Hingga sekarang aku tetap sukar menemukan jawabannya, apalagi sampai mampu melupakannya. Dua tahun lalu, tepatnya di malam menjelang hari kemerdekaan satu kejadian misterius menimpaku. Aku harus menyebutnya misterius karena nalarku susah menerimanya.
Kala itu aku tengah sendirian di rumah, sementara aktivitasku cuma duduk-duduk di kursi tanpa sandaran. Tangan kananku sibuk mengguratkan kuas ke permukaan kanvas. Sedangkan kanvasnya sendiri didudukkan pada easel berbahan kayu. Malam itu aku memang tengah melukis.
Sekonyong-konyong aku merasakan tumbukan. Keras sekali, dan menyasar bagian samping tubuhku. Aku sendiri tak tahu apa yang menumbukku. Konsentrasiku saat itu tengah sepenuhnya tercurah pada kanvas di depanku. Saking kerasnya tumbukan yang menghantamku, tubuhku sampai terpelanting dan berguling-guling di lantai.
Jangan bertanya seberapa menderita aku kala itu! Yang kurasakan seluruh tulang-tulang penyusun tengkorakku, khususnya di bagian samping kiri seperti ramai-ramai rontok dari posisinya. Mungkin remuk redam juga. Saking tak kuasa menahan sakit aku sampai harus semaput.
Tapi, aku lekas siuman. Malah sepertinya durasi pingsanku hanya beberapa detik saja. Sempat menduga barangkali aku terjatuh akibat lelap, mengingat sebelumnya beberapa kali mulutku menguap, belum dengan waktu yang memang telah mendekati tengah malam, namun sejurus kemudian aku malah meragukannya.
Tahu-tahu rasa sakit yang sempat menghilangkan kesadaranku pudar begitu saja. Aku pun tak lagi merasakan tulang-tulang yang remuk redam macam sebelumnya. Tubuhku kembali pulih seperti sedia kala, tak kurang apa pun. Bahkan untuk sekedar luka lecet, atau memar.
Hingga dua menit berlalu aku enggan beranjak dari posisi menelungkup di atas permukaan lantai. Isi kepalaku sibuk mempertanyakan, mengapa posisi menelungkupku sampai berjarak tujuh meter dari tempat semula aku melukis. Terlampau jauh jika terjatuh akibat tak kuasa menahan kantuk.
“Memang ada yang membenturku, hingga aku terpental tujuh meter jauhnya,” telaahku kemudian. Namun, kembali memikirkan benda apa yang tadi membenturku, aku hanya dapat kebingungan karena sama sekali tidak menampak. Kendati demikian mendapati sampai sedemikian jauhnya aku terpental, sesuatu yang menubrukku tadi dipastikan memiliki energi kinetik tinggi.
“Macam ditabrak mobil yang melaju ugal-ugalan saja,” gumamku, menganalogikan tumbukan misterius yang menerpaku tadi.
Aku menepis kemungkinan telah terjadi gempa bumi. Kondisi di ruang tengah masih terlihat rapih. Belum ditemukan satu pun benda-benda berjatuhan, semuanya tetap dalam posisi semula. Tak terkecuali kursi yang didudukiku tadi. Lantas apa yang barusan menumbukku?
“Ditubruk setan kayaknya.” Pada akhirnya aku memilih jalur klenik saja. Jalan pintas saat tak kuasa menyingkap fenomena aneh yang terjadi di hari itu.
Kejadian di malam menjelang hari kemerdekaan memang misterius. Meski begitu kejadian yang tak kalah misteriusnya ternyata malah lebih dulu menyambangiku, tepatnya lima bulan sebelumnya. Sekoyong-koyong aku dibekap hasrat yang selama ini tak pernah terbayang olehku, keinginan kuat untuk melukis. Tanganku begitu gatal, ingin selekasnya memulas kanvas dengan cat minyak.
Sungguh, aku di malam itu seakan-akan pelukis profesional yang tengah beroleh order lukisan, namun tak jua kukerjakan. Aku bingung, tak tahu harus melukis apa.
Sampai akhirnya di satu pagi benakku tiba-tiba disambangi imaji. Muncul begitu saja dalam bentuk obyek lukisan. Hasrat melukisku semakin menggebu-gebu. Di sisi lain aku sukar untuk mengekangnya.
Selanjutnya aku merasakan kehadiran kuasa dalam diriku. Bukan semata hadir, kuasa dari luar itu benar-benar menguasai tubuhku. Layaknya robot aku hanya dapat patuh saja, tak berdaya melawan saat anggota tubuhku digerakkan olehnya. Kuasa misterius itu memerintahkanku untuk segera memoleskan cat minyak ke atas kanvas.
Dipastikan kuasa yang menggerakan tubuhku itu bukan berasal dari perintah otakku. Hanya saja aku tak tahu kuasa apa itu, serta berasal dari mana? Tiba-tiba datang dan merasuki tubuhku, untuk kemudian aku kehilangan kendali diri.
