NovelToon NovelToon

Jodoh Tak Akan Kemana

Bab 1 Aroma kopi dan kritik pedas di jantung jakarta

Jakarta, 6:30 pagi. Mentari malu-malu menyembul di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Asillah, dengan rambut dicepol asal dan kacamata bertengger di hidung, sudah berkutat di depan layar komputernya. Desain Rumah Sakit Sejahtera masih jauh dari kata selesai, dan tenggat waktu semakin mendekat.

Asillah menyesap kopi hitamnya yang pahit, berharap kafein bisa mengusir kantuk yang menyerang. Ia sudah begadang semalaman, mencoba menyempurnakan setiap detail desain. Baginya, rumah sakit bukan hanya sekadar bangunan, tapi juga tempat penyembuhan, tempat harapan tumbuh, dan tempat kehidupan baru dimulai. Ia ingin menciptakan ruang yang nyaman, aman, dan menenangkan bagi pasien dan tenaga medis.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ibunya, seperti biasa, menelepon di pagi hari untuk menanyakan kabarnya dan mengingatkannya untuk tidak lupa makan.

"Assalamualaikum, Nak. Sudah bangun? Jangan lupa sarapan, ya. Ibu sudah masakin nasi goreng kesukaanmu," suara ibunya terdengar lembut di seberang sana.

"Waalaikumsalam, Bu. Sudah bangun, kok. Ini lagi kerja. Nanti Asillah sarapan di kantor saja," jawab Asillah sambil tersenyum. Ia tahu, ibunya selalu khawatir tentang dirinya.

"Kerja terus. Kapan mikirin jodoh? Umurmu itu sudah bukan ABG lagi, Nak," sindir ibunya dengan nada bercanda.

Asillah menghela napas. Pertanyaan itu lagi. Ia sudah bosan mendengarnya. "Ibu, Asillah kan sudah bilang, jodoh itu urusan Allah. Kalau sudah waktunya, pasti datang sendiri," jawab Asillah dengan nada sedikit kesal.

"Iya, Ibu tahu. Tapi, kamu juga harus usaha, Nak. Jangan cuma kerja saja. Coba deh, ikut arisan atau kumpul-kumpul sama teman. Siapa tahu ketemu jodoh di sana," nasihat ibunya.

"Iya, Bu, iya. Nanti Asillah pikirkan. Sudah ya, Bu. Asillah mau lanjut kerja dulu. Assalamualaikum," ucap Asillah mengakhiri percakapan.

Setelah menutup telepon, Asillah menghela napas panjang. Ia tahu, ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya. Tapi, ia merasa tertekan dengan tuntutan untuk segera menikah. Baginya, menikah bukan hanya sekadar status, tapi juga komitmen seumur hidup. Ia tidak ingin terburu-buru dan salah memilih pasangan.

Asillah kembali fokus pada pekerjaannya. Ia membuka kembali file desain rumah sakit dan mulai meneliti setiap detail. Ia ingin memastikan bahwa desainnya memenuhi semua standar dan kebutuhan.

Pukul 08:00, Asillah bergegas menuju kantor. Ia terlambat karena terjebak macet di jalan Thamrin. Jakarta memang tidak pernah tidur, selalu ramai dan penuh dengan aktivitas.

Sesampainya di kantor, Asillah langsung menuju ruang rapat. Timnya sudah menunggu dengan wajah cemas.

"Maaf, semuanya, saya terlambat," ucap Asillah sambil mengatur napas.

"Tidak apa-apa, Sil. Kita juga baru mulai," jawab Rian, sahabat sekaligus rekan kerjanya.

Rapat dimulai dengan presentasi desain dari tim arsitek. Asillah menjelaskan konsep desain rumah sakit yang modern, ramah lingkungan, dan mengutamakan kenyamanan pasien. Ia menyoroti penggunaan material alami, pencahayaan alami, dan tata ruang yang fleksibel.

"Kami ingin menciptakan rumah sakit yang tidak terasa seperti rumah sakit. Tempat yang nyaman dan menenangkan bagi pasien dan keluarga," ujar Asillah dengan penuh semangat.

Namun, saat sesi tanya jawab, seorang pria berjas dokter mengajukan pertanyaan yang membuat Asillah sedikit kesal. Pria itu adalah Dokter Alfin, kepala bagian pelayanan medis di Rumah Sakit Sejahtera.

"Maaf, Mbak Asillah, tapi menurut saya desain ini kurang memperhatikan aspek fungsionalitas rumah sakit. Misalnya, ruang tunggu pasien terlalu kecil, padahal kita tahu pasien di Jakarta itu banyak. Kemudian, penempatan ruang UGD terlalu jauh dari pintu masuk, itu akan menyulitkan proses evakuasi pasien," ujar Dokter Alfin dengan nada kritis namun tetap sopan.

