NovelToon NovelToon

IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

BAB 1. AYAH DAN PUTRINYA

Seattle, Washington, Friday 15:37

Langit Seattle sore itu dipenuhi awan kelabu yang berat, seolah menekan seluruh bangunan kaca dan baja yang berbaris angkuh di pusat kota. Jalan-jalan dipadati kendaraan yang tergesa, klakson bersahut-sahutan, namun bagi Davian Meyers, semua kebisingan itu hanya terdengar jauh di belakang telinganya. Yang ia dengar, yang memenuhi kepalanya, hanyalah gema tangisan seorang bayi yang sampai kepadanya melalui telepon beberapa menit lalu.

Suara itu ... suara tangis yang serak, memecah, terisak-isak tanpa henti adalah suara putrinya. Cassandra Meyers. Bayi mungil berusia dua bulan, yang bahkan belum mampu menatap dunia dengan jelas, namun sudah menjadi pusat gravitasi baru dalam hidupnya.

Sopir pribadinya yang biasanya setia menunggu tak sempat dipanggil sore itu. Davian meninggalkan rapat dewan direksi dengan langkah panjang, wajah para kolega yang memandangnya heran tidak ia pedulikan. Ia hanya meraih jas, mengambil kunci mobil, lalu melesat keluar dari gedung tinggi perusahaan yang namanya berdiri gagah di puncak: Meyers & Co..

Mobil sport hitamnya menderu menembus kemacetan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang penuh aturan, Davian tidak peduli pada lampu lalu lintas yang baru saja berubah merah. Klakson dari arah lain meledak, namun ia hanya menggenggam kemudi lebih keras, matanya terpaku ke depan.

Setiap detik terasa seperti siksaan. Laporan pengasuh di rumah masih berputar di telinganya.

"Sir, Miss. Cassandra menangis tak henti sejak satu jam terakhir. Saya sudah mencoba menidurkannya, mengganti popok, memberinya susu tapi dia menolak semua. Dia hanya semakin keras menangis. Saya khawatir, Sir."

Suara pengasuh itu bergetar, menyimpan panik yang ditularkan begitu cepat ke dalam dada Davian.

Cassandra. Anak yang bahkan tak bisa menenangkan diri kecuali dalam pelukan seorang ibu, tapi sang ibu sudah pergi, meninggalkan keduanya tanpa pesan, tanpa jejak.

Ketika mobil berhenti di depan kediamannya, Davian hampir berlari menuju pintu utama. Rumah besar bergaya kolonial itu biasanya sunyi, terawat sempurna oleh staf yang selalu siaga, tetapi kini seisi bangunan bergema oleh satu suara, tangisan bayi yang panjang dan parau.

Langkah Davian tergesa menapaki marmer dingin. Dari lantai atas, seorang pengasuh muda muncul dengan wajah pucat dan panik, menggendong seorang bayi mungil yang wajahnya memerah karena terlalu lama menangis.

"Sir, saya sudah mencoba segalanya," ucap pengasuh itu hampir putus asa. "Dia tidak mau berhenti."

Davian mengulurkan tangannya, dan begitu tubuh kecil itu berpindah ke dalam lengannya, dunia di sekitarnya seolah berhenti.

Cassandra.

Ia begitu mungil. Berat tubuhnya masih terasa ringan, terlalu ringan bahkan untuk usianya. Wajahnya merah padam, matanya terpejam rapat karena tangisan, bibirnya terbuka, mengeluarkan suara yang melengking menusuk.

Davian menatap Cassandra dengan kebingungan yang nyaris melumpuhkan. Davian yang seorang pebisnis yang terbiasa memimpin ratusan karyawan, mengendalikan proyek bernilai miliaran, menandatangani kontrak dengan tangan mantap, kini berdiri kaku, tak tahu harus berbuat apa di hadapan seorang bayi seberat tiga kilogram.

Namun, perlahan, Davian menggeser tangannya, mencoba meniru apa yang ia lihat di film-film atau sekilas dari pasangan lain di sekitarnya. Ia menggendong Cassandra dekat ke dadanya, membiarkan suara detak jantungnya mungkin terdengar oleh sang bayi.

"Cassie…," suaranya pecah, lirih, seolah berbicara kepada sesuatu yang begitu rapuh hingga ia takut kata-kata bisa melukainya. "Papa di sini ...."

