Aroma antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan isak yang tertahan. Lampu-lampu putih di ruang rumah sakit berpendar dingin, seakan tak peduli pada air mata yang jatuh di lantai.
Arsyi berdiri kaku di samping ranjang kecil. Tubuh mungil yang selama ini menjadi alasan ia bertahan kini terbaring diam, wajahnya pucat, bibirnya kebiruan. Selimut tipis menutupi dada kecil itu, tapi dingin sudah lebih dulu merebut hangatnya.
“Bu, kami sudah berusaha.” Suara dokter lirih, penuh formalitas yang berulang kali ia dengar di film dan berita, kini menancap langsung ke telinga. “Jantung anak Ibu berhenti, kami tak bisa mengembalikannya.”
Kata-kata itu merobeekk dada lebih tajam daripada pisau. Dunia seakan berhenti berputar, suara sekeliling menghilang... hanya desingan hampa yang menggema.
Arsyi menatap wajah kecil itu, anaknya. Buah hatinya, segalanya.
Senyum anaknya yang dulu hangat, rengekannya yang mengisi malam semuanya lenyap dalam sekejap.
“Tidak… tidak, Nak, bangun… ini Ibu…” Suara Arsyi pecah, tubuhnya bergetar saat ia mengguncang lembut bahu mungil itu. “Kau tidak boleh pergi, dengar? Kau akan tumbuh besar... akan sekolah, akan panggil Ibu dengan suara lantang…”
Perawat mencoba menarik tubuhnya, tapi Arsyi menepis. Air matanya jatuh deras, membasahi wajah dingin anaknya.
Dan di saat itu, suara paling ia benci menyusup tajam ke telinganya.
“Sudah kubilang! Ini semua salahmu, Arsyi!”
Ia menoleh.
Di ambang pintu, berdiri Fajar. Lelaki yang dulu ia panggil suami dengan harap, kini hanya bayangan kelam. Tatapannya penuh benci, rahangnya mengeras.
“Kalau saja kau jaga kandunganmu, kalau saja kau lebih berhati-hati merawatnya… anak kita tidak akan mati begini!” Fajar menuding tepat ke wajahnya.
Arsyi terpaku, kata-kata itu menampar lebih keras daripada tangan.
“Mas…” suaranya serak. “Aku... sudah lakukan segalanya. Aku menjaga anakku siang malam, aku__”
“Omong kosong!” bentak Fajar, membuat perawat menunduk tak berani menengahi. “Kau memang perempuan tak berguna! Bahkan jadi ibu pun kau gagal! Kematian ini tanggung jawabmu!”
Arsyi mematung. Tangannya masih menggenggam tubuh kecil anaknya, tapi hatinya hancur berkeping-keping.
Perempuan tak berguna.
Kata-kata itu menggema, menyalakan bara dalam dadanya.
Tak lama, suara lain menyusul. Nyonya Ratna, ibu mertuanya datang dengan wajah pura-pura berduka padahal bibirnya tersenyum tipis.
“Ibu sudah bilang sejak awal, Fajar. Perempuan ini tidak pantas melahirkan anakmu. Lihat hasilnya... anak ini pun membawa sial!”
Arsyi menoleh pada wanita paruh baya itu, menatapnya tajam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tidak lagi sekadar menunduk.
“Jangan katakan anakku pembawa sial!"
Nyonya Ratna mendengus. “Anakmu mati di usia sekecil ini, itu tanda buruk! Leluhur kami tidak salah menolakmu dulu.”
Arsyi bangkit. Air matanya masih mengalir, namun sorot matanya berbeda. Dingin dan menusuk.
“Cukup! Jangan sekali lagi menyebut anakku dengan kata kotor itu! Dia suci! Yang kotor itu… kalian! Mulut kalian sudah terbiasa mengucapkan kata-kata hinaan dan cacian padaku! Tapi, jangan berani menghina anakku!“
Ruangan membeku.
Bahkan Fajar terdiam sesaat, tak menyangka istrinya yang selama ini selalu diam bisa melawan.
Namun hanya sesaat.
“Dasar perempuan kurang ajar!” Fajar melangkah maju, seolah hendak menampar. Tapi Dokter buru-buru menahan, memohon agar suasana diredam.
Arsyi tak peduli.
Ia menunduk kembali pada anaknya, mengecup kening dingin itu untuk terakhir kali.
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak sanggup melindungimu. Tapi percayalah... ini bukan akhir Ibu. Kehilanganmu akan menjadi awal kekuatan Ibu.”