Sampai-sampai tangan kananku lalu bergerak-gerak sendiri. Meski kemudian mampu kuhentikan, namun aku menilai tangan kananku sepertinya tengah meniru gerakan melukis.
Kendati mengerti bila kuasa misterius itu hanya memaksaku agar selekasnya memindahkan imaji ke bentuk lukisan, namun menurutku adalah mustahil kulakukan. Waktu itu di rumah belum tersedia perlengkapan melukis macam kanvas, atau easel. Bahkan sekedar pensil gambar pun aku tak punya. Selama ini melukis memang jauh dari kehidupanku.
Hari itu juga aku langsung pergi ke toko yang menjual peralatan melukis. Di sana aku tak sengaja bersua teman sedari kecil dulu, Nitara Hapsari. Dia sampai melongo mendapatiku tengah memborong alat lukis.
“Enggak salah nih Dani ngeborong alat lukis, sejak kapan kamu gandrung melukis?”
Ya, sejak kapan aku tiba-tiba berhasrat dalam bidang seni melukis? Jangankan Nitara, sepertinya aku sendiri hanya akan kebingungan menjawabnya. Karenanya aku cukup menimpali pertanyaannya lewat menyunggingkan senyum saja.
Seakan-akan sejak lama menyadari, membiarkan berlama-lama imaji di dalam benak hanya akan menyiksa batinku, begitu kembali ke rumah aku langsung memindahkannya ke dalam lukisan. Apalagi perlengkapan melukis yang kubeli terbilang lengkap. Antusiasku dalam mengerjakan lukisan perdanaku amat berlimpah. Padahal aku sudah memperkirakan bila hasilnya nanti hanya akan mengkhianati imaji.
Ajaib, aku sampai terpana sendiri. Hari itu tanganku begitu tangkas dalam memoleskan cat minyak ke atas kanvas. Tiada aku merasa kaku mengguratkan kuas. Padahal yang sedang kukerjakan di hari itu merupakan pengalaman pertamaku. Malah setiap polesan cat minyak pada kanvas dirasakanku selayaknya ekspresi jiwa seniku. Aku menikmati sekali.
Cukup empat jam saja aku menjalankan aktivitas melukis di depan kanvas. Selanjutnya aku tinggal mendapati hasilnya, sebuah lukisan bercorak realisme. Walau pengetahuanku akan dunia lukis adalah awam, namun bolehlah aku mengapresiasi sendiri karya lukisku, layak dipajang di galeri seni. Kalaupun apresiasiku ketinggian, setidaknya lukisan perdanaku ini amat pantas menggantung di galeri-galeri pinggir jalan.
Sesuai imaji yang di hari itu begitu benderang menampak di dalam benakku, lukisan perdanaku kiranya bertema lukisan juga. Aku melukiskan sebuah lukisan yang masih didudukkan pada easel berbahan kayu. Lokasinya berada di dalam sebuah ruangan dengan satu jendela berbentuk oval tanpa teralis. Sementara dindingnya tidak diplester, melainkan tersusun dari batu bata ekspos.
Aku menebak, kemungkinan ruangan tersebut merupakan studio lukis. Terlihat dari lantainya yang belepotan oleh warna-warni noda cat minyak. Terdapat pula sebuah rak kayu susun yang menyimpan peralatan melukis.
Lukisan yang didudukan pada easel menjadi obyek paling mencolok di lukisan perdanaku. Menampak di sana seraut wajah perempuan muda. Mendapati gaya rambutnya yang ikal dan mengembang, aku lantas teringat gaya rambut mendiang Mamah semasa gadis dulu. Sepertinya gaya rambut perempuan tahun 80-an.
Jujur, aku harus menyebut seraut wajah perempuan dalam lukisan perdanaku sangat menawan. Bibir tebalnya cukup menggemaskan. Dahinya yang melebar, serta wajah oval panjangnya terasa pas dengan rambut mengembangnya. Bola matanya yang terus melirik ke arahku seolah-olah mengisyaratkan, dia sengaja hadir di lukisanku agar aku gembira selalu saat memandanginya.
Paling suka aku memandangi dagu panjangnya, lebih-lebih dagu tersebut ternyata bercelah. Bukan hanya indah nian dipandang, namun dagu unik itu memberi kesan yang tegas di bagian bawah wajahnya. Sekilas mengingatkanku akan dagu serupa milik Nitara. Sayangnya tidak tersemat tahi lalat kecil di dagu indahnya macam Nitara, sehingga kalah manis dengan dagu temanku itu.
Sampai aku terlalu banyak menggeleng-gelengkan kepala di hari itu. Teramat kagum akan kemampuan melukis dadakanku, khususnya saat memikirkan bagaimana seraut wajah dalam lukisanku tercipta. Polesan-polesan cat minyak yang tadi kuguratkan di kanvas, seperti menghidupkan karakternya sebagai perempuan yang menyenangkan semua orang.
“Bukan otakku yang membimbing tanganku melukis wajahnya. Aku cuma mesin lukis yang digerakan dari jarak jauh.”
