NovelToon NovelToon

Bunga Dan Trauma

Hilang

Entah mengapa rasanya sore itu cuaca seperti turut merasakan perasaan seorang gadis yang saat ini sedang berada di dalam sebuah taksi online. Matanya begitu kemerahan dan basah, dadanya juga terlihat naik turun, seperti orang yang baru saja lari marathon. Tangan yang berada di atas pangkuannya, juga mengepal. Hal ini menandakan ia menahan amarah yang begitu membara.

Ia tak mau mengeluarkan semua amarahnya dengan menangis di depan supir yang tak ia kenal sama sekali. Padahal lagu yang kini terputar di radio mobil itu seperti sesuai dengan yang dia rasakan. Apakah alam tengah mengejeknya sekarang.

Ku terlanjur mencintaimu

Andai ku tahu kan sesakit ini

Ku takkan mungkin mencintaimu sedalam ini

Sialnya saat kau pergi,

Ku terus menanti

Kau yang buatku jatuh hati

Kini hilang tak kembali

Hilang

Sekuat mungkin ia menahan semua rasa yang memberontak ingin keluar dari dadanya. Ia merasa kalah kalau saja ia menangis saat ini. Tidak. Ia tidak boleh kalah. Ia bertekad untuk membuktikan pada semua orang, terutama pria itu bahwa ia tidak kalah.

Malah mungkin ia harus berterima kasih pada pria itu, karena kini ia semakin yakin bahwa tidak ada yang namanya cinta sejati, cinta yang benar-benar cinta, apalagi terhadap manusia. Tidak ada pria yang benar-benar setia selain ayahnya dan juga Abang iparnya. Selebihnya lelaki itu sama saja. Baji**n. Itu yang ia pikirkan dulu, bahkan akan berlanjut untuk ke depannya.

Tak terasa mobil yang ia tumpangi sudah tiba di depan rumahnya. Setelah membayar sejumlah uang yang sesuai di aplikasi, Bunga turun dan berjalan gontai ke dalam rumahnya.

Rumah itu tampak sepi. Memang hanya ada beberapa orang asisten rumah tangga yang bekerja disana. Kedua orang tuanya saat ini masih berada di Malaysia untuk urusan bisnis, sedangkan kakaknya beserta suami masih berada di tempat yang membuat hatinya terluka.

Bunga yang sebelumnya berada di Singapura untuk menyelesaikan pendidikan spesialis kedokterannya tidak memberitahukan mengenai kepulangannya yang mendadak pada siapapun karena ia berencana memberikan kejutan pada semua orang. Tapi siapa sangka, malah ia yang mendapatkan kejutan yang benar-benar membuatnya terkejut.

Bunga langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia buka sepatunya sembarangan, bahkan tas jinjing miliknya pun ia lemparkan begitu saja, tak peduli masih ada ponsel miliknya di dalam sana. Tanpa mengganti pakaiannya, ia langsung berbaring di atas ranjang dan menarik selimut sampai menutupi kepalanya.

Ia tidur terlentang, menatap sesaat ke arah langit-langit kamarnya. Tak lama ia menutup rapat kedua matanya dan berharap bahwa apa yang ia lihat hari ini adalah mimpi buruk belaka. Ya, Bunga meyakinkan hatinya bahwa ini hanya mimpi. Tapi mengapa terasa begitu nyata, menurutnya.

Sakitnya, sangat terasa—dan menyakitkan.

Matanya terbuka kembali, semuanya berlarian di dalam kepalanya.

"Bukankah kamu yang dulu datang dan meyakinkan aku kalau kamu berbeda dengannya? Kamu berjuang sangat keras untuk meyakinkan hati aku untuk percaya lagi dengan cinta dan akhirnya aku menerima cinta kamu. Tapi lihatlah sekarang, mengapa kamu yang menyakitiku sedalam ini?"

"Apa ternyata kata cinta yang selalu kau umbar itu hanyalah bualan semata? Kau sengaja sekarang mencampakkan aku, karena selama ini kau selalu merasa cinta sendiri?"

"Tak ku sangka, wajah polosmu tak sesuai dengan perilaku mu, Malik."

