NovelToon NovelToon

Gadis Rasa Janda

Tiba-tiba Punya Hutang

"Eh, parah banget ya dunia sekarang. Orang yang nggak sekolah tinggi kayak kita nih jangan harap dapat gaji besar," keluh Juwita sambil mengucek piring kotor yang menggunung di wastafel restoran.

Desi, teman kerjanya, tertawa kecil sambil mengeringkan gelas. "Mau gimana lagi, nasib sudah di tangan. Kecuali kita nikah sama pria kaya raya, kayak di novel-novel itu lho, nikah sama CEO tampan, hidup langsung bahagia."

Juwita melirik sekilas, lalu menyiramkan busa sabun dari tangannya ke arah Desi. "Astaga, Des. Kamu kebanyakan baca novel! Gimana mau dapat yang kaya, wong yang susah pun nggak ada yang mau sama aku," katanya sambil tertawa hambar.

Suasana dapur yang panas dan berisik tak mampu meredam obrolan mereka. Di luar, pelayan mondar-mandir mengantar pesanan, sementara di dalam, Juwita hanya bisa menatap air cucian yang keruh. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri apakah hidupnya akan selalu begini, terjebak dalam rutinitas tanpa akhir?

"Eh, tapi serius, Wit. Aku tuh kadang iri sama tokoh-tokoh di novel. Mereka hidup susah, lalu tiba-tiba ketemu pangeran kaya yang jatuh cinta. Kalau kita?" Desi mengangkat bahu, matanya menerawang.

Juwita terdiam. Ia ingin menjawab, tapi perasaan getir menahannya. Pikirannya melayang pada ayahnya yang suka mabuk sana-sini. Belakangan ini, wajah ayahnya sering murung, pulang larut dengan tatapan gelisah. Sesuatu yang besar pasti sedang disembunyikan darinya.

Tiba-tiba, ponsel Juwita yang ia taruh di pojok meja bergetar kencang. Sebuah pesan masuk, membuat jantungnya berdegup tak karuan. Tangannya bergetar ketika membuka notifikasi:

“Segera lunasi hutang 120 juta! Jika tidak, kami akan menagih ke rumah.”

Darah Juwita serasa berhenti mengalir. Tubuhnya melemas. Apa maksudnya? Hutang apa? Ia bahkan tidak pernah meminjam uang sebesar itu.

Di tengah suara piring yang beradu dan tawa Desi, dunia Juwita runtuh seketika.

Tiba saatnya pulang kerja, Juwita menyalakan motor matic bututnya yang sering mogok. Malam itu jalanan sepi, hanya ada suara mesin motor yang meraung pelan. Perutnya lapar, pikirannya penat, dan yang ia inginkan hanya segera sampai rumah kontrakan kecil yang ia tinggali bersama ayahnya.

Namun, baru saja sampai di depan kontrakan, jantungnya langsung berdegup kencang. Dua orang asing berdiri di sana. Yang satu bertubuh besar, tinggi, dengan brewok lebat. Yang satunya kurus, matanya sayu tapi sorotnya tajam membuat bulu kuduk merinding.

“Nah, ini dia sudah pulang. Lihat dari wajahnya sih, sama nih,” kata si brewok sambil menunjukkan layar ponselnya pada rekannya. Foto wajah Juwita terpampang jelas.

Juwita spontan menahan napas. Ia memarkir motor dengan gemetar, mencoba tersenyum paksa. “Ini bapak yang kirim pesan ke saya, ya? Maksudnya apa hutang seratus dua puluh juta? Bikin jantungan aja.” Suaranya terdengar sok santai, tapi lututnya bergetar hebat.

Si kurus mendengus kasar. “Jangan pura-pura nggak tahu! Di KTP kamu, juga di KTP bapakmu, jelas tertulis. Kalian pinjam lima puluh juta masing-masing. Bunganya jalan, jadi total seratus dua puluh juta. Kalau miskin jangan belagu minjem banyak!”

Juwita membelalak. Kata-kata itu seperti petir menyambar. Ia bahkan tidak tahu ayahnya pernah mengajaknya berurusan dengan pinjaman seperti ini. Mulutnya ingin berteriak, ingin membantah, tapi tatapan tajam kedua pria itu membuat nyalinya ciut.

“Kami kasih waktu. Jangan coba kabur. Kalau sampai telat, kamu tahu akibatnya.” Si brewok mendekat, menepuk bahunya keras, seolah memperingatkan.