Kembali aku meyakini, kuasa yang telah merasukiku di hari itu telah membimbing, sekaligus menggerakan tanganku untuk mencipta sebuah lukisan. Apa tujuannya, aku sendiri sukar mengetahuinya. Hanya saja aku─ sepanjang hari sengaja membiarkan diri larut dalam keterpikatan pada seraut wajah di lukisan perdanaku─malah merasakan gejolak di hati.
Mendadak isi kepalaku tersengat. Sejenak aku melupakan keterpikatanku pada model lukisan perdanaku. Aku menemukan sesuatu yang menggelitik bola mataku. “Astaga ... dia, kan Tante Lis?”
Usai berkata aku malah spontan terpana, terlampau gila mempercayai hasil lukisanku. Ternyata hari itu aku telah melukis wajah seorang perempuan yang kukenal baik, malahan sudah kuanggap ibuku sendiri. Seraut wajah Tante Liswara, yang tak lain ibunya Nitara semasa masih gadis dulu tahu-tahu hadir dalam lukisan perdanaku.
Aku masih bisa mengingat wajah Tante Liswara semasa muda dulu, dikarenakan beberapa fotonya tampil dalam album foto milik mendiang Mamah. Sama halnya aku dan Nitara, baik Tante Liswara maupun Mamah telah berteman sedari dulu.
Cuma kenapa wajah Tante Liswara dalam lukisan perdanaku sedemikan menawannya? Apa karena aku melukiskannya semasa beliau masih gadis dulu, sehingga kecantikannya layak memesonaku? Kalaulah memang seperti itu jawabannya, semestinya sedari dulu aku sudah terpikat wajahnya. Bukankah foto beliau semasa masih muda beberapa kali pernah kulihat juga?
Diam-diam aku sering memuji kecantikan Tante Liswara muda dalam album foto. Mamah pun beberapa kali pernah bertutur jika beliau semasa gadis dulu begitu digandrungi kaum pria. Kendati demikian tidak sekali-kalinya aku sampai harus merasakan keterpikatan sekuat hari itu. Apalagi Tante Liswara sekarang sudah tidak lagi muda dan semenawan dulu, bahkan sempat lumpuh akibat serangan stroke.
o1o
“Bu, Tara, kan sudah bilang, tolong jangan tiap hari minta Dani terapi Ibu! Kasihan Dani, saban sore bukannya istirahat sepulangnya kerja, malah menyimpang dulu kemari.”
“Ibu enggak minta Dani kok. Justru Dani sendiri yang sengaja datang kemari buat terapi Ibu.”
“Iya memang Ibu enggak minta. Tapi, saban sore Ibu pasti duduk-duduk di teras depan. Pas mobil Dani lewat depan rumah, Ibu langsung pasang muka memelas. Dani enggak mungkin tega melintas begitu saja di depan Ibu.”
“Loh, dari dulu Ibu saban sore selalu duduk-duduk di teras depan sambil ngeteh.”
“Kondisinya berbeda dong, Bu. Dulu Ibu masih sehat, lain dengan sekarang. Di mata Dani, Ibu mungkin sudah dianggap pasien terapinya. Apalagi Dani sudah menganggap Ibu orang tua sendiri.”
“Dani enggak punya masalah, malah putri Ibu yang keberatan. ”
“Kalau seminggu dua kali macam dulu, Tara masih anggap wajar. Tapi, ini saban hari Dani terus terapi Ibu, Tara jadi enggak enak sama Dani.”
Begitulah Nitara yang sore ini harus kembali mengingatkan ibunya. Kala sepeda motornya tadi memasuki jalan kompleks tempat tinggalnya, di depan sana dia melihat mobil Dani yang baru keluar dari pekarangan rumahnya. Dia mengerti, Dani barus saja selesai memberi terapi pijat pada ibunya.
Kondisi fisik ibunya memang sudah tidak sebugar dulu. Empat tahun lalu Ibunya terkena serangan stroke. Setengah tubuh ibunya malahan sempat mengalami kelumpuhan, dan harus berada di kursi roda. Karena dua adik laki-lakinya berkerja di luar Jawa, tanggung jawab mengurus ibunya akhirnya jatuh kepada Nitara.
Beruntung Nitara memiliki Dani Tria Saputra, teman serasa saudara yang piawai dalam terapi pijat. Tiga tahun lebih rutin beroleh terapi pijat dari Dani, kemajuan pesat didapat ibunya.
Memang kondisi ibunya belum bisa dibandingkan dengan sebelum terkena serangan stroke. Meski begitu paling tidak ibunya kini telah lepas dari kursi roda. Ibunya mulai belajar mandiri. Sudah mampu kembali berdiri, bahkan telah dapat berjalan tanpa bantuan orang.
Dani sendiri sebenarnya bukan seorang terapis. Dia cuma pekerja kantoran pada perusahaan BUMN di Bogor. Kendati bukan berlatar belakang dunia medis, namun papahnya mantan terapis handal. Karena sudah pensiun di dunia medis, papahnya lalu menurunkan ilmu terapi pijat pada Dani.
