NovelToon NovelToon

Istri Pesanan Miliarder

Tiada Arti

Kota itu berkilau dengan lampu malam, namun di balik jendela kaca lantai teratas gedung Alvaro Tower, seorang pria berdiri memandang tanpa sungguh-sungguh. Tubuhnya tegap, jas hitam membungkus rapih tubuhnya seolah ia baru saja keluar dari pertemuan penting. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan sorot mata tajam, namun tak ada secercah hangat dalam tatapannya.

Dialah Zayn Alvaro, pria tampan berusia 28 tahun, pewaris tunggal sekaligus pemilik sah Alvaro Group, konglomerasi yang bergerak di bidang properti, investasi, hingga bisnis internasional. Nama keluarganya harum di kalangan elite, namun hanya sedikit yang tahu bahwa Zayn hidup dalam kesepian panjang sejak kedua orang tuanya meninggal dunia ketika dirinya baru berusia sepuluh tahun.

Rumah mewah, sekolah internasional, mobil sport, bahkan jet pribadi—semua sudah ia miliki. Namun tak satu pun mampu mengisi kekosongan dalam dirinya.

“Meeting board of directors besok jam delapan pagi. Saya sudah siapkan semua dokumennya, Tuan,” suara tenang milik Arvin Wijaya, asisten pribadinya, memecah kesunyian ruangan.

Zayn tak menoleh. Matanya masih terpaku pada cahaya kota. “Arvin.”

“Ya, Tuan?”

“Pernahkah kau merasa semua ini tidak berarti?”

Arvin terdiam sejenak. Ia sudah bersama Zayn lebih dari enam tahun, tahu betul majikannya ini jarang berbicara tentang perasaan. Kalimat seperti tadi sangat langka, bahkan nyaris mustahil.

“Jika Tuan bertanya pada saya, hidup memang tak selalu berarti. Tapi kita sendiri yang memberi maknanya,” jawab Arvin hati-hati.

Zayn mendengus pendek. “Makna… itu kata yang sulit.”

Sunyi kembali mengisi ruangan. Jam dinding berdetak pelan, suara kendaraan dari kejauhan hanya menjadi dengungan samar.

Malam itu, ingatan lama datang tanpa diundang. Zayn kembali melihat dirinya kecil, berdiri di samping peti mati ayah dan ibunya. Para kerabat, kolega, dan pejabat datang memberi belasungkawa, tetapi tidak ada yang mampu menghapus rasa kehilangan. Setelah hari itu, ia hanya ditemani oleh pengasuh dan sederet guru privat yang lebih peduli pada prestasi ketimbang perasaan seorang anak kecil.

Seiring bertambah usia, Zayn belajar menyembunyikan kelemahannya. Ia tumbuh menjadi pria dingin, logis, dan tak tergoyahkan. Semua orang memujinya sebagai pewaris yang sempurna. Pintar, tampan, kaya raya. Namun, tak seorang pun tahu bahwa ia takut pada satu hal. Cinta.

Zayn pernah mencoba membuka hati. Lima tahun lalu, seorang wanita bernama Clarissa Evelyn hadir dalam hidupnya. Cantik, elegan, seolah pasangan yang cocok untuk pewaris sekelas Zayn. Mereka hampir bertunangan, sampai akhirnya Zayn mengetahui kebenaran pahit. Clarissa hanya mengincar hartanya. Semua perhatian, semua senyum, ternyata sekadar sandiwara.

Sejak saat itu, Zayn menutup rapat hatinya.

Arvin sudah pamit pulang, meninggalkan Zayn seorang diri di penthouse pribadinya. Ruangan luas itu dipenuhi furnitur mewah, tetapi terasa hampa. Zayn duduk di kursi kulit, menyalakan lampu meja yang temaram, lalu membuka laptopnya.

Laporan keuangan. Lembar saham. Proyeksi investasi. Semuanya tertata rapih, namun ia merasa jenuh.

“Keluarga, huh…” gumamnya pelan.

Ia menatap bingkai foto yang tergeletak di meja. Foto lama yang menampilkan dirinya kecil bersama ayah dan ibu. Wajah kecilnya tersenyum polos, berbeda jauh dengan dirinya yang sekarang.

Hatinya meronta, meski tak diucapkan. Ia membutuhkan sesuatu atau seseorang. Bukan cinta manis penuh janji kosong, melainkan sesuatu yang nyata. Seseorang yang bisa mengurus rumahnya, menemaninya makan, dan menyeimbangkan hidup yang terlalu dingin dan monokrom.

