“Sayang, hari ini kamu pulang nggak?”
Suara lembut dari wanita cantik itu menghampiri suaminya.
“Enggak, kenapa emang?”
“Loh, kenapa? Kan aku mau makan malam bareng kamu, sayang.”
“Yola, please deh. Bisa nggak sih kamu nggak selalu merepotkan aku? Kan aku jadi nggak bisa fokus kerja karena kamu.”
“Maaf, sayang. Aku cuma mau makan bareng kamu aja. Kalau kamu nggak mau makan bareng aku, aku juga nggak bisa berbuat apa-apa.”
Suaminya, Leon, pergi dari hadapan sang istri yang cantik. Tak lama, Leon menatap ke arah Yola sambil mengusap kepala Yola.
“Aku minta maaf ya kalau tanpa sadar sudah menyakiti perasaan kamu. Maksud aku baik, tapi kalau kamu merasa aku jahat ya aku juga nggak bisa berkata apa-apa.”
Yola merasa senang, lalu langsung mendekap Leon tanpa berkata apa-apa.
“Ya, tidak apa-apa, sayang. Aku juga minta maaf ya kalau ada salah sama kamu.”
“Hmm, ya sudah kalau gitu aku pergi kerja dulu ya. Nanti kalau aku pulang telat, kamu makan duluan aja.”
“Ya, sayang.”
Leon pergi dari hadapan Yola, dan Yola mengantar Leon ke depan rumah. Tak lama, telepon Leon berdering.
“Halo, ada apa?”
Yola terus menatap ke arah Leon, tapi Leon sebisa mungkin terlihat santai dan menyembunyikan dengan siapa dirinya bertelepon.
Yola sama sekali tidak peduli dengan siapa Leon bicara di telepon. Bahkan Yola hanya terus memandang ke arah pakaian Leon, apakah berantakan atau tidak.
Setelah Leon selesai telepon:
“Sayang, baju kamu rapi ya. Kamu tahu nggak ini ulah siapa?”
“Kamu kan? Emang siapa lagi kalau yang rapi bukan kamu?”
“Ya, sayang, benar aku. Kalau bukan aku, siapa lagi?”
Tak ada kata terima kasih yang keluar dari Leon kepada Yola. Walau begitu, Yola tetap memahami perasaan Leon kepadanya. Tidak bisa dipungkiri, mungkin Yola sudah terlalu cinta pada Leon.
Yola tidak apa-apa walau sudah sering disakiti. Selama menikah tujuh tahun, Yola tidak pernah merasa Leon tidak mencintainya. Mungkin Leon hanya capek saja dengan pekerjaannya yang tak kunjung selesai.
“Leon, kata kamu mau pergi kerja. Sayang, pergilah, nanti kamu telat, loh.”
“Ya, ini aku mau pergi. Bye, sayang.”
“Bye.”
Leon pergi dari hadapan Yola, tapi Yola tidak berkata apa-apa dan langsung masuk ke dalam rumah. Tak lama, Yola mendapat pesan lama dari Yoto.
“Hai Yola, apa kabar? Kamu sekarang aku rindu kamu. Ini aku, Yoto. Kamu masih ingat aku kan?”
Yola malas untuk melihat pesan lama dari Yoto. Entah kenapa, saat mendengar nama Yoto disebut, Yola merasa dunia tidak berpihak kepadanya.
Flashback
Masa sekolah menengah ke atas, penuh cinta.
“Yoto, kamu ada kepikiran menikah dengan aku nggak sih?”
“Ada, emang kenapa?”
“Andai aku nggak selesai sekolah, kamu mau nggak nikah sama aku?”
“Loh, bukannya kamu suka sekolah? Malah aku mau kerja buat kamu, biar kamu bisa kuliah sampai S3. Lakukan yang kamu mau, Yola, jangan pikirin aku. Aku akan selalu setia nunggu kamu, sayang. Kamu cukup percaya sama aku, karena semuanya akan terwujud asal kamu percaya sama aku. Mengerti?”
