Gadis itu menatap nanar layar monitor di depannya. Seketika, harapan dan masa depan seakan lenyap tanpa jejak. Apakah hidupnya akan segera berakhir?
“Mbak Vira!”
Perempuan 25 tahun itu mengerjap. Pandangannya kembali fokus pada dokter pria berusia lima puluhan yang sejak tadi duduk di depannya.
“Kondisi jantung Anda semakin melemah. Apakah Anda masih menolak untuk dirawat di rumah sakit?”
Shavira diam. Tatapannya lesu, tanpa semangat yang tersisa. Ia bangkit dari kursinya.
“Saya permisi, Dokter.”
“Mbak Vira! Tolong dengarkan saya.” Dokter itu ikut berdiri, menatapnya serius.
Shavira menoleh, tapi tetap bungkam. Dokter menggeleng lirih.
“Tolong pertimbangkan usulan saya kemarin. Walaupun penyakit Anda tidak bisa sembuh total… setidaknya Anda bisa bertahan lebih lama di dunia ini.”
Shavira menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis.
“Saya akan pikirkan, Dok. Terima kasih.”
Dokter terlihat lega mendengarnya. “Tolong jangan lama-lama, ya.”
Shavira mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu.
---
Kakinya menyusuri koridor rumah sakit. Sesekali ia menoleh ke tiap pintu pasien. Bibirnya sedikit terulas senyum getir.
Apakah nanti aku akan berada di salah satu ruangan itu?
Di halaman rumah sakit, ia duduk di kursi sambil menunggu ojol yang sudah dipesannya. Tak lama kemudian, motor berwarna merah berhenti tepat di depannya.
“Ini Mbak Shavira, ya?” tanya lelaki berjaket hijau.
Shavira mengangguk. Helm segera berpindah tangan, lalu motor pun melaju meninggalkan rumah sakit. Angin malam menyapu wajahnya. Sepanjang jalan, driver itu berusaha mengajaknya berbincang, sesekali Vira menanggapi dengan singkat.
Mereka berhenti di depan rumah petak putih yang sudah lusuh termakan usia.
“Terima kasih, Mas. Ini uangnya.”
Driver menerima uang tiga puluh ribu yang disodorkan Shavira. Gadis itu berdiri di depan pintu rumah yang tertutup rapat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
Tok… tok… tok.
Pintu terbuka. Seorang wanita berusia lima puluhan berdiri di ambang pintu dengan tangan berkacak pinggang.
“Dari mana kamu?! Jam segini baru pulang!”
“Aku capek, Bi. Habis kerja. Mau istirahat.”
Shavira melewati bibinya begitu saja, tak peduli dengan omelan yang menggema.
“Heh! Vira! Bibi belum selesai bicara!”
Wanita itu menarik kasar tangan Shavira.
“Aw, Bi! Sakit!”
“Nih, sekarang kamu bereskan barang-barangmu dan pergi dari rumah ini!” teriaknya sambil mengempaskan tubuh Shavira ke lantai.
Dengan sisa tenaga, Shavira berdiri.
“Tidak! Aku nggak akan keluar dari rumah ini! Ini rumah almarhum ayah dan ibuku!”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya, membuatnya terhuyung dan membentur dinding kamar.
“Apa kamu bilang?! Ayahmu itu abangku. Jadi rumah ini milikku juga!”
Keributan itu membangunkan seorang lelaki paruh baya. Ia keluar kamar dengan wajah kusut.
“Kenapa ribut sekali?!”
“Ini, Mas!” sahut wanita itu cepat. “Anak gila ini nggak mau keluar dari rumah kita! Aku muak lihat mukanya. Uang yang dia kasih pun nggak pernah cukup!”
“Pokoknya kamu harus keluar dari rumah ini sekarang juga! Kalau tidak, biar kubakar saja semua barangmu!”
Shavira mengepalkan kedua tangannya. Bibir bawahnya tergigit kuat. Amarah, sedih, dan kecewa bercampur jadi satu.
“SUDAH CUKUP! AKU SUDAH BILANG, INI RUMAH ORANG TUAKU! SEHARUSNYA YANG PERGI ITU KALIAN, BUKAN AKU!”
