Braak!
Suara benturan keras menggema, memecah kesunyian sore itu. Sebuah mobil sedan ringsek parah setelah bertabrakan dengan truk besar, lima belas kilometer dari pusat kota. Pengemudi mobilnya dalam keadaan luka parah, beruntung segera mendapat pertolongan dibawa ke rumah sakit terdekat.
Dan di rumah sederhana, suasana yang semula teduh dan damai, kini berubah menjadi kepanikan.
“Apa?!” teriak Aluna, jantungnya berdebar kencang begitu menerima panggilan telepon. Kabar yang datang menghancurkan dunianya, suaminya, Arman, mengalami kecelakaan—dan telah dinyatakan meninggal dunia.
Pandangan sekeliling menjadi gelap, dunianya runtuh. Satu-satunya tempatnya bersandar di dunia ini kini telah hilang. Sedangkan saat ini dia sedang hamil tujuh bulan, buah cinta yang telah mereka nanti-nantikan.
Dua bulan lagi, dua bulan lagi anaknya bersama Arman akan lahir ke dunia. Tapi mengapa hidup begitu kejam? Mengapa Tuhan justru mengambil Arman dari sisinya? Bagaimana nanti dia akan menjalani hidupnya bersama anak mereka?
“Ya Tuhan… mengapa? Mengapa aku harus mengalami ini?” bisik Aluna, suaranya parau, tercekat oleh tangis.
Bruuk!
Aluna jatuh pingsan. Dia terduduk di lantai dengan tangan yang masih memegang ponsel, layarnya sudah padam. Seperti cahaya untuk hidupnya yang kini gelap gulita.
Lima jam kemudian….
Sirine ambulans meraung-raung, berhenti tepat di depan rumah Aluna dan Arman. Rumah yang biasanya sunyi dan tenang, kini dipenuhi orang—semua siap menyambut kedatangan jenazah Arman. Para tetangga sudah berkumpul juga kedua orang tua Arman ada disana dengan wajah berselimut duka.
“Mas…” lirih Aluna, baru saja siuman dari pingsan untuk ketiga kalinya. Tubuh yang selama ini selalu memberinya kehangatan, kini terbujur kaku dan dingin. Beberapa bekas luka masih mengeluarkan darah, menodai kain kafan yang menutupi tubuhnya.
Hati Aluna hancur berkeping-keping.
Jika biasanya ia selalu menyambut Arman pulang kerja dengan senyum lebar. Dan Arman, lelaki yang selalu membawakan makanan atau buah-buahan sesuai keinginan istrinya yang sedang hamil. Ia yang paling takut Aluna sakit, yang paling khawatir saat Aluna ngidam. Kini, semuanya sirna, hilang secara mendadak.
“Mas… kenapa kamu pergi meninggalkan aku?” tanya Aluna pelan, tangannya mengelus wajah Arman yang pucat. Namun, di tengah kematian, wajah itu tampak bersinar—tersenyum. Senyuman yang selalu Arman berikan untuknya, meski lelah dan sibuk.
Sudah dua tahun mereka menikah. Dan kini, saat anak mereka bahkan belum sempat lahir ke dunia, Arman telah pergi untuk selamanya. Cinta mereka memang tak mudah. Penuh lika-liku dan duri. Sejak awal, hubungan mereka tak direstui, terutama oleh ibu Arman. Aluna hanyalah gadis miskin dari keluarga biasa. Tapi, Arman memperjuangkannya tanpa henti meyakinkan ibunya kalau Aluna lah yang terbaik, hingga akhirnya orang tua Arman luluh, membiarkan Arman menikahi Aluna.
“Luna, kamu istirahat dulu saja,” ujar Ratna, ibu mertuanya, dengan nada datar.
“Aku di sini saja, Ma. Menemani Mas Arman,” jawab Alina lirih.
“Kamu sedang hamil. Jangan memaksakan diri.”