Yola senang mendengar perkataan Yoto. Awalnya Yola dan Yoto memang sepasang kekasih di bangku SMA.
Mereka dijuluki seperti Romeo dan Juliet. Tapi terkadang Yoto tidak peduli apa yang orang lain bicarakan tentang hubungan mereka. Bagi Yoto, semua berjalan sesuai arah saja.
“Yol.”
“Apa, sayang?”
“Aku ada keperluan di ruangan kepala sekolah. Kalau kamu pergi ke kelas duluan, tidak apa-apa kan?”
“Ya, tidak apa-apa. Aku tunggu di kelas aja.”
Yoto hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan Yola. Tidak lama, sampailah Yoto di ruangan kepala sekolah.
“Siang, Pak. Permisi, Pak. Ini Yoto.”
“Yoto, duduk. Ada yang Papa mau bicarakan ke kamu.”
“Soal apa, Pa? Kan Yoto sudah bilang, kalau soal kuliah di luar negeri, Yoto nggak bisa. Yoto sudah ada Yola yang harus Yoto bahagiakan. Pa, emang Papa tidak pernah muda?”
Plak! Plak! Plak!
Papa menampar Yoto dengan kencang sehingga Yoto terdiam dan tidak berani menjawab apa yang papanya bicarakan.
“Papa boleh tampar aku, tapi Papa tidak boleh merendahkan harga diriku. Karena aku nggak akan terima, walau Papa itu papaku.”
“Dasar anak nggak guna! Pantas saja mendapatkan wanita seperti itu. Kamu kira Yola itu mau sama kamu? Kalau dia tahu kamu anak siapa, mana mungkin dia tolak kamu? Asal kamu tahu, Yola itu ada dalam genggaman Papa. Kalau Papa tidak mau naikin dia kelas, Papa juga bisa. Asal kamu ingat itu, Yoto! Papa itu berkuasa. Papa mau melakukan apapun juga Papa bisa. Ingat itu, Yoto!”
Yoto yang mendengar itu langsung keluar dari ruangan kepala sekolah. Di sisi lain, Yoto malu dengan sikap papanya yang sangat kasar kepadanya. Tapi Yoto juga tahu kalau papanya memang tipe orang yang kasar dan keras kepala.
Semenjak Yoto ditinggalkan oleh mamanya, Yoto merasa kurang figur wanita di dalam keluarganya. Hanya Yola yang bisa memenuhi itu. Yoto bersyukur ada Yola di hidupnya, tapi sepertinya Yola juga harus mengakhiri rasa cintanya kepada Yoto karena papanya yang tidak jelas.
Yoto mencoba keluar dari bayang-bayang papanya. Dia capek selalu menjadi boneka papanya setiap kali ingin melakukan hal di luar nalar papanya. Apa yang harus Yoto lakukan?
Saat Yoto kembali ke kelas, wajahnya terlihat sedih. Tapi Yoto tidak bisa marah dan hanya diam. Yola yang melihat itu ingin mengganggu Yoto, tapi takut kalau rasa ganggunya tidak dipedulikan Yoto.
Yoto mencoba diam saja, tetapi sesekali mata mereka saling bertatapan. Walau begitu, Yola tidak berbicara apa-apa sampai Yoto sendiri yang bicara.
Yoto hanya menggenggam erat tangan Yola, dan Yola pun membalas genggaman itu. Yoto lalu tidur di pundak Yola.
“Sayang, kok kamu tidak nanya aku kenapa?”
Yoto menatap Yola. Yola merasa tidak seharusnya Yoto menanyakan hal demikian. Tidak lama, Yola hanya mengusap kepala Yoto.
Yoto kaget melihat sikap Yola yang begitu lembut. Ia merasa nyaman dan aman saat Yola memperlakukannya selayaknya ibu pada anak.
“Sayang, aku bersyukur ada kamu di hidup aku.”
“Aku juga bersyukur jadi pacar kamu. Dan makasih ya, kamu udah selalu tulus sama aku.”
