NovelToon NovelToon

Skandal Tuan Playboy

Bastian Menginginkan Senara

Sebastian Adiwangsa. CEO muda dari sebuah perusahaan pemasok senjata internasional. Saat ini Sebastian adalah nama yang ditakuti di banyak lingkaran. Keluarga Adiwangsa memang sejak lama dikenal sebagai keluarga yang penuh skandal. Dari kakeknya yang merajai bisnis bioteknologi ilegal, hingga ayahnya yang pernah mengendalikan mafia olahraga. Dan kini, Sebastian meneruskan tradisi berbahaya itu dengan bisnis yang jauh lebih kejam.

Sesuai dengan dunianya yang gelap, Sebastian hanya mempekerjakan orang-orang yang berani mempertaruhkan hidupnya. Salah satunya Ravian Mahendra. Anak jalanan yang dulu ia pungut dalam keadaan putus asa. Dari sekadar meminta pekerjaan, Ravi kemudian menjadi tangan kanan Sebastian. Segala hal, termasuk urusan finansial keluarganya, masih ditopang oleh sang bos besar.

Namun hubungan itu berubah ketika Sebastian mengetahui satu hal. Ravian mempunyai seorang adik Perempuan cantik bernama Senara. Entah mengapa Bastian mengingkan adiknya itu.

“Aku mau adikmu, Rav.” Kalimat itu menghantam Ravian sekeras pukulan.

“Tolong, Bas. Jangan dia,” Ravi memohon. Ia tahu betul reputasi bosnya. Sebastian adalah pria yang gemar berganti pasangan dan hidup dalam lingkaran One Night Stand. Bastian tidak pernah mengenal kata setia dan memiliki misi untuk menghancurkan seluruh wanita.

Sebastian tersenyum menyeringai. “Dia polos? Masih perawan?”

“Ya. Dia sangat polos.”

Tawa Sebastian meledak keras. “Hahaha… jangan bodoh, Rav. Dengan wajah cantik seperti itu? Adikmu tidak mungkin belum dijamah pria kaya.”

“Bastian, jaga mulutmu!” Ravi meninggikan suara.

“Kau berani melawanku? Mau kutarik semua biaya yang sudah kukeluarkan untukmu?” Mata Sebastian berkilat tajam.

Ravian terdiam.

“Besok malam, bawa dia ke sini. Kalau tidak, kau tanggung akibatnya. Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku.” Kata-kata dingin itu menggantung di udara, meninggalkan Ravi yang meremas rambutnya frustasi.

“AHHH SHIT!” Ravian teriak di ruangan itu.

“Bagaimana ini, aku tidak mungkin menyerahkan Senara ke Bastian. Tapi jika tidak, kemungkinan keluarga kita akan hancur Sena” Ravian masih bermonolog sambil menyugarkan rambutnya ke belakang.

…. … …

Saat pikirannya kacau, ponsel Ravi berdering. Nama Senara terpampang di layar. Ravi memejamkan matanya singkat, hingga ia menekan tombol hijau disana.

“Kak.. Kakakk.. tolong Sena” suara Sena disana terdengar bergetar

“Sena kenapa? Apa yang terjadi?”

“Kak rumah penuh dengan orang-orang berbadan besar, mereka ingin menyita rumah ini kak. Tolongin. Sena harus bagaimana” Sena semakin menangis

“Dengar aku. Cari tempat aman. Kakak akan segera ke sana.” Ravi menutup telepon, panik sekaligus hancur. Ia tahu ini bukan kebetulan.

Dari balik pintu, Sebastian sempat melihatnya tergesa-gesa. Senyumnya tipis, penuh kemenangan terlihat di bibirnya.

...****************...

Malam itu, tak ada pilihan lain selain membawa Sena ke penthouse Sebastian. Ravi berjanji hanya untuk satu malam besok ia akan mencarikan kontrakan baru. Kebetulan Sebastian sedang tidak ada di tempat malam ini dan akan kembali besok.

Di tepi kolam renang pribadi yang mewah, Senara duduk sambil mengayunkan kakinya di air. Udara dingin menembus kulitnya yang saat ini hanya mengenakan kaos berlengan pendek dan celana pendeknya.

“Ternyata Ravi membawa mu lebih cepat dari perkiraanku” tiba-tiba terdengar suara dingin dari belakang membuat Sena tersentak.

