NovelToon NovelToon

Lahir Kembali Di Medan Perang

Bab 1

Bima mengira itu suara guntur. Namun, begitu ia membuka mata, ia sadar kalau ia salah besar.

Serangkaian letusan senjata menggema, asap dan api membumbung ke udara, tanah bergetar seperti dilanda gempa, dan dari kejauhan terdengar raungan pesawat tempur yang menukik tajam...

"Apa yang terjadi?" Refleks pertama Bima adalah berdiri untuk memeriksa keadaan. Namun, sebelum ia sempat bangkit, tubuhnya ditubruk oleh seseorang hingga terjatuh.

"Tiaraaaap!" teriak pria itu. Ia berwajah penuh debu, janggut tak terurus, dengan beberapa bercak darah mengering di pipinya.

"Apa kau gila?" bentak pria berjanggut itu sambil menahan Bima, "Tetap tengkurap kalau nggak mau mati!"

Bima tercengang. Ia ingat terakhir kali dirinya masih berseluncur di puncak Gunung Lawu, lalu entah bagaimana kini ia berada di tengah tempat asing ini.

Ia melirik ke sekeliling. Dalam hati, ia berharap semua ini cuma mimpi buruk. Namun suara peluru melesat, siulan tajam pecahan logam, serta cipratan darah yang beterbangan membuatnya sadar… ini nyata.

"Di mana ini?" seru Bima panik pada pria berjanggut itu. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Perang, Nak!" jawab pria itu cepat. "Musuh sudah datang!"

Perang? Musuh?

Bima menatap pria itu, lalu menunduk melihat dirinya sendiri. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa mereka berdua memakai seragam tentara ala zaman penjajahan dan semua orang di sekelilingnya juga sama.

Tiba-tiba, seseorang melayang di udara… atau lebih tepatnya terhempas. Kaki orang itu sudah hancur, tubuhnya berlumuran darah, dan matanya penuh putus asa. Dengan sisa tenaga, ia meraih ke arah Bima, tapi hanya sempat memuntahkan darah sebelum terkulai.

Tidak… ini bukan hal yang sanggup ia lihat!

Bima tak berani menutup mata, namun juga tak kuasa memandang. Ia hanya meringkuk, berusaha menekan tubuhnya sedalam mungkin ke tanah, mencoba menghilang dari dunia. Suaranya tercekat, mengerang tanpa sadar.

Entah berapa lama, suara ledakan akhirnya reda. Berganti dengan jeritan minta tolong dan rintihan kesakitan di segala arah.

Bima mengira semuanya sudah berakhir. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

Tapi ia keliru.

"Musuh datang! Musuh datang!"

Refleks, Bima mengangkat kepala. Benar saja sekumpulan tentara bersenjata laras panjang bergerak dari kejauhan, maju dengan formasi tempur di tengah kabut asap.

Awalnya Bima tak peduli. Namun, ketika pria berjanggut di sampingnya menggenggam senapannya erat-erat, barulah ia sadar ini pertempuran hidup dan mati. Dan ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini.

"Ini bukan pertempuranku!" batin Bima kesal. Ia tak berpihak pada siapa pun, apalagi di tempat dan waktu seperti ini.

Maka ia hanya menunduk, berharap semua cepat berlalu… kalau saja kakinya tak lemas atau ia yakin aman melarikan diri, ia pasti sudah kabur dari parit ini.

Seorang perwira berseragam rapi dengan tanda pangkat di kerahnya berhenti ketika melihat Bima. Ia menatap tajam lalu memerintah tegas, "Angkat senjatamu, prajurit!"

"Dia cuma terluka ringan, Pak! Biar istirahat," sela pria berjanggut itu sambil menyodorkan senapan pada Bima.

Perwira itu tak banyak bicara. Ia mengeluarkan kartu identitas militer dari saku dada Bima, menatap sebentar, lalu mengembalikannya.

