam satu sama lain. Yang satu sibuk memasak sarapan tanpa mau memulai pembicaraan terlebih dahulu. Sementara satu yang lainnya hanya bisa memandang sendu orang yang mirip dengannya itu. Dia sangat merasa bersalah karena membuat Revan begitu kecewa.
Meski begitu, semarah-marahnya Revan pada sang adik, remaja itu akan selalu memastikan bahwa Devan sudah memakan sarapannya dan tepat waktu meminum obatnya. Walau pada kenyataannya Revan hanya mengeluarkan sedikit verbalnya. Masih terlihat jelas kilat mata Revan yang dipenuhi oleh kekecewaan yang mendalam.
Devan sendiri memakan makanannya dengan sesak. Ini adalah jam makan pertama, tetapi Devan sudah merasa sangat kenyang. Bukan karena dia tidak lapar tetapi karena sesak di dalamnya melihat binar yang disukainya itu masih penuh dengan rasa kecewa.
"Kalau udah minum obatnya ayo berangkat sekarang." Revan tidak menatap kelam yang dimiliki oleh Devan. Kalimatnya bahkan terkesan terlalu datar.
Devan mengangguk, mulai merapikan bekas sarapannya. "Gue beresin dulu ya Rev."
"Gak usah, biarin aja." Revan masih belum memandang Devan.
Devan mendengus. Kenapa Revan tiba-tiba jadi jorok seperti ini? "Tar banyak laler Rev kalau ditinggal, ih kecoak apalagi jijik tau."
"Gue bilang gak usah." Tajam mata milik Revan menusuk langsung ke arah pandangan Devan.
Devan menegang, beberapa jam sudah berlalu tetapi luka milik kakak kembarnya itu masih menganga dengan jelas. "Terserah lo Rev gue nurut. Maaf...."
"Cepet pake jaketnya udah mau telat." Revan tidak membalas ucapan maaf dari sang adik.
Mulut Devan kembali terbuka untuk mulai membahas, tetapi beberapa detik kemudian terkatup kembali. Hingga akhirnya Devan hanya bisa menggangguk lemah dan menuruti apa yang diperintahkan oleh sang kakak. Remaja itu menaiki sepeda motor Revan dengan lesu.
Di dalam perjalanan menuju sekolah Revan yang biasanya suka sibuk menggoda Devan kini hanya berdiam diri. Lebih memilih untuk fokus pada jalanan yang ada di depannya. Devan semakin sesak, pagi ini terasa cukup panas tetapi dia merasa dingin. Revan seolah membuat tembok besar yang berlapiskan balok es yang begitu padat.
Hingga tiba di sekolah Revan memang masih mengantar Devan sampai ke kelas. Namun lagi-lagi Revan tidak memandang kelam milik Devan. Seolah memang sengaja untuk menghindari kontak. Sebenarnya Revan sangat tidak bermaksud untuk melakukan hal seperti itu. Tetapi dia terlalu takut bila menatap kelam bola mata yang sama dengannya itu, kemarahannya kembali datang. Revan sangat tidak mau jika harus membentak kembali Devan seperti kemarin. Maka biarlah untuk beberapa waktu seperti ini dulu. Emosi milik Revan memang cukup membutuhkan waktu lama untuk menghilang.
Devan memasuki kelasnya dengan ekspresi kesal, marah, sedih dan tentu saja kecewa. Lebih tepatnya kecewa pada dirinya ssndiri. Ardli yang melihat itu ikut bersedih. Walau Ardli tidak tau kejadian apa kemarin yang telah dilalui Devan tetapi dia tahu betul bahwa saat ini sahabatnya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dan hal yang sampai membuat Devan seperti ini pasti adalah Revan.
"Gue tebak semuanya gak berjalan lancar." Ardli membuka pembicaraannya ketika Devan sudah duduk di bangku miliknya.
Devan belum mau melihat Ardli. "Ya, dan sekarang Revan."
"Kenapa? Lo berantem sama dia? Dipukul?" Ardli sebenarnya bertanya ragu, tapi bisa saja kan orang yang marahnya sudah memuncak melakukan hal yang kasar.
Devan tersenyum mendengar pertanyaan Ardli. "Kalau bisa milih sih mending gue berantem ma adu jontos ma dia."
"Jadi kalau bukan karena itu, Revan ngapain lo Dev?" Belakangan ini Ardli melihat film tentang psikopat, dia jadi takut bahwa Revan melakukan hal yang sama dengan mereka.