Sena menoleh. Seorang pria berdiri angkuh, sorot matanya menusuk.

“Kamu siapanya Kak Ravian?” tanya Sena mulai dengan suara sedikit bergetar karena pria yang tiba-tiba datang itu semakin mendekatinya.

“Kau tidak bertanya dengan Ravian siapa pemilik Penthouse ini?” tanyanya sangat dingin.

Sena terdiam sejenak dan baru menyadari sesuatu, “Kamu temannya kak Ravian yang punya Penthouse ini?”

“Tapi kataya pemiliknya sedang pergi malam ini, dan akan kembali besok” Sena diam lagi dan tampak berfikir,

“Berarti bukan kamu pemiliknya” Jawab Sena final.

Bastian tersenyum miring mendengar itu. Ia tiba-tiba duduk tepat di samping Sena, terlalu dekat hingga paha mereka bersentuhan.

Sena berusaha untuk menggeser tubuhnya, namun tangan Bastian tiba-tiba melingkar di pinggangnya dan menyeret tubuh Sena agar semakin dekat dengannya.

“Kamu jangan macam-macam” Sena memperingati.

“Kenapa? Kau Takut?” tantang Bastian.

“Y..yaa” Sena beneran takut Sekarang, “Tatapanmu menyeramkan”

Sedari tadi, Pandangan Bastian. terus turun ke bibir dan tubuh wanita itu yang menurutnya sangat menggoda.

Tatapan itu semakin dalam, dan tanpa peringatan, ia menarik tengkuk Sena, mendaratkan ciuman kasar di bibirnya.

Sena yang tidak siap dan kaget spontan langsung mendorong tubuh pria itu dengan kuat dan langsung menamparnya.

“Lepas!” Sena mendorong sekuat tenaga dan…

Plak! Suara tamparan menggema.

Wajah Sebastian berubah muram. “Berani kau menamparku?” Ia mencengkeram pergelangan tangan Sena keras, menahan tangan itu.

Tangan satunya lagi ia gunakan untuk menarik tengkuk wanita itu lagi, lalu kembali mencium paksa.

Sena tentu tidak diam saja. Dia terus memberontak, tapi karena tubuhnya yang kecil, tenaga yang ia keluarkan tetap saja kalah dengan tenaga Bastian.

Bastian mendorong Sena hingga Sena terlentang di pinggir kolam renang. Pria itu mendesak tubuhnya dari atas.

Air mata turun membasahi pipi Sena. Disaat seperti ini, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

“BASTIAN!” Suara Ravi menggema, penuh amarah.

Ravian datang dan berlari, menarik paksa tubuh Bastian dari adiknya.

Tangan Ravian sudah mengepal dibawah sana, rasanya ia ingin sekali memukul Bastian sekarang. Jika dia tidak melihat kondisi Sena yang saat ini sangat ketakutan. Tubuhnya menggigil.

“Kau benar-benar bajingan” Ravian berteriak kepada Bastian.

Bastian tersenyum sinis “Ternyata kau benar, Rav. Adikmu masih polos” Bastian berbalik.

Di depan pintu Penthouse dia kembali berbalik, “Ravian jangan lupakan permintaan ku. Besok dia harus sudah ada di kamarku”

“Jika tidak, kalian akan hancur” Bastian melanjutkan ucapannya dan kemudian berlalu pergi.

Setelah kepergian Bastian, Ravian kembali berteriak “bangsat!”

“Kakakk” Sena memanggilnya dengan suara bergetar

“Sena. Sena maafin kakak” ucapnya sambil memeluk tubuh Sena. Tubuh Sena benar-benar bergetar malam itu.

… … …

Di kamar, keheningan terasa menekan. Senara duduk di tepi ranjang, matanya masih sembab, sementara Ravian mondar-mandir seperti orang kehilangan akal.

“Dia siapa, Kak?” suara Sena akhirnya pecah, pelan namun tegas.

Ravi terdiam sejenak, lalu menjawab lirih, “Bastian. Pemilik penthouse ini… sekaligus bos kakak.”

“Bos?” Mata Sena membesar. “Kakak… bekerja dengannya?”

Ravi hanya mengangguk pelan.

Sena menelan ludah, dadanya berdegup keras. “Lalu apa maksud kalimat terakhir yang dia ucapkan tadi?”

