"Darah! Ada darah!" seru Ayaka, salah seorang rekan kerja Gendis yang menolongnya.
Gendis mengerang menahan sakit. Dahinya banjir dengan keringat. Wajah perempuan tersebut mulai pucat.
Dunia seakan berputar dalam pandangannya. Perlahan semua menjadi gelap. Dia pingsan.
Suara sirine ambulans bertalu-talu membelah jalanan ibukota. Semua kendaraan menyingkir, memberikan jalan untuk mobil berwarna putih itu. Badan Gendis tergolek lemas di atas brankar.
"Selamatkan anakku, meski nyawaku taruhannya. Tolong selamatkan anakku." Suara Gendis tak benar-benar keluar dari bibirnya.
"Tenang, Bu. Masih bisa dengarkan suara saya?" tanya seorang perawat yang duduk tepat di samping Gendis.
Mata Gendis tidak terpejam, tetapi tak benar-benar terbuka lebar juga. Dia masih setengah sadar, sesekali mendesis menahan nyeri dan badan yang terasa remuk. Perlahan Gendis mengangguk, anggukannya hampir tak terlihat.
"Bisa atur napas, supaya Ibu lebih tenang? Tarik napas ... embuskan lewat mulut. Tarik napas ... embuskan." Perawat terus memberikan instruksi kepada Gendis.
Gendis pun mengikutinya. Perlahan kesadarannya pulih. Perut perempuan tersebut kembali mengalami kontraksi.
"Perutku sakit, Sus! Sakit sekali!" ujar Gendis sambil menangis.
Air mata dan keringat bercampur menjadi satu. Seakan seluruh tulang di tubuhnya patah secara bersamaan. Kekuatannya bak menguap ke udara.
"Nggak apa-apa, Bu. Pasti Ibu dan anaknya selamat. Ayo Bu, kita atur napas lagi." Perawat muda itu terus berusaha menenangkan Gendis.
Namun, Gendis kembali tak sadarkan diri karena dihantam rasa sakit luar biasa yang belum pernah dia alami sebelumnya. Perawat panik, dia berusaha membangunkan Gendis dengan menepuk pipinya. Namun, gagal.
Laju mobil ambulans semakin cepat. Tak lama berselang, mereka sampai di rumah sakit. Dokter mencari wali untuk menandatangani surat persetujuan operasi.
"Tapi, dia hanya tinggal sendirian di sini, Pak," sahut Ayaka rekan kerja Gendis.
"Ya sudah, Mbak saja yang tanda tangan."
Ayaka terdiam, matanya menatap ragu lembaran kertas di atas map itu. Saat kembali terdengar tangisan dan teriakan Gendis dalam ruang IGD, Ayaka akhirnya membubuhkan tanda tangan di atas sana. Gendis pun langsung dibawa ke ruang operasi.
Ayaka mondar-mandir di depan ruangan itu. Perempuan yang dia selamatkan delapan bulan lalu karena hampir bunuh diri itu, kini nyawanya sedang terancam. Gendis jatuh dari tangga darurat karena kurang memperhatikan langkah.
Kejadiannya berlangsung begitu cepat sehingga Ayaka pun terlambat menolongnya. Setelah menunggu hampir dua jam, seorang dokter keluar. Dia membawa bayi dalam selimut putih. Bayi itu diam, tak bergerak, apalagi bernapas.
"Maaf, tapi bayinya tidak selamat."
Kaki Ayaka mendadak lemas. Dia langsung masuk ke ruang pemulihan. Di dalam sana Gendis masih lemas dengan alat medis yang menempel.
"Kenapa anakku nggak menangis, Aya. Aku nggak dengar suara tangisnya, Aya." Suara Gendis begitu lemah, hampir tak terdengar.
Ayaka mati-matian menahan tangis. Dia tak menjawab karena merasa ada batu besar yang kini mengganjal tenggorokan. Air matanya deras membasahi pipi.