“Kebalik nggak sih? Kamu yang selalu tulus sama aku.”
Yola mencoba menenangkan Yoto. Walau bagaimanapun, Yola ingin menjadi pasangan yang sempurna untuk Yoto. Walau dirinya tahu masih banyak kekurangan, tapi Yola selalu belajar dari hal-hal yang sudah-sudah.
“Kalau aku nggak cerita ke kamu, apa kamu marah?”
“Tidak, buat apa marah. Aku yakin kamu juga punya alasan sendiri, ya kan?”
“Makasih, sayang. Kamu udah baik dan peduli sama aku.”
“Ya, tidak apa-apa. Aku paham, sih. Apa maumu kan tidak semuanya bisa dipaksa. Kadang juga ada beberapa hal yang memang tidak bisa dipaksa.”
Yola hanya tersenyum kepada Yoto, dan Yoto membalas dengan kebaikan, bukan dengan marah-marah. Karena Yoto tahu, wanita sebaik Yola tidak pantas dimarahi.
Yola merasa kalau dirinya tidak bertemu Yoto, pasti ia akan tertekan di rumah dengan keluarga yang selalu penuh larangan, sampai membuatnya merasa muak dan enek.
Andai Yola bisa memilih, ia akan memilih Yoto untuk selamanya dibanding tinggal di rumah itu. Tapi apa daya, dirinya sekarang masih sekolah, tidak bisa memilih apapun. Yoto juga pasti akan bosan dengannya kalau terlalu banyak berharap.
“Kamu lagi mikirin apa sampai diam gitu? Aku panggil kamu, kamu nggak dengar, sayang?”
“Tidak kok, aku cuma lagi melamun aja. Kenapa, sayang?”
“Tidak sih, aku cuma nanya doang.”
Yoto merasa ada yang ditutupi Yola, tapi ia juga nggak mau memaksa. Karena Yoto percaya Yola memiliki rahasia sendiri yang tidak bisa dibuka sembarangan ke orang lain.
Selepas pulang sekolah, Yoto menggenggam erat tangan Yola. Yola melihat ke arah Yoto dengan senyum yang hangat nan manis.
“Kenapa, sayang?”
“Aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu mau ikut aku jalan-jalan nggak?”
“Kemana? Kan udah mau sore. Emang kamu nggak takut dimarahin sama Mama kamu?”
“Aku belum bilang ya? Mama aku udah nggak ada. Maaf aku telat kasih tahu kamu.”
Yola kaget mendengar itu, lalu merasa nggak enak hati kepada Yoto. Sampai akhirnya Yoto mengusap kepala Yola sambil menatapnya dengan senyum.
“Sudah, tidak apa-apa. Aku udah biasa akan hal itu kok. Bukan hal yang aneh atau gimana, sayang. Jadi aman.”
Yola tetap merasa tidak enak, sampai akhirnya Yoto mendekap Yola erat sambil mengusap kepala belakangnya.
“Sudah tidak apa-apa, aku udah biasa. Benaran, aku bukan baru hal kayak gini.”
“Tapi aku tetap merasa nggak enak sama kamu. Aku harus gimana ya biar aku bisa menebus kesalahan aku sama kamu?”
“Cukup kamu sayang sama aku selamanya, itu udah menebus kok. Jadi kamu nggak perlu menebus apapun, sayang.”
Terkadang Yola merasa memiliki Yoto itu adalah hal yang terbaik untuk dirinya. Tetapi, walau bagaimanapun, tidak semua hal atau benda itu selalu abadi. Mungkin ini adalah momen yang bisa dikenang oleh Yola ketika Yoto sudah bosan dengan dirinya.
“Aku mau nanya, boleh nggak?”
“Mau nanya apa, Yola?”
“Mungkin nggak sih kamu ngerasa bosan sama aku?”
“Pertanyaan macam apa itu? Mana pernah aku bosan sama kamu. Kalau aku bosan sama kamu, mah aku nggak bakal mau gandeng tangan kamu. Ngapain aku harus capek-capek gandeng tangan kamu, mendingan aku gandeng cewek lain.”