"Kalau lain kali kulihat kau diam tanpa senjata, kepalamu akan bolong!" katanya dingin sambil mengangkat pistol.

Bima tercekat. Bukan hanya karena ancaman itu, tetapi karena tatapan sang perwira sama sekali tak menunjukkan emosi seolah menembak seorang prajurit hanyalah hal biasa.

Saat itulah ia sadar… ini benar-benar dunia yang berbeda.

Sejak saat itu, Bima paham satu hal: ini adalah medan perang, dan ada hukumnya sendiri. Siapa pun yang melanggarnya, nyawanya bisa melayang kapan saja.

Memikirkan itu, ia hanya bisa diam-diam mengangkat senapan di tangannya, membidik ke kejauhan.

Namun pria berjanggut di sebelahnya buru-buru mengingatkan, “Astaga, Bima! Senjatamu belum diisi peluru. Mau mati konyol, hah?”

Bima tersentak. Ya ampun… ia benar-benar lupa. Padahal di masa kini ia penggemar militer dan pernah latihan menembak di lapangan tembak modern. Tapi sekarang ia sadar lapangan tembak dan medan perang nyata adalah dua dunia yang sama sekali berbeda.

Saat ia kembali mengokang senjata, musuh sudah tinggal 500 meter dari posisi mereka.

Tentara Belanda itu tampak terlatih. Mereka bergerak dalam tim-tim kecil saling melindungi, sementara penembak senapan mesin dan mortir menempati ketinggian gedung dan bukit dengan perlindungan infanteri di bawah.

Hal itu membuat Bima tiba-tiba merasa bersalah. Di antara para pejuang yang ada di sini, masih banyak yang baru, bahkan mungkin sama tak berpengalamannya dengan dirinya.

Empat ratus meter.

Seorang komandan berdiri tegak di belakang parit, meniup peluit kecilnya dan berteriak lantang, “Saudara-saudara! Musuh datang menyerbu tanah kita dengan licik. Mereka pikir kita akan mundur. Ingat! Parit ini benteng kalian!”

Namun, belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, beberapa mortir menghantam tepat di dekatnya. Ledakan itu melontarkan sang komandan dan beberapa pejuang lain ke udara, menghantam tanah dengan keras.

Suara teriakannya tadi telah memberi tahu posisi mereka dan tentara Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memukul mental para pejuang.

Tiga ratus meter.

Langkah kaki musuh terdengar jelas, tapi komandan baru belum juga memberi perintah menembak.

Napas Bima semakin berat. Tangan yang menggenggam senapan sudah basah oleh keringat dingin.

Ia mengerti bahwa sang komandan ingin musuh semakin dekat baru ditembak, supaya tembakan para pejuang tak meleset. Banyak dari mereka memang baru belajar menembak.

Tapi Bima tahu… itu justru berbahaya.

Saat kuliah dulu, ia pernah mempelajari sejarah pertempuran zaman Agresi Militer Belanda, termasuk taktik dan perlengkapan mereka. Ia tahu bahwa tiap regu Belanda membawa mortir jarak sedang, dengan jangkauan efektif hingga 500 meter.

Bagi penembak mortir yang terlatih, jarak 300 meter adalah “pesta tembak”. Mereka bisa dengan mudah mematikan senapan mesin para pejuang sebelum sempat menembak balik. Ledakan yang barusan merenggut nyawa komandan mereka adalah bukti nyata.

Kemungkinan besar, sang komandan baru tidak menyadari hal ini. Ia malah berharap musuh lebih dekat lagi.

Memikirkan itu, Bima tak lagi ragu. Ia mengangkat senapannya, mengarahkan bidikan ke seorang serdadu Belanda yang sedang menyerbu, lalu menarik pelatuk.

Bab 2

Terdengar letusan keras—dor!—dan serdadu Belanda itu terjatuh, darah mengucur dari tubuhnya.