Nitara memang sudah menganggap Dani saudaranya. Hanya saja melihat Dani yang saban hari memberi terapi pijat pada ibunya, tetap saja dia merasa tak enak hati.
Awalnya hanya seminggu dua kali, namun seiring berjalannya waktu Dani malah semakin rutin menyambangi ibunya. Bahkan dalam empat bulan terakhir ibunya nyaris setiap hari beroleh layanan terapi pijat dari Dani.
Walau ibunya berdalih jika kedatangan Dani atas inisiatif sendiri, namun Nitara enggan percaya begitu saja. Terus-terusan beroleh terapi pijat, dia lantas meyakini jika ibunya telah ketagihan.
Acapkali beroleh sentuhan jemari tangan Dani, ibunya mengaku merasa bugar kembali. Tanpa sentuhan jemari tangan Dani, ibunya hanya akan mengeluhkan anggota badan yang kembali kaku digerakkan.
“Oh ya, Tara, tolong Ibu ambilkan botol minyak aroma terapi di brankas!”
“Bu, bisa enggak seminggu sekali saja hirup wangi uapnya, jangan seminggu tiga kali macam sekarang!”
“Ibu sudah coba, tapi sepertinya sulit.”
“Bapak sudah meninggal, Bu, ikhlaskan saja kepergiannya! Jangan terus-terusan mengandalkan minyak aroma terapi buat melipur rindu Ibu.”
“Ibu sudah mengikhlaskan kepergian bapakmu. Masalahnya rindu Ibu pada bapakmu terus saja menyiksa. Baru hilang saat mengendus wewangian minyak aroma terapi.”
“Ibu jadi ketergantungan sama minyak aroma terapi. Itu kurang bagus, Bu!”
“Malah Ibu harus bersyukur. Kalau bukan karena wewangian minyak aroma terapi, Ibu akan semakin merana ditinggal pergi bapakmu.”
Seperti halnya pijat terapi, menghirup wangi uap minyak aroma terapi sudah menjadi aktivitas rutin ibunya, bahkan jauh sebelumnya. Uniknya, ibunya cuma berkenan menghirup wangi uap minyak aroma terapi racikan sendiri. Tak sekali-kalinya Nitara menyaksikan ibunya menggunakan minyak aroma terapi yang beredar di pasaran, baik yang harganya selangit maupun merakyat.
Beberapa bulan sebelum ibunya terkena serangan stroke, musibah menyambangi keluarga kecilnya. Bapaknya meninggal akibat kanker stadium tinggi. Nitara, terlebih ibunya tampak terpukul sekali akan kepergian bapaknya. Malah menurutnya sang ibu sudah menjurus kepada depresi, terlihat amat merana.
Kalau bukan karena sedari dulu rutin menghirup wangi uap minyak aroma terapi, kondisi jiwa ibunya sepertinya akan menjurus parah.
Untuk menguapkan minyak aroma terapi, ibunya biasa menggunakan difusser jenis tungku aroma terapi elektrik. Bukan relaksasi yang ingin dituju ibunya dengan menghirup uap wangi. Ibunya butuh sensasi lain, yakni pelipur lara akibat ditinggal pergi bapaknya.
Agar rasa rindu yang hebat tak lagi menyiksa, menghadirkan bayangan fantasi bapaknya akan sangat berguna bagi ibunya. Dan itu hanya mungkin didapatkan lewat menghirup wangi uap minyak aroma terapi racikan sendiri.
Walau awalnya Nitara meragukan pengakuan ibunya, yang konon selalu didatangi bayangan fantasi bapaknya, namun sukar dibantahnya bila kebiasaan menghirup wangi uap minyak aroma terapi ternyata efektif melipur lara ibunya.
Saat berfantasi ibunya hanya terlihat duduk santai sembari memejamkan mata. Padahal benak ibunya tengah menikmati sensasi bercengkerama dengan bapaknya. Tak heran bila ibunya akhirnya kembali menemukan ceria meski belum mencolok.
Kendati terbukti manjur dalam melipur lara, namun Nitara paham akan dampak negatif halusinasi yang dinikmati ibunya. Ketergantungan pada minyak aroma terapi kini tengah membelit ibunya. Dia menyesalkan sikap ibunya yang keras kepala. Senantiasa menolak anjurannya, agar lebih mengikhlaskan saja kepergian bapaknya dibandingkan terus berfantasi.
Minyak aroma terapi yang selalu digunakan ibunya memang racikan sendiri. Sayangnya Nitara tidak diperkenankan mengetahui resep pembuatannya.
“Ibu beroleh resepnya dari teman lama. Karena resep rahasia keluarga, Ibu terlarang membocorkannya pada pihak luar, termasuk suami dan anak Ibu. Untuk itu Ibu sampai harus diambil sumpah,” dalih ibunya.
Ibunya juga enggan mengutarakan, siapa teman lama yang berkenan memberitahu resep pembuatan minyak aroma terapi. Termasuk menjelaskan sebab resep tersebut sampai dibocorkan pada ibunya. Padahal konon katanya merupakan resep rahasia keluarga.