Malam itu setelah jenazah dimandikan dan dibungkus kafan putih, Arsyi mengikuti prosesi dengan kaki lemas. Setiap langkahnya seperti berjalan di atas duri. Isak tetangga dan kerabat bercampur dengan bisik-bisik hinaan keluarga suami.
“Percuma menikah kan... kalau jadinya begini?” ucap salah satu kerabat Fajar.
“Sudah kubilang, Fajar terlalu tinggi untuk perempuan seperti itu,” timpal yang lainnya.
Arsyi mendengar semuanya, tapi ia hanya diam. Air matanya habis, yang tersisa hanyalah api yang mulai menyala.
Saat tanah menutup jasad kecil itu, ia berbisik dalam hati.
Aku tidak akan selamanya diam! Hari ini aku kehilangan segalanya, tapi suatu hari aku akan berdiri. Aku akan bangkit... meski harus melawan dunia!
Sepulang dari pemakaman, Arsyi masuk ke kamar. Semua mainan kecil anaknya masih berserakan. Boneka beruang yang belum sempat dipeluk lagi, selimut bergambar awan.
Ia duduk di lantai, memeluk boneka itu erat. Tubuhnya berguncang hebat karena isak tangis yang menyayaatt hati, bukan hanya karena tangis kesedihan namun juga karena tekad yang tumbuh.
Di luar pintu Fajar masih melontarkan sumpah serapah, mengancam akan menikah lagi karena butuh istri yang bisa memberinya keturunan sehat.
Namun kali ini, Arsyi tidak merasa hancur. Tidak seperti biasanya...
Ia berdiri, menatap cermin. Wajahnya sembab, tapi sorot matanya tajam.
“Cukup! Aku bukan budak hinaan! Aku bukan perempuan lemah lagi! Aku Arsyi… dan aku akan meninggalkan rumah ini.”
Kata-kata itu terucap pelan, namun bergema dalam dirinya.
Hari itu, di atas puing hidupnya... lahirlah kekuatan baru. Kekuatan seorang wanita yang dipaksa kehilangan, namun justru menemukan dirinya sendiri.
Malam merambat dingin. Angin menelusup dari celah jendela, membuat tirai bergoyang pelan. Kamar itu masih dipenuhi jejak selimut kecil dengan pola awan dan boneka beruang yang kini seolah kehilangan makna.
Arsyi duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar lemah. Seharian tubuhnya bergerak seperti bayangan mengikuti prosesi pemakaman, menerima ucapan belasungkawa yang lebih banyak berupa bisikan hinaan. Dan kini ketika semua orang lelah dan tidur, dirinya justru terjaga. Matanya menatap kosong di ruangan gelap.
Di luar kamar, suara Fajar terdengar jelas. Lelaki itu tertawa rendah sambil menelpon seseorang.
“Aku serius, perempuan ini sudah tak berguna. Besok aku akan urus semua! Aku butuh istri baru yang sehat, yang bisa kasih aku anak. Bukan pembawa sial! Tapi aku nggak akan ceraikan dia, kata Ibu... lumayan buat jadiin dia babu di rumah kami.” Fajar terkekeh menyepelekan.
Arsyi memejamkan mata. Tidak ada air mata lagi, tubuhnya sudah kehabisan tenaga. Yang tersisa... hanyalah luka yang perlahan mengeras menjadi dinding tebal.
Tangannya bergerak meraih boneka kecil. Ia menekannya ke dada, membiarkan hening menyusup di antara detak jantungnya yang masih kacau.
Lalu, sebuah bisikan muncul dalam dirinya.
Keluarlah dari neraka ini!
Ya... kata itu sederhana, tapi menyalakan api.
Ia tidak bisa lagi tinggal di rumah ini, rumah yang seharusnya memberi perlindungan justru menjadi penjara yang menggerogoti harga dirinya.
Menjelang subuh, Arsyi bangkit. Tubuhnya lelah, tapi matanya menyala dengan keteguhan baru. Ia membuka lemari, mengambil beberapa helai pakaian, memasukkannya ke dalam tas kecil.
Ia tidak punya banyak pakaian, hanya baju sederhana, beberapa jilbab lusuh dan buku catatan berisi doa-doa yang pernah ia tulis saat hamil dulu.
Saat hendak menutup tas, ia tertegun. Di atas meja, ada foto kecil. Dirinya bersama bayi yang kini sudah tiada. Wajahnya saat itu masih penuh harap, meski matanya menyimpan lelah.
