NovelToon NovelToon

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Brian & Dunianya

“Aku lelah menjadi suara yang kau abaikan, menjadi harapan yang kau biarkan pudar. Cintamu hanya tentang dirimu sendiri, sementara aku perlahan tenggelam dalam sepi yang kau ciptakan.”

\~ Serena Azura Auliana \~

***

Serena menatap secangkir kopi di hadapannya yang mulai mendingin. Aroma robusta yang biasanya menggugah, kini terasa hambar, getir di ujung lidah.

Kafe yang ramai—dipenuhi suara obrolan dan tawa pengunjung yang saling bersahutan—nyatanya tak mampu menghilangkan perasaan sepi yang ia rasakan.

Beberapa kali notifikasi berbunyi dari gawai seorang pemuda bernama Briansyah Royrion Altair, yang kerap dipanggil Brian.

Entah apa yang dilakukan oleh pria itu saat ini. jemarinya begitu cepat mengetik di atas layar, entah dengan siapa. Sementara itu, Serena hanya bisa diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, bertanya-tanya sampai kapan dia harus bertahan dan memaklumi sikap Brian yang sudah mulai melewati batas kesabarannya.

Setelah sekian lama menunggu dalam diam, akhirnya Brian mengangkat kepala dan menatap wajah Serena sambil tersenyum. Senyum yang dulu terasa hangat itu, kini hanya suatu kebiasaan yang tak lagi berarti apa-apa.

"Re, aku ketemu Mira tadi di tempat tongkrongan. Dia ngajak kita double date sama pacar barunya. Kayaknya bakalan seru, nggak, sih? " ucap Brian sambil terus mengetik pesan di layar.

Nada suara Brian saat menyebut nama wanita lain terdengar begitu ringan, tanpa beban. Namun bagi Serena, nama "Mira" langsung membuat dadanya sesak.

Mira memang bukan siapa-siapa. Hanya salah satu dari sekian banyak teman wanita Brian, yang selalu diperlakukan Brian dengan perhatian berlebihan—hal-hal yang dulu Serena pikir wajar, kini terasa seperti kerikil yang makin melukai hatinya.

Serena tiba-tiba mengembuskan napas dengan kasar. Memiliki kekasih yang mudah akrab dengan siapa saja, terutama dengan perempuan, rupanya bukan sekadar anugerah—tapi juga semacam musibah. Seingatnya, bukan hanya Mira yang menjadi teman dekat Brian, tapi ada beberapa wanita lain yang menjalin hubungan dengan Brian atas nama persahabatan.

Persahabatan. Serena merasakan getir di hatinya. Mana mungkin ada persahabatan yang sungguh-sungguh murni antara pria dan wanita.

"Re, kamu dengerin aku, kan, Re?" tanya Brian karena tak kunjung mendapat jawaban dari Serena.

"Terserah kau saja," jawab Serena dengan nada datar, penuh ketidakpedulian.

"Kalau gitu, aku kabari Mira dulu," ucap Brian, masih tak sadar betapa rapuhnya hati Serena saat ini.

Serena menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sejenak. Lihatlah, pria itu kembali tenggelam dalam ponselnya, tak sedikit pun menyadari bagaimana dirinya semakin tak ada di mata Serena.

Kenapa ponsel itu tak menyedot saja seluruh tubuh Brian sekalian? Biar dia menghilang, bersama dengan perasaan dan sikap hangatnya yang telah lama memudar, entah ke mana.

"Mira." Serena mencoba menyembunyikan perasaan yang mendidih dalam dirinya. "Emangnya dia gak punya kerjaan lain, selain gangguin kamu, ya?”

Brian mendongak, wajahnya menampilkan keheranan, yang menurutnya, Serena sedikit berlebihan.

"Kamu kenapa, Sayang? Aku gak merasa terganggu sama sekali, kok. Lagi pula, dia kan temen aku. Dia ngajak kita buat hangout bareng, masa kutolak. Lagian, mumpung aku pulang, kapan lagi kita bisa liburan."

"Kamu sadar nggak, sih? Dari tadi, kamu itu cuma sibuk sama HP-mu aja. Terus, apa aku ini cuma pajangan?"

"Re, kamu lagi pms? Duh, jangan gitu, Sayang. Kamu jangan semuanya dibawa serius kayak gitu.  Nanti kamu stres yang ada."

Serena menahan napas, mencoba menenangkan hati. Ini bukan kali pertama ia mendengar kata-kata itu.

Terlalu serius.

Terlalu dramatis.

Selalu terlalu berlebihan.

Brian tak pernah berhenti memberinya label-label yang membuat Serena meragukan dirinya sendiri.

"Brian, aku cuma ... aku cuma merasa, mungkin, ada batas yang sebaiknya kita jaga. Kamu tahu, aku udah bener-bener capek ngeliat kamu terlalu dekat dengan cewek lain. Bukan berarti aku nggak percaya sama kamu, tapi ... aku cuma manusia. Aku bisa cemburu."

Brian menggeleng pelan dan tertawa kecil, seolah Serena baru saja mengucapkan sesuatu yang konyol.

"Kamu kayaknya memang lagi banyak pikiran, Re. Udah berapa kali aku bilang, kamu gak perlu ngerasa cemburu sama mereka, Re. Aku pikir, kita udah selesai bahas soal ini."

Serena terdiam, tak mampu membalas. Di dalam dirinya, ada perasaan terjepit antara marah dan putus asa. Setiap kali ia berusaha menjelaskan apa yang ia rasakan, Brian selalu membuatnya tampak bodoh dan berlebihan.

Ia mencintai pria ini, atau setidaknya dulu pernah begitu. Brian selalu bisa mengisi dunianya dengan canda, dengan sikapnya yang ramah dan menyenangkan. Tapi ternyata, keramahan yang dulu membuat Serena jatuh hati kini justru menjadi beban. Bukan hanya keramahan pada dirinya, tetapi juga pada semua wanita di sekitar mereka.