Bunga menutup matanya, berusaha bisa tidur dan mengakhiri malam buruk ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih berharap kalau apa yang terjadi malam ini hanyalah mimpi buruk.

*****

"Bi, Bunga sudah sampai di rumah?" tanya Silvia ketika baru saja tiba di rumah orang tuanya.

"Sudah, Mbak," jawab Bi Ami, salah seorang asisten rumah tangga. "Tapi Mbak."

"Kenapa, Bi?" Silvia yang akan melanjutkan langkahnya ke lantai atas tempat kamarnya berada terhenti mendengar interupsi Bi Ami.

"Mbak Bunga kayak orang bingung gitu, Mbak. Tadi Bibi manggil dia nggak nyaut sama sekali. Malah kayak orang bengong, Mbak. Jalan aja terus, masuk ke kamar," jelas Bi Ami. Wajahnya kini seperti orang yang bingung, dan juga gelisah. Tentu saja ia takut anak majikannya itu dalam keadaan tidak sehat.

Memang ketika Bunga masuk ke dalam rumah tadi ia sempat berpapasan dengan Bi Ami, bahkan Bi Ami sempat menyapa Bunga. Namun Bunga terus berjalan menuju ke kamarnya tanpa menjawab atau menoleh ke arah Bi Ami.

"Linglung gimana, Bi?" tanya Silvia memastikan.

"Ya linglung, Mbak. Bengong. Terus kelihatan wajahnya kayak sedih gitu," jelas Bi Ami.

"Ya sudah, Bibi sekarang istirahat saja. Terima kasih, Bi," kata Silvia, kakaknya Bunga.

"Baik, Mbak. Permisi ya Mbak Silvia, Mas Randi," pamit Bi Ami. Beliau langsung pergi ke arah belakang, kembali ke area dapur.

Randi kemudian merangkul sang istri untuk membawanya masuk ke dalam kamar mereka yang ada di rumah orang tua Silvia.

"Mas, menurut kamu, Bunga kenapa, ya? Kok tiba-tiba pulang tanpa kasih tau kita dulu tadi. Ditelfon juga ngga diangkat. Terus tadi kata Bibi dia kayak orang linglung gitu," ungkap Silvia ketika mereka sudah berada di dalam kamar.

"Mungkin Bunga masih capek. Dia baru beberapa jam sampai dari Singapura langsung pergi ke pernikahan anaknya Tuan Raka," jawab Randi yang sambil membuka jas yang membaluti tubuhnya. Setelahnya ia berlalu masuk ke dalam kamar mandi.

"Tapi Mas, pas masih di rumah Bunga masih baik-baik saja, ngga ada bilang capek atau apa. Bedanya tuh pas udah di hotel tadi," kata Silvia.

Tak ada jawaban dari Randi karena pria itu sudah berada di dalam kamar mandi. Silvia yang menyadari suaminya sudah tak ada pun juga segera ke meja riasnya untuk menghapus riasan yang ada di wajahnya. Tak lama Randi pun keluar dari kamar mandi.

"Mas..."

"Hmm." Randi masih mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil, dan berjalan menuju lemari.

"Menurut Mas, ada kejadian apa sih di hotel yang sampai membuat Bunga jadi gitu?" tanya Silvia. Dirinya masih sangat penasaran akan perubahan Bunga yang tiba-tiba. Silvia sangat tahu karakter adik satu-satunya itu. Pasti terlah terjadi sesuatu dan itu terjadi di hotel tempat acara resepsi pernikahan yang mereka hadiri bersama tadi.

"Ngga usah menduga-duga dulu, sayang. Besok pagi saja kamu tanyakan sama Bunga," jawab Randi. Pria itu kini sudah siap dengan piyama tidurnya. "Gih bersih-bersih dulu. Setelah itu kita langsung istirahat. Jangan terlalu banyak pikiran, ya. Ingat kandungan kamu," ucap Randi yang kini tengah mengelus lembut kepala istrinya.

Silvia hanya mengangguk pelan, dan mencoba menghilangkan fikiran buruknya. Semoga saja benar yang dikatakan suaminya, kalau Bunga hanya sedang kelelahan karena baru saja tiba sore tadi dari Singapura.