Plak!
Tamparan kedua, lebih keras, menghantam wajahnya. Shavira terjengkang di ujung tempat tidur. Bibirnya mengeluarkan darah.
“Kurang ajar!” Lelaki itu hendak melayangkan pukulan lagi.
Shavira hanya bisa memejamkan mata, pasrah.
“Sudah, Mas!” Wanita itu menahan tangannya. “Dia bisa mati! Aku nggak mau masuk penjara karena ulahmu!”
Lelaki itu akhirnya menjauh sambil berteriak, “Cepat bereskan barangmu! Aku nggak sudi lihat wajahmu lagi!”
Brak!
Pintu kamar tertutup keras. Tinggal Shavira dan bibinya.
Wanita itu melemparkan sebuah tas hitam di depan wajah Shavira.
“Cepat bereskan barang-barangmu dan pergi dari sini!”
Setelah itu, ia ikut meninggalkan kamar.
Dengan tubuh lemah, Shavira mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Tangan gemetar meraih sebuah foto di atas nakas: kedua orang tuanya tersenyum bahagia.
Shavira menatapnya, tersenyum getir, lalu mengelusnya sebentar. Foto itu ia masukkan ke dalam tas.
Apakah saat ini ia menangis? Tidak. Shavira pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak meneteskan air mata lagi sejak kedua orang tuanya pergi.
Setelah beres, ia keluar dari rumah itu tanpa berpamitan. Rumah yang dulu penuh kenangan kini telah dirampas oleh bibi dan pamannya.
Di halte bus dekat kantor bupati, Shavira menelpon seseorang.
“Halo, Nad. Gue boleh nggak malam ini tidur di rumah lo?” tanyanya canggung.
“Lo habis ribut lagi sama bibi jahanam itu? Ya udah, gue jemput lo. Lo di mana sekarang?”
“Di halte bus dekat kantor bupati.”
“Oke, tunggu di sana. Gue otw.”
Sambungan terputus. Shavira menyelipkan ponsel ke dalam tas. Untung masih ada Nadia—sahabat yang selalu peduli.
Ia bersandar di bangku halte, menatap kosong ke depan. Ingatan tentang penyakitnya kembali mengusik hati.
Apakah ini tujuan hidupku, Tuhan? Kenapa harus sepahit ini?
“Vira!!”
Suara itu membangunkannya. Nadia berdiri dengan wajah khawatir.
“Lo sakit, Vir? Muka lo pucat banget. Ayo ke mobil.”
Nadia membawa tasnya, memasukkannya ke bagasi. Mereka segera berangkat.
“Lo udah makan?” tanya Nadia di perjalanan.
“Belum.”
“Ya udah, kita masak aja di rumah gue. Toko-toko udah pada tutup.”
Shavira mengangguk. Sesampainya di apartemen, ia langsung menjatuhkan tubuh di sofa.
“Lo mau makan apa?” tanya Nadia sambil membuka kabinet dapur. “Ada mi instan.”
“Itu aja.”
“Pakai telur?”
“Iya, dong,” jawab Shavira sambil nyengir.
Nadia mencibir. “Dasar lo, numpang malah nyuruh-nyuruh. Untung gue baik.”
Shavira tertawa tipis. “Makasih ya, sahabat terbaik di alam semesta.”
Nadia menoleh sekilas. “Lo ada masalah apa sih sampai bawa-bawa barang segala?”
“Gue habis diusir.”
“Anjir. Bibi jahanam lo, kan?”
Shavira mengangguk. Nadia menghela napas panjang, tak habis pikir.
Tak lama, aroma mi instan merebak. Mereka duduk bersama di meja bar, menyantap dengan lahap.
“Terus lo mau tinggal di mana?”
“Paling kos atau ngontrak. Kalau bisa deket kantor.”
“Ya udah, kebetulan gue ada kenalan yang punya kontrakan deket situ. Nanti gue tanyain.”
Shavira tersenyum lega.
---
Sementara itu, di tempat lain…
“Halo guys, kembali lagi di channel gue, Mahendra! Kali ini gue lagi ada di belakang rumah sakit yang katanya angker banget!” seru seorang pria ke arah kamera.