Seandainya Yoto tahu, andai Yola tidak sebaik keluarga wanita pada umumnya, apakah Yoto tetap mencintai Yola?
“Yoto, aku mau nanya sama kamu.”
“Mau nanya apa? Kayaknya serius banget mukanya. Santai dong sama aku, ngapain sih serius-serius gitu. Nggak lucu tahu, mendingan kamu santai gitu daripada serius-serius. Ada apaan sih?”
“Kalau seandainya keluargaku bukan keluarga yang baik, kamu tetap sayang sama aku nggak? Atau kamu bakal ninggalin aku sama kayak orang lain yang ninggalin aku juga?”
“Yah, emang menurut kamu keluarga aku gimana? Aku juga kurang kan kasih sayang dari Mama. Aku dapat kasih sayang dari Mama itu dari kamu. Kalau nggak ada kamu, gimana aku bisa ngerasain kasih sayang seorang Mama?”
Yola tersenyum mendengar perkataan Yoto, walau terkadang perkataan Yoto membuatnya berpikir yang tidak mungkin menjadi mungkin. Entah kenapa kalau Yoto yang berbicara, hal itu terasa berbeda.
“Sudah, kamu jangan berpikir aneh-aneh. Mau seburuk apapun kamu, aku bakal sayang sama kamu dan nggak bakal ninggalin kamu, deh. Aku janji. Tapi kalau kamu yang ninggalin aku, aku bakal kejar kamu sampai seujung langit, pokoknya.”
“Kenapa kalau aku udah nggak suka sama kamu, kamu tetap mengejar aku? Padahal kamu bisa loh mendapatkan wanita yang lebih baik daripada aku, iya nggak sih?”
“Itu kan menurutmu, tidak menurutku. Kalau misalkan aku ngerasa wanita itu nggak baik buat aku, ngapain aku sama dia? Ya mendingan aku sama kamu lah. Udah pasti. Walau aku udah tahu kalau ngambeknya kayak gimana, kalau senang kayak gimana, kalau kayak anak kecil kayak gimana, kan sudah jelas. Buat apa lagi cari yang nggak jelas. Ya kan, orang jodoh aku udah dapat, mata.”
Yola tanpa berpikir panjang langsung mendekati Yoto dan mendekap Yoto dengan erat.
“Aku senang banget dipertemukan sama kamu. Tapi aku nggak tahu sih, kamu senang atau nggak dipertemukan sama aku. Aku benar-benar bersyukur banget, sampai nggak bisa berbicara apa-apa.”
“Kenapa sih kamu bicaranya kayak gitu? Emangnya kenapa? Lagian aku juga manusia kali, emang kamu ngira aku tuh apa?”
Yola hanya tersenyum dan tidak mau memberitahu Yoto, walaupun sebenarnya Yoto juga penasaran apa yang dipikirkan Yola tentang dirinya.
“Eh, kasih tahu dulu dong. Kamu mau kasih tahu aku nih apa yang kamu pikirin tentang aku. Kalau kamu nggak mau kasih tahu aku, aku bakal diemin kamu seharian.”
“Emang kamu berani diemin aku seharian? Aku mau coba lihat kalau kamu bisa. Dan kalau seandainya kamu berhasil, ya udah aku diemin balik.”
“Kenapa gitu sih? Jahat banget. Padahal aku pacarnya loh, tapi bisa-bisanya jahat sama pacar sendiri. Gimana ntar kalau udah nikah jadi suami, kayaknya makin jahat nih sama istrinya.”
“Kenapa sih kamu kepo banget sama apa yang aku pikirin? Lagian, dipikirin aku itu kamu tetap yang terbaik kok. Nggak yang aneh-aneh. Kalau misalkan kamu juga aku anggap aneh-aneh juga nggak apa-apa, toh kamu juga nanti jadi suami aku.”
Yoto yang mendengar itu merasa senang dan mendekati wajahnya ke hadapan Yola.
“Coba bicara lagi. Tadi kamu bilang aku apa?”