Ravi memejamkan mata rapat-rapat. Ia ingin menghindar, tapi tatapan adiknya memaksanya bicara.

“Dia menginginkanmu,” suaranya pecah, hampir tak terdengar.

Sena tercekat, namun ia tahu masih ada yang ditutupi oleh kakaknya. “Lanjutkan, Kak. Jangan ada yang ditutupi.”

Ravi menarik napas berat. “Sena, dia bukan pria sembarangan. Dia punya kekuatan, uang, pengaruh. Selama ini, dialah yang menopang hidup kita, membayar semua biaya, bahkan menolong kita di saat paling gelap. Kakak berutang banyak padanya. Dan sekarang dia menagih balasannya. Denganmu.”

Sena terdiam, wajahnya pucat.

“Kakak tahu, apa pun yang dia mau dia akan mendapatkannya. Kalau kita melawan, dia bisa menghancurkan segalanya. Rumah, hidup kita, dan masa depanmu” suara Ravi pecah, ia menunduk dalam-dalam.

“Jadi kakak takut padanya?” Sena bertanya, meski hatinya sendiri sudah tahu jawabannya.

“Ya, Sena.” Ravi menahan gemetar di tangannya.

“Kakak takut. Dia terlalu berkuasa.”

Hening menggantung di antara mereka. Lalu, tiba-tiba, Sena mengangkat wajahnya yang masih basah oleh air mata. Tatapannya bulat, penuh tekad.

“Kalau begitu besok aku akan menemuinya.”

Ravi mendongak kaget. “Sena, jangan! Kau tidak tahu apa yang kau katakan—”

“Demi kakak,” potong Sena, suaranya tegas, meski tubuhnya sendiri gemetar. “Kalau itu satu-satunya cara agar kakak tidak kehilangan segalanya, aku rela.”

Ravi menatap adiknya, hancur. Kata-kata Sena seperti belati yang menancap di dadanya.

...----------------...

^^^Cheers, ^^^

^^^Gadis Rona.^^^

Malam Penyerahan

Malam itu, Sena mati-matian meneguhkan hatinya. Tak ada ruang untuk gentar, hanya ada satu tujuannya. Dia harus berhadapan langsung dengan Bastian, pria yang terkenal dingin, keras, dan nyaris mustahil ditembus.

Sejak siang tadi, Ravian kembali menentangnya habis-habisan, tapi Sena sudah tak mau lagi menyerah pada debat kosong.

Kalau bukan begini, keluarganya mungkin bisa hancur lagi. Mereka baru saja mulai merajut kepingan kehidupan yang kemarin porak-poranda. Dan kali ini, Sena rela menanggung risikonya sendiri.

“Di mana kamar Bastian?” tanyanya pelan pada seorang wanita paruh baya yang tampak seperti pengurus di penthouse megah itu.

“Di lantai atas, Nona. Mari saya antarkan.” Suaranya tenang, sopan, tapi penuh wibawa.

Sena mengangguk, mengikuti langkah wanita itu menuju sebuah pintu besar berukir indah.

“Terima kasih, Mbak,” ucap Sena sebelum wanita itu sempat berbalik.

“Panggil saya Mbok Jena saja.”

Sena tersenyum kikuk. “Baik, Terima kasih Mbok Jena.”

Mbok Jena mengangguk kecil, lalu pergi meninggalkan Sena seorang diri di depan pintu kamar yang megah dan mencekam itu.

Sena menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantung yang tak karuan. Jemarinya bergetar ketika mengetuk pintu, lalu mendorongnya perlahan.

Begitu masuk, hawa dingin segera menyergap tubuhnya. Ruangan itu temaram, didominasi warna cokelat gelap, menimbulkan kesan muram dan berat.

Di sisi ruangan, seorang pria bertubuh tinggi bersandar pada dinding kaca kamar ini, Bastian membelakanginya.

Langkah ringan Sena terdengar, dan Bastian akhirnya berbalik. Senyum sinis terukir di bibirnya, tatapan matanya tajam penuh penghakiman. Dalam kepalanya, ia semakin mantap berpikir bahwa semua wanita sama. Pada akhirnya, mereka akan datang sendiri, menyerahkan dirinya kepada pria. Wanita di didepannya ini sebagai bukti nyatanya.

Sena berdiri kaku di depan ranjang besar, tak beranjak mendekat.