"Kok kamu nangis? Kenapa, Aya? Aku masih hidup, loh. Apa yang kamu tangisi? Bayiku mana, Aya? Kok nggak IMD di dadaku?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dari bibir Gendis, layaknya berondongan tembakan bagi Ayaka. Perlahan bibirnya terbuka. Dia berusaha mengatur napas dan menjawab semua pertanyaan dari Gendis sekuat hati.
"Tadi, bayimu ada kok, Ndis. Digendong keluar sama dokter. Sekarang kamu fokus sama pemulihanmu dulu, ya? Biar nanti kuat pas ketemu adik." Ayaka menelan tangisnya dan berusaha mengganti dengan sebuah senyum getir.
Gendis mengangguk kemudian perlahan mengatur napas. Dia ada dalam ruang pemulihan sekitar 30 menit sebelum akhirnya masuk ke bangsal. Ayaka setia menemani Gendis hingga malam tiba.
Ketenangan itu kembali terusik karena Gendis yang mempertanyakan keberadaan bayinya. Ayaka kali ini tidak bisa lagi berbohong. Dia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya mengembuskannya kasar.
"Ndis, sebenarnya ...." Ayaka menahan napas.
Air mata perempuan tersebut mulai meleleh. Napasnya tersengal perlahan. Dari napas patah-patah itu, terciptalah sebuah isak tangis yang pecah.
"Aya, kok kamu malah nangis? Sebenarnya ada apa?" tanya Gendis dengan dahi berkerut.
"Aya, kok bayiku nggak segera dibawa ke sini ya? Apa aku yang harus ke sana? Yuk, antar aku ke ruang bayi, Ya." Gendis berusaha turun dari brankar.
Akan tetapi, rasa nyeri pasca operasi belum pulih sepenuhnya. Dia meringis dan akhirnya kembali duduk dan bersandar pada dinding. Ayaka masih menangis tergugu, wajahnya pun banjir dengan air mata.
"Ndis, aku mohon kuatkan hatimu. Aku tahu ini akan berat, tapi tolong bertahanlah! Bayimu ... bayimu tidak selamat!"
"Apa?" Suara Gendis semakin lemah.
Gendis merasa semua seperti mimpi. Perlahan suara tangis Ayaka semakin jauh, lemah, tak terdengar di telinga Gendis. Tatapannya menggelap, dia kembali tak sadarkan diri.
***
"Aya, tolong ambilkan pompa ASI!" teriak Gendis kepada Ayaka yang sejak tadi duduk di sampingnya.
"Aduh, bayiku pasti kehausan! Ayo kirim ini ke rumah sakit! Dia nggak boleh minum susu formula! Lihat ASI-ku sangat berlimpah! Tolong nanti antarkan ASI perah ini ke rumah sakit, ya?" pinta Gendis sambil menatap kosong Ayaka.
Sudah satu bulan kondisi psikis Gendis terguncang. Dia tengah berilusi bahwa bayinya ada di rumah sakit. Ayaka begitu setia menemani meski batinnya ikut tersiksa.
Sahabat yang sudah dia kenal itu semakin terlihat menyedihkan karena kehilangan bayi. Gendis selalu bercerita bahwa akan menjaga bayi itu usai Ayaka menyelamatkan dirinya yang hendak menggoreskan pecahan kaca pada nadi. Kisah sedih Gendis membuat Ayaka selalu setia ada di sisi sang sahabat.
"Ndis, aku tahu kamu sedih. Tapi, tolonglah sadar. Kehidupanmu harus tetap berlanjut! Mungkin ini sudah takdir Tuhan, Ndis! Bayimu itu sudah meninggal!" teriak Ayaka di antara isak tangisnya yang pecah.
"Kamu itu ngomong apa, Aya! Bayiku masih ada di rumah sakit! Dia hanya kurang sehat karena lahir kurang bulan!" teriak Gendis sambil menatap tajam Ayaka.