Hubungan Aluna dengan Ratna tidak terlalu buruk, tapi juga tidak pernah benar-benar harmonis. Meski bukan mertua yang kejam, kehadiran Aluna tak pernah benar-benar diterima di hati keluarga Arman. Namun, cinta Arman yang begitu besar selama ini cukup menjadi sandaran Aluna. Kini? Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Arman telah pergi untuk selama-lamanya.
Keesokan harinya, Arman dimakamkan di pemakaman umum desa. Rumah yang dulu dipenuhi tawa dan canda, kini sunyi. Hanya Aluna yang tersisa di sana, seorang diri menantikan kelahiran anak mereka.
Rumah sederhana itu adalah pilihan Arman. Meski keluarganya kaya raya dengan berbagai bisnis, Arman memilih hidup jauh dari kemewahan—hanya untuk Aluna. Ia memisahkan diri dari keluarga demi membina rumah tangga yang sederhana namun penuh cinta. Menjaga agar Aluna tidak mendapat tekanan dari ibunya.
“Kamu tetap tinggal di sini sampai melahirkan,” kata Ratna setelah para pelayat pulang. “Setelah itu, kita pikirkan solusinya, apa yang harus dilakukan.”
“Iya, Ma,” jawab Aluna pelan, matanya merah dan sembab. Semalaman ia tak bisa tidur, terus menangis. Tenaganya seolah habis, hanya rasa hampa yang tersisa.
Ia tahu, mungkin suatu hari nanti ia akan diminta pergi dari rumah ini. Tapi setidaknya, ia bersyukur tidak diusir saat ini juga.
“Kalau mau periksa kehamilan, telepon Adam. Biar dia yang mengantarmu ke rumah sakit,” tambah Ratna.
Adam adalah adik kandung Arman. Sejak kemarin, dialah yang mengurus segala keperluan—dari administrasi hingga menemani Arman menghembuskan napas terakhir. Ia juga orang pertama yang tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar kecelakaan.
Mereka tinggal di sebuah desa, jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai. Selama ini, setiap kali kontrol kehamilan, Aluna selalu ditemani Arman—perjalanan dua jam ke kota kabupaten. Saat kecelakaan terjadi, Arman sedang dalam perjalanan pulang dari kota, usai bertemu mitra bisnis. Niatnya ingin memperluas usaha, tapi takdir berkata lain.
“Baik, Ma,” jawab Aluna patuh.
Ratna menatapnya dengan raut kesal. “Kalau soal kehilangan, aku yang paling sakit dan sedih. Anakku hilang untuk selama-lamanya. Jangan terlalu lemah di depanku, Aluna.”
Kata-kata itu terlontar tajam, lahir dari duka yang mendalam. Ratna tak tahan melihat menantunya yang terlihat begitu rapuh.
Aluna hanya menunduk, tak menjawab. Ia tahu, sebagai ibu, Ratna pasti hancur. Tapi, apakah ia tidak boleh bersedih? Arman adalah suaminya. Selama dua tahun ini, dunianya hanyalah Arman. Kini, semuanya dipaksa hilang secara mendadak. Suaminya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya tanpa pamit.
Suasana rumah masih dipenuhi duka. Beberapa tetangga datang membantu menyiapkan acara yasinan—doa bersama untuk almarhum. Aluna akhirnya memilih menyendiri, masuk ke kamar mereka.
“Mas…” bisiknya, meraih bantal yang biasa digunakan Arman. Masih ada aroma tubuhnya yang tertinggal. Aluna menangis, seolah bisa merasakan kehadiran Arman di sampingnya.
“Mas… bukankah kamu bilang akan menyambut kelahiran anak kita dengan bahagia? Mengapa kamu pergi?”
Di teras rumah, Adam duduk termenung. Matanya terpejam, pikirannya kembali ke lima menit sebelum Arman pergi selamanya.