Brian menatapnya sejenak, seakan sedang mencari sesuatu dalam wajahnya.

"Kamu tahu, Re. Aku itu cintanya cuma sama kamu. Aku nggak akan selingkuh atau semacamnya. Aku hanya ... begini adanya. Kamu tahu itu sejak awal, kan?"

Serena menarik napas panjang, mencoba memahami maksud kata-kata Brian.

Sejak awal, iya. Ia tahu Brian ramah, terbuka, menyenangkan. Tapi semakin lama, keramahan itu justru menjadi belenggu yang menjerat hati Serena.

Betapa seringnya ia merasa tersisih hanya karena melihat Brian tertawa dan bercanda bersama wanita-wanita lain, seakan mereka lebih berhak mendapat perhatian Brian daripada dirinya, yang notabene adalah tunangannya sendiri.

"Brian, apa kamu benar-benar nggak bisa berubah?" Suara Serena tercekat, nyaris tak terdengar. "Aku nggak bisa terus-menerus kayak gini, cuma jadi pelengkap hidupmu."

Brian menghela napas, ekspresinya datar.

"Re, kamu ini aneh sekali. Kenapa sih kamu selalu meragukan perasaanku? Aku udah pulang, lho. Jauh-jauh nyebrang pulau, cuma buat ketemu kamu. Kenapa kamu nggak cukup puas dengan itu?"

Lagi-lagi, perkataan Brian menampar Serena dengan keras. Ia tak lagi tahu harus menjelaskan bagaimana perasaannya. Jika terus begini, perasaannya sedikit demi sedikit benar-benar tergerus habis, tak bersisa.

Berputar-putar dalam pikiran yang rumit, pada akhirnya Serena kembali ke titik awal, di mana ia berpikir bahwa ia hanya perlu mempertahankan hubungan ini dengan menerima Brian apa adanya. Serena juga berpikir, selama Brian tidak mengkhianatinya atau menjalin hubungan lebih dari sekadar teman dengan wanita lain, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Bodoh. Serena juga menyadari hal itu. Tapi lagi-lagi, dia hanya bisa diam atau tersenyum sambil mengatakan, bahwa semuanya baik-baik saja. Brian memang mencintai Serena, hanya Serena satu-satunya. Tetapi ia tahu, Brian tak pernah benar-benar tahu caranya mengungkapkan cinta itu dengan cara yang membuat Serena merasa dihargai dan dimiliki.

"Memang ada, cewek yang nggak cemburu ngeliat pacarnya deket sama cewek lain? Kalau ada, coba tunjukin aku di mana orangnya."

Brian tertawa mendengar celotehan Serena yang menurutnya menggemaskan, tetapi kali ini tawa itu tak membuat Serena tersenyum. Tawa itu penuh dengan nada yang menyakitkan.

"Re Sayang, pikiranmu terlalu rumit. Cinta itu sederhana. Kamu mencintai seseorang, kamu bersamanya. Apa lagi yang kamu butuhkan?"

Kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Brian berhasil menusuk Serena lebih dalam daripada apa pun yang pernah ia dengar.

Brian benar, pikirnya. Mungkin dia memang terlalu banyak berpikir, terlalu banyak berharap, terlalu berekspektasi tinggi. Namun, bagaimana bisa ia tidak berharap pada seseorang yang pernah ia bayangkan akan menjadi pendamping hidupnya? Bagaimana bisa ia tidak berharap bahwa cinta yang ia berikan akan disambut dengan penghargaan, dengan kepercayaan yang tulus?

Sore itu, Serena berakhir dengan pergulatan di dalam dirinya. Semua energi telah terkuras habis. Tidak ada sisa kekuatan untuk berdebat atau beradu pendapat dengan Brian. Dia merasa lelah—bukan hanya fisik, tapi juga hati dan pikiran.

Di hadapannya saat ini, Brian kembali tenggelam dalam dunianya sendiri. Bukan dengan pesan atau percakapan dengan grup chatnya maupun wanita lain, tetapi dengan sebuah game strategi berbasis tim di mana ia mengendalikan seorang hero untuk bertarung dan merebut wilayah. Game yang cukup populer akhir-akhir ini, orang-orang menyebutnya Battlefront Legends.

Serena masih memandangi Brian yang kini asik dengan Medan pertempuran virtualnya.

Pikiran-pikiran rumit terus-menerus menghujam Serena, menempatkannya seolah berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih apakah ia akan terus bertahan dan kehilangan dirinya, atau merelakan hubungan yang perlahan menyesakkan ini.

Sampai akhirnya, Serena berdiri dari tempat duduknya. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tasnya, menyampirkan tali tas itu di bahu, dan menatap Brian untuk terakhir kalinya hari itu.

Sorot mata Serena dipenuhi dengan luka yang tak mampu diucapkan. Ahh, mungkin lebih tepatnya, Serena terlalu lelah mengutarakan isi hati. Toh, ujung-ujungnya gak bakal didengerin juga sama si Brian Shake.

Brian mendongak, sepertinya terkejut melihat Serena sudah bersiap pergi. "Re, kamu mau ke mana? Kita masih belum selesai. Makananmu juga belum habis. Katanya habis ini mau lanjut nonton?"

Serena tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih menyerupai kepedihan daripada kebahagiaan.

"Aku mau pulang. Aku udah capek." Hanya itu yang bisa ia katakan sebelum melangkah meninggalkan meja itu, meninggalkan kafe, dan meninggalkan Brian yang masih terpaku di tempatnya, tak mengerti apa yang salah.

Brian langsung beranjak saat itu juga, membayar pesanan mereka, dan menyusul Serena yang sudah keluar dari Kafe.

