Happy reading guys :)
•••
“Mungkin hanya itu yang dapat Ibu sampaikan. Ibu ucapkan terima kasih banyak karena kalian sudah mau meluangkan waktu dan hadir di rapat pada hari ini … Barang kali, ada yang mau ditambahkan oleh Naresha selaku ketua OSIS sebelum kita akhiri rapatnya?”
Naresha Ardhanari Renaya, seorang gadis berparas cantik yang memiliki rambut hitam panjang bermodelkan butterfly bangun dari tempat duduknya. Dengan tinggi 160 cm, ia bisa melihat teman-teman sekolahnya yang berada di dalam ruangan OSIS begitu sangat jelas.
“Karena semua hal yang akan kita lakukan beberapa hari ke depan sudah dijelaskan oleh Ibu Dina … di sini aku cuma mau bilang ke kalian semua agar tetap semangat, terus saling membantu, dan bertanggung jawab dalam kegiatan event tahunan antar sekolah yang akan segera kita laksanakan beberapa hari lagi,” ujar Naresha, mengukir senyuman manis khasnya, hingga menampilkan lesung di pipi kanan yang selalu berhasil mencuri perhatian setiap orang.
Para anggota OSIS laki-laki sontak menelan air liur susah payah, dengan mata tidak berkedip sama sekali saat melihat senyuman Naresha. Rasanya, mereka sekarang seakan sedang berada di surga hanya dengan melihat gadis itu tersenyum. Bahkan, beberapa dari mereka mengeluarkan handphone dan diam-diam mulai mengambil foto candid Naresha—berharap bisa menyimpan senyuman manis itu di dalam galeri untuk selama-lamanya.
Akan tetapi, sebelum mereka terlalu jauh dalam euforia pribadi masing-masing, suara ketukan ringan terdengar dari arah seorang gadis berambut gelombang panjang yang sedang duduk di meja sekertaris, membuat semuanya seketika mulai kembali ke realita.
Nayla Azhariella Makarim—nama gadis itu—menatap tajam ke arah para cowok yang masih sibuk menunduk dengan kamera handphone menyala menghadap ke arah Naresha. “Please, fokus … Ini penting untuk sekolah.”
“Santai aja, Nay. Namanya juga fans,” ucap Naresha, terkekeh pelan sambil menaikkan sebelah alisnya menggunakan gaya menggoda, lantas kembali menatap seluruh anggota OSIS dengan sorot tajam yang penuh akan wibawa, “Tapi, beneran … Aku nggak mau ada yang kerja setengah-setengah. Kita ini OSIS, kita representatif sekolah … Kalau kalian malas-malasan, lebih baik angkat kaki dari sekarang. Deal?”
“Deal!” sahut seluruh anggota secara serempak, seakan terhipnotis oleh perpaduan senyuman manis serta aura intimidasi khas milik Naresha.
Ibu Dina mengukir senyuman tipis dan mulai berdiri dari tempat duduknya. “Baiklah, rapat hari ini selesai. Sekali lagi terima kasih atas kerja samanya … Silahkan beristirahat sebelum kembali menjalankan pelajaran.”
Begitu rapat diakhiri oleh Ibu Dina, para siswa-siswi anggota OSIS seketika bangun dari tempat duduk masing-masing, lalu melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan OSIS seraya berbisik membahas betapa gila aura yang dimiliki oleh Naresha.
Naresha sendiri kembali mendudukkan tubuh di meja kerjanya, menyandarkan punggung ke sandaran kursi seraya mengembuskan napas panjang beberapa kali—berusaha menghilangkan rasa kantuk yang sedari tadi sudah dirinya tahan untuk tetap fokus pada rapat hari ini.
Thalita Meisya Raveena—seorang gadis berambut cokelat sebahu yang duduk di kursi wakil ketua OSIS—mengalihkan pandangan ke arah tempat Naresha berada, sembari menyingkirkan serta menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi indera penglihatan ke belakang telinganya. “Tadi malam lu pulang jam berapa, Sha?”
Naresha menoleh ke arah tempat Thalita berada, lantas menyandarkan kepala di meja kerjanya sebelum memberikan jawaban. “Jam dua … lewat dikit, kayaknya. Gue abis nemenin Nayla muterin dua bar, terus nongkrong di rooftop sampai pagi.”
Thalita memutar bola mata. “Pantesan muka lu kayak baru ditabrak sama Monday Morning.”
“Please …,” ucap Naresha dengan suara terdengar serak dan lelah, tetapi tetap menggunakan nada malas-malas manja khas dirinya, “Senin itu bukan masalah … Yang masalah itu jam pelajaran matematika habis ini.”
Belum sempat menimpali perkataan Naresha, Thalita mengalihkan pandangan ke arah depan saat melihat Nayla berjalan mendekat dengan membawa dua botol minuman isotonik dingin.
“Satu buat lu … dan satu lagi buat si ketua bad girl kebanggaan Batara,” kata Nayla, menyerahkan botol minuman kepada kedua sahabatnya, sebelum mendudukkan tubuh di hadapan mereka.
Naresha mengukir senyuman tipis dan segera mengambil botol minuman itu. “Thanks, Sayang. Lu penyelamat hidup gue.”
“Yah, anggap aja balas budi karena semalam lu nemenin gue …,” ujar Nayla dengan sangat santai, seraya menyibakkan rambut panjangnya, “Tapi, serius, Sha. Lu itu kuat banget, sumpah … Hidup lu itu benar-benar kayak punya tiga shift: pagi jadi ketua OSIS, siang jadi pelajar jenius yang disegani guru, dan malam jadi ratu bar yang dikenal semua orang … Gue tuh kadang suka mikir, lu itu beneran manusia atau setengah vampir, sih?”
“Multi-talenta, Baby,” sahut Nayla, terkekeh pelan sambil membuka botol minumannya, “Gue tuh paket lengkap. Bisa jadi panutan waktu siang dan godaan waktu malam.”