Setelah keduanya pergi, Juwita bergegas masuk ke kontrakan. Nafasnya masih tersengal. Matanya langsung mencari-cari ayahnya, tapi rumah sepi, hanya gelap dan dingin. Tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda.

“Pak?” panggilnya lirih. Kosong.

Perasaan Juwita semakin tak karuan. Malam itu, ia merasa baru saja terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata.

Juwita langsung melempar tasnya ke kursi reyot. Nafasnya masih berat, jantungnya deg-degan. Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya dan menekan nomor ayahnya.

“Tuut tuut, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”

“Ya ampun, Pak!” Juwita menjerit frustasi. “Aku capek, lapar, duit tipis, sekarang ditinggal nggak jelas pula. Hadeh, cobaan macam apa lagi ini, Tuhan?” gerutunya sambil membanting diri ke lantai.

Ia mencoba menelepon lagi, hasilnya sama. Tidak aktif. Marah bercampur panik membuatnya bangkit, berjalan mondar-mandir di ruang sempit itu. “Bapak ini kenapa sih? Suka bikin drama! Kalau mau kabur, minimal ninggalin catatan kayak di sinetron-sinetron. Ini malah hilang kayak diculik alien.”

Dengan kesal, Juwita membuka pintu kamar ayahnya. Kamar itu sederhana, cat temboknya sudah mengelupas, dan bau apek menyengat. Lemari kayu tua yang sudah miring tampak terbuka sedikit.

“Eh, jangan bilang Bapak ninggalin duit di situ, biar aku bisa jadi kaya mendadak,” gumam Juwita setengah berharap sambil menahan napas.

Ia mendorong pintu lemari. Kosong. Baju-baju ayahnya sudah tidak ada. Hanya tersisa gantungan kawat berkarat dan beberapa kertas lusuh.

Air mata Juwita langsung jatuh. Namun, di tengah tangisnya, mulutnya tetap nyinyir. “Nasib kau lah, Juwita. Dari dulu nggak punya nasib baik. Gimana mau nikah sama orang kaya, sekarang aja melarat makin melarat. Yang ada besok aku nikahnya sama debt collector. Romantis sekali hidupku ini!”

Tangisnya pecah, tapi suaranya juga terdengar kocak. Ia menutupi wajah dengan kedua tangannya.

Malam itu, Juwita sadar ayahnya telah pergi entah kemana, meninggalkan hutang besar di pundaknya.

Juwita duduk di lantai kamar dengan mata sembab. Ia menatap ponsel di tangannya. Tidak ada lagi yang bisa ia andalkan selain sahabat kerjanya, Desi. Dengan jari gemetar, ia mengetik pesan panjang.

"Des, hidupku resmi tamat. Barusan ada dua debt collector nyariin aku. Katanya aku sama Bapak utang 120 juta. Bayangin, Des 120 juta! Aku beli gorengan aja masih utang ke warung. Sekarang disuruh bayar segitu. Parah, kan?"

Pesan terkirim. Tak sampai lima menit, telepon masuk. Nama Desi muncul di layar.

“Wit! Kamu serius? 120 juta? Itu kan kayak harga motor baru plus cicilan kontrakan lima tahun!” suara Desi panik bercampur tak percaya.

“Iya, Des. Aku juga shock. Rasanya kayak ketiban kulkas tiga pintu. Nggak ngerti lagi,” jawab Juwita sambil mengusap air matanya.

Desi yang sebenarnya baru saja naik angkot untuk pulang, langsung meminta turun. “Udah, tunggu aku. Aku ke rumahmu sekarang. Jangan kemana-mana!”

Tak sampai setengah jam, suara langkah tergesa terdengar di depan pintu kontrakan. Desi muncul dengan wajah pucat. Begitu mendengar detail ceritanya langsung dari Juwita, ia menepuk jidatnya sendiri.

“Wit, gaji kita cuma dua juta. Itu pun kadang dipotong kalau pecahin piring. Kita nabung sepuluh tahun pun belum tentu cukup bayar bunga hutangmu!”

Juwita mendesah panjang, lalu menatap sahabatnya dengan ekspresi setengah menangis setengah konyol. “Ya gimana, Des? Mau nabung sepuluh tahun, aku takut umur nggak nyampe. Keburu debt collector yang ngirim aku ke alam barzah.”