Bastian justru melangkah santai, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa. “Duduklah. Kau terlihat seperti patung di sana.”

Dengan canggung, Sena mendekat. Tangannya memilin ujung dress, tak tahu harus meletakkan diri seperti apa. “Kenapa kamu memintaku datang ke kamarmu?” tanyanya sangat lembut.

Sifat Sena memang seperti itu. Lembut dan penuh kesabaran, meski hidup berkali-kali menghancurkannya. Berbeda jauh dari pria di depannya. Keras, dingin, dan dikenal sebagai diktator.

Bastian tiba-tiba menarik pergelangan tangannya hingga ia terjatuh duduk di sofa. Dress-nya tersingkap, menampakkan paha mulus, membuatnya buru-buru merapikannya dengan wajah merah.

“Ravian sudah memberitahu mu belum kalau aku menginginkanmu?”

Sena menegakkan wajah, memberanikan diri menatapnya “Sudah. Kenapa kamu menginginkanku? Kamu bahkan tidak mengenalku”

“Karena kau cantik dan emm menggoda.” Tatapannya kini menyusuri wajah Sena dengan cara yang membuat darahnya berdesir tak nyaman.

“Jadi kamu mau apa? Memacariku?” Sena bertanya dengan polos, tulus, membuat Bastian meledak tertawa meremehkan.

“Hah yang benar saja memacarimu. Kau tau arti dari mengingkanmu itu apa?”

Sena hanya menggeleng. Dia benar tak tau maksud orang dewasa itu.

“Menginginkanmu berarti aku ingin menidurimu, aku ingin berhubungan intim denganmu” bisik Bastian tepat di telinganya, sementara jemarinya mengusap lengan pucat itu dengan gerakan sensual.

Sena tersentak, jantungnya berdegup liar. “Aku tidak mau.”

Senyum Bastian mengeras. “Aku tidak butuh persetujuan siapa pun. Banyak wanita bahkan berlari mengejarku. Dan kau? Keluargamu saja bisa berdiri tegak hari ini karena aku.”

Bastian mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Sena. Saat Sena mencoba menunduk menjauh, dagunya ditahan paksa.

“Kau tahu? Aku lah yang membantu Ravian menemukanmu. Kalau bukan aku, kau mungkin sudah lenyap jadi korban perdagangan manusia. Aku yang melacakmu, aku yang menyelamatkanmu, aku yang mempertemukanmu kembali dengan kakak kesayanganmu itu.”

Sena terdiam. Kata-kata itu menusuk, membuat dadanya tercekat.

“Tak hanya itu,” lanjutnya dingin. “Aku juga menolong Ravian menemukan keluarganya. Ibumu itu aku yang mencarikannya hingga dia bisa dirawat di rumah sakit sampai saat ini. Ayah dan Ibumu itu benar-benar menghabiskan uangku.”

Kedua mata Sena melebar. Fakta itu bagai tamparan keras untuknya. Semua itu bahkan tak pernah terucap dari Ravian, Kakaknya.

“Terkejut?” Bastian tersenyum tipis, alisnya terangkat. “Aku begitu baik pada keluargamu bukan? Lalu apa salahnya jika aku menuntut balas budi?”

Sena tampak berfikir sejenak, kenyataan tadi benar-benar menghantam dirinya. Keadaan keluarganya yang membaik ternyata atas peran pria ini.

Dia menarik nafas panjangnya. “Kamu ingin meminta balas budi dengan aku yang harus menyerahkan tubuhku?”

“Ya” jawab Bastian singkat.

“Maka lakukanlah” Sena memejamkan matanya sebentar, “Lakukan jika itu yang kamu inginkan” Sena sudah tidak bisa mengelak lagi jika ini berhubungan dengan keluarga dan kakak kesayangannya itu.

Senyum puas muncul di wajah Bastian. Ia tahu, pada akhirnya wanita ini tetap terjebak dalam genggamannya.

Dengan gerakan cepat, ia menarik tengkuk Sena dan mencium bibir mungil itu rakus. Wajah Sena yang cantik dengan kulit putih pucatnya dan bibir pink alami berbentuk hati memicu nafsu yang terus membara.

Bastian semakin memperdalam ciumannya. Sena hanya diam dan membiarkan Bastian melumat bibirnya. Dia tidak membalasnya ataupun mengalungkan tangannya di leher Bastian seperti yang biasanya orang-orang lakukan.