Zayn tahu dirinya tidak membutuhkan pasangan romantis. Ia butuh seorang istri, tapi bukan dengan atas dasar cinta.

.....

Keesokan paginya, di kantor pusat Alvaro Group, Arvin kembali menemaninya. Setelah rapat panjang, Zayn memanggil asistennya itu ke ruangannya.

“Duduk,” ucapnya singkat.

Arvin menurut. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”

Zayn menatapnya lurus, ekspresinya datar tapi sorot matanya tajam. “Aku ingin kau mencarikan seseorang untukku.”

Arvin berkedip. “Seseorang?”

“Seorang wanita.”

Arvin terkejut, namun berusaha menyembunyikan ekspresi. “Maksud Tuan…?”

“Istri,” jawab Zayn tanpa keraguan.

Keheningan jatuh di ruangan itu. Hanya terdengar detak jam dinding dan bunyi samar AC.

“Tuan ingin menikah?” Arvin memastikan, suaranya sedikit tercekat.

“Ya.”

Arvin menelan saliva. Jujur saja ia merasa sedikit terkejut, karena selama ini, Zayn selalu menolak jika ada gosip atau perjodohan. Apa yang tiba-tiba berubah? Ada apa dengan Tuannya?

“Bukan karena cinta,” lanjut Zayn tenang, seolah membaca pikiran Arvin. “Aku tidak percaya lagi pada hal itu. Aku hanya ingin hidupku lebih terarah. Ada seseorang yang mengurus rumah, menemaniku dalam acara resmi, dan melengkapi citra sebagai pewaris yang mapan.”

Arvin menatap majikannya lekat-lekat. Ada sesuatu dalam suara Zayn.  Itu bukan sekadar logika dingin, melainkan juga luka lama yang belum sembuh.

“Baik, Tuan. Saya mengerti. Tapi apakah Tuan punya kriteria khusus?” tanya Arvin hati-hati.

Zayn menyandarkan tubuh ke kursi, menautkan jari-jarinya. “Cantik, sederhana, patuh, tidak banyak tingkah. Aku tidak butuh wanita manja atau haus perhatian. Aku butuh yang bisa menjalankan perannya tanpa drama.”

Arvin mengangguk, meski hatinya bertanya-tanya. “Baik, saya akan carikan.”

Zayn menambahkan, “Katakan padanya, apa pun yang dia minta sebagai mahar, aku akan berikan. Uang bukan masalah. Asalkan ia bersedia menikah denganku.”

Kalimat itu begitu datar, namun menyimpan sesuatu. Rasa lelah seorang pria yang punya segalanya, tapi merasa tak punya apa-apa.

___

Hari-hari berikutnya berjalan normal di mata orang luar. Zayn tetap hadir di setiap rapat, mengatur investasi, menghadiri jamuan makan malam dengan kolega bisnis. Ia tampak seperti pria sempurna. Tampan, sukses, berkelas.

Namun di balik semua itu, ia kembali ke rumah kosong. Ia makan malam sendirian di ruang makan besar. Ia bangun pagi dengan suara alarm, bukan suara keluarga. Ia menjalani hidup dengan ritme dingin yang sama, hari demi hari.

Terkadang, ia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah ini hidup yang kuinginkan?

Dan jawabannya selalu sama: Aku tidak tahu.

Suatu malam, Zayn kembali berdiri di balkon penthouse-nya. Angin malam berembus, membawa aroma kota yang sibuk. Ia meneguk wine merah, matanya menerawang.

“Cinta… kata itu seharusnya tak ada dalam kamusku,” gumamnya.

Namun, jauh di dalam hatinya, ada bagian kecil yang masih merindukan kehangatan. Bagian yang tak mau diakuinya.

Saat itulah, ponselnya bergetar. Pesan dari Arvin.

“Tuan, saya sudah menemukan calon yang mungkin cocok. Gadis sederhana, bukan dari kalangan sosialita. Jika Tuan berkenan, kita bisa atur pertemuan.”

Zayn menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu mengetik balasan singkat.

“Atur saja.”

Setelah mengirim, dirinya menaruh ponsel dan kembali meneguk minumannya. Ia tidak tahu bahwa pesan singkat itu adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya.

