Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaKnya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Seperti hari-hari biasa dalam kehidupan sekolahku, tiap pagi lorong sekolah ini selalu ricuh, terutama kalau ketiga laki-laki itu lewat; Bian, Nero, Zofan.
Aku mendecakkan lidah dengan kepala menggeleng pelan beberapa kali. Meski sudah menyaksikan hal serupa hampir tiga tahun lamanya, tetap saja aku tak habis pikir.
Pernah tidak, kalian menonton drama, atau seri-seri remaja, berlatar tempat sekolah, dimana ada perkumpulan siswa populer yang jadi pusat perhatian dan sering memancing perbincangan antar siswi di sekolahnya? Atau, paling tidak, terkenal di satu angkatannya?
Berlebihan, bukan? Aku kira juga begitu, dan lebih mengira kalau itu hanya akan terjadi di dalam layar, di depan kamera, tapi ternyata benar-benar ada versi nyatanya. Yah, contohnya yang sedang berlangsung di lorong depan kelasku saat ini.
Oh, tapi tentu ada perbedaannya dari yang ada dalam kebanyakan cerita. Perbedaan yang paling jelas adalah, aku bukan peran utamanya.
Maksudku, tentu saja aku punya peran super penting di hidupku, tapi aku tidak terlibat dengan mereka, begitu pula sebaliknya. Walau aku belum menemukan alur ceritaku sendiri, tapi aku yakin soal itu.
Kami saling mengenal, tapi sebatas teman satu angkatan, tidak lebih dari itu. Jangan lupa digarisbawahi! Bahkan untuk mengobrol pun bisa dianggap tidak pernah. Lagipula, kami beda kelas, jadi tidak ada alasan juga untuk berinteraksi, dan aku harap aku tidak perlu berurusan dengan mereka.
Perbedaan lainnya, mereka bukan sekumpulan manusia sombong yang memamerkan harta, apalagi yang menuntut kekuasaan dan semacamnya. Mereka juga bukan tipe yang tebar pesona. Meski sekali mungkin ada, tapi, tidak senarsis itu.
Untungnya juga, mereka bukan tukang buat onar. Yah, walau bukan siswa teladan juga. Selayaknya kebanyakan murid laki-laki saat berada di lingkungan sekolah, begitu lah mereka.
Soal ketampanan? Bisa dibilang tampan, sih, tunggu - bukan hanya 'bisa dibilang', mereka jelas termasuk yang paling tampan di sekolah ini, tapi tentu tidak setara aktor pemeran dalam cerita yang kubandingkan.
Mereka tidak dikagumi hanya dari tampang, tapi juga dari kemampuan.
Ah, jika kalian belum tahu, di dunia tempatku hidup ini, setiap manusia punya kekuatannya masing-masing, dan banyak ragam macamnya. Mulai dari yang normal sampai yang unik, dari yang umum sampai yang langka.
Seperti halnya minat dan bakat, kekuatan pun berada di tingkat serupa, yang harus dikembangkan dan diasah untuk bisa dikuasai dengan mantap.
Nah, meski kemungkinan ada orang lain yang memiliki kekuatan lebih hebat dari ketiga laki-laki ini, tetap saja milik mereka pasti akan jadi yang paling mencolok.
Selain mustahil luput dari atensi, mereka juga tidak ada niat menutupinya seperti kebanyakan orang, dan lagi, kekuatan mereka cukup berguna dalam keseharian, sehingga tak ada alasan untuk mereka menyembunyikannya.
Seperti Bian yang bisa mengendalikan sejumlah air, Nero yang bisa memanipulasi sebagian elemen tumbuhan dan menyuburkan tanah, dan Zofan dengan kemampuan berbahasa asingnya secara instan.
Kemampuan mereka bertiga ini jelas menguntungkan pihak sekolah, terutama saat ada kegiatan reboisasi, pasti Bian dan Nero akan sangat sibuk menjadi panitia, atau saat pihak sekolah butuh relawan atau penerjemah untuk membantu serta mempromosikan kegiatan lainnya demi meningkatkan akreditasi sekolah, maka mereka akan membujuk Zofan.
Kadang pun, Zofan akan mengikuti lomba-lomba pidato dalam berbagai bahasa, baik yang diselenggarakan antar sekolah, maupun di luar sekolah.
Jadi, bukan kekuatan yang membahayakan, seharusnya.