Alih-alih membalas, Sena hanya menangis, awalnya matanya hanya berkaca-kaca saja tetapi kemudian dia semakin lemah hingga air matanya turun membasahi pipinya.

Bastian terhenti. Rasa asin di bibirnya menyadarkan, ada air mata di sana. Tatapannya mengeras.

Sena Menangis. Dan itu membuat dalam dirinya timbul perasaan aneh yang tak suka melihat air mata itu turun dari mata wanita itu.

“Kenapa kau menangis?”

“Maaf…” jawab Sena pelan, sambil mengusap air mata yang tak henti jatuh.

Bastian menatap Sena kembali. Dalam hatinya, sempat terlintas keinginan untuk berhenti. Melihat air mata Sena jelas membuktikan bahwa gadis itu sama sekali tidak menginginkan semua ini.

Namun, nafsu dalam diri Bastian justru kian berkobar, menuntut untuk menjadikan Sena miliknya malam ini. Ia benar-benar sudah tak mampu menahan gejolak itu.

Tubuh mungil Sena bagai undangan yang sulit ditolak. Dengan sekali dorongan, Bastian membaringkan Sena di atas sofa, lalu kembali merebut bibirnya. Ciuman kali ini sedikit lebih lembut, seolah berusaha menenangkan, tapi tetap menyimpan bara yang mendesak.

Tangan Bastian tidak tinggal diam. Jemarinya mulai menelusuri tubuh rapuh itu, dari bagian atas, lehernya, bahu mulusnya hingga berhenti pada dua gundukkan menggoda yang membuat Sena bergetar halus.

Usapannya kian turun, menelusuri paha putih mulus itu, sampai akhirnya berhenti di bagian paling sensitif. Sentuhan yang semula lembut berubah lebih kasar, seiring dengan gairahnya yang semakin tak terkendali.

Sena tak lagi melawan. Ia hanya terdiam, pasrah menerima setiap sentuhan. Dan malam itu, kamar megah tersebut menjadi saksi bagaimana nafsu Bastian menguasai Sena, merenggut kepolosannya untuk pertama kali.

...****************...

Di sisi lain kota, seorang pria tenggelam dalam keputusasaan.

Ravian duduk di meja bar, menenggak alkohol gelas demi gelas, entah sudah berapa botol yang diteguknya. Pikirannya hanya satu, adiknya. Sena.

Bayangan Sena di kamar Bastian membuat dadanya sesak. Ia merasa gagal lagi sebagai kakak, gagal melindungi darah dagingnya sendiri.

“Bastian…” gumamnya lirih, suaranya pecah. “Kenapa harus Sena yang kau inginkan?”

Tangannya mengepal, matanya merah karena amarah dan mabuk. “Rasanya aku ingin membunuhmu, Sebastian Adiwangsa.”

“Tapi keluargaku… keluargaku juga bergantung padamu.”

Ia tertawa getir, menepuk meja bar hingga botol bergetar. “Bangsat. Kau benar-benar bangsat, Bastian!”

......................

^^^Cheers, ^^^

^^^Gadis Rona^^^

Tangisan Senara

Pagi itu, kamar yang berantakan hanya dipenuhi oleh suara tangis. Sena berusaha menahan isakannya, menutup mulut dengan telapak tangan, tapi sia-sia. Semakin ditekan, semakin keras tangis itu pecah. Hingga akhirnya, suara itu membangunkan sang pemilik kamar.

“Kau bisa diam?” suara Bastian terdengar tajam dan dingin menusuk.

“Ma…a…af” balas Sena terbata, suaranya parau.

Bastian menarik selimut, menutupi kepala. Namun, suara isakan itu tetap saja menembus kain tebal itu dan terdengar semakin keras.

“FVCK!” maki Bastian, bangkit kasar dan menatap Sena penuh amarah.

Sena langsung terdiam. Tubuhnya kaku, meski air mata masih deras mengalir.

“Kau bisa diam atau tidak? Aku ingin tidur,” suaranya meninggi. Ia berhenti sebentar, lalu mengancam dengan nada yang lebih menyeramkan

“Kalau kau masih berisik, aku akan memasuki mu lagi pagi ini.”

Ancaman itu membuat Sena membeku dan menghentikan tangisnya. Hatinya mencelos.

