Sinta Permatasari menghadap ksebuah cermin setelah 2 jam bersolek
“Ka Hana hari ini aku harus menyaksikan kamu menangis darah karena tunangan kamu aku ambil, dan itu bukan salah aku, itu semua salah kamu kenapa kamu mempunyai tunangan yang lebih kaya dari tunanganku, aku selmanya harus mengalahkanmu” ucap Sinta dalam hati
Kemudian sinta keluar kamar, tampak disana sudah Andri tunangannya,
Riko duduk didampingi kedua orang tuanya
“Kenapa lagi andri datang” gerutu sinta namun kahirnya sinta tersenyum dalam hati.
"Aku benar-benar jadi bintangnya malam ini. Aku diperebutkan dua orang lelaki. Kak Hana pasti cemburu melihatku," ucap Sinta dalam hati.
Pintu dapur terbuka. Hana datang membawa nampan yang berisi beberapa minuman dan cemilan. Dengan terampil, Hana menatanya di meja tamu tanpa ekspresi, seolah tamu-tamu yang ada di depannya tidak berarti.
“Ini dia kakaku,,dia cantik cerdas dan aku tidak suka sama dia, dia selalu menang banyak hal dariku tapi sekarang aku akan mengalahkanmu, bersiaplah kamu akan menangis darah sebentar lagi” ucap sinta dalam hati
"Coba saja kamu mmau akusentuh sebelum kita menikah, Hana… mungkin kejadiannya tidak seperti ini," gumam Riko dalam hati.
Hana akan berbalik meninggalkan ruang tamu, namun Sinta tiba-tiba berkata,
“Kak Hana, tolong duduk bersama kami. Jangan sampai orang mengira kakak adalah pembantu di rumah ini. Kakak bagian dari keluarga ini,” ucap Sinta seolah bijaksana, padahal ingin menegaskan bahwa Hana memang lebih cocok menjadi pembantu daripada bagian dari keluarga Handoko.
“Ya, duduklah, Hana,” ucap Handoko dengan lembut.
“Kak Hana, kamu harus menyaksikan kalau aku lebih cantik dari kamu. Buktinya, aku diperebutkan dua orang lelaki, sementara kamu dicampakan oleh Riko,” gumam Sinta dalam hati.
Hana duduk sendirian dekat Andri, jaraknya agak berjauhan.
Heri nampak menghela napas berat, seolah apa yang akan ia sampaikan adalah sesuatu yang sangat serius.
“Pak Handoko, sebelumnya saya minta maaf, tapi ini harus saya ucapkan. Perkara rumah tangga bukan perkara main-main, harus dipertimbangkan dengan matang. Mohon maaf, Pak… rupanya Riko masih bimbang dengan perasaannya. Walaupun Riko dan Hana sudah lama saling mengenal, dan kami juga mengenal baik siapa Hana—Hana anak yang baik, cerdas, pintar, dan rajin—sayangnya, perasaan Riko rupanya masih belum tetap sama terhadap Hana.”
pak heri menghela napas berat, seolah apa yang akan ia ucapkan selanjutnya sangat berat.
“Jadi, Riko ini ingin membatalkan pernikahan dengan Hana,” ucap pak heri
Ia menatap sekilas Hana, seolah ingin memastikan apakah Hana baik-baik saja dengan keputusan ini. Heri menyukai Hana, tetapi ia bukan tipe orang tua yang mengatur keinginan anak.
Satu bulan yang lalu, ia melamar Hana untuk Riko. Namun, tiba-tiba kemarin Riko meminta dirinya melamar Sinta, adik Hana.
“Kenapa tidak ada raut kesedihan sedikitpun dari Hana, ya?” gumamnya dalam hati setelah melihat ekspresi Hana yang biasa saja—tidak tersenyum, tidak kaget—seolah kabar pembatalan pernikahan yang tinggal tiga minggu itu bukan berita berat bagi Hana.
“Hana, Bapak mohon maaf. Bapak tidak bisa memaksa keputusan Riko, Hana,” ucap Heri memastikan perasaan Hana.