Asillah mengerutkan kening. Ia merasa desainnya sudah dipikirkan matang-matang, namun pria ini dengan mudahnya mengkritik tanpa memberikan solusi yang jelas.

"Maaf, Dok, tapi kami sudah mempertimbangkan semua aspek. Ruang tunggu memang tidak terlalu besar, tapi kami menyediakan fasilitas lain seperti taman dan area bermain anak agar pasien tidak merasa bosan. Untuk penempatan ruang UGD, kami sudah berkoordinasi dengan tim medis dan mempertimbangkan jalur evakuasi yang paling efisien," jawab Asillah dengan nada sedikit defensif.

"Tapi, Mbak, fasilitas itu tidak akan berguna kalau pasiennya tidak nyaman karena terlalu penuh sesak. Dan jalur evakuasi yang efisien itu seperti apa? Apakah sudah disimulasikan dengan kondisi riil?" balas Dokter Alfin lagi dengan tatapan tajam.

Asillah merasa darahnya mendidih. Ia tidak suka dikritik di depan banyak orang, apalagi oleh orang yang baru dikenalnya. Namun, ia berusaha menahan emosinya dan menjawab dengan tenang.

"Oke, Dok, terima kasih atas masukannya. Kami akan mempertimbangkan kembali desainnya dan melakukan simulasi evakuasi. Kami akan mengirimkan revisi desain secepatnya," ucap Asillah dengan nada datar.

Setelah rapat selesai, Asillah merasa sangat kesal. Ia merasa Dokter Alfin sengaja mencari masalah dengannya.

"Sil, sabar ya. Dokter Alfin itu memang begitu. Dia perfeksionis dan selalu ingin yang terbaik untuk pasien," kata Rian mencoba menenangkan Asillah.

"Iya, aku tahu. Tapi, caranya menyampaikan kritik itu agak menyebalkan. Dia seperti meremehkan kerja kerasku," jawab Asillah sambil menghela napas.

"Sudahlah, Sil. Jangan dipikirkan. Anggap saja ini sebagai tantangan. Buktikan bahwa desainmu memang yang terbaik," kata Rian menyemangati.

Asillah mengangguk. Ia akan membuktikan kepada Dokter Alfin bahwa ia adalah arsitek yang profesional dan kompeten. Ia akan merevisi desainnya dan memastikan bahwa semua masukan dari Dokter Alfin dipertimbangkan dengan baik.

Namun, di balik kekesalannya, Asillah juga merasa tertarik dengan Dokter Alfin. Pria itu memiliki aura yang berbeda, karismatik dan cerdas. Ia penasaran, siapa sebenarnya Dokter Alfin ini? Mengapa ia begitu peduli dengan rumah sakit? Dan mengapa ia begitu kritis terhadap desainnya?

Asillah memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Dokter Alfin. Ia membuka profil LinkedIn Dokter Alfin dan mulai membaca informasi tentang pria itu. Ia menemukan bahwa Dokter Alfin adalah lulusan terbaik dari fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki banyak penghargaan.

Asillah semakin penasaran dengan Dokter Alfin. Ia ingin mengenalnya lebih dekat. Namun, ia juga takut. Ia takut akan ditolak, atau lebih buruk lagi, ia takut jatuh cinta pada pria yang salah.

Setelah rapat yang cukup menegangkan itu, Asillah memilih untuk menyendiri di kedai kopi favoritnya, "Kopi Kenangan", yang terletak tak jauh dari kantornya di kawasan Kuningan. Aroma kopi yang menenangkan seolah menjadi pelarian sementara dari hiruk pikuk pikiran yang berkecamuk di benaknya. Ia memesan iced latte dengan extra shot espresso, berharap bisa mendapatkan suntikan energi tambahan.

Sambil menunggu pesanannya, Asillah membuka kembali file desain Rumah Sakit Sejahtera di laptopnya. Ia mencoba melihat desainnya dari sudut pandang Dokter Alfin. Mungkin ada benarnya juga kritikan pria itu. Sebagai seorang arsitek, ia memang fokus pada estetika dan kenyamanan, tapi terkadang melupakan aspek fungsionalitas yang sangat penting dalam sebuah rumah sakit.

Ia mulai mencatat poin-poin yang perlu direvisi: ukuran ruang tunggu, penempatan ruang UGD, sirkulasi udara, dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Ia menyadari bahwa ia harus lebih terbuka terhadap masukan dari orang lain, terutama dari para tenaga medis yang akan menggunakan rumah sakit tersebut setiap hari.

