NovelToon NovelToon

Istri Yang Dicampakkan Bangkit Untuk Balas Dendam

01. Petaka di hari ulang tahun pernikahan

Tangan Arunika masih basah oleh sisa air cucian buah ketika ia masuk ke rumah. Malam itu seharusnya menjadi malam yang istimewa, hari ulang tahun ketiga pernikahannya dengan Adrian. Dengan uang hasil berjualan buah sepanjang minggu, ia membeli kue sederhana dan sepasang cincin perak murah. Ia berharap Adrian tersenyum, ia juga berharap ada pelukan hangat, meski hanya sebentar.

Namun langkahnya terhenti di depan pintu kamar. Dari dalam terdengar desahan, bercampur tawa yang terlalu mesra untuk didengar telinga seorang istri.

"Ah, Mas Andrian ...,"

Arunika mematung. Nafasnya tercekat, dia mencoba menepis firasat buruk, tapi jemarinya sudah lebih dulu mendorong daun pintu, dan seketika dunia runtuh.

Suaminya, Adrian berada di ranjang, tubuhnya bertaut dengan seorang wanita. Wanita yang terlalu ia kenal, sahabat yang dulu sering membantunya berjualan, yang pernah ia percaya sebagai saudara sendiri.

“Adrian…” suara Arunika pecah, matanya berkaca-kaca.

Kedua orang itu menoleh panik. Sahabatnya buru-buru menarik selimut, sementara Adrian bangkit dengan wajah kaku.

“Arunika, ini … jangan salah paham ...”

“Jangan salah paham?” Arunika tertawa getir, air matanya jatuh deras. “Aku melihat dengan mataku sendiri, Adrian. Di ranjang kita! Dengan … sahabatku sendiri!”

Suasana mendadak hening membekukan di udara. Adrian mengusap wajahnya kasar, lalu menatap Arunika dengan dingin.

“Sudahlah, Arunika. Aku lelah berpura-pura. Aku tak pernah mencintaimu. Kau pikir aku bangga menikahi pedagang buah jalanan? Ibuku benar, kau hanya beban yang menempel di keluargaku.”

Jantung Arunika serasa diremas. Seluruh pengorbanannya berdiri berjam-jam di bawah terik matahari demi membantu membayar cicilan rumah, menahan hinaan mertua demi status istri semuanya dibalas dengan pengkhianatan.

Air mata mengaburkan pandangannya. “Tiga tahun aku berjuang demi kita … demi perusahaanmu yang hampir runtuh. Aku rela menahan lapar, menahan panas, menahan capek, hanya supaya kau bisa tetap berdiri. Adrian … inikah balasannya?”

Belum sempat ia menuntut jawaban, pintu terbuka keras. Ibu mertua Arunika berdiri dengan wajah angkuh.

“Cukup! Lebih baik kau keluar sekarang juga, Arunika. Kau pikir keluarga kami butuh seorang pedagang jalanan? Kau hanya mempermalukan kami. Adrian sudah memutuskan kau bukan istrinya lagi.”

Adrian menundukkan kepala, lalu mengucap kata yang menghancurkan segalanya.

“Kita cerai, aku sudah mengurus surat cerai, Shila datang dan berikan surat cerai itu padanya,"

Kotak kue di tangan Arunika jatuh berdebam ke lantai, hancur berantakan bersama hatinya.

“Keluar kau dari rumah ini! Perempuan tak tahu diri!”

Suara lantang ibu mertua memekakkan telinga. Arunika terhuyung, tubuhnya didorong kasar hingga hampir jatuh ke lantai marmer yang dingin.

Shila, sahabat yang dulu ia percaya seperti saudara berdiri angkuh di samping Adrian, lengannya erat melingkar di lengan pria itu. Tatapannya penuh kemenangan, seolah ingin berkata, 'aku menang, kau kalah.'

“Jangan pernah kembali lagi, Arunika,” ujar Adrian datar, suaranya dingin tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Arunika menggigit bibirnya kuat-kuat. Hatinya sudah hancur, namun matanya menolak meneteskan air mata di hadapan mereka. Dengan gemetar ia berbalik, menyeret koper usangnya keluar dari rumah yang pernah ia sebut rumah tangga.

"Aku bersumpah, aku akan kembali dan membalaskan semua rasa sakitku! Kalian akan membayar semuanya!" teriak Arunika lantang, namun tak ada jawaban melainkan suara gelak tawa dari ketiganya.