Sebuah perubahan yang akan datang dengan cara tak terduga, melalui seorang gadis desa polos yang bahkan tak pernah membayangkan akan menjadi istri pesanan seorang miliarder.

Pertemuan

Dari balik kaca besar ruang kerjanya, Zayn Alvaro menatap awan kelabu yang menggantung, seolah mencerminkan isi hatinya sendiri.

Arvin berdiri beberapa langkah di belakangnya, memegang sebuah tablet dengan jadwal yang sudah tersusun rapih. Namun ia tahu, ada satu hal yang lebih penting daripada rapat atau laporan hari ini. Perintah tuannya malam kemarin.

“Bagaimana?” suara Zayn akhirnya terdengar, dalam dan berat.

Arvin mengangkat wajah. “Saya sudah menemukan beberapa kandidat, Tuan. Namun ada satu yang menurut saya paling sesuai dengan kriteria Anda.”

Zayn memutar kursi kulitnya, kini menghadap penuh pada asistennya. Sorot mata abu-abu itu menusuk, membuat siapa pun merasa seperti ditelanjangi. “Siapa dia?”

Arvin menarik napas, lalu menjelaskan dengan tenang. “Namanya Alisha Putri. Gadis cantik berusia 22 tahun. Latar belakang hidupnya sederhana. Ia pendatang baru di Jakarta. Gadis itu pindah beberapa bulan yang lalu untuk mencari pekerjaan. Gadis itu… jauh dari dunia sosialita. Tidak punya catatan buruk, tidak terlibat dalam gosip murahan. Dari yang saya selidiki, karakternya mandiri, cukup tangguh, tapi juga polos.”

Zayn mengangkat alis tipis. “Polos?”

“Ya, Tuan. Tidak banyak tingkah, tidak neko-neko. Dan—” Arvin menekankan nada suaranya, “—ia sedang berada dalam situasi yang sulit. Keluarganya di desa membutuhkan biaya besar untuk adik bungsunya yang sakit parah. Itu artinya, ada kemungkinan besar ia bersedia menerima tawaran ini… asal Tuan serius.”

Ruangan yang di dominasi warna putih dan abu-abu itu seketika hening. Zayn menatap meja di depannya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan kayu mahal dengan ukuran elegan itu. Situasi sulit berarti kebutuhan mendesak, dan kebutuhan berarti peluang.

“Aku tidak suka basa-basi, Arvin. Atur pertemuan segera,” ujarnya datar.

“Kapan, Tuan?”

“Sekarang.”

Arvin mengangguk hormat. “Baik, Tuan. Saya akan mengatur makan malam pribadi. Tidak formal, hanya untuk perkenalan.”

Zayn kembali menyandarkan tubuh. Wajahnya tetap dingin, namun dalam hati ia merasakan sesuatu yang jarang ia alami, yaitu rasa penasaran.

Sore itu, langit sudah berubah jingga. Arvin mengendarai mobil hitam elegan menuju sebuah restoran fine dining yang terletak agak tersembunyi di sudut kota besar itu. Restoran mewah itu terkenal privat, kerap kali menjadi pilihan para pebisnis untuk mengadakan pertemuan tanpa sorotan publik.

Di dalam, suasana terasa tenang dengan cahaya lampu kuning hangat. Musik piano mengalun lembut, menambah kesan intim.

Gadis cantik bernama Alisha duduk dengan gugup di kursi yang sudah disiapkan. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, bukan gaun mahal, namun cukup sopan untuk acara makan malam. Tangan mungil dengan jemari lentik itu meremas tas kecil di pangkuan. Ia berusaha mengendalikan dirinya yang gugup, perutnya bahkan sedikit mulas.

Alisha tidak tahu siapa yang akan ditemuinya malam ini. Yang ia tahu hanyalah Arvin, pria berpenampilan rapih yang dikenalnya beberapa hari yang lalu. Pria yang menawarkan pekerjaan, yang bisa membantu keluarganya. Tawaran itu terdengar samar, penuh tanda tanya, tapi Alisha terlalu putus asa untuk menolak, karena dirinya juga merasa seperti di kejar sesuatu yang tak terlihat, namun sangat terasa menegangkan.

Saat jarum jam hampir menunjuk pukul tujuh, pintu kaca terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi, tegap, masuk dengan jas hitam yang yang membalut tubuh kekarnya. Langkahnya mantap, sorot matanya dingin. Membuat siapapun yang di hampiri nya akan merasa terintimidasi.