Tangisan itu tidak serta-merta berhenti. Malah semakin keras. Tubuh kecil itu menendang-nendang, tangan mungilnya mengepal, memukul udara kosong.

Davian mengguncang lembut, berusaha mengayun perlahan. Panik menyeruak di dadanya. Ia mencoba menepuk-nepuk punggung bayi kecil itu, menurunkan langkahnya ke kursi, lalu bangkit lagi. Semua gerakan terasa kikuk.

"Apa yang kau mau, hm? Susu? Atau kau hanya ... mencari sesuatu yang tidak bisa kuberikan?" tanyanya lembut, tahu kalau ia tidak akan mendapatkan jawaban dari bayi kecil itu. Kalimat itu berbisik, tapi pedih.

Sosok istrinya, wanita yang dinikahinya lewat sebuah perjodohan keluarga, terlintas di benaknya. Wanita itu cantik, anggun, tetapi tatapannya dingin. Sejak awal ia tidak pernah menginginkan pernikahan itu, apalagi anak yang lahir darinya. Kelahiran Cassandra hanya membuatnya semakin jauh, dan dua minggu setelah persalinan, sang istri pergi. Meninggalkan rumah. Meninggalkan bayi mungil yang bahkan belum bisa mengenali wajah ayahnya.

Kepergiannya menyisakan lubang besar. Lubang yang kini memerangkap Davian bersama tangis putrinya.

Jam bergulir lambat.

Davian berjalan mondar-mandir di kamar bayi, sebuah ruangan indah dengan dinding biru lembut, hiasan awan dan bintang, serta ranjang kayu putih yang kini tak berguna karena penghuninya menolak diam di sana. Ia mencoba menyanyikan sesuatu, suara baritonnya terdengar canggung, nyaris patah di ujung kata.

"Tenanglah, Sweetheart ... tenanglah, Cassie kecil ...."

Air mata bayi itu terus mengalir, membasahi pipinya. Dan setiap tetesnya menusuk hati Davian, membuatnya merasa gagal, tidak berdaya, tak mampu memberi kenyamanan sederhana yang dibutuhkan seorang anak.

Ia mencoba memberi susu. Botol yang hangat ia dekatkan ke bibir mungil itu. Cassandra hanya menggelengkan kepala kecilnya, menangis lebih keras seakan menolak.

Pengasuh berdiri tak jauh, wajahnya khawatir. "Sir, mungkin sebaiknya kita memanggil dokter? Mungkin dia sakit-"

"Tidak," potong Davian cepat, meski ia sendiri tak yakin dengan jawabannya. "Dia tidak sakit. Dia hanya tidak mau bersama siapa pun."

Kalimat itu keluar begitu saja, dan saat ia mengucapkannya, kesadarannya menampar. Cassandra memang selalu seperti ini. Dari hari-hari awal sejak ibunya pergi, bayi itu menolak digendong siapa pun. Menolak tangan pengasuh, menolak pelukan orang lain. Tangisnya hanya mereda, meski tidak sepenuhnya, ketika berada dalam dekap Davian.

Seolah hanya Davian sang seorang ayah yang serba kaku, asing dengan dunia bayi menjadi satu-satunya jangkar untuk Cassandra kecil.

Malam merambat cepat. Lampu-lampu kota menyala di luar jendela, tapi di dalam kamar bayi itu, hanya ada cahaya temaram dari lampu tidur berbentuk bulan sabit.

Davian duduk di kursi goyang, tubuhnya bersandar letih, namun tangannya tetap erat memeluk bayi kecil di dadanya. Tangis Cassandra kini berangsur mereda, meski sesekali masih terdengar isakan kecil yang membuat bahu mungilnya bergetar.

Untuk pertama kalinya sejak sore, ruangan itu terasa lebih tenang.

Davian menunduk menatap wajah putrinya. Wajah kecil yang masih merah, namun perlahan menampilkan ketenangan. Kelopak matanya basah, bulu matanya menempel karena air mata, bibirnya bergerak pelan seakan mencari sesuatu.

Rasa haru yang asing menyergap dada Davian. Ia merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia bayangkan: kebutuhan. Bukan dari dirinya kepada Cassandra, tapi sebaliknya. Seorang bayi mungil, begitu tak berdaya, membutuhkan dirinya. Bukan pengasuh, bukan dokter, bukan siapa pun ... hanya diri Davian.