"Ini, Mbak, iced latte-nya," suara seorang barista membuyarkan lamunannya.

Asillah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia menyesap kopinya perlahan, merasakan sensasi dingin dan pahit yang menyegarkan. Sambil menikmati kopinya, ia membuka aplikasi Instagram di ponselnya. Ia melihat foto-foto teman-temannya yang sedang liburan, menghadiri pernikahan, atau sekadar berkumpul bersama keluarga.

Tiba-tiba, ia teringat akan percakapannya dengan ibunya pagi ini. Pertanyaan tentang jodoh kembali mengusik pikirannya. Ia memang belum terlalu memikirkan urusan percintaan, tapi ia juga tidak bisa memungkiri bahwa ia merasa sedikit iri melihat teman-temannya yang sudah menemukan pasangan hidup.

Ia bertanya-tanya, apakah ia terlalu fokus pada karirnya hingga melupakan hal-hal penting lainnya dalam hidup? Apakah ia terlalu idealis dalam mencari pasangan? Apakah ia akan selamanya sendiri?

Asillah menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif itu. Ia memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya dan menyerahkan urusan jodoh kepada Tuhan. Ia percaya bahwa jika memang sudah waktunya, ia pasti akan bertemu dengan orang yang tepat.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Ia merindukan kehangatan, kasih sayang, dan kebersamaan dengan seseorang yang spesial. Ia ingin berbagi cerita, tertawa bersama, dan menghadapi tantangan hidup bersama.

Sambil termenung, Asillah tidak sengaja melihat sebuah postingan di Instagram dari Dokter Sarah, seorang dokter senior di Rumah Sakit Sejahtera. Dokter Sarah adalah teman dekat Dokter Alfin. Di postingan itu, Dokter Sarah mengunggah foto dirinya bersama Dokter Alfin sedang menikmati makan siang di sebuah restoran di kawasan Menteng.

Asillah terkejut melihat foto itu. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia merasa cemburu. Ia tidak tahu mengapa ia merasa cemburu. Ia bahkan belum mengenal Dokter Alfin dengan baik.

Ia mencoba menepis perasaannya dan menganggapnya hanya sebagai rasa penasaran biasa. Tapi, ia tidak bisa memungkiri bahwa ia tertarik dengan Dokter Alfin. Pria itu memiliki sesuatu yang membuatnya penasaran.

Asillah memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Dokter Alfin. Ia ingin tahu apa yang membuat pria itu begitu peduli dengan rumah sakit. Ia ingin tahu apa yang membuatnya begitu kritis terhadap desainnya. Dan yang paling penting, ia ingin tahu apakah pria itu sudah memiliki kekasih.

Asillah menutup laptopnya dan menghabiskan kopinya dengan cepat. Ia bergegas kembali ke kantor, dengan tekad untuk merevisi desain rumah sakit dan membuktikan kepada Dokter Alfin bahwa ia adalah arsitek yang profesional dan kompeten.

Namun, di balik tekadnya itu, terselip sebuah harapan kecil. Ia berharap, dengan bekerja sama dengan Dokter Alfin, ia bisa mengenalnya lebih dekat dan mungkin, menemukan cinta yang selama ini ia cari.

Revisi desain dan secercah senyum di balik kacamata

Asillah kembali ke kantor dengan semangat baru. Ia langsung menghubungi Rian dan meminta bantuan untuk merevisi desain Rumah Sakit Sejahtera. Rian, sebagai sahabat yang selalu mendukungnya, dengan senang hati membantu.

"Oke, Sil, kita mulai dari mana?" tanya Rian sambil membuka file desain di komputernya.

"Kita mulai dari poin-poin yang dikritik Dokter Alfin. Ruang tunggu, UGD, sirkulasi udara, dan aksesibilitas," jawab Asillah sambil menunjuk ke layar komputer.

Mereka berdua bekerja keras sepanjang sore, memutar otak mencari solusi terbaik untuk setiap masalah. Asillah mencoba membayangkan dirinya sebagai pasien, sebagai dokter, sebagai perawat, dan sebagai keluarga pasien. Ia ingin menciptakan desain yang benar-benar memenuhi kebutuhan semua orang.

Rian memberikan ide-ide yang brilian, yang membuat Asillah semakin bersemangat. Mereka berdua saling melengkapi, menciptakan sinergi yang luar biasa.

"Gimana kalau ruang tunggu kita buat lebih luas, tapi kita bagi menjadi beberapa zona? Ada zona anak-anak, zona lansia, dan zona umum. Jadi, pasien bisa memilih tempat yang paling nyaman bagi mereka," usul Rian.