Devan menghela nafasnya beberapa saat. "Yang jelas beda jauh sama prasangka lo. Dia diemin gue, acuhin gue, meskipun masih tetep merhatiin gue sedikit. Tapi cuma sebatas itu. Gak ada obrolan lain diantara kita. Itu bikin gue sakit Dli. Revan udah kecewa banget sama gue."
Ardli mulai mengerti inti dari permasalahan sahabatnya ini. "Mungkin kalau gue ada di posisi Revan gue juga akan ngelakuin hal yang sama. Karena kepercayaan itu adalah suatu hal yang susah untuk didapatin."
"Mungkin gue gak akan pernah bisa dapetin kepercayaannya Revan lagi." Devan harusnya tahu akan hal itu sejak awal.
Ardli memegang pundak Devan dan tersenyum. "Tapi gak salah juga kalau lo mau mencoba memperbaiki dan ngedapetin rasa percaya Revan lagi."
"Makasih Dli, walaupun lo kadang koslet tapi disaat seperti ini lo adalah orang yang paling bisa gue andelin." Devan bersyukur masih ada seseorang yang mau mendengarkannya.
Ardli memukul lengan Devan dengan sayang. "Kurang ajar banget sih punya temen dari bocah ini untung sayang."
Devan tertawa mendengarnya. "Gue kan cuma ngomong fakta Dli."
Tiba-tiba saja Ardli mengajukan telapak tangannya ke depan Devan seperti meminta sesuatu. Devan menatap Ardli heran.
"Sini ceban, nasihat dari orang kayak gue tuh langka jadi ada harganya."
"Lah kambing, lo tuh ya matre banget. Ogah mending gue beliin makan kucing." Devan mendengus sebal.
Ardli langsung memasang wajah cuek. "Pokoknya istirahat nanti lo yang traktir, sekali-kali."
Devan ingin memprotes tapi karena moodnya kembali baik, remaja itu menuruti kemauan Ardli. Sekali-kali dia membuat sahabatnya itu senang.
.
.
.
.
.
Sementara itu di kelas Revan, Raka dan Kian hanya bisa bertanya-tanya aneh di dalam hati mereka masing-masing. Revan terlihat lebih dingin dari biasanya. Revan seperti sengaja menutupi perasaannya. Meski setiap harinya Revan memang begitu sikapnya tetapi untuk kali ini Raka dan Kian merasa sangat berbeda.
Sebenarnya Raka dan Kian sudah tau jika Revan menjadi seperti ini tidak lain penyebabnya adalah Devan. Padahal baru kemarin mereka sangat lengket tetapi sekarang mereka sudah kembali bertengkar. Ingin menghibur tetapi tak mampu ada kata yang terucap dari mulut mereka.
Revan mendecak. Sedikit risih juga karena dari tadi dipandangi seperti itu oleh kedua sahabatnya yang aneh tapi nyata ini. Revan menutup bukunya dan menatap Raka dan Kian dengan jengah.
"Apaan sih? Risih." Revan itu kalau berkata suka blak-blakan.
Raka mendecak. "Lo yang apaan. Tiba-tiba diem macem patung yang jalan ada nyawanya. Ya walaupun lo tiap hari juga kayak gini sih."
"Tapi Ka, kali ini lebih parah loh. Mikirin apa sih lo Rev? Mikirin kenapa nyamuk hidupnya cuma satu hari?" Sambung Kian sekenanya.
Raka terperangah mendengarnya. "Tumben jir Yan lo bisa mikirin begituan, eh kan lo emang gaada otak jadi gak bisa mikir."
Kian memukul Raka dengan sayang. "Lo kalau punya mulut tuh mau dilakban ma gue apa?"
"Lama-lama gue yang jahit mulut kalian berdua." Revan yang berkata seperti itu langsung membuat Raka dan Kian bungkam seketika.
Raka hanya bisa memberikan cengirannya. "Abis kenapa sih lo? Masih ngambekan sama Devan?"
"Nggak juga. Cuma gue aja yang jaga jarak dari dia." Terdengar helaan nafas dari Revan.
"Jadi lo marah sepihak nih? Jangan elah Devan masih butuh lo. Gue tau sendiri adek lo tuh gakkan bisa kalau gaada lo. Apalagi lagi sakit pan." Kian memberi nasehatnya.
Revan menjawabnya, memikirkan sesuatu. "Kalau itu sih gue masih ngontrol makanannya, jam minum obatnya dan yang lain-lain."
"Baguslah kalau gituh." Kian langsung menyinpulkan.