"Gendis, sadarlah! Ini sudah satu bulan! Aku bahkan sudah membawamu ke makamnya berkali-kali! Tolong lapangkan dada dan terima kenyataan! Bayimu sudah tiada, Ndis!" ujar Ayaka sambil mengguncang tubuh Gendis.
"Aya, bayiku masih di rumah sakit! Ayo! Aku buktikan! Ikut aku!" Gendis menarik lengan Ayaka.
Keduanya langsung menuju ke rumah sakit dengan memesan taksi. Setelah sampai di sana, Gendis melangkah cepat menuju ruangan khusus bayi. Dia berhenti di depan jendela kaca besar.
Pupil mata Gendis bergerak-gerak mencari keberadaan bayinya. Tiba-tiba dia histeris, memaksa untuk menerobos masuk. Seorang perawat menghalanginya karena mengganggu ketenangan.
Bayi-bayi yang awalnya tidur dengan lelap, kini mulai menangis bersahut-sahutan. Ayaka langsung menarik Ivy keluar dari ruangan itu. Dia membawa sang sahabat menjauh.
"Aya, mana bayiku! Kenapa bayiku hilang! Ayaka! Mana! Ada yang mengambilnya dariku!"
"Ndis, sadarlah!" teriak Ayaka dengan sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gendis.
Pipi Gendis sampai berpaling. Rasa panas pada permukaan pipinya seakan membuat Gendis kembali tertarik pada kenyataan. Sementara itu Ayaka membatu.
Ayaka menatap tangannya yang kini gemetar. Gendis masih terdiam. Perlahan dia mengalihkan pandangan, menatap Ayaka dengan tatapan nanar.
Mata Gendis tak lagi kosong. Akan tetapi, tatapan itu berganti dengan kesedihan yang bertumpuk. Ayaka langsung memeluk Gendis.
"Ma-maafkan aku, Ndis. Aku ...."
"Aya, jadi ... bayiku udah meninggal?" Perlahan Gendis mengangkat wajahnya.
Tatapan Gendis kosong. Ayaka mengangguk perlahan. Mendadak tubuh Gendis lemas, badannya ambruk ke atas lantai.
"Gendis, bangun! Bangun, Ndis! Gendis!" Ayaka berusaha membangunkan sang sahabat.
Akan tetapi, Gendis tetap bergeming. Ayaka berteriak sekuat tenaga untuk menarik perhatian tim medis. Tak lama kemudian, beberapa perawat menghampiri.
Gendis pun langsung dibawa ke ruang IGD. Sejak hari itu, Gendis mendapatkan perawatan dari dokter jiwa untuk memulihkan kondisi mentalnya. Perlahan kondisinya pun membaik.
Satu bulan berlalu. Pagi itu Gendis sedang berada di kamarnya. Perempuan tersebut sudah terlihat rapi dalam balutan setelan kemeja formal berwarna biru muda. Riasan tipis dan segar membuat wajah Gendis tampak lebih ceria.
"Kamu yakin bisa handle event ini?" tanya Ayaka.
Gendis menatap cermin riasnya. Kini Ayaka ada di ambang pintu sambil menyandarkan lengannya pada kusen. Tatapannya tampak meragukan kondisi Gendis yang masih belum benar-benar pulih.
"Iya, kamu nggak usah khawatir, Ya. Aku sudah merasa lebih baik, kok." Gendis tersenyum tipis.
Perlahan Ayaka masuk dan duduk di tepi ranjang. Dia menatap bayangan Gendis yang terpantul melalui cermin. Perempuan tersebut mengembuskan napas kasar.
"Perusahaan kita sangat menggantungkan hal ini kepadamu. Jika kamu belum sanggup bekerja, aku akan menggantikanmu, Ndis. Kamu istirahatlah," ucap Ayaka dengan tatapan tak lepas dari Gendis.
