NovelToon NovelToon

TRANSMIGRASI : AKU JADI NYAI

BAB 1. AKU, TRANSMIGRASI?

^^^September 2025^^^

Rambut hitam leganya dikumpulkan menjadi satu sebelum ditarik tinggi ke atas, diikat kuat. Pencahayaan mentari pagi semakin tinggi bertahta di atas sana, beberapa buku menumpuk di atas meja penginapan.

"Wih, udah rapi aja kamu!" seru gadis berambut sebahu saat ia keluar dari kamar mandi.

Sekar tersenyum lebar, ini hari pertama ia terjun meneliti langsung tanaman langka, yang dikabarkan menjadi tanaman obat untuk segala penyakit kanker. Sebagai tamatan dari agroteknologi, Sekar amat bersemangat. Ada beberapa tim yang bergabung, termasuk tim dari biologi.

"Harus cepat, katanya ada beberapa tim luar negeri juga terjun meneliti. Jika itu mamang terbukti, maka tamanan ini akan diperebutkan untuk diteliti," sahut Sekar dengan manik mata berbinar-binar.

"Ya, ya! Aku tau," balasnya.

Sekar melangkah ke arah tumpukan buku, tak sengaja menyenggol salah satu novel dengan sampul warna gelap. Sekar menunduk dan meraih buku novel dan kembali berdiri tegak, ia mendesah kasar. Sekar termasuk orang yang suka membaca buku, tak terkecuali buku novel. Novel era kolonial di tangannya disarankan oleh salah satu teman online satu komunitas pembaca, yang katanya ada nama tokoh yang sama seperti namanya. Saat ia beli dan baca, Sekar sungguh kecewa dengan alur cerita yang membuat tokoh dengan nama yang sama dengan namanya memiliki sifat bodoh serta cinta uang setalah dilanda patah hati. Pada akhirnya malah mati mengenaskan, karena kesombongan dan kebodohan.

Tepukan di bahu mengalihkan fokus Sekar dari sampul novel ke arah teman satu timnya, gadis berlesung itu ikut melirik novel yang ada di tangan Sekar.

"Kenapa? Ada apa dengan buku novelnya?" tanya Vio penasaran.

Kepala Sekar menggeleng tak berdaya. "Ceritanya lumayan bagus cuma agak mengesalkan karena ada namaku di sana, sialnya jadi Nyai dan mati mengenaskan. Penulisnya seakan punya dendam dengan nama 'Sekar', buku ini bikin aku nyesel saat baca di tengah jalan," keluh Sekar.

Buku novel diambil alih, dahinya berkerut saat melihat judul novel. "'Kemelut Cinta dan Luka', dari judulnya udah jelas nggak enak dibaca bagi yang penyuka cerita happy ending. Tapi, dari covernya menarik buat dibaca. Boleh aku pinjam?" tanya Vio antusias.

Kepala Sekar mengangguk, dan mendesah kasar ia memilih meraih tas ranselnya. Terlanjur malas untuk melanjutkan bacaan untuk dua bab terakhir, Sekar melangkah ke arah sepatu bootsnya.

...***...

Ada tali pembatas yang telah dipasangkan melindungi tanaman yang akan diteliti, ada beberapa kelompok yang terbentuk semuanya tentu saja mengincar tanaman yang sama, Sekar melirik dari kejauhan. Berada di hutan paling dalam, ia melewati beberapa pemukiman lama. Ada beberapa kerangka rumah lama, yang entah berdiri di tahun berapa.

Ada banyak profesor serta pemimpin tim tengah berdebat tak jauh dari mereka. Beberapa kali Vio—teman satu kamar Sekar memukul nyamuk yang menghisap darahnya, ada pula yang menguap lelah. Meskipun hutan rimbun dan hijau, mereka tidak selamat dari serangan nyamuk di siang hari.

"Kenapa mereka masih belum selesai memutuskan tim siapa yang berhak untuk mencoba lebih dahulu?" bisik Vio setelah menggaruk bentol di tangannya.