Raka maju mendudukkan dirinya di samping Revan. "Gue rasa Devan gak butuh semua itu Rev, gue yakin itu malah bikin Devan malah tambah sedih. Dia cuma butuhin lo, keberadaan lo. Anak itu pasti ngerasa kalau lo udah gak anggap keberadaan dia Rev. Dia emang gak nunjukkin, tapi gue juga kenal Devan dari kecil sama kayak lo. Udah lah gak usah ngambekan kayak anak kecil gini."
Revan mengerti sekali maksud perkataan Raka padanya, tetapi apa yang di hati berbeda dengan apa yang dia keluarkan dari mulutnya.
"Yang anak kecil itu dia! Udah gue kasih kepercayaan, seenaknya nungguin gue berangkat kerja. Cari kesempatan buat bohongin gue! Apa dia gak tau gue ngelakuin semua hal itu buat siapa? Buat dia Ka buat dia! Gue sampe kayak orang gila nyariin dia, sementara yang gue khawatirin malah cengegesan disana! Apa semua yang gue lakuin ini percuma buat dia?! Kalau gitu dari awal gue gak perlu berjuang cuma buat dia!" Revan berkata dengan cukup keras, untung saja saat itu sedang istirahat jadi tidak banyak murid yang tinggal di dalam kelas.
Raka menghembuskan nafasnya kasar, percuma membujuk Revan disaat emosinya sedang seperti ini. "Gue ngerti Rev, gue ngerti tapi apa lo yakin bahwa sikap lo ke Devan yang kayak begini udah bener?"
"Keluar Ka,Yan. Gue pengen sendiri." Hanya balasan itu yang diberikan oleh Revan.
Kian ingin ikut berbicara tetapi Raka langsung menariknya keluar. Tetapi beberapa detik kemudian mata Raka membola. Orang yang tidak diharapkan dan sangat dijaga untuk tidak mendengar ini semua malah kini tengah berdiri mematung di depan Raka dan Kian.
Jam istirahat tadi Devan memang sengaja untuk pergi menghampiri sang kakak. Mengingat saran dari Ardli tadi, dia mencoba untuk mulai memperbaikinya perlahan-lahan. Tadinya Devan ingin mengajak kakak kembarnya itu makan di kantin bersama, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar obrolan yang cukup keras disana.
Namun karena mendengar namanya ikut tersebut-sebut dalam percakapan Devan langsung mendengarkan dengan seksama. Semua percakapan itu membuatnya merasa sesak. Rasa bersalah di dalam diri Devan semakin besar. Terlebih setelah mendengar teriakan Revan tadi semakin membuatnya kelu dan susah sekali untuk melangkah.
Melihat Devan yang masih mematung di tempatnya, Raka langsung membawa remaja itu pergi dari sana. Membawa Devan untuk duduk saja di kantin dimana disana Ardli juga sudah duduk menunggu. Ardli sedikit terheran karena Revan tidak ikut bersama mereka, hanya Raka dan Kian saja yang menghampiri.
"Dev, Revan bilang kayak tadi cuma karena emosinya lagi gak stabil aja. Jangan dimasukin hati ya." Raka mengacak surai milik Devan. Karena sudah mengenal Devan sejak kecil, dia sudah menganggapnya seperti adik sendiri walau umur mereka hanya beda beberapa bulan.
Kian juga ikut menambahkan karena melihat Devan yang belum juga berekspresi. "Revan kayak gitu karena dia sayang banget sama lo."
Masih saja Devan terdiam tidak menjawab baik Raka maupun Kian.
"Jagain ya Dli, sorry kita gak bisa ikutan makan bareng, masih ada urusan di OSIS." Raka berpamitan pada Ardli.
Ardli menganggukkan kepalanya. Kemudian pandangannya beralih pada Devan. Anak itu hanya diam dan tidak menyentuh makanannya sama sekali.
"Dev dimakan, keburu dingin. Lo juga harus minum obat kan." Ardli membujuk Devan.
Devan menggeleng, tanda dia tidak mau. "Kenyang Dli."
"Lo baru minum segelas air, kenyang dari mana coba? Gue suapin lama-lama." Ardli langsung mengambil piring Devan, mulai menyendokkan makanannya dan akan menyuapi Devan.
Tetapi Devan membungkam mulutnya, menghalangi Ardli. "Gue pusing Dli. Kepala gue sakit."
Mendengar kata itu langsung membuat Ardli panik seketika. Mungkinkah sahabatnya sedang kambuh?