“Berisik, ah. Udah sono pergi. Kesel banget. Katanya mau ngajak pergi tapi nggak pergi-pergi. Dasar pembohong.”
“Ya udah, ayo. Dasar wanita banyak rahasianya. Nanti aku nyamar, ah, jadi wanita biar tahu rahasia kamu.”
Yola yang mendengar itu hanya tertawa saja dan tidak berkata apa-apa sampai di rumah Yola.
“Makasih ya, sayang, udah nganterin aku. Kamu mau masuk dulu nggak ke dalam rumah atau kamu mau aku tungguin sampai kamu pulang?”
“Kamu duluan aja masuk. Aku tungguin sampai kamu masuk. Lagian, kamu ngapain nungguin aku sampai aku pulang. Aku pulangnya lama, 1 jam dari rumah kamu ke rumah aku.”
“Tuh kan aku jadi nggak enak ngerepotin kamu. Seharusnya kamu nggak usah nganterin aku. Lagian aku bisa kok sendiri. Lagian kenapa sih apa-apaan tadi? Aku tuh mandiri tahu.”
Yoto langsung mencubit kecil hidung Yola tanpa berkata apa-apa sampai Yola merintih kesakitan.
“Aw, sakit tahu! Kenapa sih kasar banget sama ceweknya? Udah nggak sayang lagi ya sama ceweknya? Mau cari cewek lain nih pasti, makanya kasar sama ceweknya. Udah ah, mulai besok cari cowok lain juga. Cowoknya udah nggak sayang soalnya sama ceweknya sendiri.”
“Kamu tuh bicara apaan sih? Aku tuh sayang sama kamu. Lagian kalau misalkan aku nggak sayang sama kamu, ngapain aku anterin kamu pulang. Dari tadi ngomongnya begitu terus. Nih besok aku nikahin juga nih.”
“Emangnya kamu berani nikahin aku? Kita ini masih siswa SMA. Kalau misalkan kamu udah lulus kuliah, baru kamu boleh ngomongin nikah sama aku. Kan kamu udah makan, udah ada kerjaan sendiri. Kalau misalkan masih SMA, kan kamu masih minta duit sama Papa kamu. Nggak tahu malu, ih.”
Yoto mendekap Yola dan mengecup pipi kiri Yola sambil menatap ke arah Yola.
“Cewek aku cantik banget sih. Pengen deh cepet-cepet ngebungkusin biar bisa jadi teman di rumah. Nanti kalau aku udah sukses, kamu selalu nemenin aku ya, sayang. Dalam senang maupun duka. Kamu mau kan?”
“Nggak mau lah. Mau nemenin aku senang aja, ngapain pas duka. Lagian kalau misalkan nemenin pas duka, akunya dilupain ntar pas lagi senang.”
“Mana ada kayak gitu. Aku tuh selalu ingat kamu ya, bahkan kalau aku sekarang nggak bisa kerja pun aku akan mikirin kerja kalau itu kamu yang suruh.”
“Ya udah, mulai besok kerja sana. Jangan ngayap mulu. Cari duit yang banyak buat nikahin aku sama buat jadiin aku istri kamu.”
Yoto merasa tertantang dengan perkataan Yola. Entah kenapa, hanya wanita inilah yang bisa membuatnya tidak bisa berkutik.
“Bener ya? Janji ya, kalau sampai aku berhasil dan sukses menjadi orang yang ternama dan kaya, kamu harus benar-benar jadi istri aku. Kalau sampai kamu nggak menepati janji itu, akan aku kejar sampai ke ujung dunia. Lihat aja nanti.”
“Aku mau nanya deh sama kamu. Kalau misalnya aku udah nikah, terus aku udah punya anak sama pria lain, apakah kamu masih mencintai aku juga? Atau kamu bakal mencari wanita lain yang kayak aku, atau kamu menjadi duda dan tidak menikah sama sekali?”