Dari ketiganya, menurutku kekuatan Zofan yang paling tidak biasa. Berdasarkan pengamatan singkatku, tak banyak yang mampu mengimbangi level Zofan.
Ibarat memasak mi instan, berbahasa asing secara instan pun pasti ada instruksi yang harus diikuti, bahkan mengolah makanan dengan bumbu instan pun masih butuh media dan bahan utamanya, tidak secara ajaib langsung jadi dalam satu kedipan mata, dan ini menjadi faktor penyebab beberapa ahlinya malas mengembangkan kemampuan mereka.
Tentang bagaimana Zofan mengatasi dan menguasainya, biar dia yang tahu, membayangkannya saja aku tak mampu.
∞
Kita lanjut soal perbandingan tadi.
Jika ada perbedaan, maka ada persamaan.
Persamaannya adalah, aku salah satu dari para siswi yang tidak tertarik dengan pesona mereka.
Duduk di pinggir lorong hanya karena bosan di dalam kelas, sementara jam pelajaran belum dimulai. Atas nama apa pun, dalam hatiku sama sekali tidak ada niat ingin melihat mereka, apalagi menunggu kehadiran mereka.
Memang benar, mereka yang paling tampan di sekolah ini, tentu aku akui itu, hanya saja bukan seleraku.
Hei, jangan protes! Aku berkata jujur di sini. Bukannya aku terlalu pemilih atau apa, tapi, ini kan sudut pandangku? Sudah sepantasnya aku bebas mengungkapkan apa yang aku pikir dan rasakan. Setiap orang pasti punya tipenya masing-masing, begitu pun aku. Jadi, wajar, kan?
Tidak! Standarku tidak setinggi itu, sungguh. Aku pernah, kok, bertemu dengan seseorang yang masuk ke dalam kriteriaku, dia berhasil melengkapi beberapa poin tipeku.
Kami pertama kali bertemu di acara tahunan yang diadakan sekolah lain, sekitar setahun lalu. Sama-sama peserta kompetisi, tapi di beda bidang, dan lucunya, itu juga terakhir kalinya kami bertemu. Miris sekali, kan? Padahal sejauh ini, dia satu-satunya yang paling mendekati!
Memang bukan jodoh, mungkin.
Dia orang yang sopan dan menenangkan, dia juga menjaga tutur katanya dengan baik. Suaranya lembut dan memabukkan. Aku tahu itu saat pernah bicara dengannya, sekali.
Kesempatan emas, karena kebetulan salah satu teman kelasku menjadi peserta di bidang yang sama dengan laki-laki itu.
Lihat lah, dia bahkan bersikap ramah dan sopan pada saingannya sendiri. Sungguh mendambakan, sampai rasanya jantungku mau melompat keluar menerobos tulang rusukku.
Sebegitu menariknya lah dia, di mataku yang sudah usang menunggu dimanjakan visual menawan. Manis sekali.
Sayangnya, dia dari sekolah di luar kota, yang mana kemungkinan berpapasan di jalan tentu sangat kecil, tapi untungnya, kami sempat bertukar nama akun media sosial, jadi sekarang kami secara tidak langsung 'berteman'.
Tidak pernah interaksi lagi, sih, semenjak itu. Hanya sebatas penonton dari masing-masing postingan. Hah.
Baiklah, kembali lagi ke topik awal kita.
Mari lihat persamaan lainnya antara drama sekolah tentang ketiga siswa terkenal di sekolahku ini, dengan yang ada dalam kebanyakan cerita yang sedang kita bahas.
Persamaan lainnya yang kuketahui, siswi yang sekarang menjadi kekasih salah satu dari ketiga laki-laki itu juga pernah ditindas, dan dirundung, dulu.
Siswi itu jelas bukan aku, tapi aku mengenalnya. Bukan juga teman dekat, tapi di masa-masa ia mendapat perundungan, aku sempat menemaninya.
Tidak, aku tidak ikut ditindas, aku justru secara tidak langsung mengurangi kesempatan mereka menindas.
Wah, kalau bicara begini, aku rasanya seperti pahlawan, ya? Padahal aku tidak melakukan apa pun selain berada di sampingnya, sesekali.
Beberapa kali pasti ada kecolongan yang tidak terelakkan, jika aku sedang tidak di sisinya. Mau bagaimana lagi? Aku, kan, juga punya tanggung jawab terhadap diriku sendiri, tidak selalu menjadi figuran di cerita orang lain.