Di luar, gerimis mulai turun, menempel di wajahnya seperti butir-butir luka yang tak kunjung kering. Sepasang tangannya yang kasar akibat berjualan buah dulu, kini menggenggam koper dengan sisa tenaga yang masih ada.

'Semua tabungan, semua hasil jerih payahku … aku serahkan pada Adrian. Demi cinta, demi rumah tangga yang kuanggap segalanya. Dan inikah balasannya?'

Air matanya akhirnya jatuh juga. Tapi di balik isakan itu, Arunika berbisik dalam hati,

“Demi Tuhan, aku akan bangkit. Aku akan membuat kalian semua menyesal telah meremehkanku.”

Langkahnya semakin berat. Hingga di persimpangan jalan, tiga pria bertubuh kekar menghadangnya.

“Hei, cantik … malam-malam sendirian?” salah satunya bersiul, melirik tubuh Arunika dengan tatapan liar.

“Ayo ikut kami, biar nggak kehujanan,” goda yang lain, tangannya mencoba meraih lengan Arunika.

Arunika menepis kasar. “Jangan sentuh aku!”

Namun tawa mereka pecah. Salah satu dari mereka mendorongnya hingga hampir terjatuh. Meski tubuhnya lemah, Arunika melawan, menghantam dada salah satu pria itu dengan koper yang ia seret.

“Kurang ajar!” maki salah satunya. “Kau pikir kau bisa kabur dari kami?”

Tiga lawan satu, tubuh Arunika mulai terpojok, hujan makin deras, dan harapan terasa menipis. Hingga tiba-tiba sebuah cahaya melintas dan terdengar suara klakson yang cukup kuat.

Tit!

Suara klakson mobil memecah malam. Sinar lampu menyilaukan mata para preman. Mereka terhenti, menoleh ke arah deretan lima mobil hitam yang kini berhenti berjejer di sisi jalan.

Pintu mobil paling depan terbuka. Seorang pria berbadan tegap keluar, memegang payung hitam besar. Ia membuka pintu bagian belakang dengan penuh wibawa, dan dari sanalah seseorang muncul. Pria tinggi dengan jas hitam elegan, wajah dingin, dan tatapan yang tajam bagai pisau. Udara seolah ikut menunduk menyambut kehadirannya.

Para preman seketika mundur, ketakutan. Mereka tahu siapa yang baru saja turun, Rafael, Bos mafia yang namanya ditakuti di seluruh kota. Dia pengusaha di seluruh kota itu.

Arunika terpaku, jantungnya serasa berhenti berdetak. Tiga tahun lalu, ia lari dari perjodohan dengan pria ini demi Adrian, pria yang kini menghancurkan hidupnya. Namun malam ini, di tengah hujan, Rafael berdiri tepat di hadapannya. Dengan tatapan dingin, ia melangkah mendekat, payung hitam menaungi tubuh Arunika yang basah kuyup.

“Cukup sudah air mata itu, Arunika,” suaranya dalam, tegas, tak bisa dibantah.

Arunika menggigil, bukan karena hujan, melainkan karena sorot mata itu. Sorot mata yang seakan berkata, 'kau tak sendirian lagi.'

"Rafael," lirihnya pelan di bawah air hujan yang membasahi wajah cantiknya itu.

"Bereskan semua sampah ini hingga tak tersisa," perintah Rafael, lalu dia membawa Arunika masuk ke dalam mobil miliknya.

02. Kediaman Pentronas mafia

Payung hitam itu menaungi kepala Arunika, melindunginya dari hujan yang semakin deras. Nafasnya tercekat ketika Rafael berdiri hanya beberapa langkah darinya. Wajah itu tak banyak berubah sejak tiga tahun lalu, tatapan tajam, rahang tegas, aura dingin yang membuat siapa pun menunduk.

Namun bagi Arunika, yang berubah hanyalah satu hal, dulu dia lari dari pria ini, malam ini dia justru terselamatkan olehnya.

“Masuk.” Suara Rafael berat dan dalam, tak memberi ruang untuk penolakan.

Arunika terpaku, tangannya masih menggenggam koper usang, tubuhnya gemetar antara dingin dan ketakutan. Dia menatap Rafael dengan mata yang masih sembab.