Sekar yang juga merasa kelelahan dan ingin menjadi orang pertama meneliti pun merasa resah, apalagi adanya tim peneliti dari luar negeri membuat persaingan semakin sengit.

"Apakah nggak sekalian aja bikin undian biar pada nggak ribut kayak gitu," celetuk Sekar sedikit mendengus.

Vio melebarkan pupil matanya, ia mengangguk menyetujui usulan brilian Sekar. "Ya, kamu benar. Ayo kita ke sana buat kasih jalan tengahnya sama para Profesor itu."

Vio sontak saja menarik tangan Sekar, keduanya membelah kerumunan orang-orang di depan sana. Semakin keduanya menyelinap masuk, semakin keras suara bertengkar para profesor. Dengan berbagai bahasa serta makian yang melengking, tidak ada yang mau mengalah.

Baru saja Sekar merasa lega saat berhasil membelah kerumunan namun, kericuhan di kerumunan depan tak meraka berdua sadari. Dorongan dan tarikan membuat keseimbangan Vio dan Sekar langsung oleng, Sekar terdorong keluar dari kerumunan, kepalanya membentur batu besar dan tergelincir memasuki sumur tua berlumut tebal.

Teriak Vio dan beberapa orang mengaung, tubuh Sekar langsung terbenam semakin dalam ke dalam seumur. Napasnya tercekat, gelembung kecil keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Darah segar dari kepala belakangnya terlihat jelas, pandangan mata Sekar kabur.

Kedua tangan dan kaki Sekar yang bergerak-gerak semakin melemah, tubuhnya terbenam semakin dalam. Siapa yang menyangka jika Sekar harus mati di sumur tua, mati muda.

...***...

^^^April 1926^^^

BYUR!

Tubuh Sekar menggelepar duduk dari posisi tidurnya, tubuh bagian depan basah sementara bagian belakang tak kalah basahnya. Sekar menatap terduduk dengan keadaan linglung, bisik-bisik lirih orang-orang di sekitar yang mengerumuni dengan aroma terik matahari tercium jelas.

"Bu—bukannya aku sudah mati?" tanya Sekar serak, ia menyentuh kepala belakangnya yang terbentur batu besar.

Riuh di sekitarnya tak ia sadari, sampai senggolan di pahanya membuat Sekar kembali sadar sepenuhnya. Dahi Sekar berlipat di saat ia memperhatikan wanita berkulit gelap dengan pakaian aneh, pakaian yang digunakan di acara tertentu saja.

"Kamu sudah sadar," ucapnya terlihat mencemooh Sekar, "kalau sudah sadar, silakan pergi. Kami tidak menerima wanita rendahan seperti Anda Nyai."

"Hah? Nyai apaan sih," gumam Sekar mengerutkan dahinya.

Sekar menengadah menatap orang-orang yang perlahan bubar, pria yang berdiri dengan sorot mata meremehkan dengan kemeja menguning dan sarung batik tanpa alas kaki itu mendesah berat.

"Kamu harusnya sadar diri Sekar, kamu sudah menjadi Nyai. Aku tidak akan pernah lagi menjadi milikmu, begitu pula sebaliknya. Jangan pernah bertingkah seperti ini lagi, jika sampai suamimu itu tau. Aku bisa masuk ke dalam daftar kerja rodi. Lepaskan cinta yang tak akan pernah terjadi itu," tuturnya sebelum mendengus, ia melangkah meninggalkan Sekar yang terduduk di tanah kuning dan basah setelah Sekar disiram satu tong tanah liat berukuran sedang.

Sekar mengedipkan kedua kelopak matanya, atensinya mengedar menatap sekitar. Sepanjang mata memandang rumah kayu dari bambu, dengan halaman luas. Jalanan tanah tanpa aspal berdebu, pakaian orang-orang terlihat tradisional. Beberapa pohon menjulang tinggi, Sekar masih mencoba memahami situasi dan kondisi saat ini, ia mengulum bibirnya yang kering.