"Gimana ini gimana? Mana yang sakit? Gue panggil Revan ya."
Devan menggeleng. "Minum obat aja terus balik kelas."
"Eh kupret balik kelas? Lo tuh istirahat aja di UKS bego." Kesal sendiri karena Devan malah memilih kembali masuk kelas.
Devan memandang Ardli dengan tatapan memohon. Kalau dia berada di UKS, Revan pasti tau dan akan datang. Dia tidak mau Revan nanti akan berkata sepeti itu lagi. "Plis Dli."
"Oke. Makan sedikit dulu tapi. Sebelum minum obat perut lo jangan terlalu kosong."
Akhirnya Devan mengangguk, meski makanan yang masuk itu seolah ingin dirinya keluarkan lagi.
.
.
.
.
.
.
Bel tanda pulang berbunyi, semua murid langsung mengemasi tasnya. Devan juga sudah bersiap untuk pulang. Sejujurnya semenjak istirahat tadi sakit di kepalanya tidak kunjung hilang, begitu juga dengan tubuhnya. Hanya saja dia tidak ingin membuat Ardli khawatir.
Devan berusaha berdiri tetapi dia gagal. Ardli yang melihat itu semakin panik. Dia segera membantu Devan untuk berdiri. Ardli bahkan memaksa supaya dirinya mengantar anak itu sampai ke parkiran sekolah. Tetapi Devan bersikeras untuk pergi sendiri, dia ingin menghindari kecurigaan kakaknya.
Berjalan pelan seperti ini sudah sangat terasa melelahkan untuknya. Devan ingin membuat tubuhnya tumbang saja, namun melihat Revan yang menunggunya dia tidak bisa melakukan itu. Setelah sampai di tempat parkir, Revan tanpa mengatakan sepatah katapun hanya memberikan helmnya pada Devan.
Adik yang berbeda dua menit dengannya itu hanya bisa menghela nafasnya. Tetapi ketika dia menatap wajah Revan, ucapan itu kembali terngiang. Ada sebuah rasa sakit lain yang muncul di dalam tubuhnya. Rasa sakit karena kecewa pada dirinya sendiri.
Revan dan Devan langsung mengganti pakaian mereka sesaat setelah sampai di rumah. Devan hanya berdiam diri di atas tempat tidur, menunggu waktu makan malam. Terlebih dia merasa tubuhnya semakin meronta meminta istirahat. Hingga akhirnya remaja itu perlahan-lahan mulai tertidur.
Beberapa jam dia tertidur, Devan mulai membuka matanya. Rasa sakitnya bukan menghilang tetapi semakin bertambah. Ada rasa hangat yang keluar dari hidungnya. Dengan cepat dia meraba, ternyata rasa hangat itu adalah darah. Devan takut, padahal sejak terakhir di rumah sakit dia tidak pernah seperti ini.
Memaksakan tubuhnya yang masih lemah, Devan mulai berjalan untuk menghampiri Revan. Tidak peduli apapun yang saat ini sangat dirinya butuhkan adalah Revan. Namun semuanya berhenti, ketika Devan melihat Revan yang seperti akan pergi.
"Makan malem udah gue siapin, hari ini gue lembur." Revan tidak membalikkan badannya sama sekali.
Perasaannya semakin sesak. Meski dia mengadu Revan seperti sudah tidak akan mempedulikannya lagi. "Sekarang juga, kalau gue bilang gue pengen...."
"Lo pengen apapun juga, lo kan bisa kabulin sendiri. Gak usah minta ataupun izin sama gue." Sindiran keras itu langsung menancap perasaan Devan.
Devan mengepalkan tangannya. "M...Ma.."
Revan mulai membukan knop pintu, langsung memotong ucapan Devan.
"Gue berangkat."
Kepalan tangan Devan semakin keras, sudah cukup dirinya bersabar. "Bisa gak sih lo dengerin gue sekali aja?!"
Revan tertegun, baru pertama kali dia mendengar Devan meninggikan suara padanya. "Kenapa gue harus dengerin, sementara lo juga mengabaikan ucapan gue?!"
"Gue cuma ngabaikan omongan lo soal makrab doang, lebih dari itu gue selalu nurutin kemauan lo Rev! Tapi itu bikin gue ngerasa bersalah banget, gue benci liat luka itu Rev! Gue benci lo kayak gak anggap keberadaan gue Rev! Maafin gue Rev gue selalu mencoba buat bilang maaf, tapi lo bahkan denger gue ngomong aja gak mau! Itu semakin bikin gue merasa bersalah. Kalau lo emang mau berhenti ngelakuin semua hal untuk gue seperti yang lo bilang ke Raka, silahkan. Gak usah pura-pura lagi!"