“Kenapa … kau ada di sini?”

Rafael tidak menjawab, dia hanya menoleh sekilas pada ketiga preman yang masih berdiri gemetar, dan di depan mereka beberapa bawahan Rafael sudah bersiap untuk eksekusi mereka semua. Satu lirikan saja cukup membuat mereka mundur terbirit-birit.

Salah satu anak buah Rafael mengambil koper Arunika, sementara pria itu sendiri menyibakkan jasnya, lalu menuntunnya masuk ke dalam mobil hitam berkelas yang pintunya sudah terbuka.

Arunika ingin menolak, ingin berkata kalau ia tak butuh bantuan siapa pun. Tapi tubuhnya terlalu lemah, hatinya terlalu hancur. Dan entah kenapa, tatapan Rafael membuatnya tak mampu menolak.

Deru mesin mobil yang melaju perlahan menelan suara hujan di luar. Dari balik jendela, Arunika melihat bayangan lampu jalan berkelebat bersama derasnya air yang menetes. Tangannya menggenggam erat kain bajunya sendiri, masih menggigil.

Dia duduk di kursi mobil mewah itu, tubuhnya kaku, seolah setiap inci kulitnya menolak kenyamanan yang baru saja ia dapat. Tubuhnya masih basah, rambutnya meneteskan air ke pundak, tapi tatapannya kosong.

Di sampingnya, Rafael duduk tegak. Wajahnya dingin, garis rahangnya tegas, sorot matanya lurus ke depan. Pria itu tidak berkata banyak, tapi kehadirannya memenuhi seluruh ruang sempit itu dengan aura yang berat.

Arunika tidak tahan dengan hening itu. Suaranya pecah ketika akhirnya keluar dari bibirnya.

“Kenapa kau menolongku?”

Rafael menoleh, menatapnya dengan mata gelap yang seakan mampu menembus lapisan jiwanya.

“Karena aku sudah pernah berjanji, Arunika ... tiga tahun lalu.”

Arunika menelan ludah, jantungnya berdegup tak karuan. Kilas balik itu menyeruak, tak bisa dia tolak. Tiga tahun yang lalu, dia masih ingat hari itu. Di ruang tamu mewah keluarga Arummuda, rumah orang tuanya, ia dipertemukan dengan Rafael untuk pertama kali. Semua orang terkejut, seorang mafia dengan reputasi dingin datang hanya untuk menemuinya. Rafael tidak banyak bicara, hanya menatapnya dengan tatapan yang membuatnya tak bisa bernapas.

Ayahnya, memohon agar dia menerima perjodohan itu. Rafael datang dengan niat baik, membawa kehormatan, dan di balik namanya yang gelap, ia menawarkan perlindungan. Tapi Arunika menolak dengan keras kepala, ia memilih Adrian. Pria sederhana yang ia cintai setengah mati. Adrian yang katanya pekerja keras, Adrian yang katanya akan berjuang bersama. Dia ingat bagaimana Rafael hanya diam kala itu, lalu berkata dengan suara berat, “Kalau suatu hari kau terjatuh, ingatlah, Arunika … aku akan ada di sana.”

Dan benar saja. Malam ini, ketika semua orang membuangnya, Rafael benar-benar ada. Tiga tahun itu sudah berlalu, air mata Arunika jatuh lagi, tapi kali ini bukan hanya karena luka. Ada sesuatu yang lain campuran rasa bersalah, haru, dan kebingungan.

“Aku lari darimu … aku memilih pria itu, dan sekarang aku kehilangan segalanya.”

Rafael tak mengalihkan pandangan dari jalan di depan.

“Kau tidak kehilangan segalanya. Kau hanya kehilangan ilusi. Apa yang kau kira cinta, ternyata hanyalah kebohongan yang dibungkus rapi.”

Arunika terisak. “Aku bodoh…”

Rafael menoleh singkat, kali ini ada bayangan emosi dalam tatapannya.

“Tidak, kau hanya mencintai orang yang salah. Dan kebodohan itu sudah terbayar mahal.”

Mobil berhenti di lampu merah. Rafael meraih sapu tangan dari jasnya, lalu tanpa ragu mengulurkannya ke wajah Arunika. Tangannya singkat menyentuh pipi basahnya, membuat jantung Arunika berdebar tak karuan.