Saat itu, ia baru tiba di rumah sakit setelah mendapat telepon darurat. Arman terbaring lemah, napasnya tersengal.
“Dam… aku titip Aluna dan anakku nanti ya,” bisik Arman, suaranya parau nyaris tidak terdengar. “Jaga mereka. Jangan sakiti mereka. Aluna tidak punya siapa-siapa. Hanya kamu yang tersisa sebagai keluarganya sekarang…”
Adam hanya mengangguk, mencoba menguatkan sang kakak. “Iya. Kamu bertahan ya.”
“Lailahaillal…”
Ucapan terakhir Arman tak sempat selesai. Napasnya terhenti. Matanya tertutup untuk selamanya.
“Apa maksud Mas Arman?” gumam Adam dalam hati. “Aku harus memperhatikan Aluna? Aneh-aneh saja.”
Tiba-tiba, suara Ratna memecah lamunannya.
“Adam! Cepat bawa Aluna ke rumah sakit! Dia pingsan lagi—ada bercak darah!”
Adam tersentak.
“Aluna?”
“Istri Mas kamu! Dia sedang hamil—itu cucu Mama!” Ratna berteriak sambil menepuk kepala Adam, membangunkannya dari kebingungan.
Pikiran Adam kacau. Ia segera berlari menuju kamar Aluna, kakinya terasa berat namun dipaksakan untuk bergerak cepat. Saat membuka pintu, ia mendapati Aluna terbaring lemah di lantai, wajahnya pucat. Adam langsung mengangkat tubuhnya dengan hati-hati, lalu membawanya ke mobil.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Adam dilanda rasa bersalah. Dia merasa telah mengabaikan permintaan Arman. Dia seharusnya menjaga Aluna, bukankah Arman sudah menitipkan Aluna kepadanya?
Tiga puluh menit mendapat perawatan di rumah sakit, Aluna dinyatakan baik-baik saja. Dia hanya sedikit terguncang, mungkin karena kematian sang suami.
“Pasien hanya mengalami kelelahan berat dan tekanan emosional yang tinggi. Mungkin karena stres. Kandungannya kuat, tidak ada ancaman keguguran,” jelas dokter yang menangani Aluna dengan suara tenang.
“Suaminya baru saja meninggal,” jawab Adam lirih.
“Turut berduka cita, Pak. Tapi, saya sarankan dia tidak dibiarkan sendirian. Butuh dukungan psikologis dan fisik. Jika terus seperti ini, bisa berdampak pada janin,” ucap dokter lagi.
“Terima kasih, Dok.”
Adam menghela nafas lega, setidaknya kini Aluna baik-baik saja. Aluna kini sedang bersama ibu mertuanya, wanita paruh baya itu hanya diam menatap sang menantu yang terbaring lemah dengan pandangan dingin, seolah Aluna seharusnya tidak berada disana.
Dokter menyarankan Aluna untuk dirawat di rumah sakit, tapi karena saat ini di rumah sedang sibuk dengan segala macam persiapan doa untuk Arman, tidak akan ada yang bisa menjaga Aluna di rumah sakit, tidak mungkin Adam yang menjaganya, akhirnya atas persetujuan dokter Aluna hanya rawat jalan.
“Arman sudah tidak ada, tidak ada lagi tempat untukmu bermanja-manja, Aluna. Kami semua memiliki kegiatan sendiri. Jaga kesehatanmu sendiri, jangan merepotkan orang lain seperti ini,” ujar Ratna, melirik kearah sang menantu saat dalam perjalanan kembali ke rumah.
Aluna yang tampak masih lemah hanya menunduk, bibirnya gemetar. “Iya, Ma.”
“Nanti, suruh Bi Karti yang menemani Aluna di rumahnya. Takutnya kenapa-napa kalau tinggal sendirian,” ujar Pak Dimas, ayah mertua Aluna.