“Tidak masalah, Pak,” jawab Hana singkat.
“Sial, kenapa dia tidak terlihat kecewa?” gumam Riko dalam hati.
“Sial… kenapa tidak terlihat sedih? Harusnya dia merasa tertekan, dong. Apa dia nggak malu undangan sudah tersebar tapi tidak jadi menikah? Ah, pasti dia sok kuat,” ucap Sinta dalam hati.
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Percayalah sama Ibu… Ibu berharap tadinya kamu… nak,” ucap Mila dengan tulus.
“Tidak masalah, Bu. Aku baik-baik saja,” jawab Hana singkat.
Handoko tersentak mendengar kabar ini, tadi pagi sinta meminta dirinya untuk membatalkan pernikahan dengan andri, dan sekarang keluarga riko yang awalnya meminang hana datang untuk membatalkan pernikahan hana dengan riko. Dua kabar yang membuat dia bingung,
“kami kecewa, Pak, dengan kabar seperti ini. Bagaimanapun, kami sudah mengeluarkan banyak uang untuk mempersiapkan pernikahan ini. Persiapannya sudah 50%, tapi tiba-tiba saja dibatalkan. Bagaimana kami harus menanggung malu, Pak?” ucap Handoko dengan wajah kesal
“Inilah hal kedua yang akan kami sampaikan, Pak,” ucap Heri. Ia menghela napas berat.
“Kita juga sudah menyebar undangan, dan Riko juga sudah mengeluarkan uang untuk mempersiapkan pernikahan. Maka, untuk itu, kami tetap akan melaksanakan pernikahan, hanya saja dengan pengantin wanita yang berbeda.”
Heri menatap wajah Hana, karena ucapan selanjutnya pasti akan menyakitinya.
“Riko rupanya mempunyai hati pada Sinta. Maka, dengan ini, kami mau meminang Sinta, mala mini,” ucap Heri.
Handoko dan Mirna kaget mendengar kabar ini tapi bagi mirna ini adalah kabar baik karena anak kesayangannya diperebutkan oleh dua orang lelaki..dan sebenarnya mirna lebih condong Sinta menikah dengan Riko
“hahah bagus pak,,hana pasti menangis darah,,kalau dibatalin pernikahan kurang menyakitkan pasati dengan riko memilih aku akan membuat dia sakit hati” ucap sinta dalam hati
Dia melihat ekspresi hana “siallll kenapa dia tidak menangis” gerutu sinta dalam hati
“Tidak!” teriak Andri memecahkan keheningan dia tidak permintaan orang tua riko
“Diam, kamu!” teriak Riko pada Andri.
“Kamu yang diam! Aku yang pertama melamar Sinta. Kenapa kamu sekarang melamar Sinta?” ucap Andri.
“Pa Han, ini siapa?” tanya Heri.
“Maaf, Pak, ini nak Andri. Dia memang yang duluan melamar Sinta,” jawab Handoko.
“Riko, ternyata Sinta sudah dilamar orang. Kenapa kamu tidak bilang?” ucap Heri.
Tiba-tiba Sinta berkata,
“Andri, maaf sebelumnya. Aku mengecewakan kamu. Aku berusaha mencintai kamu, tapi maaf, perasaan tidak bisa dibohongi. Aku memilih Mas Riko,” ucap Sinta.
“Brak!” Andri menggeram, menghantam meja.
“Kenapa, Sinta… kenapa kamu tega sama aku?” ucap Andri.
“Karena kamu juga tega sama aku, Andri,” jawab Sinta.
“Kenapa, Sinta… sebutkan kesalahanku, Sinta?”
“Kamu… mengaku orang kaya, padahal kamu hanya tukang ojek,” ucap Sinta.
Andri menghembuskan napas berat.
“Oh… itu rupanya alasan kamu… Baiklah, aku mengerti. Awalnya aku mengira ada yang salah dalam diriku, ternyata aku beruntung tidak jadi menikahi kamu,” ucap Andri.