Bersambung

Rabu, 25 Agustus 2025

Serena & Semua Lukanya

“Andai aku bisa menghilang seperti bayangan di kala senja. Lenyap tanpa jejak, tersapu gelap tanpa suara. Mungkin dengan begitu, aku tak perlu lagi menanggung sakit yang terus menggigit. Karena nyatanya, tak ada seorang pun yang benar-benar peduli apakah aku ada atau tidak.”

\~ Serena Azura Auliana \~

***

Serena melangkah cepat meninggalkan kafe, sedang melarikan diri. Wajahnya diliputi kegelisahan. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Brian tidak mengejarnya.

Begitu tiba di luar, ia segera merapat ke sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Ia menunduk dengan lebih dalam, bersembunyi di balik kendaraan itu sambil berusaha menenangkan napasnya yang tersengal.

Tangannya yang gemetar merogoh tas kecil yang tersampir di bahu. Ia mengambil ponsel, lalu menonaktifkan semua akses komunikasi. Mode pesawat aktif, notifikasi dibungkam.

"Sekali ini saja," gumam gadis itu lirih. "Aku nggak mau bicara dengan siapapun. Apalagi dengan Brian."

Pandangannya tiba-tiba jatuh ke seberang jalan—melihat orang-orang berlalu-lalang tanpa tahu bahwa hatinya sedang berantakan.

Alasannya karena Brian.

Brian adalah tunangannya. Setidaknya, untuk saat ini masih begitu. Namun akhir-akhir ini, Serena merasa ia hanya menjadi pelengkap. Brian lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman tongkrongannya—tak peduli laki-laki atau perempuan. Saat tidak bersama mereka, ia tenggelam dalam dunia game virtual, yang katanya hanya cara untuk "mengusir bosan".

Serena tidak mempermasalahkan itu semua. Lagi pula, terlalu mengekang bukanlah hal yang baik dalam menjalin hubungan. Tapi, semakin hari, Brian justru menunjukkan sikap yang membuat Serena mempertanyakan dirinya sendiri.

Apakah wajar untuk seorang pria tebar pesona dengan banyak wanita? Apakah wajar untuk seorang pria lebih banyak bermain game, daripada memberi kabar pada pasangannya?

Pada akhirnya, Serena merasa bahwa dia memang bukan prioritas utama. Kehadirannya selalu berhasil terpinggirkan.

Tak lama, pintu kafe terbuka. Brian muncul dengan wajah kebingungan. Matanya menyapu ke segala arah, mencari sosok Serena yang hilang secara tiba-tiba.

Serena semakin menahan napas, menunduk lebih dalam. Ia berharap Brian tak menemukannya di balik mobil, tempatnya bersembunyi.

"Serena, di mana kamu?" Brian terlihat begitu panik. Dia berdiri cukup lama di trotoar. Wajahnya tampak ragu dan bimbang. Ia menoleh ke kanan dan kiri, namun akhirnya menyerah. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju motornya, mengenakan helm, dan melaju pergi. Dia berharap, bisa menemukan Serena saat di perjalanan pulang menuju ke apartemennya.

Serena memerhatikan semua itu dari tempatnya. Barulah setelah Brian benar-benar menghilang dari pandangan, ia bisa bernapas dengan lega. Setidaknya untuk malam ini, ia berhasil menjauh—bebas sejenak dari tuntutan kesabaran yang semakin menyesakkan.

Tapi satu masalah belum terpecahkan: Serena tak punya tujuan. Ia tak ingin pulang. Di apartemennya hanya ada kesunyian, dan ia tahu Brian bisa saja menyusul ke sana. Serena butuh pelarian. Tempat untuk melepaskan perasaan yang mengeruhkan hatinya malam ini.

Tanpa arah yang jelas, gadis itu pun melangkah pergi, membiarkan kakinya memimpin, entah ke mana.

Ia menyusuri trotoar di tengah keramaian kota yang masih sibuk di bawah sinar matahari yang tidak lagi terasa terik.

Langit di atasnya masih berwarna biru cerah dengan semburat awan putih tipis yang melayang pelan. Sinar matahari masih cukup kuat untuk menyinari bangunan-bangunan tinggi, memantulkan cahaya keemasan di kaca-kaca jendelanya. Udara terasa hangat, dan bayangan panjang mulai terbentuk di trotoar, pertanda matahari mulai turun menuju singgasana di cakrawala.

Ada banyak hal yang melintas dalam pikirannya. Bisikan-bisikan samar yang membuat semuanya semakin semrawut bak benang kusut.

Mulai dari masa lalu yang terus menghantui, hubungannya dengan Brian yang selalu membuatnya rendah diri, dan masa depan yang tidak jelas.

Tanpa sadar, langkah kaki membawa Serena ke sebuah taman baca yang belakangan ini cukup populer di kota.

Bangunan itu berdiri di antara rindangnya pepohonan, menampilkan kesan sejuk dan asri yang memanjakan mata. Salah satu sisinya terbuka lebar, membiarkan angin sore bebas keluar-masuk, membawa serta aroma angin yang menyegarkan.

Bagian depannya didominasi dinding kaca bening, memperlihatkan dengan jelas bagian dalamnya; berupa rak-rak kayu tinggi penuh buku yang berjajar rapi hingga ke sudut ruangan. Beberapa meja baca kecil menghadap langsung ke jendela. Mengundang siapa saja yang sedang mencari ketenangan untuk singgah dan menyepi dari hiruk-pikuk kota yang terlalu bising.

Serena berhenti di depan pintu, sempat ragu, lalu menghela napas beberapa saat, dia akhirnya melangkah masuk.

Begitu ia memasuki ruangan, seorang wanita berusia sekitar 25 tahun, bangkit dari tempat duduknya dan menyambut kedatangan Serena dengan ramah.