Nafas Devan naik turun, dia sudah meluapkan semua perasaannya.
Revan mengepalkan tangannya, ada luka yang terdengar dari semua ucapan itu tetapi itu juga hanya membuat lukanya semakin bertambah. 'BUK' Tangannya memukul tembok dengan keras, hingga membuat retakan yang besar. "Liat kan apa yang udah gue lakuin selama ini ternyata gak pernah bernilai di mata lo Dev. Seenaknya lo bilang kalau gue pura-pura."
Tubuh Devan bergetar hebat menyaksikannya. Tangan kakaknya mengeluarkan darah.
"Mulai sekarang, semua terserah lo Dev, dua hari ini gue gakan pulang dulu."
Revan meninggalkan rumah begitu saja. Melihat itu Devan langsung membelalakkan matanya, apakah Revan benar-benar akan meninggalkannya? Dia tidak mau, dia tidak mau kehilangan lagi. Dia tidak mau sendiri. Tanpa mempedulikan kondisinya Devan langsung berlari mengejar Revan. Dia melewati semua rute yang memungkinkan dirinya akan tiba lebih dulu dibandingkan Revan.
Revan mengerem mendadak ketika sosok Devan berdiri di depannya. Remaja itu bernafas dengan berat. Pipinya penuh dengan air mata yang mengaliri.
"Ja....ngan....per....gi... Rev..." Dengan sangat lemah Devan berucap.
'BRUK' Tubuh Devan langsung ambruk di depan Revan. Dunia milik Revan langsung berhenti seketika. Dia menjatuhkan sepeda motornya dan menghampiri tubuh Devan. Dibawanya tubuh Devan ke dalam pelukannya, dia bisa merasakan bahwa suhu tubuh Devan sangat panas. Jantungnya semakin berpacu kencang ketika darah segar mengalir dari hidung adiknya.
"Devano, Devano! Gue gak pergi Devano please buka mata lo."
Revan seolah kehilangan akal sehatnya saat itu. Dia tidak bisa berpikir jernih apa yang seharusnya dia lakukan. Setelah beberapa detik, kesadaran mulai menghampirinya. Dia langsung menelpon Raka yang rumahnya tidak jauh dari sana.
"Ka, Devano collapse tolongin gue, tante Andrea lagi di luar kota."
^^^"Dimana lo sekarang? Gue kesana, kebetulan bang Arjun udah pulang. Lo tenang jangan panik, kita bawa Devan ke rumah sakit."^^^
"Di 5 gang deket rumah gue Ka, cepet Ka gue takut Devan kenapa-kenapa."
Tidak begitu lama Raka dan kakaknya Arjun sudah tiba dengan mobil mereka. Arjun langsung membawa masuk Devan ke dalam mobil. Mereka semua menuju rumah sakit. Setelah tiba, Arjun yang juga yang kebetulan sedang praktek disana langsung ikut bersama dokter lain untuk menangani Devan.
Revan mendudukkan diri frustasi di ruang tunggu. Dia mengusap kasar wajahnya. "Pukul gue Ka, pukul gue. Gue emang brengsek. Apa yang lo bilang di sekolah emang bener Ka. Gue terlalu kayak anak kecil."
"Udah Rev, yang lalu biar berlalu." Raka mengelus pundak sahabatnya itu untuk menenangkan Revan.
Revan menghapus air matanya yang terus mengalir. "Gue gatau bahwa dari siang tadi Devan drop, harusnya gue lebih merhatiin dia. Dan akhirnya gue yang bikin dia tambah drop sampai collapse."
"Rev, jangan nyalahin diri lo kayak gini. Gue yakin Devan juga gak suka kalau tau lo kayak gini. Saat ini kita harus berdoa yang terbaik buat Devan." Raka dengan lembut menenangkan Revan.
Revan menghembuskan nafasnya keras. Berusaha untuk tegar di saat ini. "Lo harus bertahan Dev, lo harus bertahan."
"Gue yakin kok Devan itu bukan anak yang gampang nyerah. Sekarang obatin dulu sana tangan lo, Devan makin sedih tar kalau liat luka lo itu." Saat ini hanya itulah yang bisa Raka lakukan, menghiburnya.
Revan menggeleng. "Gue mau nungguin sampe dokter selesai nanganin Devan dulu Ka."