Kemudian Andri bangkit dan pergi dengan langkah besar, meninggalkan rumah Sinta.
Semua orang awalnya memprediksi bahwa Hana yang akan terlihat tertekan dan kecewa, tetapi Hana malah tampak biasa saja, seolah pembatalan pernikahan dengan Riko bukan masalah besar yang menyakiti dirinya, apalagi karena Riko memilih adiknya sendiri.
“Hana, bagaimana dengan kamu?” tanya Handoko, menatap putri sulungnya dengan heran.
“Aku tidak masalah, Pak,” jawab Hana dengan nada biasa.
“Sial… sial… kenapa dia tidak tertekan? Kenapa dia tidak terlihat stres? Harusnya dia terlihat stres, dan kalau bisa, dia sampai ingin bunuh diri mendengar kabar ini,” gumam Sinta dalam hati.
“Hana… kenapa kamu baik-baik saja? Hana, sHanaeharusnya kamu kecewa. Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Hana?” ucap Riko.
Beberapa kali Riko mengajak Hana melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan, tetapi Hana selalu menolaknya. Riko pun kecewa dengan Hana, dan akhirnya mengincar adiknya.
Sinta awalnya tidak peduli dengan Riko, karena pacarnya, Andri, lebih kaya daripada Riko. Namun, setelah Sinta memergoki Andri menjadi tukang ojek online, ia merasa kecewa. Apalagi setelah mengikuti Andri, Sinta mengetahui bahwa Andri tinggal di rumah yang sangat sederhana.
Maka, Sinta pun akhirnya mendekati Andri. Dua orang yang kecewa dengan pasangan masing-masing itu akhirnya bertemu, dan terjadilah perselingkuhan antara Sinta dan Riko. Semua itu memiliki satu tujuan: menghancurkan perasaan Hana.
Tapi sayang, Hana tetap bersikap biasa saja.
Kenapa dia bersikap biasa saja? Tentu saja jawabannya di bab 2
Happy reading guys
Kita kembali pada kejadian beberapa waktu yang lalu.
Hana, wanita berusia 21 tahun, cantik, tinggi 170 cm, berat badan 65 kg, dengan tubuh proporsional, kini bekerja sebagai sales manajer sepeda motor.
Tiba-tiba, sebuah pesan WhatsApp masuk:
“Hana, gue lihat tunangan lu masuk hotel sama cewek.”
Hana hanya menatap pesan itu tanpa menanggapi, menganggapnya berasal dari orang asing. Riko, tunangannya, adalah kekasihnya sejak SMA; kesetiannya tak pernah diragukan, apalagi sekarang mereka sedang membangun usaha bersama berupa warung sembako. Hubungan mereka sehat, dan saat ini fokus mereka lebih pada merencanakan masa depan serta bisnis yang akan dijalankan.
Nomor itu bahkan mengirimkan lokasi.
“Iseng banget, ini orang,” gumam Hana.
“Gue dekat hotel tempat tunangan lu berada,” bunyi pesan berikutnya.
“Tunggu di situ, jangan kemana-mana,” balas Hana, ingin memberi pelajaran pada orang iseng itu.
Dengan mengendarai motor NMAX, Hana mengikuti petunjuk lokasi yang dibagikan, Share Lock di sisinya sebagai teman perjalanan. Akhirnya, mereka sampai di lokasi yang dimaksud. Di depan mereka tampak sebuah hotel sederhana.
Hana mengambil ponselnya dan hendak menelpon orang yang mengirim pesan itu, namun teleponnya tidak aktif.
“Sial, benar-benar gue dikerjain,” gumam Hana.
Kemudian, ponselnya menerima pesan singkat baru:
“Kamar 304, Riko.”
“Orang yang nyebelin kalau lagi bikin prank sampai serius begini,” gumam Hana.
Hana merasa tidak ada kepentingan lagi di situ dan memutuskan akan segera pulang. Tiga minggu lagi dia akan menikah, dan hari-harinya ke depan akan sibuk dengan persiapan.