"Apa yang terjadi? Apakah ini area syuting film jadul? Ah, masa tiba-tiba aku pindah tempat dari hutan ke sini?" monolog Sekar bertanya-tanya sendiri.

Suara derap langkah kaki terdengar jelas mendekati Sekar dengan panik membantu Sekar berdiri. Gadis berkulit hitam legam tanpa alas kaki itu merapikan rambut Sekar yang kusut dan basah, bergumam panik.

"Nyai! Harusnya Nyai tau kalau Aji tidak akan pernah mau berhubungan dengan Nyai. Nyai harus berhenti sampai di sini, aku mohon Nyai! Kit—kita semua bisa mati di tangan Tuan Johan," ucapnya panik.

Sekar menepis tangan gadis remaja di depannya, dahinya berlipat. Dua nama yang seakan akrab terdengar, 'Aji' dan 'Johanes' pernah ia lihat tapi di mana. Kepala Sekar berdenyut saat dihantam oleh ratusan ingatan, ia terhuyung dan ditangkap oleh Ratna dengan cepat.

Keduanya adalah nama di tokoh novel fiksi yang Sekar baca, tidak mungkin jiwanya memasuki novel fiksi kolonial yang mana tokoh dengan nama yang sama seperti namanya berakhir tragis dengan kematian di tangan istri sah dari sang suami.

"..., jangan katakan padaku, kalau nama suamiku adalah Johanes Van Rijn? Dan lelaki yang ta—tadi adalah Aji Darsa!" Sekar tergagap dengan manik mata bergetar.

Ratna mengangguk dua kali, dahinya berkerut melihat Nyai-nya malah tampak aneh. Setelah bertemu Aji—mantan kekasih yang dicintai.

'Alamak! Aku transmigrasi jadi Nyai!' Sekar menjerit dalam hati sebelum kembali tumbang membuat Ratna berteriak keras meminta bantuan.

Bersambung...

Halo, Kakak-kakak. Sebelumnya author ucapin selamat datang dan bergabung dengan cerita fantasi era kolonial satu ini. Ini kali pertama author bikin cerita era kolonial, semoga bisa menghibur kakak-kakak yang baca. Jangan lupa like-nya untuk bikin author semakin semangat buat up-date. Subscribe biar selalu dapat pembaruan bab, dan terakhir di kasih rate bintang lima sebagai bentuk kasih sayangnya sama cerita satu ini.

🫰🏻😉😉😉

BAB 2. JOHAN KEMBALI PULANG?

Sekar terpaku duduk di kursi goyang di teras rumah menghadap ke arah taman belakang yang ditata dengan sangat baik, semilir angin siang menggoda kelopak mata Sekar. Ditambah kursi yang bergoyang membuat ia semakin terlena, satu bulan Sekar berada di era kolonial. Settingnya tak ada yang salah, semuanya serba jadul. Tidak ada hiburan, makanan instan, jangan lupakan masakan yang serba kurang. Sekar benar-benar kesulitan untuk beradaptasi dengan dunia novel, apalagi dengan era yang berbeda.

"Nyai! Nyai!" seruan keras dari arah belakang tubuh melengking.

Kelopak mata yang terkulai sontak saja terbuka lebar, Sekar mengerang pelan saat Ratna—gadis yang mendampingi dirinya terlihat heboh berdiri di samping kursi goyang.

"Apa apa? Kenapa kamu berteriak sekeras itu," protes Sekar setengah kesal.

Ratna menunjuk-nunjuk ke arah dalam rumah, terlihat panik.

"A—anu..., aduh! Nyai..., an—anu..., po—"

"Aduh! Jangan berbicara seperti dikejar malaikat maut. Berbicara pelan-pelan saja, aku akan mendengarkan apa yang kamu katakan. Kalau kamu bicara seperti itu, aku pusing mendengarnya," potong Sekar mendongak menatap ekspresi wajah panik Ratna.

Ratna menarik dan mengembuskan napas, mengatur agar dirinya bisa berbicara dengan lebih baik dan jelas.