"Tenanglah, aku pasti bisa mengatasi semuanya." Gendis tersenyum lembut, kemudian beranjak dari kursi.
"Aku berangkat dulu, doakan semuanya lancar, ya?" Gendis akhirnya berpamitan.
Ayaka tidak bisa mencegah sang sahabat. Meski Gendis mengatakan siap kembali bekerja, Ayaka tetap khawatir mengingat kondisi mental Ge dia yang belum stabil. Dia hanya bisa mendoakan kelancaran acara hari ini.
***
Ballroom Hotel Grand Arcadia sore itu berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal. Deretan kursi penuh oleh arsitek, pengembang, pejabat, dan jurnalis. Di tengah ruangan, panggung besar berdiri megah dengan backdrop bertuliskan “Sustainable Architecture Conference 2025 – Building the Future Responsibly”.
Di belakang panggung, Gendis memegang pointer presentasi sambil mengatur napas.
“Kamu kelihatan sangat siap,” suara wanita di sampingnya terdengar manis, tetapi tajam di ujung. Dialah Clara, salah satu pembicara sesi sebelumnya.
“Walaupun … ya, wajar sih, kan kamu diundang bukan karena jam terbang, tetapi karena perusahaan itu butuh wajah baru yang segar.”
Gendis menoleh, tersenyum tipis. “Kalau segar bisa menarik audiens, kenapa tidak?” Dia tak memberi ruang untuk sindiran itu meresap.
Clara mengangkat alis, lalu memalingkan wajah. “Semoga materimu nggak cuma cantik di slide.”
Perempuan tersebut balik kanan dan meninggalkan Gendis di ruang tunggu. Gendis hanya menatapnya datar, kemudian kembali fokus pada laptopnya.
Tak lama berselang, nama Gendis dipanggil. Gendis beranjak dari kursi, lantas melangkah ke podium. Suaranya tenang, gesturnya mantap.
“Selamat sore. Hari ini, saya ingin mengajak kita melihat bagaimana kearifan lokal dapat berpadu dengan teknologi modern untuk menciptakan arsitektur yang berkelanjutan dan efisien.”
Slide pertama menampilkan rumah bambu modern berpadu panel surya. Gendis menjelaskan detail desain, teknik pengolahan material, dan manfaatnya. Sejumlah peserta mengangguk, mencatat. Bahkan beberapa mengambil foto layar.
Namun saat sesi tanya jawab dimulai, tangan Rendra—kontraktor senior berjas hitam—terangkat tinggi.
“Konsep Anda memang … terdengar manis. Tapi apakah realistis untuk proyek besar? Bukankah biaya akan membengkak, dan risiko konstruksi meningkat?” Nada Rendra begitu nyaring, sehingga memancing perhatian.
Ruangan hening. Clara di barisan depan menyilangkan tangan, ekspresinya seakan menunggu Gendis tersandung. Gendis tetap tersenyum.
“Pertanyaan yang sangat relevan. Jika kita lihat biaya awal, memang ada kenaikan. Namun .…” Gendis mengganti slide ke tabel analisis biaya lima tahun.
“Penghematan energi bisa mencapai 40%, yang artinya biaya operasional lebih rendah. Dengan konstruksi modular, risiko keterlambatan dan pemborosan bisa ditekan.” Suara Gendis begitu mantap dan penuh keyakinan.
Rendra menahan komentar. Gendis melanjutkan dengan contoh proyek di Maluku yang tahan cuaca ekstrem. Beberapa peserta bertepuk tangan. Clara bersandar di kursinya, menyipitkan mata.
Gendis pun bisa menjelaskan slide demi slide dengan sangat lancar. Hampir semua peserta terpukau akan presentasi yang dibawakan oleh Gendis. Mereka tak pernah tahu, di balik kehebatan yang ditunjukkan perempuan tersebut terdapat sisi lemah yang sedang berusaha disembunyikan dari orang lain.