… … …

Hampir sore, tapi Sena masih saja meringkuk di kamar. Mata bengkak, tubuh lemah, pikirannya kacau.

Pelayan-pelayan silih berganti datang ke depan pintu kamarnya untuk mengantarkan makanan, karena wanita itu tidak turun untuk sarapan dan makan siang. Seharian ini ia bahkan menolak makanan yang dibawa para pelayan.

Akhirnya Mbok Jena sendiri yang datang mengetuk pintu. “Nona Sena… ini Mbok Jena. Tolong makan dulu, Non.”

Tidak ada jawaban.

“Non?” suara itu penuh kekhawatiran.

Tiba-tiba, suara berat terdengar dari belakang.

“Kenapa, Mbok?”

Mbok Jena berbalik. Bastian berdiri di sana, menatapnya dengan dingin. “Eh, Tuan sudah pulang.”

“Kenapa Mbok berdiri di depan kamarnya?”

“Ini Nona Sena, Tuan… dari tadi tidak keluar dari kamarnya. Belum sarapan dan bahkan makan siang. Semua pelayan yang datang juga tidak dibukakan pintu bahkan tidak ada suara apapun dalam kamar Nona Jena Tuan.”

Bastian mendengus, rahangnya menegang. Ia memutar gagang pintu—terkunci. Tanpa banyak bicara, ia turun mencari kunci cadangan.

Dapat.

Dia mengambil kunci cadangan itu dan naik kembali ke atas dengan Mbok Jena yang masih berdiri didepan pintu kamar itu berusaha terus mengetuknya.

“Berikan makanannya,” ucap Bastian.

Mbok Jena sempat terkejut, tapi segera menyerahkan nampan itu.

“Mbok bisa lanjutkan pekerjaan yang lain” Bastian memberi isyarat agar ia pergi.

Pintu kamar sena terbuka. Sena yang sedang meringkuk di kasur sedikit terkejut dengan suara pintu terbuka, tetapi dia tetap pada posisinya tanpa menolehkan kepalanya.

“Kenapa kau tidak keluar kamar?” suara Bastian menghantam, membuat Sena refleks duduk tegak.

Sena masih diam.

“Makan.” Bastian menaruh nampan di depannya.

“Aku… tidak lapar.”

Bastian mendengus dingin. “Kau memang harus dipaksa rupanya.”

Tanpa peringatan, ia langsung menyendok nasi dan menyuapkan ke mulut Sena dengan kasar. Sena tersedak, beberapa butir nasi berjatuhan ke sprei. Berkali-kali Bastian memaksa, hingga—

“Bastian!” suara Ravian memecah suasana. Ia berdiri di pintu, wajahnya penuh amarah.

“Kenapa kau masuk kamar Sena?”

Bastian menoleh, menyeringai sinis. “Baguslah kau datang.”

Ia menyorongkan piring itu ke Ravian. “Suapi adikmu. Pastikan dia makan. Jangan sampai dia sakit hingga tak bisa melayaniku.”

Setelah itu, ia pergi tanpa peduli.

Ravian mendekat cepat, memeluk adiknya yang masih bergetar. Melihat mata Sena yang sembab, ia sudah bisa menebak apa yang terjadi semalam.

“Sena…” suaranya bergetar.

“Maafkan kakak. Kakak belum bisa melindungimu.”

Sena tidak menjawab. Hanya tangisan yang kembali pecah di bahu kakaknya.

...****************...

Hampir Tengah malam. Tenggorokan kering membuat Sena beranjak dari kamarnya dan turun ke dapur.

Sesampainya di dapur, dia segera membuka kulkas dan mencari minuman dingin.

Setelah mendapat apa yang dia cari, Sena akhirnya menutup kulkas itu. Ia terperanjak. Ada satu pria asing di sana.

“Hei, siapa kamu?” tanya pria itu, sama-sama terkejut.

“Aku adiknya Kak Ravian,” jawab Sena pelan.

“Adiknya Ravian?” pria itu tampak heran, lalu tersenyum samar. “Senara, ya?”

Sena tersentak. “Bagaimana kamu tahu namaku?”

Pria itu mengulurkan tangan. “Aku Arya. Sahabat sekaligus rekan kerja Bastian dan Ravian.”

Sena menyambut jabatannya dengan ragu. “Oh… salam kenal ya.” Tapi Sena tetaplah Sena. Dia tetap melemparkan senyuman manisnya.