"Jendral," ujar Ratna, "dia baru saja kembali ke rumah. Sekarang Jendral ada di ruang tengah."

Mata Sekar melotot jantungnya berdebar keras, sosok jendral yang digambar sungguh membuat ia takut. Johan bukan pria yang berhati lembut, pria berambut pirang terang dengan tatapan mata dingin itu merupakan pria gila. Tangannya tak pernah kering dari darah, tidak terhitung berapa banyak orang yang mati di tangannya. Termasuk pejuang serta pemuda yang melawan, ia berdarah dingin.

"Ken—kenapa dia bisa pulang secepat ini? Bukanya kemarin katanya dia berlayar keluar pulau?" Sekar tampak pucat seketika.

Jari jemari tangan Ratna saling bertautan, yang ditakutkan oleh gadis remaja ini adalah kemarahan Johan. Apalagi nyai-nya satu ini masih mengejar-ngejar lelaki lain, gosip itu pasti sampai ke telinga Johan. Jika nyai mati di tangan Johan, Ratna akan ikut disiksa sampai mati mengikuti wanita berparas ayu satu ini.

"Tidak tau, apa yang terjadi sampai Jendral pulang lebih cepat. Hanya saja..., bagaimana kalau Jendral tau kalau Nyai mengajar Tuan Aji," sahut Ranta tersendat, ekspresi wajahnya terlihat jelas ketakutan.

Kedua bola mata Sekar bergerak liar, bibirnya digigit kecil. Di dalam novel tokoh Sekar digambarkan tak kalah gilanya, dia menjadi nyai yang disiksa habis-habisan di tangan Johan. Hanya karena mengejar Aji serta bersikeras untuk menyakiti Kartika—tokoh utama protagonis wanita dalam novel, Kartika yang menjunjung tinggi harga dirinya sebagai ningrat serta tak ingin melepaskan perjuangan untuk meraih kemerdekaan negara. Bahkan Aji yang awal mencintai tokoh Sekar beralih hati ke arah Kartika, membuat Sekar terbakar api cemburu.

Kepala Sekar menggeleng. 'Tunggu! Ini masih berada di awal bab saat tokoh Sekar mengejar-ngejar Aji, belum di bab di mana Sekar menjebak Aji untuk tidur bersama. Dan menghancurkan Kartika karena cemburu. Aku pasti bisa merubah jalan cerita ini.'

Sekar mengangguk tegas, ia turun dari kursi goyang. Melangkah menuju pintu masuk, Ratna mengerutkan dahinya.

"Nyai tidak akan membuat Jendral marah 'kan? Benar begitu bukan?" Ratna berkedip dua kali, lalu berlari panik memasuki rumah besar.

"Nyai! Tunggu dulu!" teriak Ratna kalang kabut.

...***...

Kebaya encim berbahan halus dipadukan dengan bawahan sarung batik lilit dengan warna cerah, rambut hitam legamnya disanggul kesamping dihiasi aksesoris bunga melati putih. Penampil Sekar di malam ini terlihat begitu cantik, dan anggun ia melangkah sebisa mungkin terlihat seperti putri bangsawan berdarah biru. Kedatangan Sekar di meja makan membuat Johan menarik sebelah sisi alis mata tebalnya ke atas, aroma segar dari melati tercium jelas.

Sekar duduk perlahan, tak lupa mengulas senyum senatural mungkin ke arah Johan. Hidangkan di atas meja makan cukup beragam, dari ikan bakar, sayuran, serta daging sapi yang sulit untuk di dapatkan oleh orang-orang pribumi.

"Silakan Jendral, aku sudah menyiapkan makanan yang enak." Sekar membuka pembicara dengan senyum sopan, jari jemari yang ada di atas pahanya terasa dingin di ujung jari.

Sekar hanya berani melirik sekali ke arah Johan, pria yang duduk tegap di kursi jati itu bukan sosok yang biasa saja. Ia tampak berwibawa dan tampan, jika saja mereka berada di era modern mungkin pria yang kini menatap Sekar bisa menjadi sosok artis terkenal karena paras serta pembawaannya.