“Aku akan terus nungguin kamu sampai kamu benar-benar udah muak sama suami kamu. Dan nggak apa-apa kalau misalkan aku nunggu sampai aku tua di umur 60-an. Karena aku tetap mencintai kamu apa adanya, sayang. Dan rasa sayang itu nggak akan pernah berbeda sedikitpun.”
Yola yang mendengar itu merasa terharu dan tidak bisa berkata apa-apa sampai matanya berkaca-kaca.
“Jangan nangis dong. Udah jelek juga masih aja nangis. Kalau udah jelek tuh jangan nangis, yang ada tuh senyum. Gimana sih. Untung sayang, kalau misalkan nggak sayang tinggalin juga nih. Ntar dikirain ada cewek jelek lagi nangis.”
“Kamu tuh ya, selalu aja bisa membuat aku senang dengan semua perkataan kamu. Kadang-kadang kamu mikir nggak sih, kalau perkataan kamu itu selalu membuat perasaan aku jadi dag-dig-dug tanpa alasan?”
“Nggak tahu, karena aku ngerasa apa yang aku bicarakan ini adalah dari hati aku yang paling dalam. Dan kalau seandainya aku lebay pun aku nggak berani sih ngomong begini, karena aku nggak pernah sih di dalam kamus aku ada perkataan lebay, apalagi menyangkut kamu.”
Yola hanya mengusap kepala Yoto sambil menatap ke arah Yoto dengan dalam.
“Makasih yah, udah lahir di dunia. Dan makasih juga udah menjadi pasangan aku. Semoga kamu adalah cinta pertama dan terakhir aku. Walaupun aku nggak pernah tahu sih ke depannya gimana, tapi aku sangat berharap kalau itu kamu. Dan sekarang kamu udah boleh pulang, sayang. Udah malam. Kamu hati-hati ya, jangan ngebut-ngebut. Pokoknya kamu harus hati-hati dan pelan-pelan sampai ke tujuan. Di rumah kamu nanti, kamu hubungin aku ya kalau udah sampai rumah. Janji.”
“Janji nggak?”
“Ya nggak mau janji ah, biar kamu cariin aku. Jadi aku ada yang sayang.”
“Aku udah sayang kamu kok, sayang. Kamu nggak perlu bikin aku khawatir. Bisa nggak sih, please lah, jangan kayak gitu.”
“Iya, aku bercanda doang. Kenapa sih kamu nggak bisa diajak bercanda. Lagian aku nggak apa-apa kali. Ya udah, nih, aku pulang ya. Nanti kalau udah sampai aku kabarin. Oke, tuan putriku.”
“Baik, pangeranku. Hati-hati ya. Kalau gitu aku masuk ke dalam rumah ya. Bye bye.”
Yoto tersenyum kepada Yola, begitu juga dengan Yola yang sambil melambai dan masuk ke dalam rumah.
Saat Yoto mau pergi, ia mendengar ada bunyi pecahan piring dari dalam rumah Yola. Setelah itu, Yoto langsung memiringkan motornya untuk diparkir.
Terdengar suara tangisan wanita dan suara memohon dari wanita itu, yang sangat dikenal oleh Yoto. Siapa lagi kalau bukan Yola.
“Ampun, Pak. Yola janji nggak bakal pulang malam lagi. Yola juga nggak bakal mau pulang-pulang malam lagi. Pak, mohon Pak, jangan marahin Yola atau mukul Yola lagi.”
Yoto yang mendengar itu langsung mengetuk pintu. Dibukalah pintu itu oleh papa Yola.
“Siapa kamu? Malam-malam ngetuk rumah orang, nggak sopan banget. Ada perlu apa ya?”
“Bapak, Yola pulang malam karena saya. Jadi bapak jangan marahin anak bapak lagi. Kalau bapak mau marahin, marahin saya aja. Jangan marahin anak bapak.”
“Halah, masih anak SMA aja belagu banget! Kalian itu ya masih butuh yang namanya orang tua, tapi malah berlaku seenaknya. Gimana nantinya kalau udah dewasa? Baru begini aja udah kurang ajar. Saya nggak bisa lihat lagi nanti ke depannya gimana!”