Ibunya juga mengklaim, sekarang ini kemungkinan tiada lagi yang masih menguasai resep pembuatan minyak aroma terapi. Tidak juga keluarga teman lama ibunya.
Dari segi wangi, minyak aroma terapi racikan ibunya sebenarnya terbilang umum. Serupa dengan yang beredar di pasaran, di mana wangi bunga wijaya kusuma lebih dominan. Kelihatannya kandungan bahan utamanya adalah bunga tersebut. Nitara sendiri terbilang akrab dengan bunga wijaya kusuma.
Dulu di pekarangan rumahnya pernah tumbuh tanaman wijaya kusuma. Sebelum terserang stroke ibunya rutin memetik bunganya, namun bukan untuk dijadikan bahan baku minyak aroma terapi. Ibunya memanfaatkan bunga wijaya kusuma untuk bahan baku obat batuk herbal, diperuntukan bagi pengobatan bapaknya. Semasa masih hidup bapaknya lama menderita batuk kronis.
Dari segi khasiat, minyak aroma terapi racikan ibunya juga tidak terlampau istimewa, setidaknya menurut pengalaman Nitara sendiri. Berbeda dengan ibunya yang mengaku mendapatkan sensasi bayangan fantasi, Nitara hanya beroleh relaksasi tubuh saja. Padahal saat wangi uapnya betebaran di rumah, semestinya secara otomatis hidungnya pun turut menghirupnya.
Tak habis pikir Nitara, kenapa sensasi bayangan fantasi itu tak pernah mau menyambangi benaknya.
“Bayangan fantasi baru hadir saat kita menyimpan rindu yang teramat sangat. Selama Tara masih menganggap cinta sebatas musim-musiman, tak bakalan bisa mendapatkan sensasinya,” ungkap ibunya. Ketika itu Nitara mempertanyakan ketidakmampuan dirinya beroleh bayangan fantasi.
Sumpah ibunya untuk tidak membocorkan resep pembuatan minyak aroma terapi akhirnya berbuah fatal. Padahal ketergantungan pada minyak aromaterapi saat ini tengah mendera ibunya. Sampai kemudian serangan stroke datang, berakibat kerusakan pada sel-sel organ otak ibunya. Kehilangan banyak memori ibunya kini dalam kondisi setengah pikun. Salah satunya lupa mengingat resep pembuatan minyak aroma terapi.
Beberapa kali dia menyaksikan ibunya menangis, frustasi karena tak mampu mengingat lagi resep pembuatan minyak aroma terapi. Ibunya amat menyesalkan serangan stroke yang menurunkan daya ingat. Ironi, sejumlah pengalaman remeh temeh malah tetap membekas dalam ingatan ibunya.
Dengan semakin menipisnya persediaan minyak aroma terapi tersisa, hanya masalah waktu saja ibunya akan kembali seperti di awal-awal bapaknya meninggal, bermuram durja akibat memendam luka di hati. Nitara tentu memahaminya. Jika lara terus dibiarkan, kesehatan ibunya yang mulai membaik terancam ambruk kembali.
Dua tahun lalu dia mendapati ibunya yang tahu-tahu menangis kencang. Tangis yang mengingatkannya kala bapaknya dulu pergi untuk selama-lamanya. Namun, Nitara merasa tangis ibunya kali ini lebih condong pada histeria.
Ternyata ibunya beroleh kabar dari teman-teman semasa sekolah dulu. Diberitakan jika Juanda Effendi, salah satu teman ibunya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Nitara sendiri mengenal teman ibunya yang meninggal itu, seorang pria yang seusia ibunya dan berprofesi sebagai pelukis. Ibunya juga kerap beroleh kiriman lukisan dari teman lama yang satu itu. Kelihatannya semasa sekolah dulu mereka berdua terbilang akrab.
Dapat memaklumi ibunya terpukul, namun Nitira patut mengherankan polah histeria ibunya. Terlalu berlebihan untuk kabar kematian seorang teman, sekalipun teman akrab.
“Ibu melihat lukisan bapakmu. Tiba-tiba saja bapakmu berlinang air mata. Rona muram wajahnya seolah bercerita pada Ibu. Sebenarnya bapakmu masih berat meninggalkan kita berdua. Terutama melihat kondisi Ibu saat ini,” pengakuan ibunya, menjawab kenapa sampai harus bersikap histeria begitu mendengar kabar kematian teman lama.
Sejak lama di salah satu dinding rumah menggantung sebuah lukisan sketsa bapaknya. Pelukisnya tak lain Pak Juanda yang waktu itu baru saja dikabarkan meninggal dunia. Meski tidak seakrab ibunya, namun bapaknya semasa hidup juga kenal baik dengan Pak Juanda.
Hanya saja ibunya mengaku melihat lukisan bapaknya tiba-tiba berderai air mata, Nitara sepertinya harus kembali menuding ibunya tengah mengalami halusinasi. Bukan bapaknya yang berat hati meninggalkan mereka berdua, melainkan justru ibunya sendiri. Sampai detik ini ibunya tetap susah mengikhlaskan kepergian bapaknya.