Usai konferensi, para peserta mendekat untuk bertanya. Salah satunya, lelaki muda dengan name tag “Leo – Arsitek Independen”, dia tersenyum setengah mengejek.
“Keren sih, Mbak … tapi, jujur, saya agak heran konsep ini dibawa ke forum besar. Terlalu idealis. Pasar nggak selalu mau bayar untuk idealisme, kan?” ejek Leo.
Gendis menatapnya langsung. “Kalau kita tidak mencoba, pasar tidak akan pernah berubah.”
Leo tersenyum miring. “Semoga investor perusahaan kamu sepemikiran.”
Leo pun melangkah pergi meninggalkan Gendis. Gendis masih berdiam di ruangan itu sambil menebarkan senyum kepada beberapa kolega yang masih menghargainya dengan memberi salam dan menyapa.
Setelah kerumunan berkurang, Gendis merasa dadanya mulai nyeri. Dia tahu ini tanda ASI mulai penuh. Namun dia bertahan, berbasa-basi dengan panitia dan sponsor.
Dari kejauhan, Hiro berdiri di pintu. Matanya mengikuti Gendis. Begitu suasana agak longgar, dia melangkah mendekat.
“Apa kabar, Ndis? Bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian?” sapa Hiro dengan senyum lembut.
“Pusat perhatian apanya? Aku cuma kerja.” Gendis tertawa kecil, kemudian melangkah meninggalkan ruangan.
Mereka berjalan ke lobi. Namun langkah Hiro terhenti. Dia melihat noda lembap di bagian depan kemeja satin biru muda Gendis. Warna kainnya menjadi sedikit transparan di bawah lampu.
“Gendis .…” Suara Hiro rendah, nyaris berbisik. “Bajumu basah.”
Gendis menunduk, wajahnya memerah. Ia cepat menutup dada dengan map. “Astaga … ASI-nya keluar.”
Hiro tanpa ragu melepas jas dan menyampirkannya di bahu Gendis. “Kita keluar lewat pintu samping.”
Di parkiran basement, mereka berhenti di samping mobil. Hiro membukakan pintu. Gendis pun segera masuk ke mobilnya.
“Kamu luar biasa tadi. Bahkan waktu ada yang nyerang di forum, kamu tetap tenang. Dan …” Hiro menghela napas, “…aku nggak suka lihat orang memandangmu dengan cara meremehkan.”
Gendis tersenyum tipis. “Kalau semua orang setuju, artinya aku nggak membuat perubahan. Lagipula, ada yang lebih penting sekarang.” Gendis melirik kemejanya dan semakin basah.
"Itu ... ASI? Apa kamu sudah menikah? Kamu sedang memiliki bayi?" cecar Hiro tanpa basa-basi.
Gendis terdiam. Dia menatap Hiro dengan pupil bergetar. Tanpa sadar dia menggigit bibir bawah bagian dalam.
"Apa ... pertanyaan ini wajib kujawab?" tanya Gendis sambil menatap sendu Hiro.
Hiro mengalihkan tatapannya. Dia tersenyum tipis dan mulai menggenggam roda kemudi. Hiro tak lagi bertanya karena dia sebenarnya sudah tahu jawabannya dari apa yang terlihat.
Mobil melaju keluar dari basement, meninggalkan cahaya panggung dan tepuk tangan di belakang. Bagi Gendis, hari ini adalah ujian tentang keberanian, keteguhan, dan sedikit rahasia yang hanya Hiro yang tahu.
Gedung pencakar langit di ibukota seakan tengah mengantarkan Gendis pada kenyataan yang kembali harus dia hadapi. Keheningan di antara dua insan Tuhan itu pecah karena jeritan ponsel. Hiro meraih ponsel dalam saku dan menekan tombol pengeras suara.
"Pak, Nona Kecil badannya panas." Suara panik dari ujung telepon tak serta merta membuat Hiro ikut cemas.
"Sudah diberi obat penurun panas?" tanya Hiro tenang.