Desi tercekat, lalu sama-sama tertawa getir. Dua gadis itu terdiam sejenak. Realita terasa begitu kejam, tapi setidaknya malam itu Juwita tidak lagi sendirian.

Bersambung

Loker Ajaib

Malam itu, suasana kontrakan kecil Juwita terasa berbeda. Biasanya hanya ada ia dan ayahnya, tapi kali ini Desi ikut menginap. Setelah drama panjang soal hutang, Desi dengan wajah prihatin langsung bilang, “Udah, aku di sini aja malam ini. Kamu nggak bisa sendirian, nanti malah kebayang debt collector nongol dari bawah kasur.”

Mereka pun sibuk berdua Desi mandi duluan, lalu keluar kamar mandi dengan daster pinjaman milik Juwita. Daster yang kebesaran membuatnya terlihat seperti memakai karung goni motif bunga. “Wit, ini daster atau tenda nikahan?” protes Desi sambil menahan tawa.

“Udah syukur ada, Des. Dasterku emang ukurannya one size fit all tragedi hidup,” jawab Juwita sambil merebus mie instan.

Tak lama kemudian, mereka duduk lesehan di ruang tengah, masing-masing memegang mangkuk mie panas. Uap mie mengepul, aroma bawang goreng seadanya menyeruak, dan sesekali mereka menyeruput sambil mendesah puas, seolah mie itu makanan paling mahal di dunia.

“Ah, nikmat. Walau hutangmu seratus dua puluh juta, tapi mie tetap mie,” ujar Desi sok bijak.

Juwita mendelik. “Iya, tapi kalau aku mati gara-gara hutang, tolong taruh mangkuk mie di nisanku. Biar jelas ini penyebab kebahagiaan terakhirku.”

Mereka pun tertawa, walaupun jelas hati Juwita masih penuh sesak. Setelah makan, keduanya rebahan santai, masing-masing sibuk main HP. Juwita hanya scroll-scroll tak jelas, pikirannya berputar soal hutang, soal ayahnya yang kabur, dan soal nasibnya yang makin nelangsa.

Saat Juwita hendak membuka mulut untuk mengeluh, Desi tiba-tiba menjerit kecil. “Woi, Wit! Liat deh, ada loker.”

Juwita menoleh malas. “Loker apaan? Jangan-jangan loker utang lagi.”

Desi cengar-cengir. “Bukan, ini beneran loker kerja. Jadi pengasuh bayi. Nih, baca.” Ia langsung menghadapkan ponselnya tepat ke muka Juwita.

Dengan malas Juwita mendorong HP itu. “Hm, sama aja lah. Sama-sama kayak pembantu. Lagian aku mana bisa ngurus bayi. Beranak aja belum pernah. Jangan kan beranak, skidipapap pun belum pernah!”

Desi langsung ngakak, sampai hampir tersedak ludahnya sendiri. “Astaga Wit, skidipapap! Aku capek ketawa. Tapi serius lho, Wit. Gajinya gede banget.”

“Ah, paling dua juta lagi,” sahut Juwita sinis.

“Nih, liat sendiri.” Desi kembali menyodorkan HP, kali ini Juwita benar-benar menatap layarnya.

Matanya langsung melotot. “Sepuluh juta sebulan?! Gila ini beneran kah? Ngasuh bayi raja atau apa?”

Desi menunjuk alamat yang tertera di postingan. “Tuh kan, di perumahan elit. Bisa lah. Kamu harus coba, Wit. Kalo keterima, hidupmu bisa naik level. Dari nyuci piring ke nyusuin bayi.”

Juwita mendesah panjang. “Nyusuin? Lah, aku bukan sapi perah, Des.”

Desi makin ngakak. “Maksudku ngurusin, bukan nyusuin. Ya ampun, Wit, logikamu ini lho.”

Juwita kembali menatap layar HP, kali ini lebih lama. “Des ini serius gaji sepuluh juta? Aku kerja setahun aja bisa nutup setengah hutang. Tapi ya takutnya aku malah salah gendong, bayinya jatuh, langsung gaji dipotong seumur hidup.”

Desi menepuk pundaknya. “Tenang, Wit. Kamu nggak akan salah gendong. Yang penting yakin dulu. Lagian siapa tau bonusnya kamu dapet bapaknya sekalian. Kan bisa jadi istri kedua, yang penting kaya, Wit.”