Memang minyak aroma terapi yang tersisa berhasil menstabilkan kembali jiwa ibunya. Tetapi, bagaimana ke depannya nanti, persisnya sewaktu minyak ajaib itu benar-benar habis? Sedangkan halusinasi seperti yang sempat dialami ibunya, menurutnya sangat mungkin berulang lagi. Nitara malahan ngeri membayangkannya.
Sedikit mujur, sebelum terkena serangan stroke ibunya telah meracik minyak aroma terapi dalam jumlah teramat banyak. Nitara malah sempat mengira ibunya hendak jualan minyak aroma terapi. Paling tidak sampai tahun depan ibunya masih aman dari siksa lara hati. Masih dininabobokan oleh wangi uap minyak aroma terapi.
Permasalahannya, sampai kapan minyak aroma terapi mampu terus membentengi ibunya dari merana. Saat ini saja tinggal dua lusin botol minyak aroma terapi yang masih tersisa. Semuanya tersimpan di dalam brankas, menyingkirkan semua perhiasan emas dan berlian ibunya. Di mata ibunya, botol minyak aroma terapi tersisa lebih berharga dibandingkan logam mulia.
o2
“Dan, enggak perlukah sampai harus setiap hari terapi Ibu. Seminggu dua kali saja sudah cukup. Kondisi Ibu sekarang sudah jauh membaik.”
Aku paham, Nitara berkata seperti itu dikarenakan merasa tak enak hati. Dia mengira ibunya sendiri yang telah memaksaku agar melakukan terapi pijat saban hari. Sementara aku dinilainya tak kuasa untuk berkata tidak.
Nitara salah. Sama sekali aku tidak merasa dipaksa. Yang ada justru aku sendiri yang berinisiatif saban hari melakukan pijat terapi pada Tante Liswara. Tiada rasa lelah yang didapatiku karena aku antusias. Malah sehari saja aku tidak menyambangi rumah ibunya, rasanya seperti menyia-nyiakan jatah waktu bahagiaku.
Unik memang, atau malah suasana batinku saat ini tengah menyimpang. Bagaimana mungkin aku menyamakan aktivitas terapi pijatku pada Tante Liswara, sebagaimana halnya ketika aku dulu semasa remaja rutin mengencani pacar pertamaku.
Tak heran bila segenap isi kepalaku kini tengah sepenuhnya terbelit bayang-bayang paras Tante Liswara, sehingga susah sekali untuk berpaling.
Memang sesat akal! Amatlah tidak waras aku ini! Bukan karena waktu itu aku masih berstatus pria beristri, melainkan karena jatuh cinta pada seorang perempuan yang sudah kuanggap ibuku sendiri. Pengganti Mamah yang sudah meninggal.
Jangan ditanya sampai sedemikian sesatnya aku jatuh cinta! Masih masuk akal andai aku tiba-tiba jatuh cinta pada Nitara. Parasnya senantiasa terlihat segar, padahal saban hari terpapar asap dapur rumah makan yang dikelolanya. Tubuh sintalnya beberapa kali malah sempat menggemaskanku, apalagi statusnya sekarang yang janda tanpa anak.
Memang bentuk muka Nitara belum sebagus ibunya. Meski begitu dagu indahnya telah cukup untuk menobatkannya sebagai perempuan menawan. Kendati demikian tiada pernah hatiku sempat bergetar bertatap muka dengannya.
Bandingkan dengan Tante Liswara yang sudah setengah abad lebih usianya. Tubuhnya yang dulu sintal kini kurus kerontang. Malahan sempat setengah lumpuh, dan hanya dapat duduk kursi roda. Pun dengan binar-binar terang di wajahnya, kini hilang entah kemana berganti sendu. Kendati demikian sukar untuk dibantahku, adalah layak jika kata cantik tetap perlu disematkan di parasnya.
Sekali lagi, sampai sebelum aku tiba-tiba kerasukan hasrat melukis, Tante Liswara masih kuanggap layaknya ibuku sendiri. Perasaanku terhadapnya tak ubahnya sikap seorang anak yang mendapati ibunya terserang stroke, terenyuh. Walau tidak saban hari, namun aku rutin melakukan terapi pijat padanya. Kulakukan dengan sepenuh hatiku sebagai bentuk baktiku pada beliau.
Lain halnya dengan hari-hariku berikutnya. Setelah terkagum-kagum oleh keindahaan lukisan perdanaku, yang bertema lukisan wajah seorang perempuan muda di dalam sebuah studio lukis, bola mataku mendadak tak kuasa untuk berpaling dari lukisanku.
Sampai pernah aku hanya diam mematung selama berjam-jam lamanya, memandangi kecantikan wajah perempuan dalam lukisan perdanaku. Sedangkan perempuan itu tak lain Tante Liswara semasa muda dulu.