Namun, saat dia hendak menghidupkan kendaraannya, Hana melihat sebuah mobil yang dikenalnya.
“Inikan mobil Riko,” gumamnya, perasaannya mulai tidak enak.
“Apakah mungkin Riko selingkuh?” pikir Hana sambil menatap ke arah lobi hotel.
Matanya tertuju pada sosok yang dikenalnya… itu memang Riko.
Hana ingin memanggil, tetapi teringat pesan orang misterius tadi, sehingga dia mengurungkan niatnya untuk berteriak.
Hana menaruh helmnya, kemudian melangkah ke arah hotel. Namun, saat sampai di lobi, sosok Riko sudah menghilang. Hana teringat isi pesan sebelumnya: 304.
“Berarti di kamar 304,” pikir Hana.
Dia masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai 3. Saat angka 3 tercantum, pintu lift terbuka. Hana keluar, dan di depannya terlihat sosok Riko mengenakan celana pendek, hendak masuk ke kamar 304.
Saat melihat ke arah lift, ada ojek online perempuan yang mengantarkan paket makanan.
“Atas nama Riko, ya?” tanya Hana.
Ojek online itu melihat ponselnya. “Iya, Mbak.”
Jantung Hana terasa copot. Ternyata benar, yang masuk ke kamar 304 adalah Riko.
“Ok, saya temannya Pak Riko,” ucap Hana.
“Ok, semuanya 65.000, Mbak,” ucap ojol.
Hana mengeluarkan uang Rp100.000.
“Sisanya ambil saja, Mbak,” ucap Hana.
“Oh… terima kasih sekali, Mbak,” jawab ojol.
Hana yang masih memakai jaket salah satu merk motor kemudian mengenakan masker, mengambil kacamata, dan memakai topi. Kemudian, Hana melangkah ke kamar 304.
“Paket,” ucap Hana.
Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan yang muncul adalah seorang perempuan yang masih mengenakan lingerie seksi. Yang membuat Hana hancur adalah perempuan itu adalah Sinta, adiknya sendiri.
“Ini, Mbak, uangnya… cepat sana pergi,” ucap Sinta sambil menyerahkan uang Rp100.000.
Pintu kamar tertutup.
Hana menangis. Saking sakitnya hati, dia menangis hingga tidak mengeluarkan suara. Dengan langkah gemetar, Hana pergi meninggalkan kamar 304.
Dunia seakan hancur hari itu juga. Riko, yang dia anggap setia, yang dia harapkan menjadi tumpuan hidupnya, ternyata berselingkuh—dan yang paling menyedihkan, Riko berselingkuh dengan adiknya sendiri.
Hana menyalakan motornya dan meninggalkan hotel. Tak lama kemudian, hujan deras turun dari langit. Seharusnya Hana berhenti dan mencari tempat berteduh, namun ia terus memacu kendaraannya, berkeliling kota.
“Kenapa… kenapa kamu menghianati aku, Riko?” teriak Hana, suaranya tertelan oleh gemuruh hujan.
“Kurang apa aku sama kamu, Riko? Kita pacaran sejak SMA… kamu berjanji akan membahagiakan aku, tapi sekarang kenapa kamu berselingkuh dengan adikku sendiri?” Tangisnya semakin pecah.
“Kenapa, Riko… kenapa…?”
Hana terus menangis, namun tangisannya tertutupi oleh derasnya air hujan. Hubungan Hana dan Riko adalah hubungan yang sehat. Selama pacaran, mereka tidak pernah melakukan hubungan badan yang berlebihan; paling sebatas bergandengan tangan saja. Jika pun mereka bertemu, mereka selalu membicarakan masa depan, seperti membuat usaha dan membangun rumah sendiri.
Mereka bahkan sudah membeli rumah sendiri, meski masih dikredit bersama. Jadi, setelah menikah, mereka akan mandiri dan tinggal terpisah dari orang tua.
Namun, hari ini semuanya berantakan. Riko tega berselingkuh dengan adiknya sendiri.