Thalita tertawa pelan. “Nggak usah jauh-jauh dari vampir, Nay … Ini kalau orang tua Naresha tahu kegiatan malam anaknya, fix jantungan mereka.”
Naresha mengangkat bahu santai dan mulai meneguk minumannya. “Makanya gue nggak pernah kasih tahu. Lebih baik mereka mikir gue sibuk ngerjain proposal kegiatan daripada tahu gue baru balik subuh dari bar.”
“Lu beneran gila, sih, Sha.” Thalita bersabda di kursinya sembari mengusap-usap tutup botol minumannya. “Tapi, emang itu, sih, yang bikin lu beda dari cewek biasanya … Semua cewek mungkin bisa jadi pintar, tapi nggak semua cewek bisa jadi pintar, seksi, dan juga liar kayak lu.”
“Dan tetap dikagumi sama satu sekolahan,” sambung Nayla.
Naresha menaruh botol di atas meja lantaran ingin menimpali perkataan kedua sahabatnya. Namun, sesegera mungkin mengurungkan niat kala tiba-tiba saja mendengar dering handphone miliknya berbunyi.
Tanpa menunggu waktu lama, Naresha segera mengambil handphone dari dalam saku blazer sekolahnya, membuka benda pipih itu, lantas mengukir senyuman lebar saat melihat nama ‘New Baby’ di dalam layar.
“New Baby?” ucap Thalita saat tidak sengaja membaca nama orang yang sedang berusaha menghubungi Naresha, “Baru lagi, Sha?”
Naresha hanya terkekeh pelan, lantas menggeser layar ke kanan untuk menerima panggilan telepon itu. Ia seketika merubah nada suaranya menjadi sangat manja, sangat kontras sekali dengan citra ketua OSIS tegas yang barusan dirinya tunjukkan dalam rapat.
“Halo, Baby …,” sapa Naresha dengan nada rendah menggoda, sembari menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
Mendengar nada suara serta melihat ekspresi Naresha yang berubah, Nayla dan Thalita saling pandang sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mereka seketika menghentikan obrolan, lantas memperhatikan sang sahabat yang tengah asyik mengobrol dalam panggilan telepon.
Naresha tidak memperdulikan tatapan yang sedang diberikan oleh kedua sahabatnya itu. Ia masih sibuk mengobrol bersama seorang cowok dengan suara terdengar sangat lembut, terkadang diselipi oleh tawa kecil kala dirinya merasa sedikit menikmati obrolannya.
“Iya, aku juga kangen … Hmm? Nggak bisa siang ini, Baby. Aku masih harus sekolah, tapi kalau malam … kita bisa ketemu, kok, kayak biasa.”
Beberapa detik berlalu, Naresha menyudahi panggilan telepon itu, lalu menyimpan kembali handphone ke tempat semula dan menatap wajah cantik kedua sahabatnya dengan senyuman penuh kemenangan.
“Cowok keberapa minggu ini, Sha?” tanya Thalita, disertai nada geli yang tidak bisa untuk disembunyikan.
“Bukan cowok baru, kok,” jawab Naresha santai, sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, “Dia itu yang pernah gue tinggal waktu bosen tahun lalu. Sekarang balik lagi … kayaknya masih tergila-gila sama gue, deh.”
“Lu itu benar-benar mengerikan, Sha,” ucap Nayla, seraya menopangkan dagu, “Sekali masuk ke hidup cowok, cowoknya nggak akan pernah bisa move on.”
Naresha terkekeh pelan. “Makanya, jangan pernah main-main dan tengil sama cewek yang tahu cara mainin perasaan. Bisa gawat nanti.”
“Aduh, aduh, aku takut, loh, Sha,” ucap Thalita, seraya melirik jam tangan branded di tangan kirinya, “Udah jam segini, kita harus balik ke kelas.”
Ketiga cewek itu saling pandang beberapa saat, kemudian mulai bangun dari tempat duduk masing-masing. Namun, sebelum meninggalkan ruangan OSIS, Naresha sempat memandangi pantulan dirinya di kaca jendela—merapikan blazer abu-abunya yang sedikit kusut.
“Hari-hari yang sangat menyenangkan … gue bahagia bisa lahir ke dunia ini dalam kondisi kayak gini. Bad Girl, Play girl, and Midnight Queen … sempurna.”
•••
Suasana koridor gedung utama Batara Senior High School pada pagi menjelang siang ini sangat ramai. Padahal tinggal beberapa menit lagi bel pertanda masuk sekolah akan segera berbunyi, tetapi para siswa-siswi masih terlihat asyik berkeliaran di sepanjang lorong—mengobrolkan tentang berita hangat yang baru beberapa menit lalu menyebar ke seluruh penjuru sekolah.
Saking asyiknya mengobrol, para siswa-siswi itu seketika mengabaikan kehadiran tiga gadis paling mencolok serta berpengaruh di Batara Senior High School—Naresha, Nayla, dan Thalita—yang melangkah santai menyusuri koridor seolah lorong sekolah adalah runway pribadi bagi mereka.
“Eh, emang bener, ya, kalau kak Kai sama anak-anak Valefor kemarin malam bentrok lagi?”
“Beritanya, sih, gitu … kak Kai berusaha ngelindungin anak SMP yang lagi dipalak sama Cerberus.”
“Ih, kak Kai keren banget! Mana katanya dia bikin si ketua Cerberus sampai pingsan … itu bener nggak, sih?”
“Gue denger, sih, gitu dari kakak kelas yang nongkrong di dekat Sevenlight … katanya, kak Kai awalnya cuma diam aja sambil ngelihatin anggotanya ngehadapin Cerberus, terus waktu anak-anak Cerberus udah keterlaluan, dia langsung maju paling depan dan ngebuat ketuanya pingsan dalam satu tendangan.”