"Cassie ... aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi ayah," bisiknya, suaranya pecah menahan emosi. "Tapi aku berjanji aku akan belajar. Aku tidak akan pergi. Kau tidak akan pernah sendirian."

Kata-kata itu bukan sekadar janji, tapi tekad yang lahir dari keterdesakan. Karena di saat dunia bisnis bisa ia kendalikan dengan strategi, di hadapan putrinya ini ia hanya bisa bersandar pada cinta, sesuatu yang baru ia kenali, namun terasa paling nyata.

Jam menunjukkan tengah malam. Pengasuh sudah diizinkan beristirahat, meski masih diliputi kecemasan. Rumah besar itu sepi, hanya terdengar suara lembut kursi goyang yang bergerak maju-mundur.

Cassandra akhirnya tertidur di pelukan Davian, wajahnya menempel di dada sang ayah, napasnya teratur meski masih sesekali mengisak.

Davian menatapnya lama, meneliti setiap garis kecil di wajah mungil itu. Hidungnya yang mungil, pipinya yang sedikit cekung karena kurangnya asupan, jari-jarinya yang lentik namun ringkih.

Tubuhnya terasa letih luar biasa, tetapi ia tidak ingin melepaskan.

Dalam hati, ia tahu, malam ini hanyalah permulaan. Permulaan dari perjalanan panjang seorang ayah yang harus belajar segalanya dari awal, tanpa pasangan di sisinya, tanpa dukungan kecuali cinta yang ia pupuk dengan susah payah.

Dan Cassandra, bayi mungil yang menolak dunia namun mencari dekapannya, akan menjadi alasan terbesar ia terus bertahan.

Davian menutup matanya sejenak, merasakan detak jantung putrinya yang lembut. Dalam gelap yang hening, ia berbisik:

"Kau dan aku, Cassie ... hanya kita berdua. Dan itu cukup."

Tangisan kecil yang melelahkan hari itu, kekacauan dan panik, seakan terbayar oleh kehangatan sederhana ini. Sebuah awal dari kisah antara seorang pria yang belajar menjadi ayah, dan seorang bayi yang menolak semua, kecuali kasih sayang darinya.

BAB 2. DEMAM TINGGI

Malam sudah larut. Jam dinding di kamar bayi menunjuk hampir pukul dua pagi, dan kursi goyang di sudut ruangan bergerak pelan karena dorongan tubuh Davian yang tertidur tanpa sadar. Lampu tidur berbentuk bulan sabit masih menyinari ruang dengan cahaya temaram, cukup untuk menyingkirkan gelap, tetapi juga menambahkan kesan hening yang dalam.

Di dadanya, Cassandra kecil tertidur. Wajahnya yang mungil tampak damai, napasnya naik turun, meski sisa isakan tangis masih melekat pada kelopak matanya yang bengkak. Davian memeluknya dalam posisi setengah sadar, tubuhnya yang kelelahan menyerah pada tidur singkat yang begitu rapuh. Ia merapatkan selimut bayi tebal yang menggulung di tubuh Cassandra kecil, tak ingin sampai putrinya itu kedinginan.

Namun kedamaian itu hanya bertahan sebentar.

Davian terbangun tiba-tiba, seolah ditarik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Jantungnya berdetak kencang, dadanya terasa sesak. Ia menunduk untuk melihat putrinya, dan seketika darahnya seperti membeku.

Cassandra tidak lagi terlihat tenang. Tubuh mungilnya terasa lebih panas dari seharusnya. Panas yang menusuk kulit, bukan hangat normal seorang bayi, melainkan suhu yang menyalakan alarm ketakutan dalam benak seorang ayah.

"Cassie?" suara Davian tercekat, hampir tidak keluar. Ia menempelkan telapak tangannya ke dahi putrinya, dan panas itu membuatnya semakin panik. "Tuhan! kau demam!"

Tangannya bergetar. Napasnya tercekat. Semua ketenangan yang ia coba tanamkan sejak sore runtuh seketika.

Cassandra merengek pelan, lalu mulai menangis lagi tapi kali ini tangisan kecil, lemah, jauh berbeda dari tangis keras yang biasa ia keluarkan. Itu justru membuat Davian semakin takut.

Davian berdiri cepat, hampir menjatuhkan dirinya sendiri dari kursi goyang. Dengan langkah besar, ia keluar kamar dan berteriak memanggil.