“Kamu haus tengah malam begini?” tanya Arya kepada Sena.

“Iya, aku haus sekali dan tenggorokan ku minta banget air dingin” Sena menjeda kalimatnya “Ohiya aku baru melihatmu disini. Apakah kamu tinggal disini?”

“Ah tidak. Aku hanya ada keperluan saja datang kesini eh malah dapat hadiah ketemu adiknya Ravian yang sangat cantik ini” Arya sedikit menggoda.

Sena tersenyum kaku. Alarm dalam dirinya langsung menyala. “kalo gitu aku ke atas ya. Sampai bertemu di lain waktu” Dia buru-buru pamit, melangkah cepat ke tangga.

Arya mengamati kepergian Sena dengan sedikit senyum di wajahnya.

“ternyata kau benar-benar membawa wanita itu kesini, Bas” ucap Arya sendiri selepas Sena yang sudah tidak terlihat lagi.

… … …

Sena ingin berjalan ke arah kamarnya, tapi pendengarannya sedikit terganggu dengan suara-suara aneh yang timbul dari kamar Bastian.

Sena berhenti. Dari balik pintu kamar Bastian, suara erangan terdengar jelas.

“Uhhh… Bastian…”

“Faster Please Faster”

“BAS AHHH” Jeritan wanita itu semakin terdengar keras diikuti dengan bunyi tabrakan gairah dari badan mereka satu sama lain.

Sena mematung. Ingatannya terlempar ke malam kelam sebelumnya, saat Bastian memperlakukannya sama.

Malam kemarin Bastian melakukannya dengan dirinya.

Dan malam ini Bastian melakukannya dengan wanita lain.

Air matanya jatuh lagi.

“Apakah aku… sudah jadi wanita murahan sekarang?” bisiknya getir.

“Ayah, Mama… maafkan Sena.”

...****************...

Tiga hari berlalu, Sena selalu berusaha menghindari sarapan dan makan malam bersama di Penthouse ini. Dia sengaja sarapan lebih awal di jam 6 pagi dan makan malam di jam 10 malam agar tidak bertemu Bastian.

Tadi malam saat Sena sudah menyelesaikan makan malamnya. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita cantik dan seksi keluar dari kamar Bastian dan berjalan melewatinya. Sepertinya mereka habis menghabiskan malam penuh nafsu bersama.

Dan Pagi ini, ia kembali duduk sendirian di meja makan.

“Hai Nona Sena, sarapannya sudah siap. Silakan dimakan,” ujar Mbok Jena.

“Terima kasih, Mbok. Mbok tidak sarapan juga?”

“Saya tidak terbiasa sarapan, Non.”

Sena tersenyum tipis dan mulai makan.

Sepuluh menit berlalu. Langkah kaki di tangga membuatnya menegang.

Bastian ada disini.

Dia segera menunduk, pura-pura sibuk dengan piring. Namun Bastian malah duduk di kursi sebelahnya.

Sena tetap tidak bergeming.

Lalu tanpa aba-aba, Bastian menarik kursi yang diduduki Sena mendekat ke arahnya hingga Sena nyaris menempel.

“Kau menghindariku,” katanya tajam.

“Aku tidak menghindarimu,” balas Sena cepat, meski suaranya gemetar.

“Kenapa kau sarapan sepagi ini? Tiga hari berturut-turut…”

“Hanya ingin.” Sena hanya membalas singkat.

Sena berusaha bangkit, tapi pergelangan tangannya ditangkap. Bastian menariknya lebih dekat.

“Kau—”

Belum sempat Bastian menyelesaikan kalimatnya, Ucapan itu terhenti ketika suara lain terdengar dari pintu.

“Bastian! Bagaimana service teman baruku semalam?” Suara itu berasal dari Arya yang tiba-tiba masuk ke Penthousenya.

Sena terselamatkan. Kesempatan itu dimanfaatkan Sena untuk melepaskan diri. Ia lari ke wastafel, lalu buru-buru meninggalkan meja makan.

Bastian menoleh ke arah Arya dengan tatapan membunuh.

“Kenapa kau datang sepagi ini?” geramnya.

Arya hanya tertawa kecil. “Aku ingin numpang sarapan.”

...----------------...

^^^Cheers, ^^^

^^^Gadis Rona^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!