Raka menggaruk rambutnya kasar. "Adek, kakak sama batunya. Yodah deh terserah lo."
Setalah satu jam lebih akhirnya pintu ruangan Devan terbuka. Terlihat dokter bernama Rian berdiri di depan Raka dan Devan, diikuti oleh Arjun serta perawat lainnya.
Ada senyuman kelegaan yang dr. Rian berikan. "Masa kritis Devan udah lewat, cuma dia masih harus istirahat buat beberapa jam kedepan."
Seketika itu membuat Revan tenang. Di dalam hatinya Revan terus mengucapkan beribu syukur karena Tuhan masih mengizinkan Devan untuk bertahan. Raka juga ikut senang mendengarnya, Revan sudah tidak terlihat seperti mayat hidup lagi.
Baru saja Raka akan melangkahkan kakinya untuk menyusul Revan, seseorang menahan lengannya.
"Apaan sih bang?" Tanya Raka agak kesal.
Arjun langsung menjawab. "Makan dulu, lo belum makan."
"Dimana bang? Bareng lo?" Raka bertanya malas.
Arjun tidak mau menatap manik Raka, ada rasa bersalah yang terbesit di dalam dirinya. "Gue masih ada tugas."
"Lah tenang aja kok bang, siapa juga yang mau makan bareng lo? Udah biasa gue makan sendiri kok jadi gak usah bawel, kalau inget, gue nanti makan. Halah kapan sih gue punya cewek supaya ada yang nemenin makan. Udah ah gue nyusul si Revan dulu takut dia mewek lagi. Mau gue foto biar disimpen jadi aib dia. Jadi kalau dia gak mau kasih gue contekan PR, gue bisa ancem kan bang?" Raka berucap sangat panjang, tetapi bukan itu yang dia ingin ucapkan.
Karena yang ingin dia ucapkan sebenarnya adalah. "Bisa gak bang tugas lo ditunda dulu, terus kita makan bareng?"
Arjun hanya bisa melihat punggung Raka yang semakin menghilang dengan sendu.
.
.
.
.
.
.
Di dalam sebuah ruangan bernuansa putih itu terselebung oleh udara. Dimana di dalamnya terkandung berbagai jenis udara, tetapi yang lebih banyak adalah oksigen yang menyatu, meskipun karbondioksida sedikit tercantum di dalamnya. Ya, hanya suara udara itulah yang bisa didengar biasanya meski mungkin malah sebaliknya tidak terdengar.
Untung saja di dalam ruangan tesebut, ada suara tetesan air yang ikut terdengar. Tetesan air yang berasal dari sebuah selang yang menyambung untuk menancap ke dalam kulit tangan seseorang. Salah satu tangan yang bebas dari infus kini tengah digenggam seseorang dengan begitu erat. Seolah takut bahwa dia akan kehilangannya barang sedetik saja.
Revan tahu saat ini adiknya Devan tengah tertidur karena masih memerlukan waktu untuk beristirahat, tetapi dia tidak bisa berhenti untuk merasa khawatir. Revan terlalu takut bahwa Devan tidak akan pernah membuka matanya lagi. Disini Revan menyadari bahwa dirinya yang terlalu membutuhkan Devan.
Suara pintu yang terbuka tidak didengar oleh Revan. Saat ini pikiran Revan seolah hanya dipenuhi oleh Devan seorang. Orang yang membuka pintu tersenyum melihatnya, kedua anak kembar itu selalu saling menyayangi satu sama lain.
Andrea yang baru kembali dari luar kota langsung mengunjungi rumah sakit setelah mendengar kabar dari Revan. Dia menghampiri Revan yang masih setia menahan atensinya hanya untuk Devan.
"Rev, gantian yuk. Tante denger dari Arjun kamu belum makan dari kemarin."
Revan menggeleng, dia tidak ingin meninggalkan Devan barang sedetik saja. "Tante Andrea, udah balik ya? Gapapa tante nanti Revan makan kalau Devan udah sadar."
"Jangan gitu dong Rev, Devan nanti sedih. Nanti kalau kamu sakit juga siapa yang bisa jagain Devan coba?" Andrea masih berusaha untuk membujuk keponakannya itu.
Revan mungkin mulai melunak tapi dia masih pada pendiriannya. "Revan mau jaga Devan, Revan takut kalau Revan pergi, Devan malah ninggalin Revan tan."