"Selamat datang," sapa wanita itu dengan hangat, suaranya rendah dan terasa menyenangkan. "Silakan, ambil tempat yang nyaman."

Serena membalas sapaannya dengan senyum kecil, mengangguk sopan sebelum melangkah lebih jauh ke dalam.

Mengedarkan pandangan ke segala penjuru, Serena menyadari bahwa taman baca ini memiliki dua akses, area terbuka dan tertutup. Namun, alih-alih memilih tempat yang ramai dan terang, Serena melangkah menuju sudut yang lebih tenang, di mana ia bisa menyendiri tanpa gangguan.

Meski berada di area tertutup, hawa di dalam ruangan tetap terasa sejuk. Aroma khas kertas yang bercampur dengan wangi lemari kayu memenuhi udara, menciptakan suasana yang menenangkan, seolah membisikan kedamaian yang telah lama ia rindukan.

Setelah menemukan sudut yang dirasa nyaman, Serena membiarkan tubuhnya tenggelam di atas pangkuan sebuah kursi kayu yang terasa dingin.

Perlahan, ia mengangkat kedua tangan dan meletakkannya ke atas meja, lalu menundukkan kepala dan membiarkan dahinya bersandar di atas lengan yang terlipat. Ia memejamkan mata, berusaha menemukan ketenangan di antara rasa lelah dan kecewa yang tiada memiliki ujung.

Tak butuh waktu lama, matanya terasa mulai memanas. Dada yang sesak memaksa air mata yang selama ini ia tahan untuk mengalir tanpa bisa dihentikan.

Segala beban, kekecewaan, dan kesepian—yang bertumpuk selama ini—akhirnya meluap dalam tangis tanpa suara.

Di sudut ruangan yang sepi ini, ia merasa bebas untuk menangis sepuasnya, tanpa khawatir pada pandangan orang lain.

Waktu terus berjalan, sementara Serena membenamkan wajah di antara lengan. Isakannya masih tertahan, namun air mata tak berhenti mengalir.

Hingga beberapa saat kemudian, Serena pun mengangkat wajahnya, mengusap leher yang terasa kaku setelah terlalu lama menunduk dan terisak.

Gadis itu tersentak saat mendapati sebuah topi baseball berwarna hitam dan sebuah kacamata hitam tergeletak di sudut meja. Entah sejak kapan benda-benda itu ada di sana?

Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapa yang mungkin telah meletakkan kedua benda itu, namun tak ada seorang pun di sekitarnya.

Masih dengan dipenuhi banyak tanya, Serena meraih sapu tangan itu, dan memerhatikannya lebih saksama.

Di bagian depan topi itu, terdapat sebuah bordir inisial "AS," seperti sebuah logo perusahaan.

Jari-jarinya menyentuh bordir itu, ia bisa merasakan tekstur jahitan dibaliknya. Dari topi itu juga, tercium aroma segar dari parfum yang masih melekat.

"Siapa yang meninggalkan ini? Kenapa aku nggak sadar ada yang mendekat?"

Serena benar-benar merasa malu, memikirkan dirinya yang kedapatan sedang menangis oleh orang asing.

Tidak bisa hanya diam saja, ia akhirnya memutuskan untuk mencari tahu siapa pemilik dua benda misterius ini. Karena baginya, di dunia ini tidak ada yang namanya gratis. Dia tidak boleh menerima barang pemberian orang lain, apalagi orang yang tidak dikenal dengan begitu mudahnya. Bisa saja, ini modus kejahatan baru. Berhati-hati lebih baik, daripada menyesal di kemudian hari. Maka dari itu, ia pun melangkah menuju kasir, tempat penjaga Taman Baca Lily berada.

"Permisi, Kak. Saya mau tanya," ujarnya hati-hati pada perempuan penjaga di balik meja.

"Iya, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" sahut sang penjaga dengan senyum ramah.

Serena terdiam sejenak. Ia mencoba merangkai kata-kata. Tak mudah menjelaskan bahwa ia menemukan topi dan kacamata setelah menangis. Itu terdengar cukup memalukan.

"Iya, Kak?" tanya sang penjaga lagi. Dari balik matanya, ada rasa penasaran yang begitu kuat.

"Jadi, begini ... saya tadi menemukan topi dan kacamata ini. Apa mungkin ada yang kehilangan?"

"Boleh saya lihat dulu, Kak?"

Serena menyerahkan kedua benda itu. Penjaga wanita itu tampak sedikit terkejut, seolah mengenali barang-barang tersebut.

"Sebentar, ya, Kak. Saya pastikan dulu."

Serena mengangguk pelan. Penjaga itu segera menghubungi seseorang melalui ponsel sambil terus memerhatikan barang di tangannya. Setelah beberapa saat, ia kembali menghampiri Serena.

"Saya sudah konfirmasi. Ini memang milik Bos saya. Tapi kata beliau, Kakak boleh menyimpannya ... karena sepertinya Kakak lebih membutuhkannya."

"Tapi saya nggak bisa menerima begitu saja pemberian dari orang yang bahkan nggak saya kenal."

"Saya mengerti, Kakak pasti merasa was-was. Tapi tenang saja, saya bisa jamin, Bos saya itu orang yang baik. Kalau Kakak masih ragu, anggap saja topi dan kacamata ini pemberian dari saya. Menurut saya pun, Kakak sangat membutuhkannya, karena keadaan Kakak yang terlihat nggak baik-baik aja."

"Apa saya kelihatan seperti itu?" tanyanya, penasaran dengan penampilan wajahnya saat ini.

Sang penjaga hanya mengangguk pelan, tetap tersenyum dengan empati yang tulus.

"Tolong sampaikan terima kasih saya, ya. Suatu hari nanti, saya akan mengembalikannya."