"Emily?!"

Pengasuh muda itu berlari dari kamarnya, wajahnya masih setengah kantuk namun langsung pucat melihat ekspresi panik di wajah sang majikan.

"Sir?"

"Cassie panas. Sangat panas. Kita harus ke rumah sakit, sekarang." Suara Davian pecah, lebih merupakan perintah sekaligus permohonan.

Emily langsung mendekat, mengulurkan tangan untuk membantu. "Biar saya gendong Miss. Cassandra."

Dengan enggan tapi sadar ia tidak bisa melakukan semuanya sendiri, Davian menyerahkan Cassandra ke pelukan Emily. Tubuh mungil itu tampak semakin rapuh dalam dekapan pengasuh, wajahnya merah, bibirnya kering.

"Cepat. Ikuti aku!" perintah Davian.

Davian berlari menuruni tangga besar rumahnya, langkahnya berat namun tergesa. Di luar, udara malam yang dingin menusuk, tapi ia tidak merasakan apa-apa selain rasa terbakar dari kepanikan.

Ia membuka pintu mobil hitamnya, melempar jas ke kursi belakang, lalu menyalakan mesin dengan tangan yang gemetar. Raungan mesin mobil itu pecah di halaman sunyi, cahaya lampu depan menyalakan jalan setapak.

"Masukkan dia ke kursi belakang, tetap gendong. Jangan lepaskan dia dari pelukanmu," perintah Davian kembali.

Emily mengangguk cepat, matanya penuh ketakutan, lalu masuk ke kursi belakang dengan Cassandra di pelukannya.

Davian menekan pedal gas, mobil meluncur kencang keluar dari gerbang rumah.

Jalanan Washington yang sepi di jam dini hari menjadi medan balap penuh ketegangan. Lampu lalu lintas ia terobos, rambu ia abaikan. Setiap detik terasa berharga, setiap hambatan terasa seperti ancaman.

Ia menoleh sejenak ke kaca spion, melihat Emily yang berusaha menenangkan bayi kecil itu dengan usapan lembut. Cassandra masih menangis, tangisan serak yang nyaris tidak memiliki tenaga.

Hati Davian mencengkeram. Ia ingin berteriak, ingin menukar apa pun agar putrinya sehat kembali.

"Bertahanlah, Cassie. Papa di sini. Kita ke rumah sakit sekarang, ya," gumamnya, suara parau di antara deru mesin.

Tangannya lalu meraih ponsel dari dashboard dengan gerakan cepat. Ia menekan nomor yang sudah tertanam di memorinya: Peter, asisten pribadinya.

Sambungan tersambung hanya dalam dua dering.

"Dav?" Suara Peter terdengar, jelas baru saja terbangun dari tidur.

"Peter, dengar aku baik-baik." Davian berusaha tetap fokus pada jalan, namun nada suaranya meninggi penuh kegentingan. "Cassandra sakit. Demam tinggi. Aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku butuh kau di sana sebelum aku tiba. Urus semua yang diperlukan. Tidak ada antrean. Tidak ada formalitas. Aku ingin dia segera diperiksa begitu kami sampai!"

Di ujung telepon, Peter terdiam sesaat, lalu suaranya berubah tegas, penuh kesiapan. "Oke, rumah sakit mana?"

"St. Mary’s. Sekarang. Kumohon, cepatlah." Suara Davian benar-benar panik saat ini.

"Dimengerti. Saya akan ke sana segera dan menghubungi dokter anak terbaik. Jangan khawatir, Dav. Kau harus tenang," ucap Peter tetap tenang.

"Bagaimana aku bisa tidak khawatir, Peter?! Putriku yang masih bayi demam tinggi!" Davian hampir berteriak, suara paniknya memecah keheningan.

Peter menarik napas, lalu berkata mantap, "Percayakan sisanya padaku. Fokus saja mengemudi. Aku tunggu kau di sana. Dan ingat tetaplah tenang," katanya.

Davian menutup telepon dengan tangan gemetar, lalu kembali mencengkeram kemudi. Matanya panas, bukan hanya karena kantuk, tetapi karena ketakutan yang menyesakkan dada.

Mobil melaju semakin cepat, meninggalkan jalanan kosong yang diselimuti lampu jalan pucat. Angin malam masuk lewat kaca jendela yang sedikit terbuka, tetapi tidak cukup untuk menyingkirkan rasa panas yang membakar kulit Cassandra di belakang sana.