"Sudah, Pak. Tapi justru semakin naik tiap jam."
Dari ujung telepon mulai terdengar tangisan bayi. Mendengar suara itu entah mengapa membuat Gendis merasa teriris. Matanya mulai sebak dan napas perempuan tersebut putus-putus.
Keringat dingin mengucur dan tangan Gendis mulai dingin. Wajahnya pun mendadak pucat. Dadanya semakin terasa sesak sehingga membuat Gendis tanpa sadar mencengkeram lengan Hiro.
"Aku akan segera pulang. Coba tenangkan Reina dulu." Hiro bergegas menepikan mobilnya.
Lelaki tersebut melepaskan sabuk pengaman dan langsung mendekatkan tubuh pada Gendis. Bibir Gendis perlahan terbuka. Ada sesuatu yang hendak diucapkan olehnya.
"Ndis, kamu kenapa?" Hiro perlahan panik.
Sulit dicerna dengan akal sehat. Namun, ini kenyataannya. Ketika Hiro mendengar kabar bayi yang sedang panas dan menangis di ujung telepon, dia tetap bisa tenang.
Akan tetapi, saat melihat Gendis terlihat sesak dan menderita malah Hiro tampak begitu panik. Lelaki tersebut mulai mencondongkan tubuh ke arah Gendis. Dia membantunya melepaskan sabuk pengaman.
"Sedikit membungkuk, Ndis. Ayo, atur napas perlahan. Tarik napas ... buang ... ayo ulangi." Hiro mencoba untuk menenangkan Gendis.
Gendis pun mengikuti instruksi dengan baik. Keringat dingin perlahan berhenti mengalir. Napasnya pun tak lagi sesak.
Hiro bisa sedikit mengembuskan napas lega. Dia kini menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Sementara itu, Gendis masih mengatur napas.
"Sudah lebih baik?" tanya Hiro dan dijawab dengan sebuah anggukan oleh Gendis.
"Kalau begitu, aku antar kamu pulang."
Ketika baru saja Hiro kembali memakai sabuk pengaman, sebuah panggilan kembali masuk. Pengasuh Reina kali ini menangis. Hiro langsung panik.
"Bawa ke rumah sakit! Aku akan menyusul kalian sekarang!" ujar Hiro.
Gendis yang mendengar percakapan itu pun mengerutkan dahi. Dia hendak bertanya kepada Hiro, tetapi berusaha tak ingin tahu lebih banyak. Dia menekan rasa ingin tahunya.
"Ikut aku dulu ke rumah sakit, ya? Jika kamu enggan ikut masuk, sampai sana akan kupesankan taksi."
Gendis terdiam. Rumah sakit ke rumahnya tentu berlawanan arah. Akan tetapi bisa, ditempuh dalam waktu bersamaan.
Situasi Hiro terlihat lebih mendesak dari pada jika Gendis pulang ke rumah. Jadi, dia hanya mengangguk dan bersedia mengikuti Hiro. Bukan karena menggantungkannya untuk mengantar ke rumah, melainkan ingin tahu siapa itu Reina dan kenapa bocah itu bisa membuat lelaki tersebut panik.
Mobil Hiro kembali melaju dengan cepat, tetapi tenang dan stabil di jalanan. Tak terburu-buru, apalagi ugal-ugalan. Di tengah situasi itu, Hiro masih bisa dikatakan tenang.
"Maaf, karena harus menunda mengantarmu pulang. Setelah sampai di sana aku akan memesankan taksi."
"Nggak usah, Pak. Aku akan menemanimu menemui ... Re---" Ucapan Gendis menggantung di udara.
"Reina, dia putriku," sahut Hiro sambil tersenyum tipis.
Gendis hanya mengangguk sekilas. Dia memainkan jemari di atas tas yang ada pada pangkuannya. Hiro kembali fokus pada jalanan, sementara Gendis melamun.