"Baik, Kak. Jangan sungkan untuk datang lagi ke Taman Baca Lily, ya."

Sebelum meninggalkan Taman Baca Lily, Serena berhenti sejenak di depan sebuah cermin yang tergantung di dekat pintu keluar. Ia ingin memastikan ucapan sang penjaga taman baca yang sempat mengatakan bahwa wajahnya tampak tidak baik-baik saja.

Tatapannya jatuh pada bayangannya sendiri—mata sembab, wajah pucat, dan sorot lelah yang tak bisa ia sembunyikan.

Serena akhirnya keluar dari taman baca itu dengan menggunakan topi dan kacamata yang dipinjamkan secara misterius oleh orang yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Saat ia menengadah, ia mendapati langit telah berubah warna menjadi oranye keemasan, pertanda senja mulai menyentuh ufuk.

Cahaya matahari yang tersisa membentuk siluet lembut di balik gedung-gedung dan pepohonan, sementara langit perlahan memudar menuju ungu tipis di kejauhan. Belum tampak bintang, hanya sekelebat burung-burung yang terbang pulang ke sarang.

Menghela napas panjang, ia pun melangkah pergi, meninggalkan tempat itu dengan satu harapan kecil yang mengendap di dalam dada—semoga sore ini ia tidak harus bertemu dengan Brian.

***

Setibanya di depan gedung apartemen, tempat Serena tinggal, ia tidak langsung masuk dan lebih memilih untuk bersembunyi. Matanya menatap ke segala penjuru tempat yang terjangkau, memastikan Brian tidak berada di sekitar gedung. Setelah yakin semuanya aman, ia segera berlari menuju ke apartemennya.

Hari yang melelahkan akhirnya berakhir. Serena melemparkan tasnya ke kursi, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang terasa dingin. Pandangannya terarah pada tas itu, seolah memanggilnya untuk mengambil sesuatu. Dengan enggan, ia meraih ponsel dari dalam tas.

Sejenak ia menatap layar yang mati, jemarinya nyaris menyentuh tombol untuk menyalakannya kembali. Namun, ia segera menghentikan dirinya sendiri.

Ini belum saatnya untuk menghadapi pesan, panggilan atau apa pun yang berhubungan dengan Brian.

Mencoba mengalihkan pikiran dari hal-hal yang rumit, Serena memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Di sana, ia membiarkan air mengalir deras membasahi tubuhnya, seolah sedang membasuh semua perasaan yang menghimpit dada, meski semua itu percuma.

Setelah selesai, ia kembali ke kamar dan duduk di kursi dekat jendela. Pandangannya kosong, menatap pemandangan malam yang sunyi. Di tengah keheningan yang kian menyesakkan itu, pikiran Serena jauh melayang.

Ingatan yang datang tanpa permisi, mengais kenangan pahit yang terus membekas di hidup Serena.

Dahulu, Serena memiliki keluarga yang utuh dan penuh kebahagiaan. Ia mencintai mereka sepenuh hati, menjadikan mereka sebagai segalanya. Rumah yang ia tinggali bukan sekadar bangunan, melainkan tempat di mana ia merasa aman, dicintai, dan dikelilingi oleh kasih sayang tanpa syarat.

Namun, kebahagiaan itu hancur dalam sekejap ketika ibunya ketahuan berselingkuh dengan seseorang yang mereka kenal.

Pengkhianatan yang tercipta bukan hanya merusak hubungan di antara orang tuanya, tetapi juga merenggut seluruh kepingan kebahagiaan yang pernah ia miliki. Sejak saat itu, Serena kehilangan lebih dari sekadar tempat yang ia sebut rumah—ia kehilangan kepercayaan, kebahagiaan, dan segala harapan yang pernah ia genggam dengan erat.

Setelah kejadian itu, ibunya pergi meninggalkan mereka, bersama dengan pria yang menjadi selingkuhannya. Sementara sang ayah, berusaha bangkit dari keterpurukan. Ia berjuang menjadi sosok yang tegar dan bertanggung jawab, meski pada akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk menikah lagi beberapa tahun kemudian.

Rumah yang dulu penuh kehangatan itu kini terasa begitu asing bagi Serena. Tak sanggup lagi tinggal di antara kenangan pahit yang terus menghantui, apalagi harus berbagi dengan keluarga baru sang ayah, Serena pun memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Entah dalam kurun waktu sementara, atau bisa saja mungkin selamanya.

Satu-satunya orang yang ada di sisi Serena adalah Brian—Pria itu adalah harapan yang masih tersisa dalam hidupnya.

Namun kenyataannya, seseorang yang seharusnya menjadi tempat bersandar dan rumah untuk pulang itu, tak pernah benar-benar ada untuknya.

Brian memang terlihat hangat dan perhatian. Sayangnya, perhatian itu tak pernah sepenuhnya untuk Serena. Ia terlalu mudah berbaik hati pada orang lain, membuat Serena sering merasa tersisih dan terabaikan—seolah tak ada tempat untuknya di hati Brian.

Kadang, ia bertanya-tanya, apakah dirinya hanyalah bagian kecil dalam hidup Brian—sebuah fragmen yang tak pernah benar-benar menjadi prioritas di tengah banyak hal lain yang tampak jauh lebih penting baginya.

"Brian ... apakah kau pernah benar-benar peduli padaku?" gumamnya pelan, nyaris tanpa suara.

Serena menghela napas panjang. Perasaan lelah menyelimuti tubuh dan pikirannya, namun ia tak tahu bagaimana harus melupakannya. Ia tahu dirinya tak bisa terus berharap Brian akan berubah, atau akan mengerti bagaimana perasaannya yang selalu merasa terpinggirkan. Harapan itu hanya akan membuatnya semakin terluka, dan ia tak ingin terus tersiksa oleh sesuatu yang tak pasti.