“Eh, Anton! Pegang kameranya bener dong! Jangan muka gue terus yang lu sorot.”
Mahendra menunjuk area ayunan tua di sampingnya. Anton segera mengarahkan kamera.
prang!!
Anton menyorot ke arah yang ditunjuk Mahendra. Mereka berjalan perlahan.
“Nah, seperti yang kalian semua lihat, di sini nggak ada orang sama sekali. Hanya gue dan Anton. Tapi kenapa hantunya nggak nongol-nongol ya? Apa dia takut sama gue?” tanya Mahendra dengan sombong.
“Oke, baiklah. Karena hantunya nggak mau muncul, gue bakal tantang dia! Jangan lupa like dan subscribe video gue sebanyak-banyaknya, karena malam ini gue lagi mempertaruhkan nyawa gue, oke!”
“WOI HANTU SIALAN! KELUAR LO! GUE GAK TAKUT SAMA LO! SINI MAJU! MUNCUL DI DEPAN MUKA GUE!” teriak Mahendra hingga suaranya bergema di tempat itu.
Prang!!
Youtuber dan kameramennya sontak terlonjak kaget. Wajah Mahendra was-was, matanya mengitari area sekitar.
“Suara apa tadi tuh?” tanya Mahendra bingung.
“Kayaknya dari sana deh, guys.” Ia menunjuk arah kolam tua yang sudah tidak terurus.
Mereka berjalan ke arah itu dengan Mahendra yang tetap stay di depan kamera. Jantung mereka sama-sama berdegup kencang, meski harus terlihat berani demi penonton. Bulu kuduknya meremang, sesekali lelaki itu memegangi leher belakang karena merasa ada sesuatu yang aneh.
Srrtt…
“Aaahh!!” Mahendra kaget setengah mati. Jantungnya hampir copot saat melihat seekor kucing hitam tiba-tiba melintas di depannya.
“Anjir! Gue kira apa. Rupanya kucing! Syuhhh, sana!” usirnya kesal.
Namun kucing itu tetap diam di tempat. Mahendra kesal, lalu mengambil besi sekitar 50 cm dan memukulkannya ke tubuh si kucing hingga hewan itu kabur entah ke mana.
“Kucing sialan! Ganggu orang aja!” umpatnya.
Mahendra kembali ke kamera. Kini ia berdiri tepat di belakang sumur tua.
“Oke guys, sekarang gue lagi ada di area sumur tua, dan ini katanya tempat paling horor di rumah sakit ini!”
Kamera menyorot area sumur yang kumuh dan menyeramkan.
“Nah, seperti yang kalian lihat, TIDAK ADA HANTU DI SINI!” tekan Mahendra sambil menyeringai puas, merasa berhasil melewati tantangan netizen.
“Oke, karena gue nggak nemu apa-apa, berarti tempat ini nggak seangker yang kalian bilang!”
Drap. Drap. Drap!!
Tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu yang mendekat. Kedua lelaki itu terdiam, menajamkan pendengaran.
“Ton, lo denger sesuatu?” bisik Mahendra.
Anton mengangguk.
Langkah itu semakin jelas. Anton membelalakkan mata, tubuhnya gemetar seperti orang kejang.
“Anton! Lo kenapa?” Mahendra panik.
“Di-di b-be-be…belakang lo!” Anton menunjuk dengan tangan gemetar.
Mahendra menoleh. Seketika ekspresi mereka sama terkejutnya.
“Aaaa!!”
Byurrr! Mahendra terjatuh ke dalam sumur.
“Hendra!!” teriak Anton histeris.
Kamera terlepas dari tangan Mahendra, tergeletak di tanah.
“Ah, sial!” umpat Mahendra, berusaha berenang. “An…ton! Tolongin gue!!”
Anton merangkak mendekat, tapi langkahnya terhenti. Matanya menatap sepatu hitam mengilap yang berdiri tepat di hadapannya.
Ia mendongak. Seorang lelaki tinggi, berpakaian serba hitam, berdiri dengan tubuh sempurna. Tatapannya tajam, penuh kebencian, aura kematian begitu kuat mengelilinginya.