“Terus di rumah siapa yang mengerjakan semua pekerjaan itu, Pa?” tanya Ratna tidak suka.
“Kan ada Bi Susi.”
“Dia hanya mencuci dan menggosok, Pa. Dia gak bakal mau disuruh nginap,” rutuk Ratna kesal.
“Gak usah suruh nginap, tapi suruh dia mengerjakan semua pekerjaan Bi Karti selama ini, baru pulang kalau pekerjaan sudah selesai. Dan upahnya di tambahin kok. Ini juga hanya sementara, hanya sampai Aluna melahirkan,” jawab Pak Dimas.
“Terserah Papa deh.”
“Ya mau gimana lagi, siapa yang mau menemani Aluna. Dokter sudah bilang kan dia gak boleh dibiarkan sendirian.”
“Makanya, Aluna, perbanyak ibadah.”
Aluna yang hampir saja ketiduran tersentak mendengar namanya disebutkan. Dan lagi-lagi dia yang salah. Tidak ada yang peduli dengan keadaannya. Tidak ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja kehilangan suaminya? Dan bahkan semua yang dia lakukan selalu salah.
Bukan inginnya lemas seperti ini, tapi dia telah kehilangan pegangan. Dia kini bahkan tidak tahu seperti apa harus melanjutkan hidupnya. Setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat lima tahun lalu, dia tidak memiliki siapapun. Saat itu, orang tuanya pulang dari berkunjung ke rumah saudaranya yang beda pulau, dan saat itu pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan, tidak ada yang selamat termasuk kedua orang tua Aluna.
Kehadiran Arman adalah dunia baru baginya, dia kembali bisa tersenyum. Tapi, kini dunia yang hanya tinggal satu-satunya juga telah diambil secara paksa. Tuhan benar-benar mengujinya.
“Iya, Ma,” jawab Aluna akhirnya.
“Jangan iya-iya aja, gak mungkin kan mau merepotkan semua orang!”
“Iya, Ma.”
Adam hanya diam, setidaknya dia kini sedikit merasa tenang karena Aluna akan dijaga oleh Bi Karti. Dia hanya perlu menemani Aluna saat kontrol saja.
Tujuh hari setelah kematian Arman…
Semakin hari, semakin lama kepergian Arman. Rumah masih diselimuti duka. Orang-orang yang ditinggalkan mulai terbiasa. Tapi, bagaimana dengan Aluna?
Hidupnya semakin sepi, jika kemarin-kemarin masih banyak tetangga yang ikut membantu selama yasinan, tapi kini rumah benar-benar sepi. Hanya Bi Karti yang akan menemaninya.
Malam ini, setelah para tetangga pulang, kini di ruang keluarga mereka semua berkumpul. Mereka tampak ingin menggelar sidang.
“Apa rencana mu, Aluna?” tanya Ratna membuka pembicaraan.
Aluna menggeleng. “Tidak tahu, ma.”
“Ck, entah mengapa Arman bisa begitu mencintaimu. Kau bahkan tidak bisa merencanakan hidupmu sendiri,” kesal Ratna.
Aluna hanya mengangguk.
“Arman meninggalkan dua usaha yang sedang berkembang pesat, yaitu pabrik beras dan juga penambangan pasir. Mulai besok, semua itu akan diambil alih oleh Adam,” ujar Pak Dimas membuka suara.
Aluna tidak menjawab, ternyata mereka berkumpul disini hanya untuk membahas harta peninggalan suaminya. Dia tahu, Arman memiliki beberapa bisnis, yang memang awalnya modal diberikan oleh Dimas.
“Tapi, Pa. Aku kan punya bisnis travel,” jawab Adam.
“Bisa kau atur itu secara bersamaan,” ujar Dimas.
Adam tidak lagi menyela, karena dia tahu, Dimas juga sudah sibuk dengan bisnis yang perkebunan kelapa sawit dan juga sewa alat berat.