"Ide bagus, Rian! Kita juga bisa menambahkan taman kecil di dalam ruang tunggu, biar pasien bisa merasa lebih rileks," balas Asillah.

Untuk ruang UGD, mereka memutuskan untuk memindahkannya lebih dekat ke pintu masuk dan membuat jalur khusus untuk ambulans. Mereka juga menambahkan helipad di atap rumah sakit untuk pasien yang datang dari daerah yang jauh.

"Kita juga harus memperhatikan sirkulasi udara, Sil. Rumah sakit itu rentan terhadap penyebaran penyakit. Kita harus memastikan bahwa udara di dalam rumah sakit selalu bersih dan segar," kata Rian.

"Betul, Rian. Kita bisa menggunakan sistem ventilasi alami dan menambahkan tanaman-tanaman yang bisa menyerap polusi udara," jawab Asillah.

Untuk aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, mereka menambahkan ramp di setiap pintu masuk, lift khusus, dan toilet yang didesain khusus untuk pengguna kursi roda.

Setelah bekerja keras selama berjam-jam, akhirnya mereka berhasil menyelesaikan revisi desain. Asillah merasa lega dan puas dengan hasilnya. Ia yakin bahwa desainnya sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya.

"Oke, Rian, terima kasih banyak atas bantuannya. Kamu memang sahabat terbaikku," ucap Asillah sambil tersenyum.

"Sama-sama, Sil. Aku senang bisa membantu. Sekarang, tinggal kita presentasikan ke Dokter Alfin," jawab Rian.

Keesokan harinya, Asillah menghubungi Dokter Alfin dan meminta waktu untuk mempresentasikan revisi desain. Dokter Alfin setuju dan mengatur pertemuan di ruang rapat Rumah Sakit Sejahtera.

Asillah merasa gugup saat memasuki ruang rapat. Ia melihat Dokter Alfin sudah duduk di sana, menunggunya dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Selamat pagi, Mbak Asillah," sapa Dokter Alfin dengan sopan.

"Selamat pagi, Dok," jawab Asillah sambil mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Asillah mulai mempresentasikan revisi desain dengan percaya diri. Ia menjelaskan setiap perubahan yang telah mereka lakukan dan alasan di baliknya. Ia juga menunjukkan simulasi evakuasi yang telah mereka buat.

Dokter Alfin mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela atau memberikan komentar. Asillah merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Dokter Alfin.

Setelah presentasi selesai, Dokter Alfin terdiam sejenak. Asillah merasa semakin gugup.

"Mbak Asillah, saya harus mengakui bahwa revisi desain ini sangat bagus. Anda dan tim Anda telah bekerja keras dan berhasil mengatasi semua masalah yang saya ajukan," kata Dokter Alfin akhirnya.

Asillah merasa lega mendengar pujian itu. Ia tersenyum lebar. "Terima kasih, Dok. Kami senang bisa memenuhi harapan Anda," jawab Asillah.

"Tapi, ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan," kata Dokter Alfin tiba-tiba.

Asillah kembali merasa gugup. "Apa itu, Dok?" tanyanya.

"Mengapa Anda begitu peduli dengan rumah sakit ini? Mengapa Anda begitu bersemangat untuk menciptakan desain yang sempurna?" tanya Dokter Alfin dengan tatapan yang menusuk.

Asillah terdiam sejenak. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia merasa Dokter Alfin bisa melihat menembus hatinya.

"Saya... saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Saya ingin menciptakan rumah sakit yang bisa memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan nyaman bagi semua orang," jawab Asillah dengan jujur.

Dokter Alfin tersenyum tipis. "Saya percaya itu, Mbak Asillah. Saya bisa melihatnya dari mata Anda," kata Dokter Alfin.

Asillah merasa pipinya memanas. Ia tidak tahu mengapa ia merasa begitu tersentuh dengan kata-kata Dokter Alfin.

"Kalau begitu, saya setuju dengan revisi desain ini. Mari kita bekerja sama untuk mewujudkan rumah sakit impian ini," kata Dokter Alfin sambil mengulurkan tangannya.

Asillah menyambut uluran tangan Dokter Alfin dengan senyum yang tulus. Ia merasa ada sesuatu yang baru telah dimulai. Ia merasa ada secercah harapan di balik kacamata Dokter Alfin.

Uluran tangan Dokter Alfin terasa hangat dan mantap. Asillah merasakan sengatan kecil saat kulit mereka bersentuhan. Ia berusaha menetralkan debaran jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Senyum tulus Dokter Alfin, meski hanya samar, mampu menghangatkan suasana ruang rapat yang tadinya terasa kaku.