Setiap kali suara rengekan putrinya terdengar, dada Davian serasa diremas. Ia menoleh cepat, dan pemandangan bayi kecil itu yang tergolek lemah membuatnya hampir kehilangan kendali atas kemudi.

"Papa di sini, Cassie. Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai," ucap Davian.

Kata-kata itu ia ulang berkali-kali, lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada bayi yang mungkin tidak mengerti.

Jalan menuju rumah sakit terasa begitu panjang, meski dalam kenyataan hanya butuh belasan menit. Setiap lampu merah ia terobos, setiap kendaraan lain ia klakson hingga memberi jalan.

Akhirnya, bangunan besar St. Mary’s Hospital muncul di ujung jalan, lampunya terang, simbol palang merah di depan pintu darurat tampak menyala seperti harapan di tengah malam yang kelam.

Davian menghentikan mobil dengan rem mendadak di depan pintu darurat. Ia berlari keluar, pintu mobil terbanting keras.

Emily keluar dari kursi belakang, menggendong Cassandra dengan hati-hati, wajahnya panik.

"Cepat! Serahkan padaku," Davian meraih putrinya, kembali mendekap tubuh mungil itu di dadanya. Panas dari kulit Cassandra langsung menyalakan kembali rasa takutnya.

Pintu darurat terbuka, dan di sana Peter sudah menunggu, mengenakan pakaian tebal karena udara yang cukup dingin, wajahnya serius. Di belakangnya, dua perawat mendorong ranjang bayi kecil, bersiap menerima pasien darurat.

"Cepat, Dav,” ucap Peter. "Mereka sudah siap."

Davian menyerahkan Cassandra dengan hati-hati pada perawat, meski hatinya menjerit ingin tetap memeluk. Ia mengikuti langkah mereka yang bergegas masuk ke ruang darurat, tak peduli lagi pada segala aturan.

Koridor rumah sakit yang dingin dipenuhi cahaya putih. Suara roda ranjang berderit, langkah tergesa para perawat berpadu dengan detak jantung Davian yang seperti ingin meledak.

"Dia demam tinggi," ujar salah satu perawat sambil memeriksa suhu. "39,8 derajat. Segera siapkan ruangan dan dokter anak jaga."

Angka itu membuat Davian terhuyung. Hampir empat puluh derajat. Ia menelan ludah, tangannya mengepal, matanya tidak lepas dari tubuh kecil yang dibaringkan di ranjang bayi.

"Cassie, bertahanlah, Baby," ucap Davian seperti doa yang terbang ke langit berharap doa itu terkabul.

Peter menepuk bahu Davian, mencoba menyalurkan ketenangan. "Dia akan baik-baik saja. Dokter terbaik sudah dalam perjalanan."

Namun bagi Davian, kata-kata itu nyaris tak terdengar. Yang ia rasakan hanyalah rasa takut yang menggulung, rasa bersalah yang menusuk, dan cinta besar yang membuatnya tak sanggup membayangkan kehilangan.

Malam itu, di rumah sakit yang dingin, dimulailah pertarungan pertama seorang ayah tunggal untuk menjaga hidup anaknya, sebuah pertarungan yang baru akan dimulai.

BAB 3. WANITA ASING

Udara rumah sakit masih berbau antiseptik, dingin dan menusuk seperti jarum halus yang menembus kulit. Cahaya lampu putih neon membuat setiap sudut tampak steril, tapi bagi Davian, ruangan itu hanyalah arena menunggu yang mencekam. Ia duduk di kursi keras di luar ruang pemeriksaan, tangannya terkepal, kemejanya kusut karena ia tidak memedulikannya sejak malam tadi.

Peter duduk di sebelahnya, selalu setia, meski matanya memerah karena kurang tidur. Tetapi tidak ada tanda keluh kesah darinya. Ia hanya menunduk, sesekali menepuk bahu atasannya sekaligus sepupunya, seakan ingin meminjamkan sedikit kekuatan yang bahkan dirinya pun sulit untuk kumpulkan.

Pintu ruang periksa akhirnya terbuka. Seorang dokter berusia sekitar empat puluh, dengan jas putih dan stetoskop menggantung di leher, melangkah keluar. Ekspresinya serius, tatapan matanya penuh kewaspadaan seperti seseorang yang baru saja mempelajari keadaan rapuh.