“Argh! Kak Kai keren banget! Bisa nggak, sih, gue jadi pacarnya!”
Naresha hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala pelan saat mendengar bisik-bisik yang sedang dilakukan oleh para adik kelasnya. Ia sedikit menoleh ke arah kanan dan kiri, menatap wajah kedua sahabatnya secara bergantian sebelum membuka bibir mungilnya.
“Itu anak ngapain lagi sama gengnya?” tanya Naresha dengan suara sangat pelan, seraya mengalihkan pandangan ke arah luar melalui jendela kaca besar yang berjejer rapi di sepanjang koridor.
Thalita melirik sekilas ke arah salah satu adik kelasnya, lantas melipat kedua tangan di depan dada. “Ya seperti yang lagi lu dengerin sekarang. Dia bentrok lagi sama anak-anak Cerberus … dan seperti biasa, kayak lu … setiap dia gerak pasti akan jadi trending topik.”
Ketika sedang sibuk mendengarkan penjelasan Thalita, Naresha tanpa sadar menabrak seseorang yang tengah berjalan dari arah berlawanan, membuat dirinya sontak terjatuh di atas lantai koridor sekolah seraya merintih kesakitan.
“Aduh, pantat gue yang indah nan bahenol ini bisa rusak kalau sering-sering jatuh kayak gini,” gerutu Naresha, meringis pelan sambil mengusap-usap bagian belakang tubuhnya yang baru saja mencium kerasnya ubin koridor.
“Sorry, gue nggak sengaja,” ucap seorang cowok yang telah bertabrakan dengan Naresha, seraya mengeluarkan tangan kanan ke arah gadis berparas cantik itu.
Naresha sedikit mengerutkan kening saat merasa cukup familiar dengan suara cowok itu. Ia secara perlahan mengangkat kepala, sedikit menyipitkan matanya agar dapat melihat dengan jelas wajah orang yang telah bertabrakan dengannya.
“Kaizen Wiratma Atmaja,” gumam Naresha, saat melihat sosok cowok tampan berambut Messy yang memiliki tinggi 180 cm sedang berdiri di hadapannya—dengan tangan terulur, menawarkan bantuan.
Kaizen mengerutkan kening saat melihat Naresha hanya diam dan tidak membalas uluran tangan yang tengah dirinya berikan. “Oi, Sha, Naresha … lu nggak papa, kan?”
Mendengar pertanyaan Kaizen, Naresha perlahan tapi pasti mulai bangun dari posisi duduknya tanpa menerima bantuan yang telah ditawarkan oleh cowok itu. Ia menepuk-nepuk pelan bagian rok seragamnya dengan sangat anggun, menyibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah cantiknya, kemudian menatap Kaizen dengan sorot mata begitu dingin.
“Gue nggak butuh ditolong sama cowok yang suka bikin keributan di jalanan,” ucap Naresha santai dan datar, tetapi cukup tajam hingga membuat suasa di sekitar seketika berubah menjadi sangat hening.
Para siswa-siswi yang semula tengah asyik berbisik-bisik ria kini mulai memperhatikan interaksi antara dua sosok paling berpengaruh di Batara Senior High School: Ketua OSIS dan Ketua Geng Velafor.
Kaizen menarik dan memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana, lantas menatap wajah Naresha dengan alis sedikit terangkat serta mengukir senyuman samar.
“Masih sama seperti Naresha yang gue kenal,” celetuk Kaizen, sembari mengusap lembut pipi kirinya yang terasa sedikit gatal, “Gue kira lu udah bisa berubah jadi sedikit lembut karena suka gonta-ganti cowok, tapi ternyata perkiraan gue itu salah.”
Nayla dan Thalita yang berdiri di belakang Naresha seketika menyilangkan kedua tangan di depan dada serta merubah ekspresi wajah menjadi sangat waspada, lantaran mereka tahu bahwa hubungan antara Naresha dan Kaizen itu layaknya seperti petir dan bensin—penuh tegangan, dan kalau bertemu bisa meledak kapan saja.
“Ya udah … gue jalan dulu,” ucap Kaizen santai, memberikan lirikan singkat kepada Nayla dan Thalita sebelum kembali melangkahkan kaki menuju arah berlawanan, meninggalkan jejak suara langkah berat yang entah kenapa terdengar sangat nyaring di tengah keramaian koridor sekolah.
Setelah kepergian Kaizen, Nayla dan Thalita bergegas menghampiri tempat Naresha berada, lalu mulai memeriksa keadaan sahabat mereka itu.
“Lu nggak papa, Sha?” tanya Thalita, sembari memperhatikan serta memeriksa bagian pantat Naresha yang tadi mencium lantai ubin dengan sangat keras.
Naresha hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas tanpa mengatakan sepatah kata pun segera melangkahkan kaki menuju ruangan kelasnya berada—meninggalkan kedua sahabatnya yang masih berdiri di tempat semula.
To be continued :)
Happy reading guys :)
•••
Bel pertanda pulang sekolah Batara Senior High School berbunyi, membuat para guru yang sedang asyik mengajar di setiap kelas seketika menghentikan aktivitasnya, lantas segera mempersilahkan siswa-siswi untuk pulang ke rumah masing-masing setelah mengucapkan terima kasih kepada sang pencipta atas semua ilmu yang didapat pada hari ini.
Di dalam ruangan kelas XI MIA 1, terlihat sosok Naresha tengah mengukir senyuman manis penuh kebahagiaan seraya bangun dari tempat duduknya—menggendong tas sekolah dan mulai merapikan seragam yang terlihat sedikit berantakan serta kusut.
Begitu seragam sekolahnya sudah cukup rapi untuk ukuran dirinya yang perfeksionis, Naresha mengalihkan pandangan ke arah kanan, menatap kedua sahabatnya yang masih sibuk merapikan barang bawaan masing-masing.