Bima terkejut. Ia sama sekali tak menyangka tembakannya benar-benar mengenai sasaran. Niatnya hanya memancing kawan-kawannya menembak, bukan membunuh.

Namun, ketika tatapan beringas serdadu yang tumbang itu seolah tertuju padanya sebelum nyawanya lepas, rasa dingin menjalar di tulang belakangnya.

“Ya Ampun… aku baru saja membunuh orang…” pikir Bima.

Konyol memang, membunuh di medan perang adalah hal yang dianggap wajar, bahkan perlu. Tapi tetap saja, penyesalan dan rasa bersalah itu menyesap dalam hatinya.

Namun tujuannya tercapai.

Letusan senjata itu jadi tanda tak resmi. Para pejuang di sekitarnya langsung membalas tembakan. Deru peluru pun memenuhi udara. Tak lama, senapan mesin ikut bergemuruh, dan peluru-peluru berdesing bak hujan badai, merobohkan belasan serdadu Belanda di garis depan.

Pertempuran pun meledak sengit.

Seperti yang sudah diduganya, mortir Belanda segera ikut berbicara. Pelurunya menghantam satu per satu titik pertahanan para pejuang. Setiap ledakan mematikan titik tembak penting. Gila saja.

Di tengah kekacauan itu, sang komandan malah berteriak, “Siapa yang melepaskan tembakan pertama?! Siapa yang mulai?!”

Bima tak sempat memedulikan. Tangannya sibuk mengokang dan menembak, lagi dan lagi.

Satu peluru mengenai kaki serdadu Belanda padahal ia membidik dada. Mungkin lumpur yang berterbangan membuat lintasannya melenceng. Serdadu itu menjerit seperti babi disembelih, tapi sebelum sempat diselamatkan, peluru lain dari arah berbeda merenggut nyawanya.

Dor! Lagi, tembakan tergesa-gesa dari Bima menjatuhkan serdadu lain yang tinggal lima puluh meter dari parit. Musuh itu sempat menarik pin granat dan bersiap melempar ke posisi Bima. Sedetik saja terlambat, granat itu sudah pasti membuatnya berkeping-keping.

Tak ada waktu untuk bernapas. Bima tahu, di medan perang, setiap kelengahan berarti kematian.

Klik. Senjata macet.

Ia mengokang lagi tetap tak meledak. Baru ia sadar, pelurunya habis. Tergesa-gesa ia bersembunyi di parit, mencoba mengisi ulang. Tapi tangannya gemetar hebat. Peluru yang dipegang malah jatuh berserakan di tanah becek.

Untungnya, serangan musuh mereda. Rupanya ini hanya serangan percobaan untuk mengukur kekuatan dan posisi para pejuang. Walau begitu, serangan semacam itu bisa berubah menjadi serangan penuh kapan saja.

Tembakan makin jarang terdengar. Bima terkulai di parit seperti kain lap basah.

Sorak kemenangan bergema. Para pejuang bersorak karena berhasil menahan serangan dan mempertahankan posisi.

Namun, teriakan lantang memecah euforia itu.

“Siapa yang melepaskan tembakan pertama?! Siapa?!” suara sang komandan meledak marah.

Tak ada yang menjawab. Tapi beberapa pejuang melirik ke arah Bima. Ya, semua tahu letusan pertama berasal dari tempatnya.

Tak bisa menghindar, Bima mengangkat suara, “Saya, Pak Komandan!”

“Persetan!” Komandan itu melangkah cepat, mencengkeram kerah baju Bima, tatapannya penuh penghinaan. “Kau lagi, Surya pengecut!”

Pengecut?

“Oh iya,” gumam Bima dalam hati, “di sini mereka memanggilku… Surya.”

Komandan itu menatap tajam ke arah Surya sambil memaki, “Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan? Kalau bukan gara-gara kau, kita bisa menewaskan lebih banyak serdadu Belanda bahkan mungkin menghabisi mereka semua!”