Usai

Suara pintu yang di ketuk dari luar sejak tadi membangunkan Bunga dari tidurnya. Gadis itu bangkit dari tidurnya sambil memegang kepalanya yang terasa sakit. Semalaman ia memejamkan matanya, namun kantuk tak jua datang. Entah pada jam berapa akhirnya Bunga bisa tidur.

Ia melihat jam yang ada di dinding kamarnya dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Pantas kakaknya diluar sana sudah sangat berisik mengetuk kamarnya.

"Bunga, kamu sudah bangun belum, Dek? Ngga biasanya kamu bangun kesiangan kayak gini?" teriak Silvia dari luar.

"Aku udah bangun, Kak," jawab Bunga.

"Yasudah, Kakak tunggu di meja makan sekarang ya. Kita sarapan bareng. Kasian Mas Randi udah nungguin kamu daritadi," ucap Silvia lagi dan kemudian berlalu menuju lantai bawah.

Bunga kemudian melangkah dengan gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya secepat mungkin. Walaupun ada rasa malas tapi ia harus tetap lakukan karena merasa tidak enak dengan abang iparnya yang sudah menunggu lama dirinya.

Sudah menjadi kebiasaan di rumah itu untuk selalu sarapan bersama seluruh keluarga. Penghuni rumah ini juga jarang yang bangun kesiangan, sehingga biasanya mereka melaksanakan sarapan disekitar pukul setengah 7 pagi. 

Untuk hari ini waktu sarapan mereka molor hingga setengah jam hanya karena dirinya. Kembali Bunga merasa bodoh, karena terlalu memikirkan pria yang seharusnya tak pantas untuk ia pikirkan lagi.

Usai mandi dan mengenakan pakaiannya, Bunga bergegas menuju pintu kamarnya. Namun ketika sudah diujung pintu, ia berhenti sejenak untuk mencari tas yang semalam ia buang begitu saja. Tas itu ternyata teronggok tak jauh dari ranjang tidurnya. 

Ia melangkah kembali ke dalam kamar menuju tas miliknya. Bunga mengambil ponsel miliknya yang semenjak tadi malam tidak ada dia sentuh. Ia bisa lihat ada 3 nama yang dari tadi malam menghubunginya. Ada nomor ibu dan ayahnya, dan juga pria itu. Dan tentu saja nama pria itu yang teratas, karena ada 112 panggilan tak terjawab dan 56 pesan darinya yang belum Bunga buka.

Bunga tak ambil pusing. Ia mencari pengisi daya ponselnya. Karena ponselnya bergetar hampir semalaman membuat dayanya sudah hampir habis. Setelah ia mengisi daya ponsel miliknya, barulah Bunga keluar dari kamarnya menuju ruang makan.

Selama makan hanya suara sendok yang saling beradu yang memenuhi meja makan itu. Padahal biasanya setiap sarapan selalu saja ada bahan perbincangan untuk mereka. Apalagi Bunga yang baru saja pulang dari Singapura, dan jarang bertemu dengan kakaknya itu karena memang semenjak menikah Silvia tinggal di rumah suaminya.

"Jadi kapan kira-kira kamu akan bekerja di rumah sakit milik Tante Ratih, Dek?" tanya Silvia. Ia sudah merasa gemas karena semenjak tadi tidak ada satupun dari mereka yang bersuara.

"Sepertinya mulai minggu depan Bunga baru mulai bekerjanya, Kak. Sekarang ini Bunga masih mau beristirahat," jawab Bunga sekenanya.

"Ya, lebih baik kamu refreshing dulu sebelum kembali bertemu dengan pasien-pasien nanti," sambung Randi dan Bunga menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Bunga benar-benar memberikan kejutan untuk keluarganya. Awalnya mereka mengetahui bahwa pendidikan spesialis Bunga akan selesai pada bulan depan, namun ternyata Bunga sudah menyelesaikan pendidikannya saat ini. Tak ada satupun yang tahu mengenai hal ini.