Naresha menyandarkan tubuh sejenak ke meja belajar sambil memainkan tali tas di tangan kanan. “Buruan, ah. Gue harus siap-siap biar nanti malam nggak telat.”
Nayla yang tengah sibuk memeriksa barang-barangnya di dalam tas seketika mengalihkan pandangan ke arah Naresha seraya sedikit mengerutkan kening. “Telat ke mana? Emangnya nanti malam lu ada janji?"
Thalita melirik sekilas ke arah Naresha, lantas dengan cepat mengambil botol minum dari laci mejanya. “Jangan bilang … nanti malam lu mau keluar sama si ‘New Baby’ itu?”
“Yup … tebakan lu itu bener banget, Sayang. Gue udah ada janji sama dia … dan gue pastiin bikin dia semakin susah move on dari gue ke depannya,” jawab Naresha, sembari mengukir senyuman penuh kemenangan hingga menunjukkan lesung pipinya.
Nayla menutup resleting tas setelah memastikan semua barang bawaannya telah tersusun rapi di dalam sana, lalu segera berdiri dan mulai merapikan seragam sekolah yang sedikit berantakan. “Itu cowok yang mana, sih, Sa? Yang anak kuliahan sama bapaknya pengacara itu, kah?”
“Bukan, dong,” jawab Naresha, sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan, “Yang itu udah gue blacklist sejak dia ngasih bunga plastik buat anniversary bulanan. Come on, masa iya cewek secantik gue cuma dikasih bunga plastik? … Secara orang tuanya kaya banget sampai bisa liburan ke luar negeri setiap minggu.”
Thalita tertawa geli dan mulai bangun dari atas tempat duduknya. “Aduh, sumpah, Sa. Lu itu benar-benar kombinasi antara savage sama royal vibes … Gue yakin itu cowok sekarang pasti trauma banget sama cewek seksi kayak lu.”
Naresha mengangkat alis dengan mengukir ekspresi penuh rasa bangga. “Ya … bagus, dong. Biar jadi pelajaran buat dia … kalau cewek kayak gue itu butuh effort, bukan asal-asalan kalau ngasih hadiah anniversary.”
Nayla yang telah selesai merapikan seragam sekolahnya sontak melipat kedua tangan di depan dada sembari menatap Naresha dengan ekspresi setengah kagum serta heran. “Oke, terus sekarang ini siapa? Setidaknya kasih clue sedikit buat gue sama Lita … biar kami berdua bisa bantuin lu, kalau lu udah ngerasa bosan sama dia nantinya.”
Naresha terkekeh pelan saat mendengar kalimat Nayla yang terdengar sangat mengenalnya di luar maupun dalam. “Oke. Nggak usah clue-clue-an, langsung gue spill aja … dia itu anak Mahardika utama dan ngambil jurusan manajemen.”
Thalita sedikit mengerutkan kening, berusaha mengingat seorang cowok yang dulu pernah dekat dengan Naresha dari kampus itu. “Aaa … si Gavin bukan, sih, Sha?”
Naresha menjentikkan jari ke arah Thalita seraya mengukir senyuman manis penuh dengan gaya. “Seratus buat lu, Tha! Gavin Raksa Nugraha … Cowok yang dulu pernah gue tinggalin gara-gara dia terlalu clingy dan posesif.”
Nayla menggeleng-geleng pelan kala mendengar jawaban yang telah Naresha berikan. “Gue kira lu bakal blacklist cowok clingy itu, Sa … tapi ternyata malah lu buat uji coba lagi.”
“Apa jangan-jangan lu balik ke Gavin karena pengin ngetes soal clingy-nya masih level dewa atau udah berubah jadi level iblis?” timpal Thalita dengan sangat cepat.
Naresha sedikit mengangkat kedua bahu seraya sedikit mengusap lembut pipi kirinya yang terasa gatal. “Yap, mungkin bisa dibilang kayak gitu … tapi selain itu, gue juga mau lihat apakah dia bisa nahan pesona gue sekarang.”
Thalita memutar bola mata cukup malas. “Oke, Midnight Queen. Semoga malam ini berjalan dengan lancar dan gue sama Nayla nggak perlu ikut campur.”
“Tenang, Sayang. Gue janji malam ini cuma dinner ringan, ngobrol santai, terus pulang dengan kepala tenang dan penuh kebahagiaan …,” ucap Naresha, sembari mengambil handphone dari dalam saku blazer dan segera mengecek layar, “Dia udah chat. Katanya jam delapan dia jemput gue di depan Lovita café.”
Nayla sedikit mengangkat alis. “Bukan di rumah lu?”
Naresha menggeleng sambil menaruh kembali handphone ke tempat semula. “Gue nggak mau bikin nyokap-bokap mikir yang nggak-nggak. Lagian … dia belum naik level buat diajak sampai depan rumah.”
Mendengar hal itu, Nayla dan Thalita spontan saling pandang beberapa saat—mereka tahu betul, kalau seorang cowok masih menjemput Naresha di luar rumah, berarti posisi cowok itu masihlah dalam masa percobaan dan kemungkinan besar akan menjadi boneka mainan.
“Good luck, Sa,” ucap Nayla, menepuk pundak sahabatnya itu pelan sebelum memberikan kode untuk berjalan keluar dari dalam kelas yang sudah sangat sepi.
Naresha mengangguk pelan dan mulai melangkahkan kaki keluar dari dalam kelas bersama kedua sahabatnya itu.
Sepanjang perjalanan, ketiga gadis berparas cantik itu mengobrol serta bercanda ria secara bersama-sama guna menghilangkan rasa sunyi dan bosan yang mulai melanda serta menyelimuti tubuh mereka.