“Hapus air matamu, kau bukan lagi perempuan yang boleh terlihat lemah. Kau akan berdiri di sampingku, dan aku tidak mau istriku menangis hanya karena pria rendahan itu.”

Arunika terperanjat.

“Istri?”

Tatapan Rafael menusuk. “Aku tidak menunggu tiga tahun hanya untuk melihatmu hancur. Jika kau setuju, mulai malam ini kau akan jadi milikku. Dan aku bersumpah … aku akan membuat semua orang yang telah merendahkanmu berlutut.”

Kata-kata itu menggema di benak Arunika. Bagian dirinya yang masih hancur berteriak menolak, tapi bagian lain bagian yang terluka, marah, dan ingin membalas dendam yang mulai menyala. Dia menunduk, suaranya lirih namun penuh tekad.

“Aku akan membalas mereka semua, Rafael. Adrian, Shila, bahkan ibu mertuaku, Rohani. Mereka sudah memperlakukan aku seperti binatang. Aku ingin mereka menyesal … aku ingin mereka merasakan apa yang kurasakan.”

Senyum tipis muncul di sudut bibir Rafael. Senyum dingin yang penuh arti.

“Itu jawaban yang kutunggu. Bersiaplah, Arunika. Perangmu baru saja dimulai.”

Mobil kembali melaju, meninggalkan hujan malam dan semua kepedihan di belakang.

03. kembali ke Arummuda

Mobil hitam itu berderet memasuki sebuah gerbang tinggi berukir besi yang menjulang kokoh. Lampu-lampu taman di baliknya berkilau seperti bintang, sementara bangunan megah bergaya Eropa berdiri gagah di tengah pekarangan luas.

Arunika menatap dari balik jendela, matanya membesar. Hatinya berdesir, antara kagum, takut, sekaligus tak percaya.

'Inikah … dunia Rafael?'

Dia dulu terbiasa tidur di rumah kontrakan sempit bersama Adrian, kadang lantainya berair ketika hujan deras. Dia terbiasa menahan dingin dengan selimut tipis, bahkan lebih sering terlelap karena lelah berjualan buah seharian. Dan sekarang, ia diantar menuju sebuah istana. Padahal, dia dulu adalah Nona muda dari keluarga Arummuda.

Mobil berhenti di depan tangga marmer. Begitu pintu terbuka, beberapa pria bersetelan hitam langsung membungkuk memberi hormat pada Rafael. Aura wibawa mereka membuat Arunika kian menciut.

Rafael turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya. Tatapannya tenang tapi tegas.

“Turunlah.”

Arunika ragu sejenak, tapi akhirnya menggenggam tangan itu. Hangat, kuat, dan untuk pertama kalinya dia merasa aman. Langkahnya sedikit bergetar ketika menaiki anak tangga marmer, dan matanya tak henti menatap sekeliling. Lampu kristal bergelantungan, karpet merah terbentang, dan aroma mahal ruangan itu menusuk hidungnya.

Di dalam, seorang wanita paruh baya dengan setelan anggun sudah menunggu. Ia menunduk hormat kepada Rafael.

“Selamat datang, Tuan Muda.”

Kemudian matanya melirik ke arah Arunika dengan raut penasaran.

“Ini Arunika,” ujar Rafael singkat, dingin. “Mulai malam ini, perlakukan dia sebagai Nyonya rumah ini.”

Arunika terhenyak, dia bahkan belum sepenuhnya memahami keputusan Rafael, namun para pelayan langsung menunduk hormat kepadanya. Seolah hanya dengan kata-kata Rafael, statusnya berubah drastis dari pedagang buah jalanan menjadi wanita yang disegani.

Beberapa menit kemudian, Arunika duduk di ruang tamu besar, secangkir teh hangat disajikan di depannya. Tapi ia hanya memandangi uapnya, jemarinya gemetar.

“Aku tidak pantas di sini…” gumamnya lirih, nyaris pada diri sendiri.

Rafael yang duduk di seberangnya mendengar dengan jelas. Dia bersandar, menyilangkan kaki, lalu menatap Arunika tajam.

“Pantas atau tidak, itu bukan keputusanmu, Arunika. Kau di sini karena aku menginginkannya. Dan mulai sekarang, siapa pun yang berani meremehkanmu akan berhadapan denganku.”