“Tidak, Pak Komandan!” jawab Surya cepat. “Saya rasa itu tidak benar.”

“Diam, brengsek!” bentak komandan itu. “Siapa yang menyuruhmu berpikir sendiri?!”

Di masa itu, dalam barisan para pejuang, terutama di bawah tekanan pertempuran besar, perintah harus dijalankan tanpa banyak tanya. Prajurit tidak diberi ruang untuk “punya ide sendiri” yang ada hanyalah patuh dan bertindak sesuai aba-aba.

Tentu saja, Surya yang baru terseret ke masa ini, sama sekali tak tahu aturan itu.

“Turunkan dia dari sini!” perintah sang komandan. “Biar si pengecut ini bawa amunisi saja, atau kerjaan lain. Aku tak mau lihat dia bikin masalah lagi!”

“Tunggu, Joko!”

Seorang perwira membungkuk rendah, berlari dari sisi lain parit. Tubuhnya tinggi, wajahnya tegas, dan di dahinya tampak bekas luka samar tanda ia adalah veteran tempur.

Kehadirannya membuat Surya sedikit lega. Hanya orang yang pernah merasakan baku tembak langsung yang mungkin mengerti logikanya. Mungkin itulah sebabnya perwira ini, seorang mayor, menghentikan amarah komandan tadi.

Mayor itu duduk di gundukan tanah di sebelah Surya. “Kau tadi bilang itu tidak benar. Apa maksudmu?”

“Pak Mayor!” komandan itu cepat-cepat menyela. “Dia cuma cari alasan menutupi rasa malunya. Saya lihat dia meringkuk di parit, senapannya di samping!”

Mayor itu mengabaikan tudingan tersebut. Ia hanya memberi anggukan singkat pada Surya, memberi kesempatan bicara.

“Pak Mayor!” kata Surya. “Sederhana saja menurut saya, dalam situasi ini kita tak seharusnya menunggu Belanda mendekat.”

Beberapa pejuang di sekitar langsung terkekeh, sebagian memandang Surya seperti orang konyol. Pria berjanggut di sampingnya bahkan menggeleng pelan, memberi isyarat agar Surya tak melanjutkan.

Di masa ini, semangat juang dan keberanian adalah segalanya. Di bawah pandangan seperti itu, pertempuran jarak dekat dianggap paling gagah berani. Itulah mengapa Belanda berani mendekat hingga jarak tembak dekat, dan bagi banyak pejuang, itu justru momen yang ditunggu.

Namun mayor itu tidak tertawa. Ia malah bertanya serius, “Kenapa? Menurutmu kemampuan menembak kita lebih baik dari mereka? Atau kita unggul dalam daya tembak?”

“Tidak, Pak Mayor!” jawab Surya mantap. “Akurasi kita kalah jauh, daya tembak juga tidak lebih baik…”

“Dan kau masih bilang jangan bertempur jarak dekat?”

“Ya!” Surya mengangguk. “Karena Belanda justru lebih diuntungkan di jarak itu! Mereka punya mortir jarak menengah dan banyak senapan mesin ringan buatan Eropa, sementara kita hanya punya sedikit senapan mesin berat dan beberapa senjata hasil rampasan. Dalam jarak 300 meter, posisi kita sangat tidak menguntungkan!”

“Kau lupa kita juga punya mortir?” sindir komandan itu. Ia lalu meraih sebuah mortir ringan yang disandarkan di parit, mengangkatnya agar semua bisa melihat.

“Jarak maksimalnya cuma 250 meter, Pak Komandan,” jawab Surya tenang. “Dan saya yakin Belanda tahu itu. Karena itulah mereka berani menyerang dari jarak 200–300 meter di situlah kita kalah tembakan.”

Bab 3

"Prajurit!" bentak Komandan, "Saya ingatkan, kita baru saja berhasil memukul mundur serangan Belanda dari jarak ini..."