“Eh, mulutmu itu lho!” Juwita menoyor kepala Desi. “Udah miskin jangan ngajarin temen jadi pelakor!”

Mereka berdua kembali tertawa. Meski masalah belum selesai, malam itu setidaknya Juwita menemukan secercah harapan atau minimal bahan ketawaan baru di balik daster longgar dan mie instan.

Pagi pun tiba. Matahari baru nongol separuh, tapi suara ayam tetangga sudah bikin kepala Juwita pening. Dengan mata masih setengah lengket, ia menatap motor matic bututnya yang parkir miring di halaman kontrakan. Catnya sudah kusam, spionnya cuma sebelah, dan knalpotnya berisik kayak toa masjid rusak.

“Apa pulang kerja ada nggak sih aku ke sana. Lagian orang ini pun aneh, udah jaman serba online masih aja wajib datang langsung interview. Mana kurang lebih dua jam jaraknya. Sanggup nggak ya motor butut ini? Mana bensin lagi,” gumamnya sambil menyibakkan rambut berantakan.

Desi, yang masih setia menemaninya pagi itu, duduk santai sambil menyeruput kopi sachet. “Kalau nggak mau, ya naik bus aja. Tapi kamu tau sendiri, naik bus mampir sana-sini, entar malah telat. Coba aja dulu, Wit. Mana tau rezeki kamu. Masih ada kan uang bensin? Kalau nggak, pinjam sama aku.”

Juwita mendengus sambil mengikat rambutnya. “Des, kalau duitku habis, duitmu juga habis. Nanti kita bukan sahabat lagi, tapi jadi pasangan pengemis duet. Aku nyanyi, kamu joget.”

Desi langsung ketawa sampai hampir nyembur kopi. “Astaga, Wit. Udah-udah, jangan kebanyakan ngelawak. Serius! Ini kesempatan loh. Kamu harus coba.”

Diam-diam, Juwita terharu juga. Dalam hati, ia bersyukur punya teman kayak Desi. Walaupun sama-sama melarat, Desi masih mau bantu dan dukung dirinya. Tidak semua orang rela repot demi orang lain.

“Ya udah, Des. Aku masih ada duit kok. Tapi bilangin bos ya aku sakit, walaupun kepotong gaji hari ini. Cuma yah, sayang banget juga sih gaji sehari. Bisa buat beli beras sama kerupuk.”

Desi menepuk bahunya. “Nggak apa-apa, Wit. Kadang buat dapat yang besar, kita harus relain yang kecil.”

“Lah iya, tapi gaji kecil kayak gini kan nggak kecil buat aku. Itu udah gede banget, Des,” balas Juwita dengan muka masam.

Akhirnya, setelah berdebat setengah jam, Juwita menyerah. Ia mengganti baju dengan kemeja lusuh satu-satunya yang ada di lemari. Celananya jeans belel yang warnanya sudah pudar. Ia berdiri di depan kaca retak, mencoba tersenyum.

“Halo, calon bos kaya raya. Ini aku, Juwita. Tenang aja, kalau bayinya nangis, aku bisa joget TikTok biar diem. Kalau masih nangis, ya udah, aku nangis bareng dia,” ocehnya sendiri sambil berkaca.

Desi hampir jatuh dari kursi mendengar itu. “Ya Tuhan, Wit. Jangan sampai pas interview kamu ngomong gitu. Bisa-bisa kamu langsung diusir satpam!”

Setelah tawa reda, Juwita pun benar-benar siap berangkat. Ia menyalakan motor bututnya dengan doa panjang. Mesin matic itu meraung seperti dinosaurus asma. “Ya Allah, semoga motor ini kuat sampe sana. Jangan mati di jalan, kalau mati jangan pas turunan, jangan juga pas tanjakan. Kalau bisa matinya di depan bengkel aja.”

Desi melambai. “Good luck, Wit! Jangan lupa update aku ya!”

Dengan perasaan campur aduk antara harapan, cemas, dan lapar Juwita akhirnya melaju. Satu hal pasti, perjalanan hari itu bukan sekadar menuju interview, tapi bisa jadi pintu awal untuk membayar hutang atau menambah bahan tawa baru dalam hidupnya.

Bersambung

Jalan ke Rumah Calon Majikan

Motor matic butut Juwita berhenti tepat sebelum tikungan menuju blok ujung komplek elit itu. Awalnya dia mengira mungkin cuma salah masuk gigi atau kehabisan bensin lagi. Tapi begitu dicoba distarter, motor itu diam seribu bahasa. Dicoba diengkol, hasilnya sama: sepi, hening, bagaikan hatinya setelah ditinggal ayah kabur bawa hutang.