Arunika menoleh, menatap matanya. Ada sesuatu di dalam tatapan itu dingin, tapi juga penuh keyakinan. Keyakinan yang bahkan dirinya sendiri sudah kehilangan. Dia menelan ludah, lalu berbisik, “Kenapa aku? Kenapa kau masih menginginkan aku, setelah aku menolakmu dulu?”

Rafael diam lama sebelum menjawab. “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu. Kau bukan sekadar gadis desa atau pedagang buah. Kau punya jiwa yang keras, meski kau tak menyadarinya. Dan aku tahu suatu hari … luka akan membuatmu lebih kuat.”

Kata-kata itu menusuk hati Arunika.

"Satu hal yang harus kau tahu, Arunika ... Kau tetap Nona muda dari keluarga Arummuda,"

Dia menunduk, mengepalkan tangannya erat. Wajah Adrian dan Shila kembali terbayang di kepalanya, begitu juga hinaan ibu mertuanya yang menyakitkan. Amarah yang ia tahan tadi sore kembali berkobar.

“Kalau aku tinggal di sini…” suaranya gemetar, “aku ingin satu hal, Rafael.”

“Bicara.” Rafael mendekat, sorot matanya dalam.

“Aku ingin membalas mereka semua. Adrian, Shila, dan ibunya, Rohani. Aku ingin mereka hancur … seperti mereka menghancurkan aku.”

Senyum tipis Rafael muncul. Dia meraih dagu Arunika, mengangkat wajahnya agar ia menatap langsung ke matanya.

“Itu mudah ... Tapi dengar ini, Arunika ... jika kau benar-benar masuk ke duniaku, tidak ada jalan untuk kembali. Dunia ini keras, penuh darah, penuh dosa. Kau siap?”

Arunika menahan nafas. Hatinya berdegup kencang. Ada rasa takut, tapi lebih besar lagi rasa marah dan sakit hati yang membara.

Ia mengangguk.

“Aku siap.”

Rafael menatapnya lama, lalu melepas dagunya. Ia berdiri, berjalan ke arah jendela yang diterpa hujan.

“Bagus, mulai malam ini, kau bukan lagi wanita yang dicampakkan. Kau adalah istriku. Dan bersama aku, kau akan berdiri di atas reruntuhan mereka.”

Arunika merasakan sesuatu bergetar di dalam dadanya. Untuk pertama kali sejak ia diusir, hatinya menemukan pijakan. Luka yang ia bawa berubah menjadi bara. Malam itu, di kediaman seorang mafia, lahirlah sosok baru dari seorang Arunika.

Keesokan harinya.

Pagi itu, sinar mentari menembus sela tirai tipis kamar megah yang kini ditempati Arunika. Dia terbangun dengan perasaan yang sulit diuraikan, antara mimpi dan kenyataan. Dulu, setiap pagi ia terbangun di kasur tipis kontrakan kecil, dengan bau sayuran busuk dari pasar menempel di udara. Kini, ia terbangun di ranjang empuk, dengan aroma bunga segar di meja kecil di sampingnya.

Pintu kamar diketuk pelan. Seorang pelayan masuk, menunduk hormat.

“Nyonya, Tuan Rafael sudah menunggu di ruang tamu. Beliau ingin mengajak Anda keluar.”

Arunika bergegas bangun. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi ia mencoba merapikannya sebelum mengenakan gaun sederhana yang sudah disiapkan pelayan. Jantungnya berdetak lebih cepat, ia tak tahu Rafael akan membawanya ke mana.

Di ruang tamu, Rafael berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Tatapannya langsung jatuh pada Arunika.

“Siap?”

Arunika mengangguk. “Kita … mau ke mana?”

Rafael tak menjawab, hanya memberi isyarat agar ia mengikutinya keluar.

Beberapa saat berlalu, mobil hitam itu kembali melaju, kali ini menembus jalanan kota yang semakin ramai di pagi hari. Sepanjang perjalanan, Rafael tetap tenang, sementara Arunika terus menatap keluar jendela, menyembunyikan rasa gugupnya.

Baru ketika mobil mulai memasuki kawasan perbukitan yang sejuk, Arunika menyadari jalanan ini tidak asing. Dadanya bergetar.

“Ini … ini jalan menuju Arummuda,” bisiknya pelan.

Rafael menoleh sekilas. “Benar, sudah tiga tahun kau meninggalkan rumah itu. Hari ini saatnya kau kembali.”