Sekarang, aku dan perempuan itu sudah tidak terlalu dekat, karena menurutku dia sudah aman.
Aku tidak ingin terlalu dekat yang ujung-ujungnya jadi saling bergantung dan terikat dengan orang lain, itu merepotkan, aku punya pengalaman kurang mengenakkan tentang itu. Pun, aku bukan tipe yang hanya dekat dengan segelintir orang.
Aku, berinteraksi dengan semua orang, tanpa memandang bulu.
Sebentar, mungkin pengecualian untuk orang-orang yang menjengkelkan, tak tahu diri, dan menyia-nyiakan waktuku.
Tapi, apa daya? Katanya, kau menarik apa yang kau hindari.
∞
Benar-benar baru setengah jam yang lalu aku membicarakan mereka di dalam kepala, sekarang mereka muncul di dalam kelasku.
Untuk menggangguku? Haha, tidak, tidak. Mereka sepertinya hanya bosan dengan jam kosong dan akhirnya berburu kelas yang kosong pula. Hal yang biasa di kalangan para siswa.
Kebetulan kelasku juga sedang tidak ada guru, jadi, di sini lah mereka sekarang, bersenda gurau dengan siswa-siswa lain di kelasku.
Sudah, sampai di situ saja, kalian jangan mengharap yang lain-lain. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyukaiku, aku berani jamin! Melirikku pun tak pernah terlintas di kepala mereka, kurasa.
Lalu, karena ini seharusnya cerita tentang aku, maka kita sudahi saja membicarakan mereka. Tak ada lagi dari mereka yang perlu kalian ketahui.
Astaga, aku sampai lupa memperkenalkan diriku! Namaku-
...
Bersambung
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaKnya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
"Nata!"
Nah, itu namaku. Natarin, lebih lengkapnya.
Cukup satu kata saja.
"Sibuk, tidak? Bisa tolong ajarkan aku rumus yang ini? Aku bingung."
Kepalaku menoleh pada salah satu teman kelas yang memanggilku tadi. Dia Kinata, bangku tempat duduknya tepat di belakangku.
Ya, nama kita hampir sama, jadi orang-orang akan memanggilku Nata, dan memanggil dia Kin, atau Kinat.
Aku tersenyum ramah dan mengangguk semangat. Semangat, karena akhirnya ada hal lain yang bisa aku lakukan selain termenung tak ada kerjaan.
Diriku ini sedikit bermulut manis, jadi aku akan merespon temanku seperti, "oh, mana mungkin aku sibuk kalau untuk Kinat! Kemarikan catatanmu, mana rumus yang membuatmu bingung?"
Ini yang aku maksud dengan aku juga punya peran penting di hidupku, di sekolah. Aku salah satu peserta tetap olimpiade matematika di sekolah, dan sudah berapa kali turun berkompetisi. Keren, kan?
Jangan keheranan tentang bagaimana bisa aku memilih subjek menyeramkan ini dari banyaknya bidang olimpiade, soalnya, otakku memang tidak ada tandingan soal kalkulasi, sudah dirancang sedemikian rupa untuk menampung timbunan angka.
Benar, ini lah kelebihanku, keunggulanku, dan aku pikir tidak perlu disembunyikan.
Berhubung aku termasuk murid yang berambisi, tentu saja aku harus memanfaatkan kelebihanku untuk keuntungan prestasiku. Kalian juga pasti begitu, kan?
Lagipula, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kekuatanku, hanya seputar perhitungan dan saudara-saudaranya.
Meski demikian, tentu saja aku tetap memerlukan latihan intens untuk mengasah kemampuanku, karena aku juga dihadapkan dengan yang terbaik pula, atau bahkan yang punya lebih banyak pengalaman, dan yang jam terbangnya lebih tinggi.
Ayolah, aku bukan satu-satunya yang memiliki kekuatan itu di dunia ini, sudah pasti ada banyak lawan dan saingan di luar sana.
Bahkan beberapa murid berkemampuan serupa di sekolah ini pun harus berhasil kutaklukkan untuk bisa terpilih menjadi kandidat yang akan membawa nama sekolah, dan kembali dengan mengharumkannya.
Begitu lah, secara garis besar, kehidupan persekolahanku untuk sekarang.