Silvia sudah sangat ingin bertanya pada sang adik mengenai perubahan sikap Bunga pagi ini, namun hal itu ia urungkan karena melihat tatapan sang suami yang seakan melarangnya untuk bertanya.

"Bunga sudah selesai makannya, Bunga pamit dulu."

Randi dan Silvia hanya melihat Bunga yang semakin menjauhi meja makan, dan kini tempat yang ia tuju adalah kolam renang yang ada dibelakang rumahnya.

Bunga duduk di tepian kolam sambil menatap jauh. Kilasan-kilasan kejadian tadi malam kembali teringat olehnya.

Sungguh ia tak menyangka pria itu melakukan hal yang sama dengan pria masa lalunya dulu. Menikahi wanita lain padahal mereka baru saja mengakhiri hubungan. Awalnya Bunga menganggap bahwa Malik, mantan kekasihnya itu mengakhiri hubungan mereka karena pria itu sudah terlalu lelah menunggunya, sehingga ingin memberikan sebuah shock therapy untuk Bunga.

Namun siapa sangka, dengan jarak 10 hari setelah Malik mengakhiri hubungan mereka melalui telepon, Malik menikahi perempuan lain. Ya, tadi malam, pesta pernikahan yang dihadiri oleh Bunga ternyata adalah pernikahan Malik dengan seorang wanita, anak dari sahabat ibunya.

Bunga tidak tahu bahwa itu adalah pernikahan Malik dengan wanita lain. Sebelum berangkat, sang ibu, Lita, meminta Bunga menggantikan dirinya untuk menghadiri pesta pernikahan anak sahabatnya karena dirinya saat ini sedang menemani suaminya, Bara, yang sedang meninjau proyek milik perusahaan mereka di Malaysia.

Silvia yang juga diundang karena mertua Malik bekerja sama dengan perusahaan suaminya akhirnya memutusakan untuk berangkat bersama dengan Bunga.

Setibanya di hotel, Bunga dan Silvia berjalan beriringan dan Randi berada di belakang kakak beradik itu. Sejak awal datang Bunga belum ada melihat ke arah pelaminan. Ia sama sekali tidak tertarik karena menurutnya ia memang tidak mengenal kedua pengantin.

Randi yang melihat antrian pelaminan tidak ramai akhirnya memutuskan agar mereka bersalaman terlebih dahulu dengan kedua mempelai sebelum menikmati hidangan yang sudah ada. Disini Bunga masih belum memperhatikan wajah pengantin karena ia menyibukkan dirinya dengan ponsel miliknya, bertukar kabar dengan sahabatnya, sampai akhirnya ketika mereka sudah dekat dengan kedua mempelai.

Ketika Randi menyalami mempelai pria barulah ia sadar bahwa ia ternyata mengenali mempelai pria. Bunga sempat diam beberapa saat sampai akhirnya tatapan mereka berdua beradu. Tak lama karena dengan cepat Bunga sadar dan segera mengendalikan dirinya.

Tak hanya Bunga, tubuh Malik juga membeku melihat wanita yang ia sakiti kini berada di depannya. Bunga melewati Malik begitu saja dan hanya menyalami mempelai wanita.

"Selamat atas pernikahannya," ucap Bunga singkat.

"Terimakasih," jawab sang mempelai wanita dengan senyum yang sejak tadi tidak pernah luntur.

Bunga langsung turun dari pelaminan setelah juga menyalami orangtua mempelai. Ia dengan segera meninggalkan tempat yang membuat dadanya sesak.

"Apa ini alasan sesungguhnya kamu memutuskan aku? Lalu mengapa kamu melamarku dua bulan lalu?"

****

Hai hai I’m back. Jangan lupa jempol dan komentarnya, ya biar author semakin semangat buat nulisnya 🫶🏻🫶🏻🫶🏻❤️

Blokir

"Dek," panggil Silvia yang seketika membuyarkan lamunan panjang Bunga.

Bunga yang terkejut menoleh ke arah Silvia yang ternyata sedang berjalan mendekatinya. Wanita itu kini ikut duduk di tepian kolam renang dan memasukan kakinya ke dalam kolam, seperti yang dilakukan oleh Bunga.