Sinta, saudaranya, selalu menjadi prioritas sejak kecil. Hana selalu dituntut untuk mengalah pada Sinta. Orang tua mereka lebih memprioritaskan Sinta dengan alasan bahwa sebagai anak bungsu, Sinta seharusnya mendapatkan perhatian lebih, sedangkan anak sulung harus banyak mengalah pada adiknya.
Hingga akhirnya, Hana hanya menempuh pendidikan sampai SMA, sementara Sinta melanjutkan hingga jenjang sarjana. Padahal, orang tua mereka sebenarnya mampu menyekolahkan keduanya sampai jenjang sarjana. Waktu itu, Sinta sempat sakit dan koma selama seminggu. Mirna, ibu Hana, sempat bertanya kepada seorang orang pintar, dan diberitahu bahwa jika Sinta ingin sembuh, Hana harus berhenti kuliah.
Hana tidak terima dengan keputusan itu. Ia marah, namun setelah kemarahannya, ayahnya jatuh sakit dan nyaris meninggal. Melihat ayahnya terbaring parah, dan dengan penolakan ayahnya terhadap keinginannya melanjutkan kuliah, akhirnya Hana memutuskan untuk berhenti kuliah.
Hana adalah anak yang pintar. Meskipun hanya lulusan SMA, dalam waktu dua tahun ia mampu menjadi sales manager, mengalahkan rekan-rekannya yang lulusan sarjana.
Setelah lelah berkeliling kota, menangis bersama derasnya hujan dan angin malam yang menusuk kulit, hana anak mandiri, punya karir yang bagus, punya usaha bersama riko, punya tabungan sendiri, bahkan untuk biaya pernikahan saja dia menggunakan uangnya sendiri, orang tuanya tidak keluar uang sedikitpun untuk persiapan pernikahan hana, karena kalau mintapun tidak akan dikasih dengan alasan “kamu ini anak sulung harus kuat dan mandiri” berbeda dengan sinta bahkan setelah lulus kuliah saja sinta masih tak bekerja dan mengandalkan
Hana memutuskan untuk mencari kosan, ingin hidup mandiri jauh dari adiknya yang merebut tunangannya. Namun, saat teringat wajah ayahnya yang mudah sakit, hatinya menjadi bimbang. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang ke rumah demi kesehatan ayahnya. Meski malam sudah larut, Hana memiliki kunci sendiri, karena orang tuanya tidak pernah menanyakan kapan ia pulang, capek atau tidak. Yang mereka pedulikan hanyalah uang bulanan dari Hana. Hana sudah terbiasa dengan perlakuan itu sejak lama. Ia menelan rasa kecewa dan lelahnya, menahan perasaan sendiri demi menjaga ayahnya tetap sehat.
Itu kilas baliknya guys
Setelah acara lamaran mendadak itu, Hana membersihkan semua ruangan. Selama ada Hana, mereka selalu memanfaatkan tenaganya.
Hana membereskan sisa piring-piring setelah menjamu para tamu tadi.
Saat sedang mencuci piring, Sinta datang ke dapur. Ia belum puas melihat sikap Hana yang masih terlihat tenang. S
eharusnya Hana bersikap putus asa, menangis, tertekan, bahkan bila perlu sampai ingin bunuh diri.
“Ka Hana, aku minta maaf. Ini semua bukan kemauanku, tapi kemauan Riko. Katanya, dia lebih nyaman denganku. Orang tua Riko juga sebelumnya sudah menemuiku. Mereka ingin mempunyai menantu sarjana, karena sekarang Riko sedang kuliah lagi. Selain itu, Riko juga sudah menjadi bos grosir, jadi mereka malu kalau punya menantu yang hanya lulusan SMA,” ucap Sinta, memprovokasi perasaan hana
“Yah, ambillah. Sampah memang cocok dengan tong sampah,” ucap Hana dengan nada dingin.
“Apa maksud Kakak?” tanya Sinta dengan nada kesal.
Hana membersihkan tangannya dari busa sabun, lalu membalikkan badan.