Ketika sedang asyik mengobrol serta bercanda, Naresha tanpa sadar menabrak seseorang yang sedang berjalan dari arah berlawanan, membuat dirinya sontak terjatuh di atas lantai koridor sekolah sambil merintih kesakitan.
“Aduh, pantat gue lama-lama bisa rusak kalau terus-terusan jatuh kayak gini,” gumam Naresha, mengelus lembut pantatnya seraya mendongakkan kepala untuk melihat sosok orang yang telah bertabrakan dengannya, “Lu lagi!”
Naresha segera bangun dari posisi jatuhnya, kemudian merubah tatapan menjadi begitu tajam ketika melihat sosok Kaizen tengah berdiri di hadapannya dengan mengukir ekspresi yang sangat sulit untuk diartikan.
“Jalan yang bener, jangan kebanyakan bercanda … kasihan orang lain yang harus tabrakan sama lu,” kata Kaizen, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
“Lu seharusnya bilang gitu ke diri sendiri! Dari tadi terus-terusan nabrak gue! Lu sengaja, kan? Ngaku lu?” bentak Naresha—suasana hatinya berubah begitu sangat cepat ketika melihat wajah serta mendengar perkataan Kaizen—dengan kedua pipi putihnya perlahan-lahan mulai berubah menjadi merah padam.
Kaizen menghela napas panjang beberapa kali. “Buat apa juga gue nabrakin diri ke lu? Nggak ada untungnya sama sekali … yang ada badan gue sakit semua gara-gara lu itu berat.”
“Sialan! Mana ada gue berat!” Naresha menggerakkan tangan kanan ke wajah tampan Kaizen untuk mendaratkan sebuah tamparan di sana, tetapi tidak berhasil lantaran cowok itu dengan sangat mudah menahan serta sedikit mencengkeram tangannya. “Lepasin tangan gue! Gue nggak sudi dipegang-pegang sama lu, Kaizen!”
Kaizen mengabaikan perintah dari Naresha, kemudian mengalihkan pandangan ke arah tempat Nayla dan Thalita yang sedari tadi hanya diam sambil memasang ekspresi wajah penuh akan kewaspadaan. “Kalian berdua kenapa betah temenan sama ini anak, dah? Gue yang ketemu beberapa menit aja udah nggak betah sama sekali.”
Nayla dan Thalita saling melirik beberapa saat, lantas kembali mengalihkan pandangan ke arah tempat Kaizen beserta Naresha berada tanpa mengatakan apa-apa.
“Kaizen! Lepasin tangan gue!” seru Naresha, berusaha melepas tangan kanannya dari cengkeraman Kaizen.
Kaizen diam sejenak, menatap wajah cantik Naresha dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan, lalu segera melepaskan cengkeraman tangannya dan kembali melangkahkan kaki tanpa menunggu respons dari gadis itu.
“Lain kali hati-hati kalau jalan,” ujar Kaizen, tanpa menghentikan langkah kaki serta melihat ke arah Naresha.
“Kaizen! Sini lu! Urusan kita berdua belum selesai!” Naresha menatap punggung lebar Kaizen yang perlahan demi perlahan mulai menjauh dari indera penglihatannya, sembari memberikan elusan lembut di tangan kanannya.
Sepeninggal Kaizen, Nayla dan Thalita berjalan mendekati tempat Naresha berada, lantas merangkul pundak serta memberikan elusan lembut di punggung sahabat mereka itu.
“Sabar, Sa … Jaga mood lu … Jangan sampai emosi lu justru ngebuat kalian berdua berjodoh pada nantinya,” ucap Thalita, berusaha sedikit mencairkan suasana yang tadi sudah sangat tegang.
“Gue berjodoh sama dia? Amit-amit jabang bayi … hal itu nggak akan pernah terjadi sampai kapan pun. Udah, ah, ayo kita pulang … gue mau perbaiki mood sebelum dinner nanti malam.” Naresha berbalik badan dan mulai kembali berjalan menuju salah satu parkiran sekolah.
Nayla dan Thalita saling pandang beberapa saat, menggeleng-geleng pelan sebelum melangkahkan kaki menyusul Naresha yang sudah cukup jauh dari tempat mereka berada sekarang.
•••
Langit kota Jakarta pada malam hari ini dipenuhi oleh banyak sekali bintang bersinar terang, meskipun sebagian tertutupi oleh awan tipis yang melayang pelan mengikuti arah hembusan angin datang.
Di bawah sana, terdengar suara alunan musik bergenre hip-hop sedang memenuhi sebuah ruangan kamar mewah berukuran besar yang didominasi oleh perpaduan warna putih-hitam, dengan pencahayaan sangat terang dari lampu gantung kristal.
Tirai tipis berwarna putih susu bergoyang pelan kala tertiup oleh hembusan angin malam yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kaca—seolah sedang memberikan kode kepada sang pemilik kamar guna menikmati keindahan kota Jakarta pada malam hari ini.
Di depan kaca cermin berukuran besar, terlihat sosok Naresha sedang sibuk mengenakan sebuah dress bodycon mini berwarna hitam yang terlihat sangat seksi—dengan potongan punggung rendah dan detail belahan tinggi di bagian paha kanan—menambah kesan elegan sekaligus menggoda pada penampilannya malam ini.
Setelah memastikan dress yang ia kenakan terpasang rapi di tubuhnya, Naresha melangkahkan kaki menuju meja rias, guna memoles wajah cantiknya menggunakan beberapa macam jenis make up—lipstik berwarna merah marun, eyeliner tajam, serta highlighter pinkflash di tulang pipi. Ia juga tidak lupa menyemprotkan sedikit parfum favoritnya ke leher dan pergelangan tangan, membuat aroma flora woody yang mewah seketika memenuhi udara di dalam ruangan kamar—memperkuat aura percaya diri yang sejak tadi telah melekat padanya.