"Saya senang sekali bisa bekerja sama dengan Anda, Dok," balas Asillah, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum profesional.

"Saya juga, Mbak Asillah. Saya percaya, dengan kolaborasi yang baik, kita bisa menciptakan rumah sakit yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat," jawab Dokter Alfin, masih dengan senyum tipisnya.

Setelah pertemuan itu, Asillah merasa ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Revisi desainnya diterima dengan baik, dan ia akan bekerja sama dengan Dokter Alfin untuk mewujudkan rumah sakit impian mereka. Namun, di balik kelegaan itu, muncul perasaan baru yang membingungkan. Ia merasa tertarik pada Dokter Alfin, tapi ia tidak yakin apakah perasaan itu hanya sekadar kekaguman profesional atau sesuatu yang lebih dalam.

Sepanjang hari itu, Asillah tidak bisa berhenti memikirkan Dokter Alfin. Ia teringat akan tatapan tajamnya, senyum tipisnya, dan suaranya yang tenang namun berwibawa. Ia penasaran tentang kehidupan pria itu di luar rumah sakit. Apakah dia memiliki hobi? Apakah dia memiliki keluarga? Apakah dia sudah memiliki kekasih?

Rasa penasaran itu mendorong Asillah untuk mencari tahu lebih banyak tentang Dokter Alfin. Ia membuka kembali profil LinkedIn pria itu dan membaca semua informasi yang tersedia. Ia menemukan bahwa Dokter Alfin adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam yang sangat berdedikasi. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial dan sering memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat kurang mampu.

Asillah semakin kagum pada Dokter Alfin. Pria itu tidak hanya tampan dan cerdas, tapi juga memiliki hati yang mulia. Ia merasa beruntung bisa bekerja sama dengan orang seperti Dokter Alfin.

Namun, rasa kagum itu juga menimbulkan kecemasan dalam diri Asillah. Ia takut jatuh cinta pada Dokter Alfin, tapi ia juga takut kehilangan kesempatan untuk mengenal pria itu lebih dekat. Ia merasa terjebak dalam dilema yang sulit.

Di malam hari, Asillah tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus melayang pada Dokter Alfin. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menonton film atau membaca buku, tapi tidak berhasil. Akhirnya, ia memutuskan untuk menghubungi Rian.

"Rian, aku mau cerita sesuatu," kata Asillah dengan nada serius.

"Ada apa, Sil? Kamu kenapa?" tanya Rian dengan nada khawatir.

"Aku... aku kayaknya tertarik sama Dokter Alfin," jawab Asillah dengan ragu-ragu.

Rian terdiam sejenak. "Serius? Kamu tertarik sama Dokter Alfin yang kritis itu?" tanyanya dengan nada terkejut.

"Iya, Rian. Aku juga bingung kenapa. Tapi, aku ngerasa ada sesuatu yang beda sama dia," jawab Asillah.

"Hmm... aku sih nggak kaget. Dokter Alfin itu memang tipe ideal banyak wanita. Dia tampan, cerdas, sukses, dan baik hati. Tapi, kamu yakin, Sil? Kamu kan orangnya idealis banget. Dokter Alfin itu perfeksionis dan agak kaku. Kalian cocok?" tanya Rian.

"Aku juga nggak tahu, Rian. Makanya aku bingung. Aku takut salah langkah. Aku takut sakit hati," jawab Asillah dengan nada sedih.

"Dengerin aku, Sil. Jangan terlalu dipikirkan. Ikuti saja kata hatimu. Kalau kamu memang tertarik sama Dokter Alfin, coba dekati dia. Kenali dia lebih dekat. Kalau ternyata kalian nggak cocok, ya sudah. Yang penting kamu sudah mencoba," nasihat Rian.

"Tapi, gimana caranya, Rian? Aku kan nggak tahu apa-apa tentang dia. Aku juga takut dia nggak tertarik sama aku," jawab Asillah.

"Tenang, Sil. Aku punya ide. Aku kan kenal sama Dokter Sarah, teman dekatnya Dokter Alfin. Aku bisa minta tolong Dokter Sarah untuk menjodohkan kalian," usul Rian.

Asillah terdiam sejenak. Ia mempertimbangkan usulan Rian. Ia tahu, ini adalah kesempatan terbaiknya untuk mengenal Dokter Alfin lebih dekat.

"Oke, Rian. Aku setuju. Tolong bantu aku," jawab Asillah akhirnya.

Rian tersenyum. "Siap, Sil! Aku akan bantu kamu sekuat tenaga. Kamu pantas bahagia," kata Rian dengan tulus.