Terdengar getar disana, Revan memang selalu rapuh jika menyangkut Devan. "Sayang, Devan bentar lagi sadar kok. Lagian gak sopan banget kan kalau dia tidur terus pas tantenya dateng? Jadi biar tante aja yang nungguin Devan, sana kamu makan dulu gih."
"Yodah deh, tuh denger kata tante Andrea lo gak boleh tidur terus, mana sopannya." Revan sedikit memberikan candaannya pada sang adik.
Andrea tersenyum mendengarnya. "Udah sana cepet makan, biar yang ngomelin Devannya tante aja yang lanjutin."
"Kasih tau Revan kalau Devan udah sadar ya tan." Revan masih saja berbicara saat memegang knop pintu.
Andrea berdiri dan segera mendorong Revan. "Iya bawel banget, tante juga gakan culik Devan kok."
"Tan, tante gak takut sama KPAI apa? Gak boleh Devan tuh cuma punya Revan." Revan tidak mau membayangkan jika sampai Andrea membawa Devan darinya.
Andrea mendengus. "Rev, bener kata Devan ternyata, cepet tobat sana cari cewek. Ngeri ah tante hush hush jauh-jauh dari Devan."
"Tante ketularan Ardli yang mikirnya udah kemana-mana deh." Revan memutar bola matanya malas.
Andrea segera menutup pintu ruang rawat Devan. "Udah ah, kamu boleh kesini lagi kalau beneran udah makan Rev."
"Siap Komandan." Nada ceria Revan sudah mulai terdengar kembali.
Sementara itu Ardli yang masih berada di sekolah bersin mendadak.
"Ini pasti kerjaan duo kembar aneh yang ngmongin gue dah."
Kembali di dalam ruangan serba putih itu, dua kelopak mata mencoba membuka matanya. Membiasakan bias cahaya yang mulai memasuki pengelihatan miliknya. Cahaya lampu adalah yang pertama menyapanya. Sedikit melirik, kemudian dia menangkap keberadaan seorang wanita tengah duduk.
Andrea sedikit terkejut ketika melihat Devan yang sudah sadar. Dia segera memanggil dokter Rian untuk memeriksa keadaan Devan. Tidak lama setelah dipanggil, dr. Rian sudah masuk ke dalam ruangan.
Dokter muda itu tersenyum setelah memeriksa keadaan Devan. Remaja itu sudah dalam keadaan yang cukup baik. Setelah memastikan keadaan, dr. Rian undur diri.
"Berapa hari tan aku di rumah sakit?" Hal pertama yang ditanyakan Devan adalah itu.
Andrea mengelus rambut Devan sayang. "Tiga hari Dev, kamu tidur lama banget."
Sudah selama itu semenjak kejadian tersebut? Revan? Apakah Revan benar-benar meninggalkannya? Dia tertidur selama tiga hari, mana mungkin dia bisa mengetahui itu bukan?
Andrea langsung merasa panik karena tiba-tiba saja melihat Devan menangis.
"Kamu kenapa Dev, ada yang sakit?"
Devan memandang Andrea dengan berkaca-kaca, suaranya serak seolah tertahan sesuatu. Tangisnya pecah begitu bicara. "Kak Revan... Hiks... Dimana Kak Revan?"
"Revan ada kok. Dia tante suruh makan dulu. Kamu tahu selama kamu gak sadar, keadaan Revan kacau banget Dev." Andrea mulai mengerti kenapa Devan sampai menangis.
Devan masih menangis. "Beneran tan? Kemarin dia bilang mau pergi tan, dia udah gak peduli lagi sama Devan."
"Revan ninggalin kamu? Gakan mungkin Dev. Kamu tahu waktu kamu ke acara makrab kemaren-kemaren itu Revan nyariin kamu seolah kehilangan akal sehatnya. Revan nelpon ke tante dengan nada suara yang kacau. Dia juga nyari kamu di seluruh komplek sampai tetangga pada tahu. Revan sayang banget sama kamu, dia gakan pernah ninggalin kamu Devano, percaya sama tante." Andrea menenangkan Devan yang masih menangis.
Mendengar semua itu membuat perasaan bersalah Devan membesar kembali. Revan terlalu banyak melakukan hal untuknya. "Aku... Aku mau minta maaf sama Kak Revan tan.."
Dari arah luar pintu terdengar suara orang berlari dengan cepat. Orang itu tidak lain adalah Revan. Dia langsung berlari kemari setelah mendengar kabar dari Andrea bahwa adik kembarnya sudah sadar. Setelah pintu terbuka, Revan sedikit membola, ini kenyataan. Adiknya sudah sadar setelah tidur sekian lama. Perlahan-lahan Revan menghampiri Devan dan Andrea.