Tangisan Reina masih terngiang jelas di telinganya. Saat mendengar tangisan itu, rasa tak nyaman muncul. Dia teringat bayi yang dilahirkan, tetapi tak pernah mendengar tangisnya sekali pun.
Tanpa Gendis sadari, mereka sudah sampai di rumah sakit. Hiro segera keluar dari mobil dan berlari masuk ke rumah sakit. Bahkan dia melupakan Gendis yang masih ada di dalam mobil.
"Sepertinya dia sangat panik. Pantas menjadi ayah yang baik," ucap Gendis sebelum akhirnya keluar dari mobil.
Hiro terlihat buru-buru kali ini, seolah sedang mengejar sesuatu. Dia tidak berlari, tetapi langkahnya begitu panjang demi mempersingkat waktu menuju IGD. Gendis yang menggunakan sepatu hak tinggi berusaha mengimbangi langkahnya dengan tertatih.
Sesekali Gendis kehilangan keseimbangan karena hak sepatu yang sedikit rusak. Ya, lemnya mulai tidak kuat karena sudah lama tak dipakai. Ketika sampai di IGD, dia melihat Hiro sedang berbincang dengan dokter.
Gendis menahan diri untuk tidak langsung menghampiri. Dia memperhatikan dari kejauhan dan mengamati ekspresi Hiro. Lelaki itu sekilas terlihat tenang, tetapi bahasa tubuhnya tidak bisa dibohongi.
"Dia sedang panik," gumam Gendis ketika melihat Hiro yang tak benar-benar berdiri tenang.
Setelah dokter pergi, Gendis mulai mendekati Hiro. Lelaki itu menoleh ke arah Gendis dan memaksakan senyum. Lelaki tersebut mendaratkan tubuh pada sebuah bangku yang ada di depan IGD.
"Maaf, aku terlalu panik sampai lupa kalau harus memesankanmu taksi." Hiro menunduk sambil menatap layar ponselnya.
"Iya, nggak apa-apa. Aku paham kenapa kamu bersikap demikian." Gendis perlahan duduk di samping Hiro.
Lelaki tersebut hendak memesankan taksi. Namun, dia mengurungkan niat. Kini tatapannya tertuju pada kaki Gendis.
Alih-alih memesan taksi, Hiro malah menghubungi orang lain. Setelah selesai menelepon sekretarisnya, dia kembali berbincang dengan Gendis. Tatapannya masih tertuju pada ruang IGD tempat Reina masih mendapatkan penanganan.
"Reina memiliki alergi susu sapi. Dia tak memiliki ibu, jadi aku mengganti susu formula dengan ASIP dari bank ASI yang ada di Jepang. Stok kami hampir habis, dan ASIP belum sampai lagi. Entah apa yang terjadi, dokter mengatakan Reina dehidrasi parah." Hiro mengusap wajah kasar.
"Aku bukanlah ayah yang baik." Kali ini suara Hiro penuh dengan rasa putus asa.
"Kamu pasti ayah terbaik bagi Reina. Kamu segera menemuinya begitu mendengar kabar buruk. Tidak apa-apa, pasti akan ada jalan keluar. Sepertinya kamu bosa memberinya ...."
"Bisakah kamu menjadi ibu susu untuk Reina?" potong Hiro.
Bibir Gendis terbuka lebar, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dari sana. Hiro perlahan menoleh. Matanya mulai sebak.
"Maaf, tapi ... aku rasa sayang sejali jika ASI-mu yang berlimpah itu disia-siakan. Mungkin ini jalan yang Tuhan berikan untuk kami."
"Hiro, kamu salah paham. Maksudku jalan keluar lain adalah, kamu bisa memberinya susu kedelai. Atau susu khusus lainnya." Gendis menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Tapi, apa salahnya jika dia justru mendapatkan ASI dari kamu? Dia bisa menjadi saudara sepersusuan dengan anakmu. Nggak masalah, kan?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!