Alisha menoleh, dan saat itu juga seketika napasnya tercekat.

Zayn Alvaro.

Sosok yang familiar. Wajah tampannya terlihat jauh lebih berkarisma dibanding foto-foto di majalah bisnis yang sesekali pernah Alisha lihat. Namun aura yang memancar darinya bukan sekadar kekayaan atau status, melainkan kekuasaan dan kesepian.

Arvin segera berdiri untuk menyambut tuannya. “Tuan Zayn, silakan.”

Zayn hanya mengangguk tipis, lalu melangkah menuju meja. Tatapannya tertuju pada gadis di depannya, yang jelas-jelas gugup hingga menundukkan kepala, tangannya saling meremas.

“Alisha Putri?” suaranya dalam, berat, nyaris tanpa intonasi.

Alisha mendongak perlahan. “Iya, saya.”

Zayn menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya. Pelayan segera datang, menu dibuka, tapi suasana begitu tegang. Terlebih malam itu benar-benar hanya ada mereka, tidak ada pengunjung lain.

Arvin memberi kode singkat pada Alisha agar rileks dan tetap tenang, lalu mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi keduanya.

Zayn membuka percakapan dengan kalimat yang membuat gadis itu hampir terbatuk.

“Aku dengar kau sedang membutuhkan uang.”

Alisha membeku. Wajahnya memerah, bukan karena marah, tapi karena malu. “Saya… iya, Tuan. Adik saya sakit. Biaya pengobatannya besar.”

Zayn menatapnya tajam, seakan menimbang sesuatu. “Kalau begitu, aku akan langsung pada intinya. Aku ingin kau menikah denganku.”

Alisha terbelalak. Pikirannya kacau, seakan kalimat itu terlalu mustahil untuk diproses. Ia mencoba untuk mencerna ucapan yang terdengar ambigu itu.

“A—apa maksud Anda?” suaranya bergetar.

“Aku tidak percaya cinta,” lanjut Zayn, tenang namun dingin. “Aku tidak butuh janji manis atau drama rumah tangga. Yang kubutuhkan hanya seorang istri. Seseorang yang bisa menjalankan perannya di sisiku. Di rumah, maupun di depan publik. Aku akan menanggung seluruh kebutuhanmu, termasuk keluargamu. Sebagai gantinya, kau akan menikah denganku sesuai kesepakatan.”

Alisha menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar kencang. Tawaran itu terdengar gila. Menikah dengan pria asing, apalagi miliarder sekelas Zayn Alvaro? Tapi di sisi lain, inilah kesempatan besar untuk menyelamatkan adiknya.

“A—apa saya tidak salah dengar?” suaranya nyaris berbisik.

“Kau tidak salah dengar,” jawab Zayn mantap. “Ini bukan lamaran romantis. Ini perjanjian. Kau bisa menolak. Tapi jika kau menerima, semua masalah finansialmu selesai.”

Hening panjang menyelimuti meja itu. Musik piano yang mengalun seolah hanya menjadi gema jauh.

Alisha menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia ingat wajah adiknya di rumah sakit, ingat ibunya yang menangis cemas, ingat hutang-hutang yang kian menumpuk.

Lalu ia menatap pria di hadapannya—dingin, tajam, tak terbaca.

“Boleh saya berpikir dulu?” tanyanya lirih.

Zayn mengangguk singkat. “Kau punya waktu tiga hari. Setelah itu, tawaranku hangus.”

Arvin yang sejak tadi menunggu di dekat pintu, mendekat kembali. “Tuan, apakah ada lagi yang ingin Anda sampaikan?”

Zayn bangkit berdiri, merapikan jasnya. “Tidak.”

Ia menatap Alisha sekali lagi. Tatapan itu bukan tatapan pria yang jatuh cinta, melainkan seorang pengusaha yang baru saja mengajukan kontrak.

Lalu ia pergi, meninggalkan Alisha yang masih terpaku, jantungnya berdegup tak karuan.

.....

Di dalam mobil, Zayn bersandar ke kursi belakang, memejamkan mata sejenak. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa melakukan sesuatu yang berbeda dari rutinitasnya.

Apakah ini keputusan tepat?

Ia tidak tahu.

Namun yang jelas, permainan sudah dimulai.

Dan tanpa ia sadari, gadis sederhana itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.