“Ha… ha… hantu!!” teriak Anton ketakutan, lalu kabur terbirit-birit meninggalkan temannya.
Cpak… cpakk…!! Suara dari sumur menarik perhatian lelaki misterius itu. Ia mendekat dengan langkah tenang. Senyum tipis menyeringai di wajahnya.
“To…lo…ong… gu…ee!” suara Mahendra terdengar lemah.
Lelaki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
“Nikmati malam terakhir kamu di sini.”
Air sumur kembali tenang. Tak ada lagi suara, hanya hembusan angin yang mengisi wilayah belakang rumah sakit itu.
[“Apa dia mati?”]
[“Dia dibunuh hantu!”]
[“Gila, ngeri banget!”]
[“Astaghfirullah!!”]
[“Mahendra udah meninggal! Cepat lapor polisi!”]
Komentar penonton memenuhi live streaming yang masih berjalan. Kamera tetap tergeletak, menyoroti sumur tua. Lalu, perlahan… kamera itu mati sendiri.
---
"Pemirsa, telah ditemukan mayat seorang lelaki yang diduga seorang YouTuber berinisial M di belakang Rumah Sakit Mawar Merah."
“Anjir, gila! Ngeri banget!” seru Nadia yang tengah duduk di sofa sambil menggenggam remote TV.
“Vir! Lo tau kan si Mahendra? YouTuber yang suka live streaming di tempat horor itu? Dia meninggal!!” teriak Nadia ke arah Shavira yang sedang mencuci piring di wastafel.
Shavira menoleh kaget. “Apa?! Yang bener lo?”
“Bener! Nih, liat beritanya!” Nadia langsung membesarkan volume TV.
Shavira buru-buru mengelap tangannya dengan handuk kecil, lalu berlari dan duduk di sebelah Nadia.
"Mayat korban ditemukan di dalam kolam tua dalam kondisi tubuh yang sudah membengkak. Sejauh ini belum diketahui pasti penyebab kematian korban. Diketahui kor—"
“Lo tau nggak dia mati gara-gara apa?” tanya Nadia serius.
Shavira mengangkat bahu.
“Gara-gara hantu yang ngehuni taman belakang rumah sakit itu!”
Plak! Shavira langsung memukul lengan sahabatnya.
“Astaghfirullah, Nad! Zaman sekarang nggak ada hantu-hantuan.”
“Walaupun gue sering nonton channel YouTube dia, tapi gue nggak percaya. Selama ini kan belum pernah tuh dia beneran ketemu hantu,” bantah Shavira.
Nadia manyun. “Ih, gue nggak bohong. Malam tadi dia live streaming, banyak netizen yang liat kok!”
Dia melanjutkan dengan suara lebih pelan, seolah menambahkan efek dramatis.
“Dan lo tau? Kameramennya sekarang hilang ingatan. Amnesia, Vir. Bahkan nama sendiri aja dia lupa.”
Shavira menghela napas panjang. “Terserah lo deh, Nad. Yang jelas gue nggak percaya sama hal begituan. Mereka begitu ya memang udah takdirnya.”
Shavira bangkit, mengambil tasnya di atas meja.
“Gue kerja dulu ya. Bay!”
“Ih! Dasar nggak percaya banget lo. Awas aja, kalau nanti lo beneran ketemu sama tuh hantu,” sungut Nadia sambil melipat tangan.
Shavira hanya melambaikan tangan sambil tersenyum tipis. Setelah pintu tertutup, Nadia bergidik ngeri.
“Kok gue jadi merinding gini sih!” gumamnya, lalu buru-buru masuk kamar dan menguncinya rapat-rapat.
---
Shavira berhenti di depan gerbang Rumah Sakit Mawar Merah. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada Dokter Hendri—dokter yang kemarin menawarkan perawatan agar kondisinya bisa lebih baik.
“Astaghfirullah!” Shavira menepuk dadanya. Ia terlonjak kaget karena seekor kucing hitam tiba-tiba melintas di depannya.
“Huft, bikin kaget aja…”
Ia menoleh. Kucing itu kini duduk di atas tong sampah, matanya menatap tajam seolah lapar.