Di luar jendela, suara angin malam berbisik lembut, menggoyangkan sisa dedaunan di pepohonan sepanjang jalan. Serena duduk diam di bawah temaram lampu tidur apartemennya, mencari kedamaian di tengah keheningan yang menyelimuti. Dia sengaja tidak menyalakan lampu penerangan sepenuhnya supaya Brian mengira bahwa dia ada di apartemen sekarang.

Sayangnya, meski sunyi pada malam ini memberinya ruang untuk mencoba bernapas, namun kekosongan di dadanya tetap tak mau pergi.

Matanya mulai terasa berat, dan ia pun merebahkan diri di atas kasur, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam dinginnya pelukan ranjang.

Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia berharap bisa tidur tanpa mimpi malam ini—tanpa memikirkan Brian atau siapa pun yang membuat hatinya luka. Akan jauh lebih baik, jika dia bisa tidur panjang dan tak pernah terbangun lagi.

Bersambung

Rabu, 25 Agustus 2025

Tetangga Baru?

"Aku membenci diriku sendiri karena terlalu mudah luluh oleh kata-kata manismu. Sekeras apa pun aku mencoba marah, pada akhirnya aku selalu memaafkanmu, lagi dan lagi."

\~ Serena Azura Auliana \~

***

Keesokan harinya, Serena terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat akibat terlalu banyak menangis semalam. Rasa lelah masih melekat di tubuhnya, tapi perut yang mulai keroncongan memaksa gadis itu untuk beranjak dari tempat tidur.

Dengan kemalasan yang masih tersisa, ia menyeret kaki ke kamar mandi, mencuci wajah dengan air dingin, berharap rasa kantuk yang ada segera berkurang, meski mustahil menutupi mata sembabnya. Setelah itu, ia pun pergi untuk mengganti baju tidur dengan hoodie longgar yang lebih nyaman, lalu memutuskan untuk ke minimarket guna membeli sesuatu untuk mengisi perut.

Saat keluar dari apartemennya, Serena secara refleks menoleh ke samping. Di sana, berdiri seorang pria asing yang sedang sibuk mengutak-atik saku jaketnya—sepertinya sedang mencari kunci.

Rasa penasaran membuat Serena terpaku sejenak, tanpa sadar mengamati pria itu lebih lama dari seharusnya. Namun, begitu menyadari dirinya hampir saja menjadi manusia kepo, ia buru-buru mengalihkan pandangan dan pergi meneruskan niatnya sedari awal—yaitu membeli stok makanan di minimarket.

***

Setibanya di tempat tujuan, Serena kebingungan memilih makanan yang akan dia beli. Ada terlalu banyak rak-rak yang berisi penuh makanan beraneka macam, dan itu membuatnya menjadi lapar mata. Ia ragu harus memilih makanan yang mana, karena semuanya tampak menggiurkan.

Serena melangkah bolak-balik di antara lorong, mengamati setiap rak makanan atau camilan dengan varian yang beragam. Hingga akhirnya, pilihan pertama Serena jatuh pada sebungkus roti dengan selai kacang.

Senyum bahagia menghiasi wajah Serena. Makanan praktis seperti ini benar-benar surga bagi orang malas sepertinya. Tanpa perlu repot-repot memasak, roti itu bisa langsung dinikmati dalam satu gigitan.

Setelah memasukkan beberapa bungkus roti selai kacang ke keranjang belanjaan, Serena berlanjut ke rak di sampingnya. Di sana, deretan susu UHT murni ukuran 1 liter tersusun rapi. Ia pun mengambil satu botol susu secara random sesuai dengan kebutuhan. Beberapa camilan ringan, seperti sosis dan keripik kentang juga dimasukkan ke dalam keranjang belanja.

Kegiatan belanja Serena selesai lebih cepat dari yang ia kira. Semua yang dibutuhkan sudah masuk ke dalam keranjang, dan kini saatnya menuju kasir untuk menghitung total belanjaannya.

Setelah membayar uang pembayaran di kasir, Serena segera pergi. Takutnya nanti, kalau dia terlalu lama di sana, dia akan tergoda untuk membeli barang yang lain.

Di tengah perjalanan ke apartemennya, Serena kembali berpapasan dengan tetangga baru yang dia lihat sebelumnya. Kali ini, pria itu sedang menurunkan beberapa kardus dari bagasi mobil, terlihat sibuk dengan barang bawaannya.

Tiba-tiba saja, Serena dikejutkan oleh sesuatu yang membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Alarm bahaya berbunyi dalam kepalanya. Saat ini, Brian sedang berlari ke arahnya.

"Sial, sejak kapan dia ada di sini?" gumamnya.

Ia berusaha berbalik pergi, tapi terlambat. Brian sudah menggenggam pergelangan tangannya dengan erat.

"Re!" panggil Brian, napasnya sedikit tersengal. "Ayo, kita bicara sebentar!"

Serena menghela napas panjang, tak berniat menuruti permintaan Brian. Namun, melihat wajahnya yang penuh harap, ia akhirnya menyerah dan mengikuti Brian ke taman kecil dekat gedung.

Mereka duduk di bangku panjang. Serena menggigit sisa sosis yang ia beli tadi, sementara Brian tampak gelisah.

"Re, kenapa semalam kamu nggak aktif? Aku juga ke apartemen kamu, tapi apartemen kamu malah gelap? Kamu ke mana kemarin?” Brian langsung menyerang Serena dengan banyaknya pertanyaan karena rasa khawatir. Ia bahkan berbicara dengan nada sedikit merayu.

"Nggak usah banyak tanya," jawab Serena singkat.

Brian mendesah. "Re, kenapa kamu kayak gini? Aku salah apa lagi?"