Tiga Hari

Alisha duduk di tepi ranjang sempit kontrakannya malam itu. Gaun biru sederhana yang ia kenakan di restoran masih melekat di tubuhnya. Matanya kosong, pikirannya sibuk memutar kembali setiap detik dari makan malam tadi—dari cara Zayn masuk dengan langkah tegap dan sorot dingin, sampai kalimat singkat yang mengubah segalanya.

“Aku ingin kau menikah denganku.”

Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaga, apa ini nyata? Atau aku hanya bermimpi buruk?”

Namun saat ia membuka matanya, ponsel tua di sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari ibunya di kampung.

“Nak, adikmu tadi malam demam lagi. Dokter bilang kita harus segera pindahkan dia ke rumah sakit besar. Biayanya… terlalu besar. Ibu tidak tahu harus bagaimana.”

Air mata langsung menggenang di pelupuk Alisha. Seolah dunia sengaja mempermainkannya. Ketika ia dihadapkan pada tawaran gila dari seorang miliarder dingin, kebutuhan keluarganya justru semakin mendesak.

Ia teringat wajah adik bungsunya, Radit, bocah berusia sembilan tahun yang selalu tersenyum meski tubuhnya lemah karena penyakit jantung. Senyum itu yang membuat Alisha rela meninggalkan desa demi mencari pekerjaan di Jakarta. Tapi yang ia temukan selama ini hanyalah penolakan demi penolakan. Gaji kecil dari pekerjaannya di sebuah butik bahkan tidak pernah cukup.

Kini, sebuah jalan lain terbuka di hadapannya. Jalan yang asing, penuh tanda tanya, dan sangat berisiko. Menikah dengan pria bernama Zayn Alvaro.

“Menikah tanpa cinta… apa aku bisa menjalaninya?” bisiknya lirih.

———

Pagi menyapa, semburat sinar mentari menembus kaca besar di kantor Alvaro group. Zayn duduk di balik meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen, namun pikirannya tidak benar-benar fokus. Setiap kali ia mencoba menelaah laporan keuangan, wajah gadis itu muncul lagi di benaknya.

Wajah muda dengan sorot mata gugup, tapi penuh tekad. Bukan wajah wanita yang terbiasa berada di lingkaran kekuasaan. Tidak ada polesan glamor, tidak ada kepalsuan. Justru itulah yang membuat Zayn teringat padanya.

Ia menghela napas, lalu meneguk kopi hitam. Bagi dirinya, pernikahan hanyalah strategi. Ia sudah terlalu lama hidup di dunia bisnis, sehingga melihat ikatan pernikahan sama saja seperti menandatangani kontrak. Tapi entah mengapa, Alisha meninggalkan jejak berbeda.

“Tuan Zayn,” suara Arvin memecah lamunannya.

Zayn mengangkat kepala. “Hmm?”

“Saya sudah memastikan jadwal Anda kosong tiga hari ke depan, sesuai waktu yang Anda berikan pada Nona Alisha. Jika ia memberi jawaban, kita siap melanjutkan pembicaraan lebih detail.”

Zayn mengangguk singkat. “Baik.”

Arvin ragu sejenak sebelum bertanya, “Jika saya boleh tahu, Tuan… kenapa Nona Alisha? Ada puluhan wanita yang mungkin akan dengan senang hati menerima tawaran Anda tanpa banyak pertanyaan.”

Sorot mata Zayn kembali tajam. “Karena dia berbeda. Dia tidak mengejarku. Dia bahkan tampak ketakutan. Itu berarti dia tidak bermain-main. Aku butuh seseorang yang… asli.”

Arvin mengangguk, meski dalam hatinya ia masih bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Dan yang membuatnya sedikit heran adalah perubahan Zayn. Tuannya itu sepertinya tertarik pada gadis polos itu, ia bahkan penasaran, menanti jawaban yang akan gadis itu katakan nanti.

_____

Hari pertama berlalu penuh keraguan. Alisha berangkat kerja di butik dengan wajah lesu. Rekan-rekan kerjanya sempat bertanya kenapa ia terlihat murung, tapi ia hanya menjawab, “Kurang tidur.”

Namun sepanjang hari, otaknya dipenuhi pertanyaan: haruskah aku menerima tawaran itu?

Di satu sisi, ia merasa harga dirinya terluka. Seolah Zayn hanya melihatnya sebagai “solusi praktis”. Bukan sebagai wanita yang pantas dicintai. Namun di sisi lain, bayangan wajah pucat adiknya terus menghantui.