Asillah merasa lega dan bersemangat setelah berbicara dengan Rian. Ia tahu, ia tidak sendiri. Ia memiliki sahabat yang selalu mendukungnya.

Namun, di balik semangat itu, terselip sedikit keraguan. Ia tidak tahu apakah Dokter Alfin akan tertarik padanya. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi. Ia hanya bisa berharap, jodoh memang tidak akan lari ke mana.

Rencana Rahasia dan makan malam yg penuh kejutan

Rian memang sahabat sejati. Keesokan harinya, ia langsung menghubungi Dokter Sarah dan menceritakan tentang ketertarikan Asillah pada Dokter Alfin. Awalnya, Dokter Sarah terkejut mendengar berita itu. Ia tidak pernah menyangka bahwa Asillah, seorang arsitek yang terkenal dengan kecerdasannya, bisa tertarik pada Dokter Alfin yang dikenal kaku dan serius.

"Rian, kamu yakin Asillah benar-benar tertarik sama Alfin? Mereka kan baru ketemu beberapa kali. Aku takut Asillah salah menilai Alfin," kata Dokter Sarah dengan nada khawatir.

"Aku yakin, Sarah. Asillah itu bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tapi, dia bilang, dia ngerasa ada sesuatu yang beda sama Alfin. Aku percaya sama dia," jawab Rian dengan yakin.

"Hmm... kalau begitu, aku akan bantu. Aku juga pengen lihat Alfin bahagia. Dia terlalu fokus sama kerjaannya, sampai lupa mikirin urusan percintaan," kata Dokter Sarah.

Rian dan Dokter Sarah kemudian menyusun rencana rahasia untuk menjodohkan Asillah dan Dokter Alfin. Mereka sepakat untuk mengatur makan malam bersama, dengan alasan membahas detail desain rumah sakit.

"Kita atur makan malam di restoran yang romantis, tapi jangan terlalu mencolok. Kita bilang saja, ini pertemuan informal untuk membahas desain. Nanti, kita usahakan agar mereka bisa ngobrol lebih banyak," usul Dokter Sarah.

"Ide bagus, Sarah. Aku serahkan semua urusan ke kamu. Aku percaya sama kamu," jawab Rian.

Dokter Sarah kemudian menghubungi Dokter Alfin dan Asillah, mengundang mereka untuk makan malam bersama di sebuah restoran Italia yang terkenal di kawasan Kemang. Ia beralasan bahwa pertemuan ini penting untuk membahas detail desain rumah sakit dan memastikan semua berjalan lancar.

Asillah merasa gugup saat menerima undangan itu. Ia senang bisa bertemu dengan Dokter Alfin lagi, tapi ia juga takut salah tingkah. Ia bertanya-tanya, apa yang harus ia kenakan? Apa yang harus ia bicarakan? Bagaimana jika Dokter Alfin tidak tertarik padanya?

Ia menghubungi Rian dan meminta saran. "Rian, aku harus pakai baju apa? Aku bingung banget," kata Asillah dengan nada panik.

"Tenang, Sil. Pakai saja baju yang nyaman dan menunjukkan kepribadianmu. Jangan terlalu berlebihan, tapi juga jangan terlalu sederhana. Yang penting, kamu percaya diri," jawab Rian.

Asillah akhirnya memutuskan untuk mengenakan dress selutut berwarna biru navy dengan motif bunga-bunga kecil. Ia memadukannya dengan heels berwarna senada dan tas selempang kecil. Ia merasa nyaman dan percaya diri dengan penampilannya.

Di hari makan malam, Asillah datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak terlambat dan membuat Dokter Alfin menunggu. Ia duduk di meja yang telah dipesan oleh Dokter Sarah dan memesan minuman.

Tidak lama kemudian, Dokter Sarah datang. Ia tersenyum melihat Asillah yang tampak cantik dan anggun.

"Hai, Sil! Maaf ya, aku telat. Tadi ada pasien yang harus aku tangani," kata Dokter Sarah.

"Tidak apa-apa, Sarah. Aku juga baru datang kok," jawab Asillah sambil tersenyum.

Mereka berdua mengobrol santai sambil menunggu Dokter Alfin datang. Asillah merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan Dokter Sarah.

Tepat pukul 7 malam, Dokter Alfin datang. Ia mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan jas berwarna abu-abu. Ia tampak tampan dan berkarisma.

Asillah merasa jantungnya berdebar kencang saat melihat Dokter Alfin. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum ramah.

"Selamat malam, Mbak Asillah, Sarah," sapa Dokter Alfin dengan sopan.

"Selamat malam, Alfin," jawab Dokter Sarah dan Asillah bersamaan.