"Ada apa denganmu hari ini Nyai? Apakah satu bulan tidak bertemu membuatmu mendadak berubah, hm?" Johan menyipitkan kedua matanya.

Manik mata biru dingin itu seakan siap mengintrogasi tahanan, Johan tentu saja tidak akan pernah lupa. Bagaimana perlawanan Sekar terhadap dirinya saat Johan memilih Sekar menjadi gundiknya, Johan tahu betul gadis cantik yang pertama kali ia temukan tengah mencuci pakaian di tepi sungai. Gadis itu cantik, di antara para dara dia-lah yang menarik perhatian Johan. Mah tak mau, Sekar yang saat itu menjalin hubungan dengan Aji—pemuda pribumi itu menjadi gundiknya.

Bahkan di malam Johan menyentuh Sekar, gadis satu ini melawan dan menangis keras. Setiap hari Sekar seperti tikus yang bersembunyi di tempat gelap, karena takut diseret naik ke atas ranjang.

"Ak—aku sudah memutuskan," sahut Sekar tergagap ia tertunduk, jari jemari tangannya saling meremas satu sama lain. "Menerima takdirku menjadi milik Jendral," sambung Sekar mati-matian agar suaranya tak terdengar bergetar.

Sunyi, hanya suara jangkrik yang menyumbang suara, jari jemari kaki di bawah meja ditekuk. Johan masih menutup rapat bibirnya, akan tetapi atensinya semakin dalam menatap Sekar yang tertunduk.

"Karena ditolak laki-laki itu di depan umum?" tebak Johan kembali bersuara, suara terdengar serak dan berat bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar aneh saat berbicara bahasa yang sama dengan Sekar.

Sekar mengangguk, lalu menggeleng setelahnya. "..., dia tidak pantas untuk aku cintai, pe—penolakannya yang dibicarakan oleh orang-orang itu salah paham. Aku sungguh tidak menyukainya, dia terlalu percaya diri jika aku menginginkan untuk kembali bersamanya. Di—dibandingkan menjadi istri dari seorang rakyat biasa, aku lebih suka menjadi Nyai. Dengan rumah yang mewah, makan enak, berpakaian bagus, punya pembantu, dan memiliki suami seorang Jendral. Itu jauh lebih baik," tutur Sekar tertegun beberapa kali.

Harap-harap cemas ia mengangkat pandangan matanya ke arah Johan, pupil mata Sekar melebar saat ia mendapati garis senyum puas di bibir merah merekah Johan naik tinggi ke atas. Mau itu di zaman modern atau zaman kolonial tampaknya pujian untuk pria tetaplah membuat pria itu terbang ke langit.

'Ganteng sih, ganteng. Tapi, kalau bisa bikin semaput lebih baik tidak bersama.' Sekar hanya mampu menelan keluhan di dalam hatinya, author novel benar-benar menciptakan visual tokoh yang sempurna secara fisik terkesan berlebihan di mata Sekar.

Bersambung....

BAB 3. DIJUAL UNTUK MENJADI NYAI

Pagi itu datang dengan begitu lembut, seolah alam ingin membelai siapa saja yang terjaga. Langit tampak biru muda, dihiasi sapuan tipis awan putih yang bergerak perlahan. Sinar matahari menembus dedaunan, menimbulkan kilau keemasan di ujung-ujung rumput yang masih basah oleh embun. Burung-burung berkicau riang, menciptakan irama alami yang menyambut hari baru. Udara segar menyeruak, membawa aroma tanah dan bunga yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Suasana terasa penuh harapan, seakan dunia memberi janji bahwa hari ini akan dipenuhi senyum, semangat, dan langkah-langkah baru yang ringan.

Sekar menggeliat di atas ranjang, tangannya bergerak mengucek kedua kelopak mata. Sekar tampak linglung, semburan napas hangat di leher belakangnya membuat ia tersadar sepenuhnya, Sekar melirik ke samping samar-samar ia dapat melihat wajah tampan Johan—jendral kejam berdarah dingin itu.