Arsyi meraih foto itu, memasukkannya ke dalam tas. “Kau akan selalu bersama Ibu... Nak.“
Ketika matahari baru merekah, rumah itu mulai ramai. Nyonya Ratna, dengan suara lantang sudah menyusun rencana pernikahan baru untuk Fajar.
“Aku sudah carikan gadis dari keluarga baik-baik. Cantik, sehat... dari keturunan yang jelas! Tidak seperti__”
Arsyi muncul di ruang tamu, membawa tas di tangan. Suaranya tenang, tapi tegas. “Cukup! Tak perlu lagi membicarakan aku. Karena mulai hari ini, aku keluar dari rumah ini.”
Semua kepala menoleh.
Fajar yang sedang duduk terperangah, lalu tertawa sinis. “Kau pikir kau siapa, Arsyi? Pergi saja! Kau bukan siapa-siapa tanpa aku.”
Nyonya Ratna menambahkan, “Perempuan tak tahu diri! Kau kira bisa hidup sendiri? Kau akan kembali kesini dengan menangis... memohon saat dunia menamparmu.”
Arsyi menatap kedua manusia luknuct itu bergantian. Matanya tidak lagi basah, suaranya tidak lagi bergetar. “Mungkin benar, dunia akan menamparku. Tapi aku lebih memilih tamparan dunia… daripada terus diinjak-injak oleh kalian.”
Sunyi sejenak, bahkan udara terasa berhenti.
Arsyi melangkah mantap menuju pintu.
Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada doa restu. Hanya ejekan yang mengiringi.
“Lihat saja! Tak sampai seminggu... kau akan merangkak kembali kesini dan bersujud di kakiku agar menerimamu lagi!” Ejek Fajar.
Arsyi berhenti sejenak di ambang pintu. Ia menoleh, menatap rumah yang selama ini ia sebut tempat tinggal. Kini rumah itu hanyalah tembok kosong, penuh racun. “Jika pun aku kembali kesini, itu hanya karena aku sudah menang! Bukan untuk memohon pada manusia-manusia biadab seperti kalian! Jangan kira aku tidak tau kenapa anakku mati...! Kalian yang bertanggung jawab, akan aku tagih suatu hari nanti!“
Setelah itu, ia melangkah keluar.
Udara pagi menusuk kulitnya. Jalanan masih sepi, hanya suara motor tukang sayur dan ayam berkokok yang terdengar.
Arsyi berjalan tanpa tujuan. Setiap langkahnya berat, tapi ia tahu... ia telah memutus rantai pertama.
Namun kebebasan yang baru saja ia genggam segera menunjukkan wajah kerasnya.
Dompetnya tipis, hanya ada sisa uang belanja mingguan yang ia sembunyikan dari Fajar. Tidak cukup untuk bertahan lama. Ia tidak punya tempat tinggal, tidak punya pekerjaan. Bahkan keluarganya sendiri jauh di kampung dan serba kekurangan, tak mungkin bisa menampungnya.
Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang tidak bisa direbut siapa pun... tekad.
Arsyi menarik napas panjang. “Aku akan bertahan, demi anakku. Demi diriku sendiri...”
Hari itu, langkahnya membawanya ke sebuah terminal kecil. Ia duduk di bangku kayu, menatap orang-orang berlalu-lalang. Seorang ibu muda menggendong bayinya, menyuapinya dengan sabar. Pemandangan itu menyalakan kembali luka di dada Arsyi, tapi sekaligus memberi kekuatan.
Ia teringat anaknya, senyum kecilnya. Kehilangan itu memang tak tergantikan, tapi justru dari situlah kekuatan baru lahir.
Seorang pedagang asongan lewat, menawarkan minuman. Arsyi menolak dengan halus, uang yang tersisa terlalu berharga untuk dihamburkan.
Di saat itulah ia mendengar percakapan dua perempuan di sebelahnya.
“Katanya... keluarga Rendra mencari ibu susu untuk bayinya. Bayi itu butuh perhatian khusus, ibunya tidak bisa merawat.”
“Rendra? Yang pengusaha besar itu?”
“Iya. Tapi orangnya dingin, keras... katanya susah didekati.”
Arsyi menoleh sekilas, hatinya bergetar tanpa alasan jelas. Nama itu, Rendra... akan menjadi kunci masa depannya, meski ia belum tahu.
Untuk sekarang, yang ia tahu hanyalah satu. Ia harus bertahan, dengan cara apa pun.