Serena menatap dengan ekspresi dingin. "Kamu masih nanya salahmu di mana? Aku capek, Brian. Kamu selalu sibuk sama HP-mu sendiri. Ngapain aku buang-buang waktu ketemu kamu kalau ujung-ujungnya kamu malah sibuk sendiri?"

"Aku juga butuh hiburan," bela Brian.

Serena tertawa kecil, tapi nadanya terdengar pahit. "Jadi, kehadiranku nggak menghibur sama sekali buat kamu?"

"Gak gitu maksudku, Re. Kamu jelas lebih penting dari apa pun."

Serena hanya menggeleng pelan. "Bullshit. Udahlah, aku lagi nggak mood ketemu kamu. Mending kamu main sama temen-temen tongkronganmu yang lebih asik itu."

Brian mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Re, aku anter kamu ke tempat kerja kamu, ya?"

"Gak usah," jawab Serena tegas.

Brian menghela napas. "Kalau gitu, kamu mau aku beliin sesuatu?"

Serena mendelik. "Nggak butuh! Aku bisa beli sendiri! Kamu nggak liat apa, barang belanjaanku ini?!"

Brian terdiam sejenak. Barang belanjaan yang Serena bawa memang cukup banyak. Tapi, bukan Brian namanya kalau dia kehabisan ide begitu saja.

"Nanti aku beliin yang lain, deh. Sekalian, gimana kalau kita nonton? Kemarin kita nggak jadi nonton, karena tiba-tiba kamu hilang. Kamu tahu, aku panik banget nyariin kamu sepanjang jalan ke apart. Di apart kamu juga nggak ada."

"Bodo amat. Emang aku peduli!"

"Please, Re. Udahan marahnya, ya?" pinta Brian lirih. Wajahnya tampak memelas, berharap Serena luluh seperti biasanya.

Tapi tidak kali ini.

Serena tetap bergeming. Ekspresinya datar, nyaris dingin, meski hatinya tidak sepenuhnya kebal. Ada getaran kecil yang mengusik relungnya, namun ia menekan perasaan itu dalam-dalam. Luka dan kecewa yang ia rasakan terlalu nyata untuk diredam hanya dengan tatapan penuh penyesalan.

"Minta maaf aja kamu nggak mau. Jadi, buat apa aku harus dengerin kamu?" tukasnya tajam. Kali ini, Serena bersungguh-sungguh dengan perkataannya.

"Aku ... aku nggak terbiasa minta maaf."

Serena menghela napas panjang, menahan letih yang mulai merambat. "Ya udah. Aku juga nggak mau buang-buang waktu ngomong sama kamu lagi."

Ia beranjak, berniat pergi dan menutup percakapan itu. Tapi tangan Brian lebih cepat. Ia menggenggam pergelangan tangan Serena dengan erat. Ia tahu, bahwa jika ia melepaskannya kali ini, semua akan benar-benar berakhir.

"Aku minta maaf," ucap pria itu akhirnya, berhasil membuat langkah Serena terhenti detik itu juga.

Serena menoleh perlahan, keningnya mengernyit. Apa dia tidak salah dengar barusan?

"Coba ulangi," desak gadis itu, lebih pada sebuah perintah. Tatapannya menantang, menembus mata Brian, mencari kebenaran dalam ucapannya.

"Aku minta maaf, Sayang." Kali ini Brian mengatakannya dengan bersungguh-sungguh, tanpa ragu sedikit pun. Di balik matanya, tercermin perasaan menyesal yang besar.

Salah satu sudut bibir Serena melengkung. Tapi itu bukan senyum kebahagiaan—itu jelas senyum penuh kemenangan. Senyum dari seseorang yang tahu persis nilai dari harga dirinya.

"Oke. Tapi denger, ya. Sekali aja kamu ngulangin hal yang bikin aku sakit hati atau kecewa, kita nggak perlu ngomong soal putus. Kita selesai. Detik itu juga."

"Oke. Aku akan mengingatnya." Brian menerima syarat yang Serena ajukan tanpa protes sama sekali.

"Bagus," ucap Serena sembari menarik perlahan tangannya dari genggaman Brian. "Kamu tahu, kan, lelaki sejati itu memegang ucapannya. Sekali kamu mengingkari itu, artinya kamu bukan lelaki sejati. Kamu sunat aja lagi sekalian sana!"

Brian terkekeh kecil, mendengar omelan Serena yang menurutnya sangat menggemaskan.

"Kenapa kamu ketawa?"

Brian langsung terdiam saat itu juga. Tidak berani mengeluarkan suara sama sekali.

"Aku serius, ya!"

"Iya, iya, Re Sayang. Ternyata kamu bawel banget, sih. Tapi, entah kenapa, aku suka dengar omelanmu."

Serena memutar bola matanya, setengah kesal, setengah malu. "Apa sih? Jangan sok manis. Gombalan kamu nggak mempan. Aku harus siap-siap sekarang. Sebentar lagi mau berangkat ngajar."

Melihat Serena hendak pergi, Brian menoleh ke arah kantong belanjaan yang terlihat penuh sesak di tangan gadis itu. "Sini biar aku bantu. Itu kayaknya berat banget, deh."

"Nggak usah. Aku masih sanggup kok. Lagi pula, aku lagi nggak terima tamu." Serena melotot tajam saat Brian hendak meraih kantong belanjaannya.

"Tapi—"

"Aku serius, Brian." Saking kesalnya, Serena tanpa sadar meninggikan suaranya sedikit. "Kalau kamu tetap maksa, mending kamu pulang aja sana!"

Hening sejenak. Lalu Brian mengangkat tangannya ke atas, sejajar dengan telinga. "Oke, oke. Aku ngerti. Aku nggak akan maksa, tapi aku akan tunggu kamu di sini."