"Mr. Meyers?" panggil sang dokter. "Kita bicara di ruangan saya. Ini sedikit serius," sambungnya.

Davian dan Peter berjalan beriringan menuju ke ruangan sang dokter. Berharap kalau mereka tidak mendengar kabar buruk tentang Cassandra kecil.

Begitu di ruangan sang dokter dan mereka duduk, Davian langsung melemparkan pertanyaan yang sejak tadi ia tahan.

"Bagaimana Cassandra? Tolong katakan dia akan baik-baik saja, kan?" Suara Davian nyaris pecah, seperti seorang pria yang kehilangan semua tameng yang biasa ia kenakan di dunia bisnis.

Dokter menghela napas, memberi jeda singkat yang terasa panjang sekali. "Putri Anda mengalami demam akibat kondisi tubuhnya yang lemah. Setelah kami periksa lebih lanjut, ada hal yang cukup mengkhawatirkan, Mr. Meyers. Cassandra mengalami tanda-tanda malnutrisi. Berat badannya jauh di bawah rata-rata untuk usianya, dan pertumbuhannya tertinggal."

Davian terdiam. Kata 'malnutrisi' menghantam Davian seperti palu godam.

Peter bergeser, menatap dokter dengan cemas. "Apa maksud Anda, Dokter?"

Dokter mengangguk pelan. "Anak ini tidak mendapatkan asupan susu yang cukup. Bayi seusia dua bulan seharusnya mendapat nutrisi yang cukup dari susu, baik ASI atau pun formula. Tetapi kami temukan dia sering menolak. Ini menyebabkan berat badannya tidak bertambah sebagaimana mestinya. Ditambah lagi, dia mengalami stres berlebihan."

"Stres?" Davian hampir tidak percaya. "Dia hanya bayi ...."

"Ya, Benar. Tapi bayi pun bisa mengalami stres, terutama ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Menangis yang berkepanjangan, perasaan tidak aman, dan kehilangan figur ibu bisa menjadi pemicu. Tangisan yang tidak pernah terhibur itu adalah tanda dia mencari sesuatu yang tidak dia dapatkan," beber sang dokter.

Davian menunduk, dadanya seperti diremukkan.

Dokter melanjutkan dengan suara hati-hati, "Saya tahu ini mungkin sulit untuk Anda terima, Mr. Meyers. Tetapi Cassandra membutuhkan sosok yang bisa memberinya kenyamanan sekaligus nutrisi. Jalan terbaik adalah mencari seorang ibu susu. Jika tidak, kondisinya akan semakin berbahaya. Semakin lama ia berada dalam keadaan ini, semakin sulit ia bertahan."

Kata-kata itu mengiris Davian lebih dalam dari pada pisau mana pun.

"Ibu susu ...." gumamnya, nyaris seperti orang yang kehilangan arah. Davian menutup wajah dengan tangannya, lalu menarik napas panjang. "Saya sudah mencoba. Saya sudah berusaha. Tapi Cassie menolak semuanya ... dia menolak setiap orang yang pernah saya datangkan."

Suara Davian serak, getir, penuh putus asa.

Peter menunduk, namun tidak bisa menyembunyikan nada tegasnya, "Dav, kita akan terus mencari. Tidak peduli berapa kali ditolak, kita tidak boleh menyerah. Cassandra harus hidup."

Dokter mengangguk setuju. "Saya akan memberikan daftar kontak konselor laktasi dan beberapa kandidat. Tetapi keputusan dan usaha ada di tangan Anda. Jangan tunda lagi, Tuan. Waktu adalah hal yang paling berharga bagi putri Anda saat ini."

Setelah berbicara cukup lama, akhirnya dokter meninggalkan mereka untuk menyiapkan pemeriksaan lanjutan.

Davian berjalan kaku di koridor, seolah tidak tahu harus melangkah ke mana. Matanya kosong menatap lantai putih yang berkilau, pikirannya bercampur aduk antara rasa bersalah, marah, takut, dan putus asa.

"Peter ...." ia akhirnya bersuara, lirih. "Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku tidak bisa menemukan siapa pun yang bisa diterima Cassie?"