"Kakak dan Mas Randi rencana nanti sore mau pulang ke rumah kami. Kamu ngga apa-apa, kan Kakak tinggal sendiri di rumah?" tanya Silvia pada Bunga. 

"Sendiri gimana? Bibi ngga Kakak anggap apa?" tanya Bunga balik. Dahinya kini melipat mendengar pertanyaan Kakak nya itu.

"Ya bukan gitu, Kakak cuma takut kamu kesepian kalau Kakak tinggalin," ujar Silvia dengan percaya diri. “Dulu juga kamu paling takut kalau tinggal sendirian di rumah. Terus selalu minta ikut sama Kakak,” ucap Silvia dengan nada mengejek, mengingatkan Bunga dengan kisah mereka saat kecil.

"Apaan, itu waktu kecil, beda cerita dong” rajuk Bunga. “Lagian situ kepedean banget ngira aku bakalan kesepian,” ucap Bunga dengan senyum ‘devil’ ala Bunga, bibir sebelah kirinya naik ke atas. 

"Nah gitu dong, balik senyum ‘devilnya’. Ini ngga, kusut terus itu muka dari tadi," ejek Silvia.

"Perasaan dari tadi biasa aja deh,” balas Bunga. Karena memang sedari tadi ia mencoba untuk terlihat seperti biasa saja, tak ada masalah.

"Perasaan kamu tapi tidak dengan orang yang lihat. Kamu kenapa sih, Dek? Pulang dari acara kemarin kamu kelihatan aneh. Udah pulang nggak pamit, terus langsung masuk kamar ngga keluar-keluar. Pagi juga tumben bangun telat. Kenapa? Ada masalah?" tanya Silvia yang sudah tidak tahan. 

"Ngga ada apa-apa kok, Kak," jawab Bunga sambil tersenyum. Sebisa mungkin ia mencoba senyum tanpa terlihat terpaksa. Ia tidak ingin keluarganya mengetahui tentang masalah percintaannya.

"Bener nih?" tanya Silvia lagi meyakinkan. Matanya menyorot tajam ke arah Bunga, mencari kebohongan di wajah adiknya itu.

"Beneran Kakakku." Bunga menjawab sedemikian meyakinkan. Namun tetap saja, Silvia dapat melihat keanehan di wajah adiknya ini.

"Ya sudah kalau memang ngga ada apa-apa. Ini kamu ngga ada rencana keluar hari ini? Kemarin sebelum pergi ke pesta kamu bilang hari ini ada yang mau kamu temui." Walaupun tahu ada keanehan, namun Silvia tidak mau memaksa adiknya saat itu juga untuk bercerita. Mungkin ada waktunya nanti ia akan berbicara dari hati ke hati dengan Bunga, pikirnya.

Bunga menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Silvia.

"Ngga jadi!" Bunga kembali menghadap ke depan.

"Dek..," panggil Silvia lembut. "Kamu kalau lagi ada masalah, jangan sungkan untuk cerita sama Kakak, ya.  Jangan dipendam semuanya sendiri. Kakak akan selalu berdiri disamping kamu," lanjutnya. Berusaha untuk acuh, namun tetap hati Silvia sebagai seorang kakak tidak bisa membuatnya acuh begitu saja.

"Terimakasih, Kak," jawab Bunga sambil tersenyum. Silvia yang melihat senyuman terpaksa dari Bunga hanya diam. Dirinya yakin jika saat ini sang adik dalam keadaan tidak baik. Namun sekali lagi ia tidak bisa memaksa jika Bunga sendiri tidak ingin membicarakannya.

"Oh iya, Dek. Kamu belum ada rencana untuk cari pasangan? Usia kamu udah pantas banget buat berumah tangga. Kakak juga dulu, kan nikah pas seusia kamu ini. Udah matang-matangnya ini, Dek," ucap Silvia mencoba mencari topik pembicaraan.

"Aku ngga ada kepikiran buat nikah sekarang, Kak," jawab Bunga seadanya.

"Lho kok ngga kepikiran? Kamu masih belum move on dari Fadi?" tanya Silvia.