Berhubung sudah tidak ada lagi yang menarik dan penting untuk diceritakan tentang hari ini, karena aku hanya akan mengajari Kinat serta beberapa teman lain yang butuh bantuan selama jam pelajaran, jadi, mari kita lewati waktu hingga beberapa hari - jangan, mari kita langsung lompat ke beberapa minggu ke depan saja, biar lebih cepat.
Saatnya kita memasuki awal dari ceritaku, yang akan menguras emosi.
∞
Aku bangun pagi - lewatkan.
Aku bersiap-siap dan sarapan - lewatkan.
Aku pamit pada orang tua dan berangkat sekolah dengan jalan kaki - lewatkan.
Aku menyapa satpam sekolah dan teman-temanku yang berpapasan - ah, ini juga tidak penting, lewatkan.
Aku berdiri terlalu ke pinggir dan tersenggol tas pembawa motor hingga tiba-tiba jatuh pada selokan kering yang curam tepat di dekat gerbang masuk sekolah - lewatkan-
Tunggu, tunggu - oke, kita mundur selangkah, sepertinya ini titik koordinatnya. Bukan awal yang keren untuk memulai ceritaku, sial, tapi memang ini titik mula yang sebenarnya.
Di sini lah aku sekarang, sedang meringkuk memalukan di dalam selokan kering depan sekolah, tepat di sisi gerbang masuknya, seorang diri.
Lebih memalukannya lagi, diriku yang tengah menderita ini malah dijadikan tontonan oleh sederet manusia di atas sana, yang berbaris menumpuk tak rapi di sepanjang sisi selokan. Seperti melihat pajangan mahal di museum saja!
Kuharap kalian semua tertiup angin badai hingga jatuh di sini bersamaku! Huhu, malang sekali nasibku. Baru memulai hari, masih pagi, dan sudah ditimpuk kesialan!
Ide siapa untuk membuat selokan raksasa, yang securam dan selebar ini, tanpa pembatas yang aman, dan tanpa jeruji penutup untuk mengurangi probabilitas kecelakaan? Ada niat terselubung mencari tumbal, ya? Harus aku tuntut!
Sial, demi apa pun, sakit sekali.
Aku bersumpah, ini amat sangat sakit, bahkan rasa malunya saja kalah. Aku pikir semua tulangku patah - apa jangan-jangan memang iya?! Sukar sekali menggerakkan anggota tubuhku, sungguh, sampai-sampai aku menangis. Mana aku sedang datang bulan!
Sudah sejak kemarin punggung hingga tulang rusukku mengirim sinyal nyeri dan pegal, dan sekarang rasanya jadi semakin menyiksa.
Tuhan, tolong lah aku.
∞
"Ada apa ini, ramai-ramai di depan sekolah?" Aku dengar suara wanita paruh baya dari atas sana, di antara penonton yang menumpuk itu. Begitu mendapat jawaban dari salah satu murid, nadanya seketika berubah panik dan cemas, penuh kekhawatiran.
"Astaga, siapa yang jatuh?!" Semakin keras lah suaranya saat menyebut namaku setelah melihat kondisiku, mendapati aku terkapar mengenaskan di bawah sini. Beliau tidak lain dan tidak bukan, adalah wali kelasku.
Setelah berhasil menerobos kerumunan murid menyebalkan yang enggan membantuku, padahal aku sudah memasang raut wajah butuh pertolongan, atau mungkin mereka bingung bagaimana caranya, akhirnya beliau meminta bantuan pada satpam yang sedang berjaga untuk membantuku.
Benar juga, kenapa satpam tidak membantuku? Apa dikiranya aku sedang bercanda dan sengaja terjun bebas ke dalam sini seperti orang bodoh?
"Bu, biar saya bantu. Tadi saya yang tidak sengaja menyenggolnya. Maafkan saya."
Bagus, untung saja sang pelaku tidak melarikan diri dan bertanggung jawab. Harusnya dia minta maaf padaku, bukan pada Bu Tuti! Tapi, ya sudah lah, yang penting sekarang bantu dulu aku, sebelum seluruh tulangku rontok dari tubuhku dan menjadi fosil di semen keras sialan ini.
Pertama-tama, aku perlu diangkat naik dulu dari selokan kering ini, untung saja kering, kalau sampai ada isinya, air comberan yang hitam, jorok, menjijikkan, berlumut, penuh sampah itu, maka akan sekalian kecelupkan kepala si pelaku ke dalamnya sampai megap-megap.