Sekar melepaskan tangan Johan yang memeluk pinggang rampingnya, kelambu disibak ke samping saat kedua tungkai kakinya turun dari ranjang. Sekar menghela napas lega lepas dari pelukan Johan, ia melangkah menuju pintu. Di luar terlihat aktifitas rutin pada pembantu yang tampak sibuk, Ratna menghampiri sang majikan.

"Nyai mau langsung disiapkan air mandi kembangnya?" tanya Ratna antusias.

Mengingat Sekar—nyai satu ini dulunya sulit akur dengan sang jendral, apalagi di hati Sekar hanya ada Aji—kekasih masa lalunya. Ratna hanya takut jika Sekar dibuang seperti sampah oleh Johan, karena muak dengan tingkah laku Sekar. Ada banyak wanita pribumi yang cantik, tidak hanya ada Sekar seorang. Seorang petinggi seperti Johan dengan jentikan jari bisa mendapatkan puluhan wanita untuk dijadikan gundik, jika itu terjadi maka kehidupan Sekar tidak akan mudah.

"Siapkan, dan nanti tolong bantu aku bersiap untuk ke rumah orang tuaku," jawab Sekar lirih.

Ranta mengangguk, ia langsung bergerak ke belakang menyiapkan peralatan mandi kembang sang nyai. Sekar mendesah berat, ia melangkahkan menuju teras rumah. Menatap jauh ke depan, tidak banyak rumah warga di depan sana.

"Aku tidak mau hidup seperti ini selamanya. Aku harus cari cara untuk bisa berpisah dengan baik-baik dengan dia," monolog Sekar, ia menganggukkan kepala penuh keyakinan.

...***...

Rumah kayu berukuran sedang dengan pagar terbuat dari rotan, Ratna mengerutkan dahinya memperhatikan Sekar yang berdiri di depan rumah orang tuanya dengan ekspresi rumit. Tidak paham apa yang ingin dilakukan oleh Sekar ke rumah orang tuanya, dulu sekali Sekar paling tidak suka datang ke sini. Pintu rumah kayu terbuka, wanita yang masih tampak cantik di usia yang tak lagi muda terlihat. Pupil matanya melebar, mendapati putri sulungnya.

"Sekar!" serunya ceria, ia melangkahkan cepat mendekat ke arah Sekar.

Tubuh Sekar dipeluk tiba-tiba, Sekar tertegun tak tahu harus bereaksi seperti apa. Wanita di depannya ini terlihat begitu antusias, ia melepaskan pelukan dan menarik Sekar memasuki rumah kayu. Saat masuk Sekar mengedarkan pandangan matanya, rumah berlantaikan kayu cukup bersih. Ada radio di sudut ruangan, Sekar dibawa duduk ke kursi rotan. Ratna mengikuti dan berdiri di samping kursi, Wati meraba-raba wajah putrinya.

"Lasmi! Mbakmu datang, bawakan minum cepat," teriak nyaring Wati memerintahkan putri keduanya untuk membawakan air minum.

Tak butuh waktu lama Lasmi keluar dari arah dapur membawa segelas air putih, melangkah mendekati kursi. Ia menunduk meletakkan air minum, Lasmi tersenyum semringah mendapati kakaknya. Lasmi sangat mengagumi sang kakak, kecantikan dan kepintaran Sekar membuat banyak pemuda pribumi maupun pejabat jatuh cinta. Sayangnya sang kakak hanya menyukai Aji, sosok yang berasal dari keluarga berada. Dijadikan sebagai seorang gundik dari jendral membuat Lasmi ikut merasakan kesedihan sang kakak, akan tetapi siapa yang bisa melawan kehendak petinggi Belanda satu itu.

"Kenapa kamu datang ke sini," celetuk pria paruh baya yang datang dari arah kamar depan, ia terlihat menatap lambat sang putri.