Bunga yang mendengar Silvia menyebutkan nama pria yang dari masa lalunya langsung menatap tajam pada sang kakak.

"Bahkan aku hampir lupa bagaimana rupanya," ketus Bunga.

Silvia mencebikkan bibirnya mendengar jawaban Bunga.

"Apa sekarang kamu sudah memiliki kekasih lagi?" tanya Silvia lagi.

"No!" jawab Bunga cepat dan tegas.

"Lalu apa yang membuat kamu belum mau menikah?" Sebenarnya ini adalah pertanyaan titipan dari kedua orang tua mereka, yang merasa keheranan dengan Bunga yang masih betah sendiri di usia 30 tahunan.

"Entahlah. Belum ada terbayang aja." Bunga menundukkan kepalanya dan tidak sengaja pandangannya langsung tertuju pada cincin yang disematkan Malik di jari manisnya 2 bulan yang lalu, ketika pria itu melamarnya.

Silvia yang melihat arah pandang Bunga juga ikut tertuju pada jemari adiknya itu. 

"Cincin kamu bagus. Kapan kamu belinya? Perasaan baru kali ini Kakak lihat cincin kamu yang itu," ujar Silvia.

Bunga menghela nafas panjang dan mengalihkan pandangannya kembali lurus ke depan.

"Ada kemarin, belinya di Singapura,” jawab Bunga secukupnya.

Silvia memandang intens wajah adiknya, dan ia semakin yakin jika ada sesuatu yang dialami oleh sang adik, tapi ia tidak bisa memaksa Bunga untuk bercerita padanya kini. Ia sangat tahu karakter sang adik yang selalu memilih memendam semua masalahnya sendiri, bahkan mengenai kisah cinta Bunga dengan mantan kekasihnya dahulu, Fadi, Silvia tahu dari sahabatnya Bunga, bukan dari Bunganya sendiri. Padahal dulu Bunga dan Fadi menjalin hubungan selama 3 tahun. Namun Bunga tidak pernah sekalipun menceritakannya pada dirinya ataupun pada kedua orang tuanya.

"Sayang..." panggil Randi. Pria itu berjalan menuju tempat Silvia dan Bunga berada.

"Kita pulang sekarang, ya, Mas mau mampir dulu sebelum ke rumah, ada mau beli sesuatu," ucap Randi.

Silvia mengangguk. "Oke, Mas." Silvia dan Bunga keluar dari kolam renang. Randi membantu Silvia keluar dari dalam kolam renang.

"Dek kami pulang dulu, ya," pamit Silvia.

"Iya hati-hati," jawab Bunga.

"Mama tadi telfon Mas Randi, katanya mereka pulang dengan penerbangan malam ini," ujar Randi.

"Oke, Mas. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya," ucap Bunga sambil mencium tangan kedua pasangan suami istri itu.

Randi dan Silvia mulai meninggalkan rumah orang tuanya sedangkan Bunga kembali duduk di sekitaran kolam renang. Kali ini ia menuju kursi santai yang ada di sana. 

"Mbak Bunga, maaf. Ini hp nya getar terus dari tadi. Bibi tadi lagi beresin kamarnya Mbak Bunga. Bibi takut ini telepon penting, makanya Bibi bawa turun. Baterainya juga sudah full," kata Bi Ami yang tiba-tiba datang sambil membawa ponsel milik Bunga yang ia tinggalkan di kamar tadi. Rupanya ponselnya itu terus bergetar sejak tadi.

"Terima kasih, Bi," ucap Bunga. 

Bi Ami tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan Bunga kembali sendirian di tepi kolam renang. Bunga meletakkan ponsel tersebut ke atas meja yang ada di sebelahnya.

Ponsel miliknya bergetar kembali. Tanpa mengambil ponsel itu, Bunga dapat membaca dengan jelas nama sang penelepon. Ia menggeser tombol merah, tanda menolak panggilan tersebut. Tanpa menunggu lama, Bunga langsung memblokir nomor si pemanggil.

Sungguh ia sudah tidak mau lagi berurusan dengan pria itu. Ia akan menganggap bahwa pria yang bernama Malik itu tidak pernah ia kenal, seumur hidupnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!