“Ka—apa maksud Kakak?” kembali Sinta bertanya.
“Kurang jelas?” ucap Hana. “Baiklah, aku akan perjelas. Ambillah Riko, karena memang sampah cocoknya bersama tong sampah.”
“Ka, jangan menghina aku, Ka. Aku tidak salah. Riko yang memaksa aku, Ka. Dia tidak nyaman sama kamu, karena katanya kamu egois dan keras kepala. Yang lebih penting, kamu itu tidak direstui oleh orang tua Riko,” ucap Sinta sambil menatap tajam.
“Ya, aku memang keras kepala, karena aku punya prinsip. Aku hanya akan menyerahkan kesucianku pada lelaki yang sah menjadi suamiku. Aku tidak akan menyerahkan tubuhku hanya karena cinta sesaat, karena aku bukan perempuan murahan,” ucap Hana dengan nada sinis, namun tetap tenang.
“Jadi, kamu mengataiku murahan, ya?” Sinta mulai terpancing emosi.
“Aku hanya berkata, wanita yang menyerahkan kesuciannya pada lelaki yang belum resmi menikah itu wanita murahan. Aku tidak menuduh kamu,” jawab Hana dengan dingin.
Plak! Sinta menampar dirinya sendiri dengan keras.
Lalu, ia mengubah ekspresinya menjadi seperti orang yang tertindas.
“Ibu... Bapak...” teriak Sinta.
Handoko dan Mirna keluar dari kamar. Rambut Mirna masih acak-acakan, sedangkan Handoko masih mengenakan sarung.
“Ada apa ini?” tanya Handoko dengan nada geram.
“Ibu, Kak Hana menamparku. Dia tidak terima Riko lebih memilih aku,” adu Sinta.
Plak! Tanpa ragu, Mirna menampar Hana.
Hana memegang pipinya yang terasa panas dan nyeri.
“Kenapa kamu menampar anakku, ha?” tanya Mirna sambil menatap tajam.
“Jelaskan!” teriak Mirna.
“Kenapa Ibu selalu menuntut aku memberi penjelasan tanpa tahu kebenarannya?” jawab Hana.
“Kurang ajar kamu!” Mirna hendak menampar Hana, namun tangannya ditahan oleh Hana.
“Mulai hari ini, aku tidak akan mengizinkan Ibu menamparku lagi, apalagi kesalahanku saja belum jelas,” ucap Hana dengan nada dingin.
Mirna menatap Hana dengan tajam. Hana pun membalas tatapan ibunya, tak kalah tajam
“Lepaskan, Hana!” ucap Handoko memberi perintah agar Hana melepaskan tangan Mirna.
Hana pun melepaskan tangan ibunya. Mirna mundur. Malam ini, Mirna merasa Hana berbeda. Dulu, meskipun keras kepala, Hana tidak pernah melawan jika dipukul. Namun, malam ini Hana berani menahan tangan ibunya, bahkan menatapnya dengan tajam.
“Hana, jelaskan. Kenapa kamu menampar Sinta?” tanya Handoko.
“Bapak juga percaya kalau aku menampar Sinta?” tanya Hana sambil menatap tajam pada ayahnya.
“Ya, siapa lagi kalau bukan kamu? Di dapur dari tadi hanya ada kamu dan Sinta.”
Plak! Hana menampar Sinta.
“Hanaa! Kenapa kamu menampar Sinta!” teriak Mirna.
“Kenapa kamu, Hana?” Handoko ikut marah.
“Ya, kalian kan menuduh aku menampar Sinta. Sekarang tuduhan kalian terbuktikan,” ucap Hana.
“Kurang ajar kamu!” teriak Mirna sambil mengangkat tangannya, hendak kembali menampar.
Namun, Hana menatap ibunya dengan tajam. Mirna terdiam—baru kali ini ia melihat tatapan Hana seperti itu.
“Sinta, ada apa dengan kamu? Jelaskan, Hana!”
“Kenapa aku yang terus harus menjelaskan?” balas Hana.