“Perfect … gue pastiin dia semakin susah buat move on dari gue,” gumam Naresha, mengukir senyuman manis penuh kemenangan seraya merapikan rambut panjangnya yang sudah ditata rapi dengan model butterfly—berlayar tegas dengan volume cantik di bagian bawah serta efek mengambang ringan di sisi wajah.
Sesudah memastikan semuanya sempurna, Naresha mengambil clutch kecil berwarna senada dengan dress-nya dan juga mantel panjang berwarna beige yang sengaja dirinya pilih untuk menyamarkan penampilannya malam ini. Ia tahu betul, meski orang tuanya tidak terlalu cerewet soal gaya berpakaian, tetapi keluar rumah malam-malam dengan dress bodycon jelas akan memicu banyak sekali tanda tanya.
Dengan sangat cekatan, Naresha mulai mengenakan mantelnya, mengancing hingga ke bagian atas, dan memastikan bahwa bagian dada serta pahanya benar-benar tertutup. Saat ini, siapa pun yang melihatnya sekilas hanya akan mengira dirinya hendak pergi makan malam biasa, bukan untuk menuju sebuah permainan yang diam-diam telah dirinya kuasai sepenuhnya.
“Let's make this night unforgettable,” bisik Naresha, sebelum berjalan dengan sangat anggun menuju pintu keluar kamar.
•••
Suara langkah kaki seseorang sedang menuruni satu per satu anak tangga terdengar memenuhi seluruh ruangan yang berada di lantai satu sebuah rumah mewah nan megah, membuat sepasang suami-isteri yang tengah memasang ekspresi sangat tidak mengenakkan seketika mengalihkan pandangan ke arah sana.
Dari tempatnya berada, mereka dapat melihat sosok Naresha yang tengah berjalan menuruni tangga dengan penuh percaya diri, mengenakan mantel panjang berwarna beige yang membalut tubuh rampingnya.
Naresha melangkahkan dengan sangat teratur dan penuh ketenangan, seakan tidak menyadari dua pasang mata tajam yang sedang memperhatikannya tanpa berkedip sama sekali.
“Naresha Ardhanari Renaya, kamu mau ke mana malam-malam gini?” tanya Ardhan Renaya—ayah kandung Naresha—dengan sangat tenang, tetapi mengandung tekanan.
Naresha menoleh pelan ke arah sofa ruang keluarga berada, mengukir senyuman manis dan melangkahkan kaki mendekati tempat kedua orang tuanya. “Mau ketemu Nayla sama Thalita sebentar, Pa. Kami mau bahas soal pembagian tugas event tahun sekolah … Sekalian makan malam juga, sih. Aku boleh pergi, kan?”
Gayatri Renaya—mama kandung Naresha—menyelipkan beberapa helai rambut yang sedikit menutupi indera penglihatan ke belakang telinga, lantas menyipitkan mata dan meneliti penampilan putri semata wayangnya itu. “Tumben banget pakai mantel? Biasanya juga pakai dress kalau nggak baju-baju branded dan santai waktu ketemu mereka.”
Mendengar pertanyaan sang mama, Naresha hanya tertawa pelan, ringan, dan sangat natural—persis seperti seorang anak baik-baik yang tidak menyimpan rahasia apa pun. Ia berjalan mendekati tempat sang mama berada, lalu duduk sebentar di salah satu sandaran lengan sofa seraya menyilangkan kaki dan memainkan tali clutch dengan jari-jemari lentiknya.
“Cuaca malam ini dingin banget, Ma,” jawab Naresha, menyandarkan kepala di bahu kanan sang mama, “Tadi aku sempat buka jendela, anginnya kencang banget. Jadi, aku mikir pakai mantel aja, biar nggak masuk angin.”
Gayatri hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari wajah cantik Naresha, seakan sedang berusaha mencari-cari celah dari ekspresi sempurna putrinya itu. Sementara Ardhan, pria paruh baya itu mengambil handphone dari atas meja, lantas mencari sesuatu di dalam sana.
“Resha, buka mantel kamu,” perintah Ardhan, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari dalam layar handphone-nya.
Perintah itu melayang begitu saja di udara, menggantung layaknya pisau yang siap jatuh di atas kepala Naresha kapan saja. Senyuman manis yang semula terukir di wajah gadis itu secara perlahan mulai menipis, tergantikan oleh ekspresi bingung yang ditampilkan secukupnya—tidak berlebihan, tetapi cukup meyakinkan sebagai respons dari seorang anak yang tidak mengerti kenapa diminta melakukan hal tersebut.
“Kenapa, Pa?” tanya Naresha dengan suara tetap tenang—meskipun detak jantungnya mulai tak beraturan—seraya menatap wajah sang papa yang terlihat sedang sangat serius.
Ardhan mengangkat kepala, menatap wajah cantik sang putri dengan sangat datar, lantas memperlihatkan isi di dalam layar handphone-nya kepada Naresha.
Layar handphone menampilkan sebuah folder yang telah dinamai ‘Resha—Bukti’.
Jantung Naresha seketika terjun bebas, sementara wajahnya masih berusaha mempertahankan ketenangan yang sedari tadi telah dirinya tunjukkan. Ia sedikit menggigit bibir bawah, ketika satu demi satu foto mulai terbuka—menampilkan dirinya di sebuah bar eksklusif yang berada di kawasan SCBD, sedang berdiri di dekat meja panjang dengan gelas cocktail di tangan kanan, tertawa bersama seorang cowok yang memiliki umur beberapa tahun di atasnya.
Beberapa detik berlalu, Ardhan menggeser layar handphone ke kanan—memperlihatkan sebuah video Naresha sedang meneguk wine dengan ekspresi penuh kepuasan, diiringi dentuman musik keras, kilatan lampu neon, serta rangkulan dari seorang remaja laki-laki yang kali ini seumuran dengannya.
“Naresha, buka mantel kamu!” perintah Ardhan, sedikit menaikkan intonasi suaranya seraya menatap datar wajah sang anak semata wayang.