Yola merintih kesakitan, tetapi papanya tetap memukul dan menendangnya di depan mata Yoto. Melihat itu, Yoto langsung menghampiri Yola dan menggendongnya keluar dari rumah.
Papanya sangat marah kepada Yola, tetapi Yoto melindungi wanitanya seperti melindungi istrinya sendiri. Walau bagaimanapun, Yola pasti akan menjadi istrinya Yoto suatu saat nanti.
“Maafin aku ya. Aku nggak bisa banyak bantuin kamu. Kamu udah berapa lama digituin sama papa kamu? Kenapa mama kamu diem aja, nggak bisa bantuin kamu sih, sayang?”
Yola hanya diam dan menangis sesenggukan tanpa berkata apa-apa. Namun Yoto memahami arti dari tangisan Yola.
Sampai di rumah pohon milik Yoto.
“Kok kamu bisa ke rumah pohon sih? Dan kamu punya rumah ini dari mana?”
“Sebenarnya kalau lagi ada masalah, aku selalu tidur di sini. Aku nggak pernah tidur di rumah. Karena papa aku juga ngerasain hal yang sama sama aku. Ya, sayangku, aku cuma punya kamu.”
“Idih, apaan sih? Orang aku serius, kamu itu malah bercanda mulu. Tapi makasih ya. Maaf kamu udah nonton hal-hal yang nggak harus kamu tonton.”
“Kamu bicara apa sih? Aku malah sedih lihat kamu diperlakukan kayak gitu sama papa kamu. Harusnya papa kamu itu sayang sama kamu. Kan kamu cantik, kenapa harus dimarahin dan dipukul seperti itu. Pasti sakit banget ya.”
Yola menangis terisak, seakan dirinya sudah menahan semua itu sendirian. Yoto mencoba menenangkan dengan mendekap erat Yola.
“Nggak apa-apa. Kalau kamu mau nangis, aku mau kok jadi guling kamu buat nangis. Yang penting nanti kamu udah nggak nangis lagi.”
“Kamu nggak merasa jijik ya sama aku? Kamu kan udah lihat keluarga aku kayak gimana. Kamu nggak berpikir nanti kalau misalkan kita nikah, keluarga aku bakal kayak apa?”
“Kalau nanti kita nikah, kita akan ke negara yang kamu suka. Ke tempat yang kamu cintai, yang nggak ada orang memperlakukan kamu dengan kasar. Aku akan selalu support kamu ke manapun kamu berada kok, sayang. Tenang aja, ada aku. Kamu hanya cukup percaya sama aku aja. Janji.”
“Kalau menurut aku, lebih baik kita udahan aja. Aku juga nggak bisa selalu banyak berharap sama kamu. Kamu itu pria baik, dan aku nggak mau merusak citra kamu di depan banyak orang. Apalagi kan kamu itu cowok yang benar-benar sempurna di mata aku, bahkan di mata semua orang.”
Yoto hanya menggeleng sambil mengusap kedua pipi Yola, lalu menatap matanya dengan tajam.
“Kata siapa kehidupan aku sempurna? Kan nggak ada yang menjamin semua itu akan selalu sempurna. Kadang juga seperti roda, bisa di atas, bisa di bawah. Kita nggak pernah tahu kehidupan orang lain, sayang. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha, bukan mengeluh atau merendahkan diri sendiri. Aku nggak suka kalau kamu merendahkan diri kamu sendiri. Lagian, yang jelek itu keluarga kamu, bukan kamu. Jadi kenapa kamu harus merasa jijik sama diri kamu?”
“Jadi, kalau menurut kamu pribadi, masalah itu keluarga aku, bukan aku-nya?”
“Kalau menurut sayangnya, aku yang salah, keluarganya atau kamu-nya?”
“Sayang, aku nanya. Kenapa kamu nanya balik sih? Kadang-kadang aku kesel deh sama kamu. Males tahu kalau cerita sama kamu, pasti kamu suka bercandain balik.”