"Kamu mau minta maaf bukan? Bilang ke orangnya langsung aja ya Dev, tante pamit dulu mau ke sekolah Dirta." Andrea meninggalkan ruangan dan hanya menyisakan anak kembar di dalam sana.
Devan menatap Revan dengan sangat dalam. "Ma..."
"Maafin gue Devano, gue kakak yang brengsek. Gue terlalu egois. Gue kayak anak kecil. Gue gak mikirin perasaan lo juga. Gue gak bisa jagain lo sampai lo masuk rumah sakit. Maafin gue plis." Revan langsung menerjang Devan dan memeluknya dengan sangat erat.
Devan membalas pelukan sang kakak dengan sama eratnya. Sudah lama dia merindukan pelukan hangat dari Revan. "Maafin gue juga Rev, gue cuma menilai dari sisi gue dan udah nuduh lo yang macem-macem. Padahal gue harusnya tahu kalau kakak gue ini superhero gue yang gakan pernah pura-pura."
"Lo gak salah Dev, gue yang salah. Ucapan gue waktu itu keterlaluan. Gue bodoh." Revan masih memeluk Devan dengan erat, dia bersumpah tidak akan pernah lagi bicara seperti itu.
Devan tersenyum, jika dia keras kepala maka Revan itu melebihinya. "Kalau lo bodoh, gakan ranking 1 terus di sekolah Rev."
"Lah kok jadi becanda lagi serius gini." Revan langsung meregangkan pelukannya dan duduk. Tapi sedetik kemudkan matanya memandang Devan dengan serius.
"Dev jangan pernah tidur lagi selama itu ya gue mohon. Kalau lo sakit tolong kasih tau gue, jangan sembunyiin rasa sakit lo sendirian lagi gue mohon."
Devan bisa melihat dari tampak wajah Revan. Dia terlihat sangat berantakan, berbeda jauh dengan image Revan yang satu sekolah tahu. Permohonan Revan bukan main-main.
"Gue janji Kak. Tapi lo juga harus janji sama gue?"
Revan mengernyitkan keningnya bingung. "Apa? Semuanya pasti gue turutin kalau itu permintaan lo."
"Lo harus janji kalau ranking 1 lagi, lo harus nari pake kostum ikan kelilingin satu sekolah." Devan memberikan persyaratan janji anehnya.
Revan langsung mengangguk tanpa bertanya. "Deal. Gue setuju asal lo juga nepatin janjinya."
Devan tahu, Revan itu memang pengabul segala keinginnannya tapi dia tidak tahu kalau Revan sangat polos seperti ini, dia hanya langsung mengiyakan. "Kagak lah, gue gak setega itu Rev. Gue cuma pengen lo janji jangan tinggalin gue lagi kayak kemaren-kemaren. Gue takut lo pergi dari hidup gue Rev. Jangan tinggalin gue, plis jangan pergi."
"Kenapa gue harus pergi kalau gue punya rumah untuk kembali." Pandangan lembut diberikan oleh Revan pada sang adik.
Devan bertanya heran. "Rumah?"
"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.
Ucapan Revan itu membuat Devan merasa sangat hangat. Tanpa disadari air matanya mulai menetes.
"Makasih Kak. Makasih.."
Revan terkekeh melihat adiknya. Sebenarnya Revan sedang menahan gemas karena melihat ekspresi sang adik yang begitu lucu. Bagaimana tidak hidung adiknya terlalu banyak menangis hingga menjadi merah seperti tomat.
'CUP' Satu ciuman di pipi sang adik langsung berhasil dicuri Revan. Sudah lama juga dia tidak jahil seperti ini.
Devan langsung menghapus air matanya kasar dan menatap sangar Revan yang tersenyum jahil.
"Tante Andrea, dr. Rian, suster, pengantar makanan, plis siapapun bawa Revan pergi dari sini. Penyakitnya udah kumat lagi!"
Dan itu malah membuat Revan semakin tertawa. Bisakah Revan berharap bahwa suatu hari akan ada keajaiban yang datang menghampiri Devan dan dirinya? Terlebih untuk Devan. Tapi meski sekuat apapun takdir itu Revan akan melawannya. Tidak peduli sesulit apapun dia akan bertahan.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continue............
...Mohon masukan serta kritiknya dengan mencantumkan di kolom komentar ya....
...Jangan lupa Vomment...
...Biar author semangat...
...Annyeong,...
)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!