“Jadi, Aluna nya harus gimana?” tanya Ratna yang seolah kehadiran Aluna benar-benar menjadi pengganggu dalam keluarga mereka.
“Setelah kematian Arman, Aluna sebenarnya tidak ada hubungannya lagi dengan kita. Anggap saja sampai anak itu melahirkan, dia bisa saja bukan lagi tanggung jawab kita…”
Deg!
Dada Aluna rasanya begitu sesak. Dia menatap sang ayah mertua yang sedang menjeda kalimatnya. Dia tidak membantah, karena memang begitu adanya. Selama ini, dia bagian dari keluarga ini karena dia istrinya Arman. Tapi, sekarang Arman sudah tidak ada.
“Tapi, anak yang akan dilahirkan Aluna nantinya adalah tanggung jawab kita—“
“Jadi, kita juga masih harus bertanggung jawab terhadap Aluna, Pa, kalau begitu,” potong Ratna.
“Dalam harta yang ditinggalkan Arman, itu ada hak Aluna dan juga anaknya. Papa rasa Aluna masih bisa hidup dengan baik. Untuk anaknya, meskipun dia mendapatkan warisan, kita juga tetap harus bertanggung jawab,” jawab Dimas.
“Keenakan Aluna dong, Pa. Dia itu menikah dengan Arman tidak memiliki apapun, hanya tinggal di rumahnya yang hampir roboh itu. sekarang, mau diberikan warisan. Saat dia menikah lagi, enak sekali suami barunya,” kesal Ratna.
Dimas terdiam, menarik nafas pelan-pelan. Sejak awal, mereka memang tidak menyetujui Arman menikahi Aluna. Tapi, Dimas tidak pernah menolak secara keras. Apalagi Arman tetap menikahi Aluna, bagaimanapun juga Aluna tetaplah menantunya.
“Ya memang begitu aturannya, Ma,” jawab Dimas akhirnya.
“Gak bisa gitu, Pa. yang selama ini bekerja kan Arman. Aluna hanya ongkang ongkang kaki di rumah, seperti orang kaya.”
“Kalau begitu, setelah Aluna melahirkan Adam harus menikah dengan Aluna,” putus Dimas tegas.
“Pa!” panggil Adam, suaranya tegas, penuh penolakan.
Bagaimana mungkin ia harus menikahi Aluna? Aluna—kakak iparnya sendiri, istri dari kakak kandungnya yang baru saja meninggal? Ia bukan hanya merasa terganggu secara emosional, tapi juga secara moral. Baginya, ini bukan sekadar pilihan, ini adalah pelanggaran terhadap batas yang selama ini ia junjung tinggi.
Bahkan, berpikirpun Adam tidak pernah menikah dengan Aluna.
Apalagi, ia sudah memiliki kekasih, Laras. Seorang perempuan yang tinggal di kota, cantik, dan yang selama ini menemani hidupnya sejak kuliah. Meski belum diperkenalkan ke orang tua, Adam sudah berencana melamarnya tahun depan. Ia bahkan sudah memilih cincin dan menabung untuk masa depan mereka. Semua sudah dipersiapkan olehnya.
Tapi kini, semua rencana itu hancur dalam sekejap.
Dimas menatap putranya dengan mata tajam, tapi tenang. “Ini adalah solusi terbaik, Adam.”
“Terbaik buat siapa?” tanya Adam, suaranya gemetar. “Buat Mama? Buat Papa? Atau buat Aluna? Karena buat ku, ini bukan solusi. Ini kehancuran!”
“Apa kamu tega membiarkan keponakanmu tumbuh dan dibesarkan orang lain kalau Aluna menikah dengan orang lain?” tanya Dimas.
Adam terdiam, pesan terakhir Arman kembali terngiang di telinganya.