Peter menatapnya, lalu berkata mantap, "Kau tidak boleh berpikir begitu. Cassandra memilikimu. Dan selama kau ada, jalan akan selalu terbuka. Jangan biarkan rasa takut mengalahkan harapan."

Davian menghela napas panjang. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi hatinya masih terasa hancur.

Mereka akhirnya berjalan kembali ke ruang perawatan. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, dan di luar, Emily berdiri terpaku. Wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur keraguan.

"Emily?" Davian memanggil. "Ada apa? Kenapa kau berdiri di sini?" tanyanya.

Emily menoleh, matanya lebar, suaranya bergetar. "Sir, Anda ... Anda harus lihat sendiri."

Davian dan Peter saling bertukar pandang, lalu keduanya segera melangkah ke depan pintu.

Apa yang mereka lihat membuat dunia seolah berhenti.

Di dalam ruangan, Cassandra yang biasanya gelisah dan menangis, kini terbaring tenang. Tubuh mungilnya bersandar di pelukan seorang wanita muda yang duduk di pinggir ranjang. Wanita itu berpakaian sederhana, rambutnya terurai acak, jelas bukan seseorang yang datang dengan persiapan rapi. Namun di wajahnya ada kelembutan alami, ada cahaya keibuan yang tidak bisa dipalsukan.

Dan yang lebih mengejutkan; Cassandra sedang menyusu pada wanita itu.

Tenang. Damai. Tidak menangis. Tidak gelisah. Hanya ada tarikan napas pelan dan suara lirih bayi yang akhirnya menemukan sesuatu yang ia cari sejak lama.

Davian membeku di tempatnya. Dadanya bergetar hebat, matanya panas. Inilah yang ia dambakan, inilah yang ia cari mati-matian, dan kini terjadi tepat di depan matanya.

Peter pun terdiam, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sama.

Emily mendekat, menjelaskan dengan cepat. "Setelah dokter pergi, Cassandra kembali menangis. Sangat keras, Sir. Saya ... saya tidak tahu harus apa. Lalu wanita ini muncul. Dia bilang mendengar tangisan dari luar, dan dia meminta izin untuk mencoba menenangkan Cassandra. Saya awalnya ragu, tapi dia terlihat tulus, dan Cassandra sudah terlalu lemah karena menangis. Jadi saya biarkan. Dan lihatlah sekarang."

Davian melangkah maju, suaranya tercekat. "Bagaimana ... bagaimana mungkin ...."

Wanita muda itu menoleh ke arahnya. Matanya lembut namun penuh rasa lelah, seolah hidup tidak memberinya kemewahan tidur yang cukup. Ia menunduk sedikit, seakan meminta maaf karena masuk tanpa izin.

Tapi tak ada kata yang keluar dari wanita itu, hanya menatap Davian dengan tatapan yang tak dapat ditebak.

"Siapa namamu?" tanya Davian.

Butuh waktu beberapa saat untuk wanita itu menjawab, sampai akhirnya ia buka mulut juga, "Olivia ... Morgan."

Davian inginkan bertanya lebih banyak, tentang siapa wanita itu dan bagaimana bisa ke sini. Tapi ia mengurungkan niatnya, saat wanita bernama Olivia itu kembali fokus menyusui Cassandra, bersenandung lembut seraya membelai wajah bayi kecil itu dengan sentuhan seringan sayap ngengat.

Davian tidak bisa berkata-kata. Ia hanya menatap putrinya yang untuk pertama kali terlihat benar-benar damai.

Air matanya jatuh, tanpa Davian bisa menahannya.

Inilah yang ia perjuangkan, inilah yang ia impikan. Dan akhirnya Cassie-nya menemukan yang bayi kecil itu inginkan, bukan dari segala pencariannya yang mahal atau penuh usaha, melainkan dari seorang asing yang sederhana, seorang wanita yang datang dengan hati.

Peter menepuk bahunya pelan, menyadarkan. "Dav, Tuhan sepertinya mengabulkan doamu."

Davian menggenggam erat sandaran ranjang, matanya tak lepas dari putrinya. Dalam hatinya, sebuah doa lahir, doa penuh syukur, penuh harapan, dan penuh cinta yang begitu dalam.

Namun semua yang ia saksikan tentang wanita di hadapannya ini tidak, semua rasa syukur yang Davian panjatkan justru akan menggantung di ambang harapan saat apa yang ia inginkan tidak semudah yang ia harapkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!