“Kenapa Sinta tidak pernah diminta menjelaskan? Sinta selingkuh dengan Riko, tapi kalian tidak pernah meminta penjelasan darinya. Sinta tidur di hotel bersama Riko, kenapa kalian tidak pernah meminta penjelasan?” ucap Hana dengan suara bergetar menahan emosi.
“Kakak bohong! Kenapa memfitnahku seperti ini? Kakak kejam... aku tidak terima!” Sinta menangis tersedu-sedu.
“Kurang ajar kamu, Hana! Sinta anak baik-baik, tidak mungkin melakukan itu!” Mirna tidak terima dan membela Sinta.
“Ya, kamu jangan menuduh sembarangan, Sinta. Menuduh wanita baik-baik berzina itu dosa besar...” Handoko juga tidak terima dengan tuduhan Hana.
Hana mengeluarkan beberapa foto dari sakunya.
“Ini... buktinya...” ucapnya sambil melemparkan foto-foto itu ke udara. Satu per satu lembaran jatuh ke lantai.
Tampak beberapa foto tak pantas antara Sinta dan Riko.
“Ini editan... ini editan! Aku difitnah!” Sinta panik, suaranya bergetar.
Lalu Hana mengambil ponselnya dan memutar sebuah video—adegan Sinta dan Riko di hotel.
“Dan aku masih punya banyak bukti lagi,” ucap Hana.
Suasana mendadak hening. Handoko merasa terpukul melihat foto dan video itu. Sinta adalah anak kesayangannya, anak yang selalu ia banggakan. Namun, bukti-bukti itu seakan meruntuhkan segalanya.
“Aa... aku dijebak... Ayah, aku dijebak...” ucap Sinta dengan suara gemetar.
“Hahaha... dijebak? Siapa yang menjebak kamu, ha?” tanya Hana.
“Kaaa... kamu! Kamu pasti yang menjebakku! Pantas saja tiba-tiba kamu menghubungiku dan menyuruhku ke hotel itu. Ternyata Kakak yang menjebakku! Kak... kenapa Kakak menghancurkan aku? Kak... kamu tega, Kak...” ucap Sinta sambil menangis.
“Kurang ajar kamu! Berani-beraninya kamu menghancurkan anakku, ha? Kejam kamu!” ucap Mirna dengan penuh amarah.
“Kalau aku mau menjebak Sinta, aku tidak akan menyuruh Riko. Riko itu pacarku... Riko itu tunanganku... Sebentar lagi aku dan Riko akan menikah. Aku bukan orang gila yang menyuruh tunanganku tidur dengan wanita lain...” Hana memberikan argumentasi yang sulit dibalas.
“Sinta... jelaskan, Sinta. Kenapa kamu melakukan hal tercela dengan Riko? Sinta, kenapa? Ayah kecewa sama kamu, Sinta...” ucap Handoko dengan wajah penuh kekecewaan.
“jangan memarahi anakku” bela mirna tak terima sinta dimarahi
Kemudian mirna membawa sinta ke kamarnya,,tatapannya tajam pada hana seolah akan membunuh sinta saat iitu juga
Handoko menghela nafas panjang tubuhnya lunglai dia selalu mengajarkan kepada anak-anakkya untuk menjaga kehormatan tapi hari ini fakta tak bisa dibantah sinta sudah tidur dengan riko
Handoko pergi keteras rumah dia merasa terpukul
Suasana menjadi tegang. Setiap kali melihat ayahnya terpukul, Hana selalu merasa bersalah. Ia membuatkan kopi untuk Handoko, lalu melangkah ke teras rumah. Tampak Handoko sedang merenung seorang diri.
“Yah... maafkan Hana, Yah,” ucap Hana pelan.
Handoko menoleh, menatap putri sulungnya, lalu berkata,
“Hana, berjanjilah pada Ayah... jangan tinggalkan Ayah.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, namun terasa sulit bagi Hana untuk melaksanakannya. Ingin rasanya ia membawa ayahnya pergi, tinggal bersama dirinya, jauh dari semua luka ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!