Ratna yang duduk di samping suaminya terdiam sejenak. Ia terkejut mendengar keputusan Dimas. Selama ini, ia memang tidak menyukai Aluna, dan ia tidak pernah membayangkan harus mengorbankan Adam menikahi Aluna. Karena itu artinya, Aluna akan terus menjadi menantunya.
“Papa gila?!” Ratna akhirnya meledak. “Mana mungkin Adam menikahi Aluna yang sudah janda? Itu tidak masuk akal! Mama tidak setuju!”
“Tidak ada yang salah secara hukum maupun agama, Ma,” jawab Dimas dingin. “Pernikahan bisa dilakukan antara Adam dan Aluna setelah anak yang dikandung Aluna lahir. Yang penting, cucu kita tetap dalam perlindungan keluarga. Kalau Mama punya solusi lain, silakan katakan. Tapi jangan hanya protes tanpa tawaran.”
Ratna terdiam. Ia memang tidak punya alternatif. Ia hanya ingin Aluna pergi—pergi jauh, agar semua warisan tetap di tangan keluarga murni mereka.
“Mama pikir, setelah melahirkan, Aluna bisa pergi dari rumah ini,” lanjut Ratna. “Rumah ini milik Arman, tapi sumber modalnya dari kita. Dia bukan istri anak kita lagi. Arman sudah tiada. Tidak ada lagi ikatan antara kita dan Aluna.”
“Lalu bagaimana dengan cucu kita?” tanya Dimas. “Anak itu darah daging Arman. Apakah kita akan biarkan dia dibesarkan tanpa keluarga?”
“Kalau Aluna mau, biar kita yang rawat,” jawab Ratna dingin. “Kalau tidak mau, ya paling kita cukupi kebutuhannya. Beli pampers, susu, baju. Apa susahnya membeli perlengkapan seperti itu setiap bulan?”
Dia seorang wanita juga seorang ibu, entah bagaimana Ratna bisa berpikir seperti itu. apakah sedikit saja tidak ada pikiran ibanya melihat Aluna?
“Terus, Aluna makan apa? Sedangkan dia harus merawat anaknya?”
“Ya usaha dong, Pa. Aluna kan bisa berpikir harus gimana menghasilkan uang. Masa mau berpangku tangan, jangan keenakan selama ini menjadi istri Arman,” jawab Ratna mulai habis kesabarannya.
“Anaknya bagaimana kalau Aluna kerja?”
“Ya makanya serahkan saja sama kita. Kan beres!”
Aluna menggelengkan kepalanya. Dia tidak akan menyerahkan anaknya, bagaimanapun keadaannya. Kini, hanya anaknya satu-satunya keluarganya.
“Di rumah Mama mau merawatnya?” tanya Dimas lagi.
“Kan ada Bi Karti, Pa.”
“Mama mau merusak mental cucu sendiri. Papa tidak setuju.”
Aluna bersyukur, di dalam kondisi seperti ini ayah mertuanya masih berada di pihaknya. Meskipun mungkin bukan demi dirinya, semua itu demi cucunya. Tapi, setidaknya itu yang terbaik bagi Aluna.
Dia tidak mengharapkan warisan dari harta yang dimiliki suaminya, karena dia sadar, semua itu modal awalnya dari sang mertua. Tapi, dia tidak ingin dipisahkan dengan anaknya. Sekalipun dia harus keluar dari rumah ini tanpa membawa apapun, dia akan rela daripada harus meninggalkan anaknya.
Memang, mereka adalah nenek kandung bagi anaknya. Tapi, dia adalah ibu kandungnya. Demi anaknya, apapun akan dia lakukan.
Aluna mengelus perutnya yang membesar. Dia membatin. “Nak, Mama tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Enam bulan kemudian…
Malam itu, lampu-lampu di rumah Aluna menyala terang. Taman depan dihiasi bunga dan lampion kecil. Para tetangga berdatangan, berpakaian rapi, membawa doa dan senyum. Mereka tidak tahu, di balik tarian tawa dan ucapan selamat, ada luka yang tersembunyi dalam diam.