Kemudian aku tersadar. Kala itu aku seperti mengulang pengalaman semasa bujangan dulu, betah berlama-lama memandangi kemolekan seorang perempuan, sebelum kemudian aku jatuh cinta padanya untuk selanjutnya diperistri olehku.
Spontan aku menampik. Menolak mentah-mentah kalau aku telah jatuh jatuh cinta pada Tante Liswara. Bukan beliau!
Terlampau menyimpang andai aku benar jatuh cinta padanya. Aku hanya terperangkap jerat-jerat pesona wajah perempuan dalam lukisanku sendiri. Barangkali karena guratan kuasku di kanvas terlampau sempurna, berdampak pada lukisan perdanaku yang begitu hidup saat dipandang.
Anehnya paras Tante Liswara dalam wujud asli sekoyong-koyong berubah di mataku. Tiba-tiba terpancar kilau aura yang tak kalah memesona dengan model dalam lukisan perdanaku. Aku tak lagi mendapatinya sebagai perempuan bermuram durja akibat kepergian suami tercinta.
Di mataku, Tante Liswara malah selayaknya gadis rupawan yang penuh dengan keceriaan. Membuatku betah berlama-lama memandanginya, sebagaimana halnya menatap wajah perempuan dalam lukisan perdanaku.
Ilusi! Aku tetap menampik jika Tante Liswara telah mengundang cinta datang menghampiriku lagi. Segala pesona yang ditemukanku darinya hanyalah produk ketidakberesan otakku.
Yakin diriku, pada waktunya nanti Tante Liswara akan kembali seperti semula. Namun, kiranya realitas berkata lain. Senantiasa berada di sampingnya ternyata amat membahagiakanku.
Pada akhirnya aku harus mengakui, adalah benar bila aku sudah terjerat cinta Tante Liswara. Tapi, kenapa aku sampai sebegitu terperdaya pesonanya? Sekoyong-koyong, dan hanya bermula dari menggagumi keindahan seraut wajahnya dalam lukisan karyaku sendiri.
Ini menyiksaku. Aku akan terperosok dilema besar, bingung bersikap. Hasratku sudah tak kuasa menahan diri, selekasnya aku harus mengungkapkan isi hati pada Tante Liswara. Tetapi, nalar sehatku keras menegurku. Mengingatkanku jika perempuan yang tengah membuatku tergila-gila itu adalah pengganti mendiang Mamah.
Nalar sehatku juga mengingatkanku, alangkah murkanya Nitara jika tahu aku nekat mengutarakan isi hati pada ibunya. Dipastikan dia tak akan mengizinkanku lagi untuk melakukan terapi pijat. Malahan mungkin aku terlarang masuk ke rumah ibunya.
Dengan mempertimbangkan segala untung ruginya, terpaksa aku memilih memendam rasa ini hingga hampir dua tahun lamanya. Satu pilihan yang sesungguhnya amat mendera batinku.
Tiga minggu usai aku resmi tergila-gila pada Tante Liswara, sebuah pengalaman unik sempat menyambangiku. Aku mempergoki perselingkuhan istriku.
Ya, istriku didapatiku tengah tidur bareng pria lain. Meski begitu aku menilainya lain. Istriku justru sengaja mengarahkanku agar mempergoki perselingkuhannya.
Satu sore sepulang dari rumah Tante Liswara, aku beroleh informasi dari sepupuku kalau istriku tengah berada di rumah orangtuanya. Karena ponselnya susah kuhubungi, sengaja aku datang ke rumah orangtuanya yang tengah kosong.
Tiba di sana sepi menyambutku. Aku memanggil nama istriku, tapi tidak ada jawaban. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Langkah kakiku membawaku ke kamar utama, tempat istriku biasa tidur. Pintu kamar itu sedikit terbuka hingga mencipta celah. Aku bisa melihat sesuatu yang membuat perutku mulas. Istriku tengah tidur bersama seorang pria di ranjang yang sama, tanpa sehelai benang pun.
Apakah aku lantas murka seketika? Mengamuk sembari menghajar pria selingkuhan istriku? Tidak. Aku malas mengumbar emosiku. Aku hanya bersikap biasa-biasa saja. Aku cukup berdiri di ambang pintu sembari menatap mereka. Hatiku kosong, tidak ada rasa sakit, tidak ada cemburu. Kalau digambarkan, aku kala itu tak ubahnya tengah menonton adegan ranjang di layar lebar.
Kemudian aku masuk ke dalam kamar. Tetap amarah enggan membuncah di dadaku. Lebih-lebih keinginan, untuk menghajar pria kurang ajar yang meniduri istriku sampai babak belur. Ibarat kata, aku malah tak ubahnya anggota Satpol PP yang tengah melancarkan operasi pekat. Hanya bermaksud melakukan sedikit interogasi pada dua orang berperilaku mesum di kamar.
Pria yang menemani istriku di ranjang terbangun karena langkah kakiku. Ia terkesiap hebat, lantas panik akan kemunculanku di kamar. Ia mencoba menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya pucat pasi, matanya memancarkan ketakutan. Sementara istriku masih terlelap. Dia terlihat begitu damai tanpa menyadari kehadiranku.