"Itu cuma serangan percobaan mereka, Komandan Joko!" potong sang mayor cepat, "Pasukan mereka belum turun penuh!"

Komandan itu terdiam, tidak berani membantah.

"Siapa namamu, Prajurit?" tanya sang mayor sambil menoleh ke arah Surya.

"Eh... Surya, Pak Mayor!" jawabnya tegas.

"Baik, Surya!" sang mayor menatapnya dalam-dalam, "Menurutmu, pada jarak berapa kita sebaiknya menghadang musuh?"

"500 meter, Pak!" jawab Surya tanpa ragu, "Itu jarak maksimal mortir ringan KNIL. Senapan mesin ringan mereka juga nggak bakal efektif kalau kita bertahan di luar jangkauan itu!"

Sang mayor mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. "Bagus, Surya. Akan kupikirkan saranmu."

Sambil berkata begitu, sang mayor menepuk bahu Surya, lalu beranjak pergi.

Komandan masih menatap Surya dengan mata tajam, seolah mencari-cari alasan buat menghukum dia lagi. Tapi akhirnya ia menghela napas dan mengurungkan niatnya.

Begitu komandan menjauh, seorang prajurit berjanggut yang duduk di tanah menghela napas lega. "Kamu sadar nggak, Surya, betapa beruntungnya kamu barusan?"

Surya menoleh, bingung. "Maksudmu apa, Bung?"

"Mengantar amunisi..." kata pria berjanggut itu lirih, "Artinya kamu bakal jadi sasaran empuk pesawat-pesawat Belanda."

Mendengar itu, Surya langsung paham. Jadi posisi mereka sekarang masih lebih aman dibanding misi berikutnya.

Setelah diam sejenak, Surya bertanya dengan suara rendah, "Mayor itu... siapa sebenarnya?"

Ia sengaja merendahkan suara karena khawatir kalau sang mayor ternyata tokoh besar, dan bakal aneh kalau ia bertanya terang-terangan.

Untungnya, pria berjanggut itu tetap tenang. Ia berjongkok sambil menggulung rokok klembak menyan dengan kertas koran bekas. "Itu Komandan Resimen ke-44, Pak Mayor Galang. Dialah yang mengorganisir pasukan kita untuk melawan serangan Belanda."

Mendengar nama itu, kepala Surya seperti meledak. Galang... nama yang pernah ia dengar di masa modern. Sosok legendaris. Saat banyak pasukan Republik kocar-kacir dihajar Belanda, Galang memimpin sisa-sisa prajurit mempertahankan benteng di garis depan Zogyakarta sampai sebulan penuh.

"Ini... ini benteng pertahanan Zogyakarta, kah?" tanya Surya terkejut.

Pria berjanggut itu menatapnya dengan heran. "Surya! Jangan bercanda, masa kamu lupa siapa aku?"

Surya terdiam. Ia sama sekali tak mengenali pria itu.

Namun cepat-cepat ia mencari alasan dalam pikirannya mungkin karena kepalanya pernah kena serpihan peluru, jadi ada ingatannya yang hilang. Dari potongan samar, Surya akhirnya tahu kalau pria itu bernama Okta, sahabatnya sendiri yang sama-sama masuk laskar rakyat untuk dilatih menjadi prajurit infanteri.

Sedangkan dirinya sendiri... bisa ia pastikan lewat kartu prajurit yang ia bawa.

Surya merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan sebuah kartu tanda prajurit Republik buklet tipis berwarna cokelat, dengan lambang bintang merah di sampulnya.

Menurut Okta, kartu itu diberikan setelah seorang pemuda selesai menjalani pelatihan dasar, dan wajib dibawa ke mana pun.

Surya membuka halaman pertama kartu itu. Di sana tertulis:

Penunjukan: Batalyon Infanteri ke-1, Resimen ke-131 TNI

Pangkat: Prajurit

Yang aneh dari kartu tanda prajurit Surya adalah kotak kecil untuk foto di halaman depan itu kosong.