Wajah Lasmi dan Wati berubah total, keceriaan di wajah mereka padam seketika. Dahi Sekar berlipat, pria ini ayah pemilik tubuh asli. Sosok pria patriarki yang tamak akan uang, Sekar dijual dengan harga mahal pada Johan—jenderal.

Joyo melirik putrinya dari atas sampai bawah, kebaya yang dikenakan sampai rok kain hanya mampu dibeli oleh kalangan berdarah biru, dan beberapa jajaran pejabat baik pribumi maupun pejabat Belanda. Kalung emas yang melingkar di leher jenjang putrinya membuat mata Joyo tampak serakah, ia duduk di kursi depan.

"Aku ke sini ingin meminta uang yang Ayah terima dari Jendral saat dia membawaku," sahut Sekar dengan berani, orang-orang di ruang tamu langsung melotot mendengar perkataan Sekar.

Sudut baju kebayanya ditarik-tarik perlahan oleh Wati, ibunya terlihat berkedip-kedip hanya untuk memperingatkan sang putri. Joyo mendengus kesal, melirik remeh Sekar.

"Mau uang," kata Joyo mencemooh, "kamu lupa, ayahmu ini yang membesarkanmu, menyekolahkan kamu sampai melek huruf dan angka. Uang dari Jendral itu milikku, bukan milikmu. Kalau kamu mau uang itu, maka berikan ganti padaku seribu gulden sebagai gantinya."

Mata Ratna melotot, ayah sang majikan tampaknya sangat gila. Seribu gulden bukan uang yang sedikit, jangankan seribu gulden. Sepuluh gulden saja sulit didapatkan, Lasmi menunduk ketakutan. Harga kakaknya saja bukan main, lantas bagaimana dengan Lasmi kedepannya. Entah berapa harga yang ayahnya tetapkan untuk menjualnya, dengan dalih mahar pernikahan.

Sekar terkekeh renyah, orang-orang di ruang tamu mengerutkan dahi mendengar tawa Sekar.

"An—ayah benar-benar lintah darat, pria gila yang tamak akan uang. Apakah para putri di matamu adalah hewan yang siap dijual?" Sekar menatap tak percaya ke arah Joyo.

Joyo merogoh kotak tak jauh dari posisi duduknya mengeluarkan rokok dari dalam kotak ayaman bambu, dengan santai melilit tembakau dan daun jagung kering. Ia merokok dengan santai, Sekar menjepit lubang hidungnya sementara tangan kirinya mengipas-ngipas aroma tembakau yang tak sedap membuat ia terbatuk dua kali.

"Jika ayahmu ini tidak tamak, kamu pikir bagaimana cara ayahmu ini menghidupi keluarga ini. Ada banyak anak yang harus dihidupi, kalian para anak perempuan harus membalas jasa orang tua. Kamu masih marah sampai mengatai ayahmu ini gila, huh. Kamu lupa bagaimana keadaanmu saat ini, bisa hidup seperti wanita bangsawan. Jangan terlalu munafik Sekar, Aji tidak mampu membayar uang maharmu. Seratus gulden saja dia tak sanggup, lalu kamu ingin menjadi istrinya? Mau makan apa kamu. Jadi Nyai tak seburuk apa yang terlihat bukan? Lihatlah, kita berdua sama-sama diuntungkan," tutur Joyo setelah mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

Joyo tak tersinggung sama sekali dengan perkataan putrinya, memang benar ia tamak pada harta. Menjual Sekar dengan harga fantastis, Joyo sama sekali tidak takut atau malu dengan bisik-bisik mencemooh dan hinaan orang-orang. Ia telah hidup selama ini dengan nama buruk, tak tahu malu untuk mendapatkan pundi-pundi uang.

Bibir Sekar terbuka lalu tertutup kembali, rasanya ia bisa mati karena darah tinggi menghadapi Joyo. Pria paruh baya yang tak punya rasa kemanusiaan, apa yang diharapkan Sekar pada Joyo. Sekarang yang pasti uang itu tak akan bisa ia dapatkan, Sekar harus mencari cara lain.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!