Dengan napas yang tertahan, Naresha secara perlahan bangun dari sandaran sofa. Matanya masih terpaku pada layar handphone sang papa yang kini telah ditaruh di atas meja, seolah ingin memastikan bahwa yang berada di dalam sana benar-benar dirinya.
Naresha sadar, kali ini bukan cuma tentang masalah mantel, bukan juga tentang dress mini di baliknya, tetapi tentang seluruh rahasia yang selama ini berhasilnya dirinya jaga rapi—dan kini semuanya terbuka lebar tepat di hadapan kedua orang tuanya.
Jari-jemari Naresha mulai membuka kancing mantel secara perlahan-lahan. Tidak ada gerakan tergesa-gesa, dan tidak ada pula pembelaan diri—hanya kesunyian yang makin terasa mencekam, diiringi oleh suara ‘klik’ dari setiap kancing yang telah terlepas.
Beberapa detik berlalu, setelah semua kancing mantel terbuka, muncullah sebuah dress bodycon hitam yang membungkus tubuh ramping Naresha dengan sangat sempurna, menonjolkan lekuk tubuh gadis itu yang begitu indah.
Gayatri melebarkan mata sempurna, menatap tubuh sang anak semata wayang dengan bola mata bergetar hebat. “Resha … Ini bukan pakaian buat bahas tugas sekolah!”
“Dan bukan juga pakaian buat anak umur tujuh belas tahun,” sahur Ardhan cepat, suaranya datar, tetapi dipenuhi oleh kekecewaan sangat mendalam, “Kamu pikir kami bodoh? Kamu pikir kamu nggak tahu kamu udah main di maha aja, sama siapa, dan ngapain aja?”
Naresha menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya cukup kencang guna menahan gejolak emosi yang sudah meronta-ronta. Ia menggenggam erat kedua tangan, lantas mengembuskan napas pelan beberapa kali—berusaha mengumpulkan sedikit keberanian—untuk mengeluarkan suara.
“Ak-Aku cuma … mau—”
“Papa nggak mau denger penjelasan apa pun dari kamu,” potong Ardhan, melirik sekilas ke dalam layar handphone yang menampilkan sebuah notifikasi pesan dari salah satu sahabat serta rekan bisnisnya, lantas bangun dari tempat duduk dan berjalan mendekati tempat Naresha berada, “Kamu benar-benar udah buat Papa sama Mama kecewa … dan Papa nggak akan tinggal diam.”
Naresha refleks mendongakkan kepala, menatap sang papa yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Ia kembali menelan air liur susah payah, kala tatapan sang papa kini tidak lagi sekadar kekecewaan—melainkan ketegasan, dingin, dan penuh keputusan.
“Ma-maksud Papa apa?” tanya Naresha dengan suara pelan, serak, dan sedikit bergetar.
Ardhan menatap mata double eyelid sang putri sangat dalam. “Papa udah bicara sama salah satu sahabat dan rekan bisnis Papa. Beliau punya anak laki-laki seumuran kamu, dan dari keluarga yang terhormat … Papa dan Mama sudah sepakat … Kami berdua akan jodohin kamu dengan dia.”
“Apa?!”
To be continued :)
Happy reading guys :)
...•••...
“Kenapa jadi kayak gini, sih? Siapa coba yang udah ngirim semua kegiatan malam gue ke papa sama mama? Perasaan nggak ada yang mencurigakan sama sekali selama ini, tapi kenapa sekarang kayak gini?”
Naresha mengembuskan napas panjang beberapa kali, lalu menatap pantulan dirinya di dalam kaca cermin berukuran besar yang menempel di salah satu sisi dinding kamarnya.
Di dalam sana, terlihat sosok Naresha sudah tidak lagi mengenakan dress bodycon mini berwarna hitam, lantaran sudah berganti dengan dress bergaya Korea yang cukup sopan—berwarna biru pastel dengan potongan A-line sepanjang lutut serta detail pita kecil di bagian leher.
Dress itu sebenarnya terlihat sangat manis dan anggun, sangat cocok dengan image ketua OSIS yang dikenal kalem dan berprestasi. Namun, bagi Naresha pakaian itu terasa seperti kostum—penyamaran paksa yang dipilihkan oleh situasi dan keadaan, bukan oleh dirinya sendiri.
Naresha mengusap wajahnya pelan, lantas menghela napas berat sambil bergumam, “Padahal tadinya gue udah siap banget buat malam ini. Gue udah atur semuanya dengan sangat baik … tapi kenapa ending-nya malah kayak gini, sih?”
Setelah menggumamkan akan hal itu, Naresha mengalihkan pandangan ke arah luar melalui salah satu jendela kaca kamar yang belum dirinya tutup menggunakan tirai. Ia diam beberapa saat, pikirannya kembali terlempar pada kejadian beberapa menit lalu—ketika dirinya tiba-tiba saja mendengar kabar kalau akan dijodohkan pada malam hari ini, dengan sosok cowok yang bahkan tidak dirinya kenali sama sekali.
“Apa! Pa, yang benar aja? Aku cuma pergi ke bar dan minum wine … masa hukumannya harus sampai dijodohin segala. Ini terlalu berlebihan!” protes Naresha, suaranya yang tadi sedikit bergetar telah berubah menjadi sangat tegas dan penuh keterkejutan.
Ardhan tidak menjawab protes yang sedang dilayangkan oleh Naresha. Ia hanya menatap putrinya itu dengan tatapan berat yang tidak bisa untuk dijelaskan serta dijabarkan oleh kata-kata semata—campuran antara kecewa, marah, serta cemas yang sudah lama dirinya pendam.