Mereka bertiga kemudian memesan makanan dan minuman. Awalnya, suasana terasa sedikit kaku. Mereka hanya membahas tentang desain rumah sakit dan masalah-masalah teknis lainnya.

Namun, Dokter Sarah dengan cerdik mengarahkan pembicaraan ke topik yang lebih personal. Ia bertanya tentang hobi, keluarga, dan pengalaman hidup masing-masing.

Asillah dan Dokter Alfin mulai membuka diri dan menceritakan tentang diri mereka masing-masing. Asillah menceritakan tentang kecintaannya pada arsitektur, tentang mimpinya untuk menciptakan bangunan-bangunan yang bermanfaat bagi masyarakat, dan tentang keluarganya yang selalu mendukungnya.

Dokter Alfin menceritakan tentang pengalamannya sebagai dokter, tentang idealismenya untuk membantu orang-orang yang sakit, dan tentang kekhawatirannya terhadap masalah kesehatan di Indonesia.

Asillah merasa semakin kagum pada Dokter Alfin. Ia melihat bahwa pria itu tidak hanya cerdas dan berdedikasi, tapi juga memiliki hati yang tulus dan peduli pada sesama.

Di tengah obrolan yang semakin hangat, tiba-tiba seorang pelayan datang membawa sebuah buket bunga mawar merah yang indah.

"Ini untuk Mbak Asillah," kata pelayan itu sambil menyerahkan buket bunga kepada Asillah.

Asillah terkejut. Ia tidak tahu siapa yang mengirimkan bunga itu. Ia melihat ke arah Dokter Sarah dan Dokter Alfin, tapi mereka berdua tampak sama bingungnya.

"Siapa yang kirim bunga ini?" tanya Asillah dengan nada bingung.

"Saya juga tidak tahu, Mbak. Tidak ada nama pengirimnya," jawab pelayan itu.

Asillah menerima buket bunga itu dengan perasaan campur aduk. Ia senang menerima bunga, tapi ia juga penasaran siapa yang mengirimkannya.

Dokter Alfin tersenyum melihat Asillah yang kebingungan. "Mungkin ada pengagum rahasia," kata Dokter Alfin dengan nada bercanda.

Asillah tersipu malu mendengar ucapan Dokter Alfin. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Makan malam itu berlanjut dengan suasana yang lebih hangat dan akrab. Asillah dan Dokter Alfin semakin dekat dan saling mengenal. Mereka menemukan banyak kesamaan dan merasa nyaman satu sama lain.

Di akhir makan malam, Dokter Alfin menawarkan untuk mengantar Asillah pulang. Asillah menerima tawaran itu dengan senang hati.

Di dalam mobil, suasana terasa hening. Asillah merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bunga Tanpa Nama dan Sinyal yang Salah Ditangkap

Suasana di dalam mobil terasa begitu intim. Lampu-lampu jalan Jakarta yang berkedip-kedip menciptakan bayangan yang menari-nari di wajah Asillah. Ia bisa merasakan tatapan Dokter Alfin sesekali mencuri pandang ke arahnya, membuat pipinya semakin memanas.

"Mbak Asillah, terima kasih atas malam ini. Saya sangat menikmati obrolan kita," ucap Dokter Alfin, memecah keheningan.

"Saya juga, Dok. Saya senang bisa mengenal Anda lebih dekat," balas Asillah, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Saya harap, kita bisa sering-sering bertemu di luar urusan pekerjaan," lanjut Dokter Alfin, dengan nada yang sedikit menggantung.

Asillah merasa jantungnya berdebar semakin kencang. Apakah ini berarti Dokter Alfin juga tertarik padanya? Apakah ini sinyal bahwa ia harus berani mengambil langkah selanjutnya?

"Saya juga berharap begitu, Dok," jawab Asillah, dengan senyum yang penuh arti.

Mobil itu berhenti di depan rumah Asillah. Dokter Alfin keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Asillah.

"Hati-hati ya, Mbak. Sampai jumpa," ucap Dokter Alfin, dengan senyum yang menawan.

"Terima kasih, Dok. Sampai jumpa," balas Asillah, sambil menerima uluran tangan Dokter Alfin.

Saat tangan mereka bersentuhan, Asillah merasakan sengatan listrik yang kuat. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat tertarik pada Dokter Alfin.

Asillah keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumahnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat Dokter Alfin masih berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Asillah tersenyum dan melambaikan tangan. Dokter Alfin membalas lambaian tangannya dan masuk kembali ke dalam mobil.

Asillah masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur aduk. Ia senang karena malam ini berjalan lancar, tapi ia juga bingung dengan sinyal yang diberikan oleh Dokter Alfin. Apakah pria itu benar-benar tertarik padanya, atau hanya bersikap ramah sebagai rekan kerja?