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Serena memilih untuk pergi, meninggalkan Brian yang hanya terpaku di tempat.

Beberapa langkah telah diambil saat rasa penasaran membuat Serena menoleh ke belakang. Tatapannya bertemu langsung dengan mata Brian. Pria itu cepat-cepat melambaikan tangan, disertai senyum khasnya—senyum yang selalu berhasil memikat banyak wanita.

Serena mengakui, Brian memang tampan, tapi di sisi lain, dia sangat menyebalkan.

"Mengapa selalu begini?"gerutu Serena merasa kesal setengah mati.

Rasa kesal dan jengkel itu, bukan ditunjukkan hanya pada Brian semata, tetapi juga pada dirinya sendiri. Setiap kali mendengar suara lembut Brian, seolah semua kemarahannya mereda begitu saja, seperti es yang mencair. Meski hatinya terluka dan kesal, seringkali satu kata manis dari Brian sudah cukup untuk meluluhkan perasaannya, dan itu membuatnya kesal setengah mati.

"Kenapa aku gampang banget luluh, sih?!" Serena mengomel pada dirinya sendiri, seraya menendang udara dengan geram.

Brian sempat tertawa kecil melihat tingkah konyol Serena dari kejauhan. Ada sesuatu yang lucu dan menggemaskan dari caranya melampiaskan kekesalan. Tapi tawa itu tak bertahan lama—senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh bayang-bayang penyesalan yang kembali menghantui.

Kali ini, ia menghela napas dalam diam. Karena kebodohannya sendiri, ia nyaris kehilangan Serena—wanita yang telah menemaninya selama tujuh tahun, dan satu-satunya wanita yang hanya dia cintai di dunia ini.

***

Lift berdenting pelan sebelum pintunya terbuka. Serena melangkah masuk, tetangga barunya juga menyusul masuk ke dalam lift sambil membawa beberapa kardus besar yang bertumpuk tinggi. Kardus-kardus itu tampak tidak stabil, bergoyang sedikit saat lift mulai bergerak ke atas.

Serena memerhatikan pria itu, yang tampak sedang berusaha menjaga keseimbangan dari tumpukan barang yang dibawanya. Namun, ketika lift sedikit berguncang saat berpindah lantai, kardus paling atas mulai miring, dan nyaris terjatuh.

Refleks, Serena mengangkat satu tangan ke udara, berniat menahan kardus itu sebelum benar-benar terjatuh. Namun ia lupa, tangannya sendiri tengah sibuk menenteng beberapa kantong belanjaan yang tidak sedikit.

Lift yang sempit membuat ruang gerak terbatas. Adhan langsung bereaksi cepat. Ia menurunkan semua barang bawaannya ke lantai, dan segera menyusun ulang posisi kardus-kardusnya agar lebih stabil dan tidak membahayakan orang di sekitarnya. Ia tak mau ada yang terluka, apalagi karena kelalaiannya sendiri.

"Maaf. Saya hampir aja bikin Anda celaka," ucap Adhan penuh penyesalan.

Serena menggeleng pelan, masih sedikit terkejut namun mencoba tersenyum.

"Nggak apa-apa, kok. Lagi pula, nggak sampai terjadi apa-apa."

"Tapi tetap saja, saya minta maaf," katanya sekali lagi sembari menunduk sopan.

"Iya, lain kali hati-hati aja, ya."

Setelah itu, tak ada percakapan lagi di antara mereka. Keheningan kembali mengisi ruang lift yang sempit itu, menyisakan hanya suara samar dari mesin yang bekerja membawa mereka ke lantai tujuan.

Keduanya dipastikan larut dalam pikiran masing-masing. Serena pun memang bukan tipe yang mudah berbicara dengan orang asing—bahkan dengan tetangganya sendiri. Bukan karena sombong, tapi karena lingkungan apartemen ini memang begitu. Penghuninya cenderung tertutup, sibuk dengan pekerjaan dan urusan pribadi.

Begitu pintu lift terbuka, kedua manusia itu kembali menjadi asing seperti sebelumnya. Mereka masuk ke dalam unit mereka masing-masing.

Serena segera mengunci pintu apartemennya, lalu meletakkan kantong belanjaan di atas meja. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan sisa ketegangan. Tangannya merogoh saku hoodie, menarik keluar gawai yang sejak tadi tersembunyi di dalamnya.

Sederet pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi layar sesaat setelah ponsel Serena aktif kembali. Serena mengerutkan kening, matanya tertuju pada notifikasi chat yang didominasi oleh pesan-pesan dari Brian. Senyum tipis mengembang di bibirnya saat melihat betapa banyaknya pesan yang masuk, seolah Brian tidak bisa tenang ketika tak mendapat jawaban darinya.

"Rasain! Salah sendiri bikin orang kesel!" nyinyirnya, seolah mendapatkan kemenangan yang penuh.

Serena menggulir layar, membaca sekilas pesan terakhir dari Brian: "Aku tunggu di bawah, ya."

Ia menghela napas pelan. Puluhan pesan menumpuk di layar—Brian memang pria yang tak kenal lelah. Inilah alasan mengapa Serena sempat menonaktifkan ponselnya. Ia tahu betul, Brian akan terus menghubungi, mengatakan hal-hal manis yang mampu meluluhkan hatinya.

Serena sendiri pun mengakui, kebulolannya sudah mencapai level tertinggi.

Tanpa berniat membalas, ia meletakkan ponsel di atas kasur. Pesan terakhir dari Brian tetap tak ia gubris sama sekali.

Meski tahu Brian sedang menunggunya di bawah, tapi Serena memilih untuk tidak tergesa-gesa. Ia berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu bersiap-siap sebelum berangkat kerja.

Bersambung

Rabu, 25 Agustus 2025

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!