“Kamu pikir Papa sama Mama baru tahu sekarang, Resha?” ucap Ardhan akhirnya dengan suara pelan, tetapi mengandung tekanan serta hawa amarah yang sangat tajam, “Papa udah tahu kegiatan kamu selama ini. Kamu pikir bisa main aman dan sembunyi dari semua hal buruk yang udah kamu lakuin? Nggak akan bisa, Naresha Ardhanari Renaya … udah cukup selama ini Papa sama Mama sabar dengan tingkah kamu. Sekarang udah nggak bisa lagi … dan kamu harus nurut sama keputusan kamu berdua.”
Naresha menggigit bibir bawah cukup kencang, lalu mengalihkan pandangan ke arah sang mama yang masih duduk di tempat semula—dengan mata sudah mulai berkaca-kaca. “Ma, Mama percaya sama aku, kan? Tolong bantuin, Ma … Aku nggak mau dijodohin. Aku masih sekolah dan masa depanku masih panjang banget.”
Gayatri menundukkan kepala, tangannya meremas tisu yang sejak tadi telah dirinya genggam di atas pangkuan. Cairan bening mulai memenuhi kelopak matanya dan nyaris jatuh, tetapi saat menatap Naresha—anak gadis satu-satunya yang sejak kecil selalu dirinya banggakan—wajahnya seketika berubah menjadi sangat datar dan tegas, meskipun hatinya remuk.
“Mama percaya sama kamu, Sayang … Mama percaya kamu pintar, kamu hebat … tapi Mama juga tahu kamu sekarang lagi kehilangan arah,” ucap Gayatri dengan suara pelan, tetapi terdengar sangat menusuk, “Dan Mama juga tahu, kalau Mama sama Papa nggak ambil tindakan sekarang, kamu bisa semakin jauh dari jalan yang benar.”
Naresha menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya. “Tapi, Ma … ini hidup aku! Aku bisa atur semuanya sendiri, aku cuma butuh waktu … kenapa harus sampai dijodohin segala? Bukannya masih banyak hukuman lain yang bisa aku teri—”
“Karena kamu sudah terlalu jauh, Resha,” potong Ardhan dengan suara rendah yang terdengar sangat tidak bisa untuk dibantah, “Oke, gini … Kalau kamu memang nggak mau dijodohin, Papa punya satu pilihan lain … Kamu harus keluar dari sekolah, homeschooling dan nggak boleh keluar dari rumah kalau nggak bareng Mama sama Papa.”
Naresha melebarkan mata sempurna dan segera tersadar dari dalam lamunannya, saat secara tiba-tiba mendengar suara pintu masuk kamarnya diketuk oleh seseorang dari arah luar. Ia perlahan-lahan mulai melangkahkan kaki mendekat, kemudian membuka pintu guna melihat sosok orang yang telah mengganggu aktivitasnya.
“Bi Lastri? Ada apa, Bi?” tanya Naresha, seraya sedikit mengerutkan kening saat melihat sosok perempuan paruh baya—asisten rumah tangga—tengah berdiri di depan pintu kamarnya.
Bi Lastri sedikit membungkukkan badan, lantas menunjuk ke arah tangga penghubung lantai satu menggunakan ibu jari tangan kanan. “Itu, Non … Non Resha disuruh turun sama tuan dan nyonya.”
Naresha menghela napas panjang—penuh kelemahan—saat mendengar jawaban yang telah diberikan oleh BI Lastri. “Udah ada pada datang, ya, Bi?”
Bi Lastri mengangguk pelan. “Iya, Non … kalau boleh tahu mau ada apa, ya?”
Naresha menggeleng-gelengkan kepala pelan, sebelum keluar dari dalam kamar dan menutup pintu secara perlahan-lahan. “Nggak ada apa-apa, kok. Ya udah, Bibir balik kerja lagi … Aku mau turun ke bawah.”
Bi Lastri diam beberapa saat, terus menatap wajah cantik Naresha dengan sorot penuh kekhawatiran yang sangat mendalam—lantaran dirinya sudah mengenal gadis berparas cantik itu sedari lahir. “Iya, Non … semangat, ya, kalau ada apa-apa, Bibi siap dengerin semua keluh kesah, Non.”
Naresha mengukir senyuman tipis dengan sangat susah payah. “Iya. Makasih banyak, Bi … doain aku baik-baik aja, ya.”
Setelah mengatakan hal itu, Naresha mengalihkan pandangan ke arah tangga penghubung lantai satu, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, sebelum pada akhirnya mulai melangkahkan kakinya menjauhi area kamar.
Sepanjang perjalanan, Naresha menggigit bibir bawah dan menggenggam kedua tangan dengan sangat erat, berusaha menenangkan hati serta pikirannya yang masih sangat kacau karena semua rahasianya terbongkar.
Langkah demi langkah diambil Naresha dengan sangat berat, seolah setiap anak tangga yang sedang dirinya lewati adalah pengingat bahwa hidupnya kini bukan lagi miliknya sendiri.
Beberapa detik berlalu, begitu menginjakkan kaki di lantai satu, Naresha membelalakkan mata sempurna saat melihat tiga orang yang sedang duduk serta mengobrol bersama kedua orang tuanya—sepasang suami-isteri dan juga seorang remaja laki-laki yang memiliki umur seusianya.
Bukan sepasang suami-isteri itu yang membuat Naresha terkejut, melainkan sosok remaja laki-laki yang berada di samping kiri mereka—orang yang selama ini sangat dirinya benci saat berada di sekolah, sekarang sedang duduk santai di salah satu sofa ruang keluarga rumahnya, seolah dunia benar-benar sedang ingin menjatuhkannya.
Naresha menghentikan langkah kaki tepat di belakang tangga penghubung lantai dua. Tubuhnya mematung sempurna, dengan mata double eyelid-nya terus-menerus menatap ke arah remaja laki-laki itu tanpa berkedip sedikit pun.
“Kaizen Wiratma Atmaja.”
^^^To be continued :)^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!