Ia menatapnya lama, lalu tersenyum miris. Rupanya wajar saja. Administrasi tentara Republik saat itu masih kacau. Banyak pemuda laskar yang bahkan tidak sempat difoto, apalagi dicetak resmi. Sampai perang usai pun, belum tentu semua orang punya dokumen yang rapi.

Surya menghela napas, menatap kartu itu linglung. Bentuknya mirip kartu identitas modern, tapi jauh lebih sederhana, tipis, dan rapuh. Tak heran kalau Belanda mudah menyusupkan mata-mata mereka ke tengah pasukan rakyat.

Yang lebih mengguncang hati Surya adalah kenyataan pahit ia benar-benar ada di tubuh seorang prajurit sungguhan, dengan segala risiko perang yang nyata. Bukan mimpi, bukan ilusi. Dan kali ini, ia tak punya jalan untuk lari.

Tiba-tiba terdengar teriakan membelah udara:

“Pesawaaaat! Siap siaga! Sireneee!”

Suara sirene meraung panjang di atas parit, memekakkan telinga. Sebelum Surya sempat bereaksi, deru pesawat pembom Belanda muncul dari balik awan. Moncongnya menukik rendah, meraung seperti serigala lapar, suara mesinnya menekan jantung siapa pun yang mendengar.

BOOOM!

Ledakan pertama menghantam tanah tak jauh dari parit. Getaran hebat mengguncang bumi, membuat gumpalan tanah beterbangan. Panas ledakan menyapu wajah Surya, membuatnya meringis ketakutan.

Ternyata sasaran utama mereka bukan parit. Pesawat-pesawat itu menjatuhkan muatan ke sebuah gedung besar di belakang garis pertahanan.

Gedung itu memang dijadikan titik tembak. Jendela-jendelanya dipasangi senapan mesin, disangga karung pasir, menyerupai benteng darurat. Dari sana, prajurit Republik menahan serangan darat Belanda sejak pagi. Wajar jika gedung itu jadi incaran utama.

Bom-bom berjatuhan silih berganti. Sebagian bukan bom murni, melainkan drum minyak yang dilempar dari udara. Drum itu pecah saat tertembak atau menyentuh api, meledak jadi kobaran raksasa. Dalam hitungan detik, gedung besar itu sudah berubah jadi lautan api.

Jeritan manusia langsung pecah di segala arah. Prajurit yang terjebak di dalam gedung menjerit histeris, sebagian nekat melompat dari lantai dua, tapi jatuh ke kobaran api yang lebih besar. Ada yang berlari sambil tubuhnya terbakar, sosoknya seperti bayangan hitam yang menari liar sebelum akhirnya tumbang kaku di tanah.

Pemandangan itu terlalu brutal. Surya merinding ketakutan. Api terasa seperti iblis yang menyeret tubuh-tubuh manusia ke neraka dunia.

Belum sempat ia menghela napas, sebuah pesawat kembali menukik. Bomnya menghantam sisi gedung dengan suara memekakkan telinga. Balok penyangga patah, kaca-kaca pecah beterbangan, pintu-pintu kayu terpental, tembok hancur berhamburan.

Bangunan itu bergetar hebat, seperti orang tua yang kehilangan tongkat penopang. Lalu, dengan suara gemuruh panjang, seluruh gedung ambruk ke tanah, ditelan asap dan api.

“Bersiaaap! Mereka akan menyerbuuu!” teriak seorang prajurit dari ujung parit.

Saat itulah Surya sadar bom-bom yang baru saja dijatuhkan hanyalah pemanasan belaka. Pembukaan sebelum badai sesungguhnya. Serangan darat Belanda sebentar lagi akan menghantam mereka, dan ia harus memilih bertahan, atau mati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!