Arunika tercekat, dia menggenggam erat ujung gaunnya. Ingatan masa lalu kembali berputar bagaimana ia meninggalkan rumah itu karena menolak perjodohan dengan Rafael, bagaimana ia lebih memilih Adrian, dan bagaimana sejak itu ia tak pernah lagi berani menatap wajah ayahnya.

Terakhir kali ia melihat sang ayah hanyalah di layar televisi, dalam sebuah wawancara bisnis. Tubuh ayahnya tampak lebih ringkih, tapi matanya masih menyimpan wibawa seorang tuan besar.

'Bagaimana kalau Ayah marah? Bagaimana kalau Ayah tidak mau melihatku lagi?'

Mobil itu berhenti di depan gerbang besi tinggi yang perlahan terbuka. Di baliknya, rumah besar berlantai dua menjulang anggun, dengan taman yang tertata rapi. Seorang pria berbadan kekar segera turun dari mobil depan, berlari membuka pintu untuk Rafael dan Arunika.

Begitu Arunika melangkah turun, udara pagi bercampur aroma bunga mawar langsung menyergap. Matanya bergetar menatap bangunan yang begitu akrab sekaligus asing. Rumah yang dulu ia tinggalkan kini terasa jauh lebih besar dan megah.

Di teras, seorang pelayan yang kebetulan lewat menatap ke arahnya. Wajah pelayan itu seketika berubah, antara terkejut dan gembira. Ia segera berlari ke dalam rumah.

“Tuan Besar! Nona Arunika kembali! Nona kembali!”

Suasana rumah yang semula tenang mendadak bergemuruh. Pintu ruang makan terbuka, suara kursi bergeser terdengar, lalu langkah tergesa memenuhi lorong. Dan di ujung tangga, seorang pria paruh baya muncul. Rambutnya memutih sebagian, tubuhnya sedikit membungkuk karena usia, namun tatapannya tetap tajam. Roman Arummuda, seorang pria yang sangat disegani banyak orang.

Begitu melihat sosok Arunika, tubuh Tuan Roman yang semula lemah mendadak tegak. Ia berjalan dengan langkah pasti, seolah seluruh tenaga kembali ke dalam dirinya hanya untuk momen itu.

“Arunika…” suaranya bergetar, namun penuh kuasa.

Arunika menutup mulutnya dengan tangan, matanya basah. Tiga tahun penantian, tiga tahun penyesalan, tiga tahun kerinduan, kini pecah di hadapan ayahnya.

“Ayah,” bisiknya lirih.

Tanpa sadar, ia berlari menaiki tangga teras, sementara Tuan Roman mempercepat langkahnya. Saat keduanya berhadapan, keheningan singkat mengisi udara, sebelum akhirnya Roman meraih putrinya ke dalam pelukan yang kuat.

“Akhirnya … kau pulang juga, Nak,” suara Roman pecah, namun penuh kebahagiaan.

Arunika terisak dalam dekapan ayahnya. “Maafkan aku, Ayah … aku sudah mengecewakanmu … aku meninggalkanmu…”

Roman menggeleng, menepuk punggungnya dengan kasih sayang. “Tidak ada yang perlu kau minta maaf ... Kau tetap putriku. Dan rumah ini akan selalu menunggumu kembali.”

Di belakang mereka, Rafael berdiri dengan kedua tangan di saku. Wajahnya dingin seperti biasa, tapi ada kilatan puas di matanya. Dia tahu detik itu juga, Arunika bukan lagi wanita yang dicampakkan. Ia kini kembali sebagai putri sah keluarga Arummuda, sekaligus istrinya.

Dan tanpa sepengetahuan Arunika, sehari setelah Adrian mengurus akta cerai, Rafael sudah memastikan buku nikah mereka selesai diproses dengan lancar. Baginya, dengan uang dan kuasa, segalanya bisa berjalan sesuai kehendak.

"Kau berhasil, Rafael. Kau membawanya kembali," kata Tuan Roman dengan bangga.

"Tentu, itu adalah janjiku bukan? Sekarang giliran Anda untuk menempati janji Anda," katanya pelan namun terdengar tegas.

"Maksud kalian?" Arunika menatap kedua pria yang penuh kuasa itu berdiri di depannya. Rafael hanya tersenyum smrik terus menatap Roman dan juga Arunika.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!