Dan untuk melakukan itu, jelas membutuhkan beberapa orang, karena satu manusia tak akan sanggup, tak ada tangga yang bisa memudahkan.
Maksudku untuk proses penyelamatan mengangkatku naik, bukan untuk mencelupkan kepala orang yang katanya tidak sengaja menyenggolku itu.
Kedua, si penanggung jawab memapahku ke ruang kesehatan sekolah, awalnya. Dengan langkahku yang tertatih, dan mulutku yang beberapa kali merintih, akhirnya dia mengganti opsi; menggendongku.
Sudah lah, tak sempat pedulikan itu, terlalu ngilu untuk sempat merasa malu dengan keadaan saat ini.
Sementara itu, salah satu teman angkatanku, yang aku bilang pernah dirundung sebelum menjadi kekasih dari Bian, ternyata menyusul kami dan ikut menawarkan bantuan dengan membawakan tasku, demi mengurangi beban laki-laki ini.
Bersyukur lah hari ini aku tidak bawa banyak buku cetak yang setebal harapan orang tua. Kecuali jika lelaki ini yang menanggung beratnya, maka seharusnya tak apa kubawa.
Sepanjang jalan aku enggan melihat siapa lelaki ini, tak sedetik pun aku meliriknya. Selain kesal, rasanya juga canggung.
Ketiga, aku langsung dibaringkannya ke atas ranjang berbalut kain putih begitu sampai ruang UKS.
Sekarang baru lah aku melihat wajahnya, rautnya itu diukir rasa bersalah ketika melihat gigiku menggertak samar karena ngilu yang masih menjalar di seluruh tubuh, kemudian menyusul lah sebuah kata singkat dari bibir tipisnya, "maaf."
Tunggu, wajahnya?
Asing, tapi tak asing.
Keningku mengernyit, mataku memicing selidik pada manusia jangkung di pinggir ranjang ini, "loh?"
"Loh?" dia menyuarakan ulang kebingunganku.
...
Bersambung
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Orang ini, dia, kan?
"Kau – si gadis matematika yang pernah kutanyakan akun media sosialnya untuk 'berteman' itu, kan? Postinganmu sering lewat di berandaku. Apa kau masih ingat aku?"
Aku? Mengingatmu? Tentu saja! Aku bahkan baru memikirkanmu bulan lalu.
Aku masih terperangah.
Wah, tidak kusangka kita bertemu di sini, dan dia juga masih mengingatku!
Begitu otakku yang biasanya hanya diisi ribuan angka ini akhirnya sukarela memproses apa yang sedang terjadi, baru lah untaian-untaian dalam benakku saling terhubung, menangkap sinyal dengan jelas. Jadi, yang dari tadi bersamaku; mengangkutku, memapahku, menggendongku, membawaku kemari, itu dia?
Tanpa diperintah, mulutku terbuka dengan sendirinya, bentuk reaksi dari pikiranku sendiri. Telingaku pun tiba-tiba terasa panas, merambat sampai ke leherku. Orang yang menyerempet dan membuatku jatuh tadi, benar dia?
Orang yang menggendongku tadi ... dia?
Sebentar, sebentar, jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. Jangan mati dulu, aku!
Kriing. Kriing.
Bel sekolah menginterupsi reuni singkat kami yang belum tuntas, mengirim kembali detak jantungku yang sempat kabur. Aku, dia, dan temanku, kami bertiga sontak mengedarkan pandangan, seakan wujud belnya dapat terlihat.
Benar juga, aku sampai lupa dengan eksistensi temanku yang sedari tadi juga ada di sini, gara-gara terhipnotis pesona dia. Kembali mengingat kejadian beberapa lalu itu membuatku refleks mendeham di tenggorokan, berusaha menahan pipiku agar tak terangkat sipu.
Imajinasiku buyar saat temanku tiba-tiba berdiri dari duduknya dan berganti meletakkan tasku, yang sedari tadi dia pangku, ke atas kursi.
"Sora, sudah bel. Kamu jadi ke kantor kepala sekolah?"
Kepalaku terangkat begitu mendengar kalimat tanya yang terlontar dari mulut temanku. Gerak mataku mengamati keduanya bergantian sampai pertanyaan itu ditanggapi dengan anggukan dari lawan bicaranya, si dia yang tadi membawaku ke ruang UKS.