“Saya terima nikah dan kawinnya Aluna Salsabila binti Teguh Nugroho dengan mas kawin tersebut. Tunai!”
“Sah!”
Suara ijab kabul menggema di ruang keluarga. Adam menikahi Aluna. Bukan karena cinta, bukan karena pilihan—tapi karena wasiat, tekanan, dan mempertahankan warisan Arman.
Aluna mengenakan kebaya putih bersih. Wajahnya menunduk, memandang putrinya yang tertidur pulas di pangkuannya—Azkiya Armadani, bayi perempuan berusia empat bulan, cantik, kulit putih, pipi tembam, dan selalu tersenyum meski belum mengerti dunia.
Sebuah tetes air mata jatuh di pipi Aluna. Ia merasa telah mengkhianati Arman. Ia merasa telah mengubur cinta mereka dalam-dalam, hanya untuk bertahan hidup.
Namun, ia tidak punya pilihan.
Dia tidak diberi hak untuk bersuara, dia tidak bisa menolak. Sebab, jika dia menolak menikah dengan Adam, Ratna mengancam akan mengambil Azkiya darinya. Beliau tidak mau memberikan warisan Arman kepada Aluna.
“Ini lebih baik, apalagi kan anaknya perempuan. Daripada bapak tirinya orang lain, lebih baik Adam,” ujar para tetangga berbisik.
“Iya. Bu Ratna dan Pak Dimas bijak sekali ya.”
Pujian itu terdengar di telinga Aluna. Dia hanya diam, karena dia tahu pernikahan ini bukan karena mereka bijak. Tapi, demi mempertahankan warisan anaknya.
Setelah acara selesai, Ratna mendekat. “Mulai malam ini, Bi Karti kembali ke rumah Mama. Kiya sudah besar, masa Aluna mau pakai pembantu terus?”
“Iya, Ma,” jawab Aluna pelan.
Sementara itu, Adam yang baru saja beberapa jam lalu menjadi suami Aluna hanya diam. Tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Entah, mungkinkah dia menyesal atau akan menyalahkan Aluna atas pernikahan ini?
Saat semua tamu pulang, rumah kembali sunyi. Hanya lampu teras yang masih menyala, menerangi dua sosok yang kini terikat oleh ikatan pernikahan yang dipaksakan.
“Masukkan Kiya ke kamar. Ada yang harus aku bicarakan dengan kamu,” ujar Adam, suaranya datar.
“Iya, Mas.”
Kiya memang sejak tadi sudah terlelap dalam pelukan sang ibu. Setelah beberapa saat ijab kabul selesai dia tidur, dia tidak tahu bagaimana perasaan ibunya yang sedang berperang dengan pikirannya. Acara pernikahan ini memang dilakukan di malam hari, saat ini waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Setelah mengantarkan Kiya ke kamar, Aluna kembali duduk di meja makan. Keduanya kini duduk saling berhadapan,.
Adam tidak menatapnya. Ia sibuk dengan ponselnya, seolah ingin menghindari tatapan yang bisa membongkar perasaannya.
“Aku menikahimu hanya karena wasiat Mas Arman,” kata Adam akhirnya, tanpa emosi. “Tepat sebelum dia meninggal, dia menitipkan kamu dan Kiya. Aku tidak bisa menolak.”
Aluna menunduk. Hatinya perih. Ia tahu ini bukan pernikahan cinta, tapi mendengarnya langsung dari mulut Adam terasa seperti pisau yang mengiris pelan-pelan.
“Aku akan bertanggung jawab. Sebagai suami, sebagai ayah. Aku akan mencukupi kebutuhanmu dan Kiya. Tapi, jangan pernah menuntut lebih dari itu,” lanjut Adam. “Jangan harap aku bisa mencintaimu. Aku punya kekasih. Namanya Laras. Aku tidak akan meninggalkannya.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!