Shavira mendekat, lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan sebungkus roti yang tadi ia beli di minimarket. Dibukanya perlahan, lalu diletakkan di atas potongan kardus kecil.
Kucing itu segera turun dan mulai melahap roti. Senyum tipis merekah di wajah Shavira saat melihatnya makan dengan lahap. Sesekali ia mengelus bulu hitam legam kucing itu.
“Ternyata kamu lapar, ya. Habiskan, jangan disisain. Tapi jangan dikasih kalau ada yang minta, ya,” ujarnya sambil terkekeh kecil.
Melirik jam tangannya, Shavira pun berdiri.
“Aku pergi dulu, nanti aku kasih kamu makanan lagi,” ucapnya sebelum berjalan masuk ke area rumah sakit.
---
“Jadi, Dok… bagaimana kalau saya nggak mau dirawat?” tanya Shavira lirih.
Dokter Hendri terperanjat. “Apa? Kenapa? Bukannya kemarin kamu masih mempertimbangkan untuk dirawat?”
Shavira menunduk, suaranya bergetar.
“Saya… merasa kalau kematian saya sudah dekat. Mau sekuat apapun saya berusaha, saya yakin hasilnya akan tetap sama. Jadi, mau saya dirawat atau tidak, saya tetap akan meninggal dalam beberapa bulan ke depan.”
Bibirnya bergetar menahan tangis. Ia memaksakan sebuah senyum, walau hatinya remuk tak berbentuk.
“Mbak Shavira, tolong jangan menyerah seperti ini. Saya ingin kamu bisa bertahan lebih lama,” pinta dokter itu tulus.
Namun Shavira hanya bisa diam. Di dalam hatinya, ia ingin sekali berteriak, meluapkan semua kesedihan yang selama ini dipendam.
---
Shavira berjalan di trotoar dengan pandangan lurus ke depan. Hari ini ia sengaja izin tidak masuk kerja. Kepada Nadia ia berbohong—karena tahu, sahabatnya itu pasti akan terus menginterogasi bila tahu tujuan sebenarnya.
Langkahnya terhenti di halte. Sambil menunggu bus, Shavira membuka ponsel, membaca berita yang sedang trending.
“Kasus YouTuber… Mahendra,” gumamnya. Dahi Shavira berkerut. Apa iya, rumah sakit itu memang berhantu?
Tak lama bus datang. Shavira segera naik dan duduk di samping jendela. Selama perjalanan, matanya menatap jalan raya, gedung-gedung tinggi, dan sesekali ia memejamkan mata karena silau matahari pagi.
Sesampainya di tujuan, ia turun. Langkahnya berhenti tepat di depan pemakaman umum. Tarikan napas panjang ia hembuskan perlahan sebelum melanjutkan langkah ke arah dua nisan yang berdiri berdampingan.
“Assalamualaikum, Ayah… Ibu…” Shavira berjongkok, mengusap pelan batu nisan orang tuanya.
---
16 tahun yang lalu…
“Yah, Ibu… nggak lama kan perginya?” Gadis kecil berusia sembilan tahun itu menatap dengan mata sendu.
Sang ibu mengelus kepalanya lembut. “Enggak, sayang. Ibu sama Ayah sebentar kok.”
Sang ayah ikut menenangkan. “Anak ayah jangan sedih dong. Nanti ayah beliin cokelat deh!”
Mata Shavira berbinar. “Beneran? Banyak ya, Yah!”
“Siap, tuan putri!” jawab ayahnya sambil mencium pipinya.
Itulah pertemuan terakhir mereka. Satu jam setelah keberangkatan, telepon rumah berbunyi.
“Halo? Apa benar ini keluarga Pak Adrian? Kami ingin menyampaikan kabar duka. Mobil yang ditumpangi Pak Adrian dan istrinya mengalami kecelakaan. Keduanya dinyatakan meninggal di tempat.”
Tubuh kecil Shavira terjatuh. Isak tangisnya pecah, memenuhi seluruh ruangan.
---
Kembali ke masa kini.
Shavira menatap nisan itu dengan sendu. Ingin menangis, tapi rasanya air mata sudah lama kering.