Dan langkah pertamanya baru saja dimulai
Langkah Arsyi menyusuri jalanan kota terasa berat. Matahari siang mulai membakar, tapi dingin dalam dadanya justru semakin pekat.
Tas kecil yang ia jinjing terasa ringan, seolah mengejek jika hidupnya kini hanya tersisa sehelai pakaian, selembar foto, dan sedikit uang di dompet. Tidak ada rumah untuk pulang, tidak ada keluarga yang menanti.
Terminal yang tadi menjadi tempat duduknya sudah jauh di belakang. Kini ia berjalan tanpa tujuan, menyusuri trotoar yang ramai orang berlalu-lalang. Semua sibuk dengan urusan masing-masing, tak ada yang peduli pada seorang perempuan yang baru saja kehilangan segalanya.
Di setiap langkah, suara ejekan Fajar dan Nyonya Ratna masih bergema.
“Kau tidak akan bisa hidup sendiri!”
Arsyi mengepalkan tangan. “Kita lihat saja nanti...“
Menjelang sore, ia berhenti di sebuah warung kecil. Perutnya kosong sejak pagi, hanya diisi segelas air putih dari keran umum. Ia membuka dompet, menghitung lembar uang yang tersisa... tak sampai seratus ribu.
“Sepiring nasi saja, Bu. Pakai sayur...” suaranya lirih, hampir malu.
Pemilik warung menatapnya sekilas, lalu menyendok nasi dengan sayur sederhana. Arsyi makan perlahan, menahan rasa ingin melahap habis karena ia tahu harus hemat. Setiap suapan terasa seperti keberanian baru.
Namun usai makan, ia kembali dihadapkan pada kenyataan... kemana ia akan pergi?
Hotel atau kos? Mustahil, uangnya tak cukup.
Pulang ke kampung? Tidak! Ia tahu, keluarganya sendiri hanya bisa pasrah dengan kemiskinan. Ia tidak ingin menjadi beban.
Sore itu, langkahnya membawanya ke sebuah taman kota. Ia duduk di bangku besi, menyandarkan kepala membiarkan hiruk-pikuk lalu lintas menjadi musik yang asing.
Anak-anak kecil berlarian, tertawa riang. Suara mereka menusuk jantungnya, mengingatkan pada suara anaknya yang kini hanya tinggal kenangan.
Air mata yang ia tahan sejak pagi akhirnya pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. “Nak… Ibu tidak punya siapa-siapa lagi…”
Tapi di sela tangis itu, ia mendengar suara lain... tangisan bayi.
Arsyi menoleh. Di seberang taman, seorang wanita muda berdiri panik. Bayi dalam gendongannya menangis kencang, wajahnya merah padam. Wanita itu tampak kebingungan, seolah tidak tahu harus berbuat apa.
Naluri seorang ibu segera menyeruak dalam dada Arsyi. Ia berdiri, melangkah mendekat. “Maaf, Mbak… boleh saya bantu?”
Wanita itu menatapnya dengan mata basah. “Dia… tidak mau diam sejak tadi. Susunya habis, saya sudah coba buat lagi yang baru tapi dia menolak.”
Arsyi menatap bayi itu, wajah mungil, mata terpejam rapat dengan tangisan melengking. Ada sesuatu yang menusuk relung hatinya. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangan. “Boleh saya coba gendong?”
Wanita itu ragu sejenak, lalu mengangguk.
Begitu bayi itu berada di pelukan Arsyi, tangisnya sedikit mereda. Arsyi mengussaap pelan punggung mungil itu, berbisik lembut. Persis seperti dulu, dia menenangkan anaknya.
Namun tangisan kembali pecah, bayi itu lapar.
Arsyi menunduk, dada terasa sesak. Ia tahu satu-satunya hal yang bisa menenangkan bayi itu adalah susu. Dan tubuhnya… meski sudah tidak menyusui beberapa hari sejak anaknya tiada, masih menyimpan sedikit.
Ia menatap wanita itu. “Mbak… kalau berkenan… saya bisa menyusuinya sebentar.”
Wanita itu terkejut. “Serius? Anda mau…?”
Arsyi mengangguk, matanya tegas. “Kalau tidak, dia bisa lemas. Saya pernah jadi ibu… saya tahu rasa paniknya.”
Wanita itu menutup mulut, lalu menyerahkan bayi sepenuhnya. Dengan langkah cepat, Arsyi duduk di bangku agak sepi. Ia membuka sedikit kerudung dan dengan penuh hati-hati, menyuussui bayi itu.