“Ya Allah jangan bercanda sama aku hari ini. Ini tuh bukan sinetron, jangan kasih aku cobaan berlapis-lapis begini. Yaudah deh aku rela jomblo seumur hidup, asal motorku jangan mati dulu sekarang,” gumam Juwita sambil menepuk-nepuk jok motor, seakan mesin tua itu bisa diajak negosiasi.

Dicoba sekali lagi. Tekan starter, hasilnya cuma bunyi tek-tek kecil. Diengkol berkali-kali, malah betisnya yang nyut-nyut-an.

“Sial! Sial! Nasibku gak ada yang baiknya. Dari hutang pinjol, ditinggal bapak, gorengan disamber pengemis, sekarang motor mati total. Dunia ini kayaknya emang dendam pribadi sama aku,” gerutunya.

Belum sempat melanjutkan ocehan, terdengar suara langkah terburu-buru dari belakang. Juwita menoleh. Seorang pria berambut memutih sebagian dengan keringat bercucuran, dan seorang wanita cantik berusia setengah baya yang tetap tampak segar meski ngos-ngosan, sedang berlari kecil di jogging track perumahan. Meski jelas terlihat sudah tidak muda, mereka masih tampak energik dan yang bikin heran, tetap berkelas. Bahkan keringat mereka pun kayaknya wangi parfum mahal.

Wanita itu mendekat sambil tersenyum ramah.

“Kenapa, Dek? Motornya mogok ya? Jarang-jarang loh ada motor begini masuk kompleks sini.”

Juwita langsung pengen menelan tanah saking malunya. Motornya sudah tua, body lecet, spion cuma satu, jok robek ditutup lakban, knalpotnya bunyi gerrr kayak knalpot truk. Dan sekarang ada ibu-ibu kelas atas yang menegurnya.

Dia tersenyum kecut. “Iya, Bu motor saya mogok. Kayaknya emang udah saatnya masuk museum, bukan jalan-jalan lagi.”

Pria di samping wanita itu mengangguk sambil menambahkan, “Iya, Mi, motornya mogok. Untung masih bisa didorong. Kamu mau ke mana, Dek?”

“Oh, ini, Pak, Bu. Saya sebenarnya mau interview kerja. Mau ke rumah keluarga Tanubrata. Katanya mereka lagi cari pengasuh bayi. Jadi ya saya coba melamar. Karena yah, kebetulan saya sangat berpengalaman menjaga bayi.”

Bohongnya mengalir deras bagai air sungai. Dalam hati ia tahu, jangankan jaga bayi orang lain, dirinya sendiri waktu bayi bahkan gak pernah dijaga ibunya karena ibunya meninggal saat melahirkannya.

“Wah, kalau begitu pas sekali,” ujar wanita itu. Senyumannya ramah, seperti tidak keberatan mendengar Juwita yang berpakaian seadanya kemeja lusuh, celana hitam belel, dan sepatu murahan yang sudah miring ke kiri.

“Biar kami tunjukkan jalannya. Memang agak ke dalam, takutnya kamu bingung.”

Juwita langsung sumringah. “Wah, terima kasih banyak ya, Bu, Pak. Baik banget kalian. Jadi tenang aku kalau ada yang nunjukin.”

Tapi kemudian ia melirik motornya, lalu bertanya bodoh, “Tapi motor saya gimana, ya?”

Pria itu tiba-tiba nyeletuk santai, “Ya dibawa lah, masa ditinggal? Kayak lagi sayang-sayangnya malah ditinggal.”

Wajah Juwita langsung merah padam. Sayang-sayangnya? Motor itu bahkan kalau dijual pun paling dihargai lima ratus ribu. Mana ada yang bisa disayang. Tapi entah kenapa ucapan bapak itu membuatnya kikuk sendiri. “Eh, iya juga sih, Pak. Hehe.”

Akhirnya dengan penuh rasa malu, Juwita mulai mendorong motornya. Ia berjalan pelan mengikuti pasangan itu. Si ibu berjalan dengan anggun, langkahnya tegap, tubuhnya ramping seperti masih berusia tiga puluhan. Si bapak meski sudah agak beruban, tetap terlihat berwibawa dengan gaya sederhana namun elegan.