“Ayah, Ibu… Vira sebentar lagi nyusul. Kata dokter, jantung Vira melemah. Katanya umur Vira cuma beberapa bulan lagi…”
Tangannya kembali mengusap batu nisan. Setelah beberapa lama, ia berdiri. “Vira pulang dulu ya. Assalamualaikum.”
---
Di tempat lain…
“Arghh! Sakit, Yah! Tolong, jangan—!”
Seorang remaja laki-laki meringis kesakitan. Wajahnya penuh lebam, tubuhnya terhuyung menahan pukulan kayu.
“Dasar anak nggak berguna! Gue bilang jangan sekolah, ya jangan! Lo pikir dengan sekolah lo bisa jadi kaya, hah?!” Lelaki setengah baya itu meludah ke lantai.
“Ayah! Aku mau sekolah! Aku mau wujudin mimpi Ibu!” teriak remaja itu, menahan air mata.
Wajah ayahnya merah padam. “Dasar anak sialan! Sama aja kayak ibu lo yang bodoh itu. Kalian memang pantas mati!”
Kayu di tangannya kembali diayunkan. Namun kali ini tertahan. Seorang lelaki asing berdiri di sana, mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat.
“Siapa lo?! Berani-beraninya masuk rumah gue! Lepasin tangan gue!”
Tatapan lelaki asing itu tajam dan datar. Perlahan, ia memutar lengannya ke belakang hingga terdengar bunyi sendi yang terpelintir. Kayu jatuh ke lantai.
“Arghh! Tangan gue!” teriak si ayah.
Dengan panik, ia meraih pisau cutter di meja. “Jangan deket-deket! Atau lo gue bunuh!”
Srett! Pisau itu berhasil menggores wajah lelaki asing tersebut. Tapi luka itu… langsung hilang, seolah tak pernah ada.
“A-apa… siapa kamu?!” wajah sang ayah pucat pasi.
Lelaki asing itu mengangkat tangannya, menunjuk pisau di genggaman lawannya. Aneh, tangan sang ayah bergerak sendiri, menempelkan pisau ke lehernya sendiri.
“NGGAK! Tolong! Gue nggak mau mati!” teriaknya putus asa.
Suara tawa dingin pecah. “Kau sudah membunuh istri dan calon anakmu. Meracuni mertuamu. Dan sekarang kau mencoba membunuh anakmu sendiri. Kau masih punya nyali minta hidup?”
Srekk!
Pisau meluncur. Darah memercik, membasahi lantai. Lelaki asing itu hanya tersenyum.
---
Kembali ke Shavira.
Ia duduk di bangku taman, menikmati es krim. “Enak juga ya kalau nggak kerja,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Tiba-tiba, seekor kucing hitam muncul, menggesek-gesek kakinya.
“Eh, kamu ngapain di sini?” Shavira mengangkatnya, lalu meletakkannya di kursi sebelah.
Ia menatap lama. “Eh… bukannya kamu kucing yang di rumah sakit itu ya? Tapi nggak mungkin juga. Jauh banget…”
Iseng, ia menyodorkan es krim ke kucing itu. Tak disangka, kucing itu benar-benar memakannya lahap.
“Buset! Kamu laper apa doyan banget, Cing?” Shavira melongo, melihat es krimnya ludes bahkan sampai stiknya dijilat.
Setelah itu, kucing turun dan berlari.
“Eh, mau ke mana?!” Shavira mengejarnya sampai ke tengah jalan raya.
Wusshhh! Sebuah mobil hitam melaju kencang dari belakang. Orang-orang di trotoar menjerit panik.
Shavira menoleh. Matanya membulat.
“Aaaa!!!”
Ia memejamkan mata, menutup telinga dengan kedua tangan. Namun… benturan itu tidak pernah datang.
Perlahan, ia membuka mata. Mobil hitam itu… berhenti. Hanya sejengkal dari tubuhnya.
Bukan hanya mobil. Orang-orang di sekitarnya juga membeku. Bahkan burung-burung di langit berhenti terbang.
Waktu… berhenti.
Shavira terengah. “A-apa… apa aku udah mati?”
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!