Ia teringat akan buket bunga mawar merah yang ia terima di restoran. Siapa sebenarnya yang mengirimkan bunga itu? Apakah Dokter Alfin yang mengirimkannya, tapi tidak berani mengaku?

Asillah memutuskan untuk menghubungi Rian dan menceritakan semua yang terjadi malam ini. "Rian, aku bingung banget. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin," kata Asillah dengan nada frustrasi.

"Tenang, Sil. Coba ceritakan semuanya dari awal," jawab Rian dengan sabar.

Asillah menceritakan tentang makan malamnya dengan Dokter Alfin dan Dokter Sarah, tentang obrolan mereka yang semakin akrab, tentang buket bunga misterius, dan tentang sinyal-sinyal yang diberikan oleh Dokter Alfin.

Rian mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Asillah selesai bercerita, Rian terdiam sejenak.

"Hmm... aku rasa, Dokter Alfin juga tertarik sama kamu, Sil. Tapi, dia mungkin masih ragu-ragu karena dia kan orangnya kaku dan serius. Kamu harus lebih proaktif, Sil. Jangan cuma menunggu," kata Rian.

"Proaktif gimana, Rian? Aku kan nggak tahu apa yang harus aku lakuin," jawab Asillah dengan nada bingung.

"Coba deh, ajak dia makan siang atau ngopi bareng. Atau, kamu bisa minta tolong dia untuk membantu kamu menyelesaikan masalah desain rumah sakit. Yang penting, kamu bisa menghabiskan waktu bersamanya dan mengenalnya lebih dekat," usul Rian.

Asillah mempertimbangkan usulan Rian. Ia merasa usulan itu masuk akal. Ia harus berani mengambil inisiatif jika ia ingin mendapatkan hati Dokter Alfin.

"Oke, Rian. Aku akan coba. Terima kasih atas sarannya," kata Asillah.

"Sama-sama, Sil. Semangat ya! Aku yakin, kamu pasti bisa mendapatkan hati Dokter Alfin," jawab Rian dengan penuh semangat.

Asillah menutup telepon dan menarik napas dalam-dalam. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Rian dan mencoba mendekati Dokter Alfin.

Keesokan harinya, Asillah datang ke Rumah Sakit Sejahtera untuk membahas detail desain rumah sakit dengan Dokter Alfin. Ia sengaja datang lebih awal agar bisa bertemu dengan Dokter Alfin sebelum rapat dimulai.

Ia melihat Dokter Alfin sedang berdiri di depan ruangannya, membaca sebuah dokumen. Asillah memberanikan diri untuk menghampirinya.

"Selamat pagi, Dok," sapa Asillah dengan senyum manis.

Dokter Alfin terkejut melihat Asillah. "Selamat pagi, Mbak Asillah. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada sopan.

"Saya mau membahas tentang desain ruang UGD. Saya masih belum yakin dengan penempatan beberapa peralatan medis. Mungkin Dokter bisa memberikan masukan," jawab Asillah.

"Tentu saja, Mbak. Mari kita bahas di ruangan saya," kata Dokter Alfin sambil mempersilakan Asillah masuk ke ruangannya.

Asillah merasa senang karena Dokter Alfin menyambutnya dengan baik. Ia berharap, pertemuan ini bisa menjadi awal dari hubungan yang lebih dekat.

Namun, saat mereka sedang membahas desain ruang UGD, tiba-tiba seorang wanita cantik masuk ke ruangan Dokter Alfin. Wanita itu adalah Dokter Renata, seorang dokter spesialis jantung yang terkenal di rumah sakit itu.

"Alfin, maaf mengganggu. Aku mau pinjam buku catatanmu," kata Dokter Renata dengan nada manja.

Dokter Alfin tersenyum pada Dokter Renata. "Oh, Renata. Silakan saja," jawab Dokter Alfin.

Dokter Renata kemudian melihat ke arah Asillah dan tersenyum sinis. "Oh, maaf, saya tidak tahu kalau ada tamu. Silakan dilanjutkan," kata Dokter Renata dengan nada yang meremehkan.

Asillah merasa tersinggung dengan sikap Dokter Renata. Ia merasa seperti orang asing di ruangan itu. Ia merasa Dokter Renata sengaja ingin menunjukkan bahwa ia lebih dekat dengan Dokter Alfin.

Asillah memutuskan untuk segera menyelesaikan pembicaraan dan keluar dari ruangan Dokter Alfin. Ia merasa kesal dan kecewa. Ia merasa sinyal yang ia tangkap dari Dokter Alfin malam ini hanyalah sinyal yang salah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!