Tangis yang tadinya keras perlahan mereda. Hanya tersisa suara isapan kecil, tenang dan damai.
Air mata Arsyi kembali jatuh, bukan karena duka melainkan karena perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Kehangatan itu kembali, kehangatan menjadi seorang ibu.
Wanita muda itu menatap dengan syukur pada Arsyi. “Terima kasih… terima kasih banyak… saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana.”
Arsyi tersenyum samar, meski hatinya bergetar. “Tidak apa, dia kuat. Dia hanya butuh pelukan.”
Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Sinta, seorang baby sitter. “Saya sebenarnya bekerja untuk keluarga besar, bayi ini adalah Tuan muda kecil Aidan. Ibunya tidak bisa merawatnya, dan majikan saya sedang mencari ibu susu. Saya hanya kebetulan membawa Tuan muda kecil Aidan keluar sebentar.”
Nama Aidan membuat Arsyi terdiam, ada sesuatu yang terasa seperti tanda.
Sinta melanjutkan dengan ragu, “Saya tahu ini mendadak, tapi… Anda tadi terlihat sangat sabar. Maukah, saya perkenalkan pada majikan saya? Siapa tahu… Anda bisa jadi ibu susu Tuan kecil Aidan.”
Arsyi terpaku, dunia seolah berhenti sejenak. Semua kebingungan, semua ketakutan tentang hari esok, tiba-tiba menemukan satu cahaya kecil.
Ia menatap bayi itu, yang kini tertidur tenang dalam pelukannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya.
Dalam hati, Arsyi berbisik.
Mungkin inilah jalanku. Mungkin Tuhan menaruhku di sini... untuk alasan tertentu.
Dengan suara lirih, ia menjawab, “Ya. Tolong... perkenalkan saya pada majikannya Mbak.”
Sinta mengangguk lega. “Besok, ikut saya. Majikan saya, Tuan Rendra. Orangnya keras, tapi demi Tuan kecil... saya yakin Tuan Rendra akan mempertimbangkan.”
Arsyi menunduk pada bayi kecil itu, mengecup keningnya. “Aidan… kalau ini jalannya, aku akan menjagamu.”
Saat itu meski ia masih tidak tau akan tidur dimana malam nanti, tidak punya kepastian pasti. Namun, Arsyi merasa langkahnya sudah menemukan arah. Masa depannya tetap pekat, tapi di pelukan bayi mungil itu ia menemukan seberkas cahaya.
.
.
.
Pagi itu, langit masih diselimuti kabut tipis ketika Arsyi berjalan mengikuti Sinta. Langkahnya pelan, seolah setiap derap membawa berat beban yang tak terlihat. Tas kecilnya tersampir di bahu, pakaian sederhana menandai bahwa ia bukan siapa-siapa. Namun di matanya, ada sorot baru. Sorot perempuan yang meski terluka, memilih tetap melangkah.
“Majikan saya orangnya… tidak mudah,” kata Sinta dengan hati-hati, memecah hening di antara mereka. “Tuan Rendra itu keras, dingin dan jarang sekali membuka hati pada orang asing. Tapi… demi Tuan muda kecil, mungkin kali ini ada pengecualian.”
Arsyi hanya mengangguk, hatinya berdebar. Nama Rendra, ia dengar kemarin di terminal. Kini, takdir benar-benar menuntunnya ke pintu yang sama.
Rumah itu muncul di depan mata, sebuah kediaman besar, berpagar tinggi dan berdiri kokoh di tengah kota. Bukan sekadar rumah, melainkan istana modern dengan tembok putih dingin dan jendela kaca tinggi. Bagi Arsyi yang semalam tidur di bangku taman, tempat ini seperti dunia lain.
Sinta menekan bel. Gerbang besi perlahan terbuka, mengeluarkan suara mekanis yang tegas.
Arsyi melangkah masuk. Setiap pijakan kakinya di jalan berbatu halaman itu terdengar jelas, membuat jantungnya berdegup makin kencang.
Di ruang tamu, mereka menunggu. Sunyi, hanya suara detak jam dinding yang terasa menghantam telinga.
Lalu langkah sepatu terdengar.
Seorang lelaki muncul dari balik pintu. Tinggi, tegap, berbalut kemeja hitam sederhana tanpa banyak aksesoris namun justru menegaskan wibawanya. Rahangnya tegas, sorot matanya tajam bagai baja.
Dia lah... Rendra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!