Yoto tersenyum untuk mencairkan suasana, karena ia tahu Yola sedang butuh support.
“Bukan aku nggak mau bicara serius sama kamu. Tapi aku tahu perasaan kamu sekarang lagi nggak bisa serius. Lebih baik aku bercandain kamu daripada kita serius. Bener nggak sih?”
Yola mendengar itu merasa senang, lalu langsung manja kepada Yoto.
“Kamu harus janji ya sama aku, nggak mau ninggalin aku. Kalau sampai kamu ninggalin aku, aku bakal neror kamu terus-terusan, inget kamu!”
“Nggak apa-apa, neror aja. Lagian aku suka kalau kamu neror aku. Akhirnya ada yang berhasil neror aku, dan orang yang neror aku itu cantik. Bentar lagi jadi istri aku deh.”
“Kenapa sih kamu nggak ada takut-takutnya sama aku? Kamu nggak ngerasa ya keluargaku aneh, dan aku juga aneh. Kenapa kamu tetap mencintai orang aneh sih?”
“Mungkin karena aku orang aneh kali ya. Makanya aku mencintai orang aneh. Tapi sebenarnya nggak apa-apa sih, mencintai orang aneh itu wajib kok. Kalau orangnya kamu. Kalau orangnya bukan kamu ya nggak wajib.”
Yola mencoba memukul Yoto dengan pelan, tapi perutnya bunyi. Yoto tersenyum.
“Laper? Mau makan apa? Aku masakin sini. Tapi kadang jam segini ada tukang nasi goreng yang aku suka. Tunggu ya, aku turun dulu ke bawah. Kamu tunggu di sini aja, sambil nonton atau tiduran. Semuanya lengkap kok di sini, tenang aman. Ini udah rumah kedua kok, nggak ada siapa-siapa. Paling cuma ada aku yang gangguin kamu.”
“Ya udah, kamu hati-hati ya. Kalau misalkan ada apa-apa telepon aku. Kalau butuh bantuan juga bilang ke aku.”
“Siap, tuan putriku yang cantik. Aku cari makanan dulu ya buat kamu yang cantik. Kamu juga jangan sampai kelaparan. Makan aja yang ada di kulkas, sambil nunggu aku. Oke?”
Yola hanya menggeleng kepala, merasa Yoto terkadang lucu, tapi juga menyebalkan.
Setelah 1 jam berlalu, Yola mulai khawatir dengan Yoto. Namun ia mencoba untuk berpikir positif.
Tak lama kemudian, Yoto akhirnya kembali ke rumah pohon yang sudah didirikannya sejak lama.
“Tadaaa! Aku bawa makan.”
Yola sontak langsung mendekap Yoto. Yoto bingung ada apa, ternyata Yola khawatir karena Yoto terlalu lama pergi.
“Maafin aku ya, sayang. Kamu khawatir ya sama aku? Aku janji deh nggak bakal kayak gitu lagi sama kamu.”
“Aku takut ada apa-apa sama kamu, makanya aku khawatir banget. Maafin aku ya, karena khawatir aku terlalu berlebihan ke kamu.”
“Nggak apa-apa kok, aku suka. Lagian kalau kamu yang khawatir, aku nggak masalah. Kalau orang lain sih aku nggak mau juga.”
Yola memukul kecil Yoto. Tak lama, ia melihat makanan yang dibawa Yoto.
“Kamu bawa makanan apa?”
“Liat aja sendiri. Kalau nggak suka, buat aku. Kalau suka, ya makan aja.”
Yoto sambil ambil minum, lalu mengecek handphone-nya. Ada pesan dari papanya.
“Kamu ke mana? Kenapa belum pulang? Mau papa hancurin rumah pohon kamu? Pulang sekarang! Kalau nggak mau pulang, biar papa hampirin kamu!”
“Aku lagi kerja kelompok di rumah teman aku, dan aku nginap di rumah teman aku.”
“Awas ya, sampai kamu bohong! Kalau kamu berani bohong sama papa, liat aja kamu!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!