Lalu, kekasih Bian ini melanjutkan ucapannya, "kalau begitu, ayo. Aku ke kelas dulu untuk minta izin guru, setelah itu aku antar kamu ke kantor," baru kemudian perhatian si perempuan bertubuh kecil terpusat kembali padaku.
"Nata, kamu tidak apa, kan, ditinggal sendiri dulu? Atau kamu masih ingin masuk kelas?"
Aku berpikir sejenak, sepertinya bukan keputusan yang baik untuk masuk kelas dengan kondisi seperti ini. Akan percuma jika nanti aku hanya mengeluh di kelas dan tidak bisa fokus belajar, apalagi kalau sampai teman-teman lain di kelas jadi terganggu karena rengekan kesakitanku.
Sebenarnya aku merasa tubuhku sedikit lebih baik dibanding ketika aku masih di TKP, tapi hanya sedikit. Jadi, kepalaku menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaan terakhir dari temanku, "aku di sini saja, deh, Cika. Badanku masih sangat sakit. Sepertinya aku belum sanggup jalan ke kelas."
"Biar aku gend—"
"Tidak!" Aku memotong cepat tawaran pelaku dermawan yang masih berdiri di dekat ranjang tempatku terbaring. "Tidak perlu, terima kasih. Aku di sini saja."
Di mana nalarnya, sampai berpikir menggendongku ke kelas sebagai ide yang bagus?
Yang benar saja?!
Aku tidak siap.
Laki-laki berseragam beda dari seragam sekolahku ini hanya bergeming. Dilihat dari kerutan di keningnya, sepertinya dia sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam kepala.
Tak lama, ia meletakkan tangannya di salah satu bahuku, dengan anehnya dia berucap bagai membaca mantra, "semoga ini cukup untuk sementara, ya? Maaf, tadi pagi aku tidak sempat sarapan, jadi staminaku belum memadai. Nanti aku kembali lagi saat jam istirahat untuk bertanggung jawab."
Apanya yang cukup?
Lalu, memangnya kenapa kalau dia tidak sempat sarapan? Apa hubungannya denganku?
Dan, bagaimana dia akan bertanggung jawab?
"Kami pergi dulu, ya, Nat? Pagi ini pelajarannya Pak Ton, aku tidak mau dihukum," pamit Cika sambil bergegas meninggalkan ruangan bersama dia, laki-laki yang Cika sebut dengan nama Sora tadi, si manis bersuara lembut –TIDAK, BERHENTI, NATA! Sudah cukup membatinnya!
Aku menggeleng cepat mengusir bisikan hatiku, kemudian mengangguk untuk Cika walau orangnya sudah menghilang di balik pintu. Tidak ambil pusing, mengerti kalau memang Pak Ton itu salah satu guru disiplin yang tak kenal dispensasi di sekolah.
Sebentar, tadi Cika keluar sambil menyeret lengan si Sora itu dengan luwes, bukan kah itu tandanya mereka saling mengenal? Apa mereka sepasang kekasih?
Tidak, tidak mungkin.
Kedua ujung telunjukku mengetuk-ngetuk pelan tiap sisi pelipisku. Cika itu masih bersama Bian. Kalau mereka putus, rumornya pasti sudah tersebar ke mana-mana.
Kalau begitu, apa mereka dekat?
Lalu, seragam Sora, kan, bukan seragam dari sekolahku. Jelas aku kenal dengan seragam sekolah bergengsi dari kota sebelah itu. Bukan hanya seragamnya, aku bahkan mengenal orangnya! Jadi, kenapa dia ada di sini, menyebrangi kota? Apa ini berarti dia murid pindahan? Di sini? Di sekolah ini? Sungguh?!
Ah, memikirkannya membuat kepalaku pusing. Sepertinya aku minta dijemput papa saja, aku tidak yakin tubuhku akan bisa bertahan dan pulih secepat itu untuk bisa menghadiri satu pun mata pelajaran yang berjadwal hari ini. Nanti akan kupikirkan lagi soal dia setelah istirahat di kamar.
Tanpa membuang lebih banyak waktu, aku lekas mendudukkan diriku dan mengulurkan tangan, dengan santai merogoh ke dalam tasku untuk mencari letak ponsel yang aku simpan di sana.
Eh?
Ngomong-ngomong, tadi aku sempat bilang kalau aku merasa sedikit lebih baik daripada awal kecelakaan, kan? Sebenarnya, sejak aku mulai dipapah tadi, aku merasa sakitku berkurang sedikit demi sedikit, apa termakan waktu?