Dalam hati, Juwita menggerutu. “Ck ck ck, gila ya orang kaya. Udah agak tua begini pun masih keliatan seger. Kalau bapakku? Udah miskin, berutang pula. Malah ninggalin anaknya sendiri. Dan aku? Masih gadis, tapi melamar jadi pengasuh bayi. Hidupku kayak gadis rasa janda. Ngenes bener.”

Mereka berjalan sampai sebuah rumah besar. Halamannya luas, pagar tinggi dengan ukiran besi yang mengkilat. Cat dindingnya putih bersih, jendela besar-besar dengan tirai elegan. Kontras sekali dengan kontrakan kecil Juwita yang pintunya udah miring.

Pasangan itu masuk membuka pagar, lalu menoleh ke Juwita. “Silakan, Dek, masuk.”

Juwita berhenti, bingung. “Eh, Pak, Bu ... maaf sebelumnya. Saya mau ke rumah Tanubrata. Bukannya ini rumah kalian?”

Wanita itu tersenyum, lalu menepuk lengan suaminya. “Nah, ini suamiku, Pak Herman Tanubrata.”

Pria itu mengangguk singkat. “Iya, saya Herman. Dan ini istri saya, Marlina.”

Mata Juwita langsung melotot, hampir saja menjerit.

“HAH? Jadi sedari tadi aku dorong motor bareng calon majikan?! Ya Allah, malu banget aku. Dari tadi aku ngomel-ngomel, ngerasa kayak gadis rasa janda, eh ternyata didengar sama mereka?!” pikirnya kalut.

Juwita langsung canggung, berdiri kaku dengan wajah merah. Otaknya penuh pertanyaan aneh. “Tunggu dulu mereka udah lumayan tua. Masa punya bayi? Aku ini disuruh ngasuh bayi apa? Anak mereka? Tapi anaknya pasti lebih tua dari aku! Atau jangan-jangan anaknya cacat? Lumpuh? Kayak novel tuan muda lumpuh-lumpuh itu? Hadeuh apa lagi nasibku.”

Marlina tersenyum lagi, menyadari wajah bingung Juwita. “Ayo masuk, Nak. Anak saya sudah menunggu di dalam. Kamu kan mau interview, ya?”

Dengan hati deg-degan, Juwita akhirnya melangkah masuk. Motornya ditinggal di depan pagar, berdiri dengan miring, seakan siap ambruk kapan saja.

Di dalam rumah, suasananya begitu berbeda dari dunia Juwita. Lantai marmer mengkilap, vas bunga segar di setiap sudut, lampu kristal menggantung indah. Sofa empuk tampak begitu nyaman sampai Juwita yakin kalau duduk di sana, ia bakal ketiduran pulas.

Tapi yang paling bikin dia minder adalah dirinya sendiri.

“Kemeja lusuhku kayaknya hina banget kalau dibandingkan sama karpet mereka. Bisa-bisa karpet ini minta ganti rugi kalau kena debu bajuku,” gumamnya lirih.

Marlina menunjuk ke arah ruang tamu. “Silakan duduk dulu, Nak. Nanti anak saya akan keluar sebentar lagi. Namanya Zergan.”

Nama itu terdengar asing di telinga Juwita. “Zergan? Nama apa itu? Kayak nama tokoh anime. Jangan-jangan anaknya masih bocah SMP, eh disuruh aku asuh. Atau malah bayi beneran? Aduh, gimana kalau aku disuruh ganti popok? Aku kan gak pernah nyentuh bayi. Bahkan boneka bayi aja aku trauma, takut matanya tiba-tiba melek.”

Sambil menunggu, Juwita mengusap keringat di dahinya. Tangannya gemetar, pikiran berkecamuk. Sialnya, perutnya kembali berbunyi kencang. Kruuuukkkk.

Dia langsung menutupinya dengan batuk-batuk palsu.

“Eh-hem! Eh-hem! Ahahahaha maaf ya, tenggorokan saya agak kering.”

Padahal Marlina jelas mendengar suara perut itu. Wanita itu hanya tersenyum simpul, maklum. Tapi bagi Juwita, itu sudah jadi aib nasional.

Tak lama kemudian, suara langkah mendekat dari arah tangga. Dan dari situlah calon “bos bayi” yang selama ini ia pikir masih kecil atau cacat, akhirnya muncul.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!