Malamnya, saat ia menelepon ibunya, suara lirih terdengar di ujung sambungan.

“Nak, kalau kita bisa kumpulkan uang dalam dua minggu ini, dokter bilang operasi Radit bisa segera dijadwalkan. Tolong ya, Nak. Ibu sudah tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.”

Alisha menggigit bibir. Air matanya jatuh lagi. “Iya, Bu. Alisha akan cari jalan.”

Tapi jalan apa yang tersisa selain menerima tawaran itu?

*****

Hari kedua, Alisha mencoba menenangkan diri dengan berjalan kaki di taman kecil dekat kontrakan. Anak-anak berlarian, tertawa riang, dan Alisha teringat lagi pada Radit. Di saat yang sama, ia melihat seorang pria muda melamar kekasihnya di bangku taman, disaksikan oleh beberapa orang teman mereka. Tawa, air mata bahagia, dan pelukan hangat mengisi suasana.

Alisha hanya bisa menunduk. Ia sadar, jika menerima Zayn, pernikahannya tidak akan pernah seperti itu. Tidak ada bunga, tidak ada cincin romantis, tidak ada janji manis. Hanya kontrak.

Tapi bukankah hidupnya memang sudah penuh realitas pahit? Apa ia masih berhak bermimpi tentang cinta?

*****

Hari ketiga, waktu hampir habis. Alisha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri. Matanya terlihat sembab karena terlalu sering menangis, tapi sorotnya penuh tekad.

“Aku harus memilih,” gumamnya.

Ponselnya berdering. Nama “Arvin” muncul di layar. Dengan tangan bergetar, ia menekan tombol jawab.

“Selamat siang, Nona Alisha,” suara Arvin terdengar sopan. “Tuan Zayn ingin mengetahui keputusan Anda. Apakah Anda sudah siap memberi jawaban?”

Jantung Alisha berdentum keras. Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu berkata pelan tapi mantap:

“Saya… menerima.”

*****

Sore itu, Alisha duduk di kursi restoran yang sama dengan tiga malam lalu. Kali ini ia tidak terlalu gugup, karena ia sudah menyiapkan hati. Zayn masuk dengan langkah mantap seperti sebelumnya, tapi kini ada sedikit perubahan di sorot matanya.

“Jadi kau sudah memutuskan,” katanya tanpa basa-basi.

Alisha mengangguk. “Ya, saya bersedia menikah dengan Anda. Tapi… dengan satu syarat.”

Zayn mengangkat alis. “Syarat?”

Alisha menatapnya lurus, meski dalam hatinya gemetar. “Selama kita menikah, jangan libatkan keluarga saya dalam urusan bisnis Anda. Saya tidak ingin mereka diseret ke dunia yang… tidak mereka mengerti.”

Zayn terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Itu permintaan yang wajar. Baik, aku setuju.”

Arvin yang mendampingi hanya bisa menatap mereka berdua dengan perasaan campur aduk. Ia sadar, inilah awal dari perjalanan panjang.

Zayn meraih sebuah map hitam yang dibawanya, lalu meletakkannya di atas meja. “Ini draft perjanjian pernikahan. Kau bisa membacanya. Tidak ada klausul yang merugikanmu. Jika kau setuju, kita bisa langsung mendaftarkan pernikahan secara resmi minggu depan.”

Alisha membuka map itu dengan tangan bergetar. Tulisan-tulisan hukum yang rumit membuat kepalanya pusing, tapi intinya jelas: Zayn akan menanggung seluruh kebutuhan keluarganya, dan sebagai gantinya, ia akan menjadi istri sah secara hukum—tanpa tuntutan cinta.

Ia menutup map, lalu menatap pria itu. “Baik. Saya akan tanda tangan.”

Zayn mengangguk tipis. “Selamat datang di hidup baruku, Alisha Putri.”

———

Malam itu, ketika Alisha pulang ke kontrakan, ia menatap langit hitam penuh bintang samar. Hatinya berat, tapi juga ada sedikit lega. Ia sudah membuat keputusan.

Namun ia tidak tahu, keputusan itu bukan sekadar menyelamatkan adiknya. Keputusan itu akan menjerumuskannya ke dunia yang penuh intrik, kesepian, dan perasaan yang perlahan tumbuh di tempat yang tidak pernah ia bayangkan.

Dan Zayn Alvaro—pria yang mengaku tidak percaya cinta itu akan menjadi pusat dari semua itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!