Anehnya, sekarang tubuhku bahkan jauh lebih baik lagi dari saat pertama kali berbaring di ranjang UKS ini. Aku juga baru sadar, rupanya nyeri di perutku akibat menstruasi turut lenyap. Sungguh ajaib.
Pasti Tuhan sedang berbaik hati padaku.
Kalau begini, apa aku masuk kelas saja? Sepertinya sekarang aku mampu.
Baiklah, akan kucoba.
Aku mulai dari menjulurkan kakiku ke pinggir ranjang; menggantung ke bawah, hampir menyentuh lantai. Lalu, aku tapakkan kaki, dan perlahan kuangkat bokongku dari ranjang, dengan hati-hati berdiri.
Meski sesekali tubuhku masih menghantar ngilu, tapi aku sudah sangat mampu berjalan dan menjinjing tasku. Langkah awal yang cukup baik!
Cengiran mengembang terhias di wajahku, lega sekali karena ternyata rasa sakit akibat jatuhnya hanya bersifat sementara, menyisakan sedikit nyeri saja. Mungkin tadi tubuhku cuma kaget? Buktinya, sekarang aku bisa berjalan keluar ruangan dan menuju ke ruang kelasku. Hore, aku pulih!
∞
Tok. Tok.
"Ya? Silahkan masuk."
Pintu kelas kubuka perlahan begitu mendapat persetujuan masuk, dilanjut dengan sapaan sopanku pada guru yang sedang berhenti mengajar sejak aku mengetuk pintu, "permisi, Miss."
"Loh, Natarin? Bukannya kamu sakit?" Guru Bahasa Inggris yang masih berdiri di depan kelasku itu menyambut kedatanganku dengan tanda tanya ketika beliau menoleh. "Tadi, kata Bu Tuti, kamu jatuh cukup parah, iya?"
Aku membungkuk ringan sebelum memberi respon, "iya, Miss Da, tapi sekarang sudah mendingan, jadi sepertinya saya bisa ikut pelajaran. Apa saya masih boleh masuk, Miss?"
Masih dengan raut kebingungan, Miss Da akhirnya mengangguk, memperbolehkan.
"Silahkan, silahkan duduk, tapi kalau nanti kamu tidak sanggup lagi, segera beritahu, ya? Saya izinkan istirahat. Jangan sampai memaksakan diri."
Aku ikut mengangguk sambil kembali membungkuk sopan, tak lupa mematri senyum.
"Terima kasih, Miss."
Setelah berkata demikian, aku bergegas duduk di bangku depan, tempatku biasa duduk, bersamaan dengan Miss Da yang kembali menjelaskan tulisannya di papan tulis.
Jarum jam terus berputar, waktu terus berjalan, dan mata pelajaran sudah dua kali berganti. Begitu tiba waktunya istirahat, aku lekas melemaskan otot-ototku, duduk merosot di kursi dengan hembusan napas yang panjang.
Mataku terpejam nyaman. Syukur lah, dengan kondisi tubuhku yang tidak begitu sehat dan konsentrasi yang sedikit terganggu, aku masih sanggup menyimak penjelasan para guru, semampuku.
Selama pelajaran berlangsung, aku sempat beberapa kali menggerakkan tubuhku yang sekarang hanya tersisa pegal dan nyerinya, terutama di bagian belakang bahuku yang paling keras terbentur semen selokan.
Keadaanku sudah tidak seburuk awal kejadian.
"Nata, Nata! Jadi tadi benar, yang jatuh itu kamu? Kok bisa?"
Kinat menepuk-nepuk pelan bahu kananku, untung bukan di bagian bahu yang terluka. Baru saja aku akan membalikkan tubuh remukku ini, sebelum—
"NATA!"
*ASTAGA! *Tubuhku menjengkit kaget mendengar namaku tiba-tiba diteriakkan sebegitu menggelegarnya, sampai-sampai mataku ikut membelalak kaget.
Jangankan mata, bahkan jantungku juga ikut berdisko, berdegup-degup riuh. Sudah lah teriakannya bak gemuruh guntur, pintu kelas dibanting dengan keras pula! Mau tawuran atau bagaimana?!
"Apa Nata ada di kelas? Mana dia? Di mana perempuan itu?!"
"Klara!" aku memekik lantang, menyuarakan keterkejutanku.
...
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!