Aku malas memedulikan pria itu. Fokus perhatianku hanya pada istriku yang masih lelap. Duduk di kursi di samping ranjang, aku membangunkan istriku.
"Melan, Bangun!" suaraku hanya datar saat menepuk-nepuk bahu istriku.
“Aku... aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan!” Malah pria itu yang menimpali, sementara istriku masih juga lelap.
"Heh, aku bukan lagi bicara denganmu!" timpalku tanpa mau menoleh. Pandanganku tetap kepada istriku, sembari semakin kuat menepuk-nepuk bahunya. "Bangun, Melan!"
Istriku mulai bereaksi, perlahan membuka matanya. Pandangannya kosong selama beberapa detik, lalu sadar akan keberadaanku. Terkesiap luar biasa melihat siapa yang membangunkannya.
"Dani ... kenapa, kenapa kamu di sini?"
"Kenapa kamu tidur bareng laki-laki itu?"
Istriku tidak menjawab. Ia hanya menatapku, matanya membaca setiap detail ekspresiku yang menurutnya... mungkin terlalu datar. Tidak ada kemarahan. Tidak ada kesedihan. Tidak ada apa-apa.
"Sepertinya Melan ingin aku ngamuk, begitu kan?" sahutku, masih dengan suara datar. "Atau, jangan-jangan kamu memang merencanakan semua ini, agar aku mempergoki perselingkuhanmu?"
Pria selingkuhan istriku mencoba menyela. "Tolong, jangan marah dulu, ini ada..."
“Diam kamu, aku tidak sedang bicara denganmu!” hardikku, sembari menoleh sebentar ke pria itu.
“Melan cuma lelah saja, Dani.” Istriku akhirnya berbicara.
“Lelah kenapa?”
Istriku hanya diam dan menunduk. Selama satu menit hanya keheningan yang mengisi kamar ini, sampai-sampai aku mendengar napas ketakutan pria di sampingnya. Aku menunggu. Aku tidak terburu-buru. Aku hanya ingin tahu.
"Lelah dengan semuanya. Dengan pernikahan kita."
Kalimat itu seharusnya menyakitiku, merobek hatiku menjadi kepingan-kepingan kecil. Tapi sekali lagi, yang kurasakan hanya kehampaan. Seperti mendengar berita tentang orang lain.
"Kamu pikir ini solusinya?"
Istriku menggeleng, masih menunduk dan tak berani beradu pandang denganku. "Aku tidak tahu lagi. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Aku menghela napas. Sementara benakku menyebut, yang tengah kulakukan ini bukanlah interogasi. Ini lebih mirip obrolan antara dua orang yang sudah tidak punya ikatan emosional lagi. Istriku tidak menunjukkan rasa bersalah, dan aku tidak menunjukkan kemarahan. Kami seperti dua orang asing yang kebetulan bertemu di sebuah tempat yang salah, pada waktu yang salah.
“Aku harus pulang. Ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan.” Sambil beranjak berdiri aku berkata lagi, tetap dengan nada yang kalem.
Usai berkata aku melangkah keluar kamar. Meninggalkan begitu saja istriku dan lelaki selingkuhannya. Keduanya hanya bisa melongo oleh sikapku atas perselingkuhaan mereka.
Tiba di rumah, aku benar-benar malas memedulikan perselingkuhan istriku. Padahal harga diriku sebagai suami telah dicabik-cabik oleh pria selingkuhan istriku. Yang kulakukan sepulangnya ke rumah hanyalah menuntaskan hobi mendadakku, melukis di kanvas.
Sejak menorehkan karya perdanaku, aku seperti ketagihan untuk terus menelurkan karya lukisan lainnya. Berbeda dengan lukisan perdanaku, yang menurutku tercipta akibat campur tangan kuasa misterius dalam menggerakkan tanganku untuk melukis, karya-karyaku selanjutnya lebih didorong oleh hasratku sendiri sebagaimana sebuah hobi. Temanya pun beraneka ragam, namun tetap bercorak realisme.
Kendati demikian terdapat pula karya lukisku, yang proses kreativitasnya sama persis dengan lukisan perdanaku. Karya lukis yang bukan dilatarbelakangi perintah otakku, namun dorongan kuasa luar yang tiba-tiba datang dan menguasai tubuhku. Jumlahnya mencapai enam buah. Sama halnya dengan lukisan perdanaku, enam lukisanku itu juga hanya menampilkan seraut wajah Tante Liswara semasa muda dulu.
"Dan, kita bercerai saja! Melan harus jujur berkata, Melan sudah tidak mencintaimu lagi.”
Bahkan ketika istriku kemudian memintaku untuk menceraikannya, aku benar-benar tanpa emosi saat menyanggupi permintaannya. Apalagi selama tiga tahun menikah, istriku belum jua memberiku keturunan. Padahal dulu kami menikah atas dasar cinta, setidaknya aku yang mencintai istriku.
o3o
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!