NovelToon NovelToon

Two Promises 2

Prolog

Hari itu, aku melihat sebuah mimpi... Sebuah mimpi yang sangat panjang...

Mimpi di mana aku berada di sebuah jalan yang sepi. Aspal yang masih basah setelah hujan itu, masih selalu aku ingat.

Mimpi di mana, punggung itu semakin terlihat menjauh dari jangkauanku. Punggung dari sosok yang ternyata sangat berharga bagiku.

Sosok itu tersenyum pahit, namun terdapat keyakinan di dalamnya. Tekad yang kuat, untuk mengakhiri kisah yang menyedihkan ini.

Sosok itu menyentuh pipiku dan menyeka air mataku yang mengalir. Sambil menyeka air mataku, dia berkata padaku.

"Akhirnya kamu mengingatnya, Sakura. Maaf karena membutuhkan waktu lama untuk sampai ke sini. Kamu pun sama denganku, seperti yang kamu katakan padaku waktu itu. Sekarang sudah tidak apa-apa, Sakura. Kamu tak perlu lagi menderita karena ku."

Aku hanya bisa diam tanpa mengatakan sepatah kata pun untuk membalas perkataannya. Semua yang dia katakan itu benar adanya.

Setelahnya mengatakan itu, dia meletakkan tangannya di atas kepalaku dan tersenyum padaku, lalu berkata.

"Maaf ya, Sakura. Semoga kamu bahagia... karena jalan seperti inilah yang seharusnya kita tempuh."

Dan sosok itu juga berkata.

"Terima kasih telah mengajarkanku segalanya. Selamat tinggal... Sakura."

Sosok itu pergi setelah mengatakan itu padaku. Aku terdiam membisu, hanya bisa melihat punggung itu menjauh.

Punggung yang telah melewati rintangan terbesar dalam hidupnya. Aku tak dapat menggapainya, tak dapat pula mengucapkan rasa terima kasihku padanya.

Hanya ucapan selamat tinggal-lah yang dikatakan sosok itu.

Bahkan, sosok itu masih tersenyum setelah semua yang terjadi.

Aku mengulurkan tanganku untuk menjangkaunya, namun tak bisa. Aku hanya bisa berteriak dalam hatiku.

Berharap sosok itu tidak lagi pergi meninggalkanku.

Aku terbangun, dan tak lagi mengingat mimpi itu untuk waktu yang lama.

Hingga hari yang ditakdirkan akan tiba nantinya...

Ch.1 - Kehidupan Sekolah Yoshimoto Sakura

[21 September — 2015]

[•] Kediaman keluarga Yoshimoto

"Kakak... bangun kakak, bangun! Nanti kakak telat ke sekolah."

Aku membuka mataku secara perlahan. Sosok pertama yang aku lihat pagi ini adalah Akari, adikku.

Dia membangunkanku seperti biasanya. Akari yang sudah mengenakan seragam sekolahnya, adalah pemandangan yang sering aku lihat di pagi hari.

"Akari... Selamat pagi."

"Selamat pagi apanya! Sudah hampir telat lho kak!"

Dengan dahi yang dikerutkan dan kedua tangan di pinggang, Akari mengomeliku.

Aku mengangkat selimut, lalu beranjak dari kasurku. Sambil duduk di kasur, aku menyentuh kepala Akari.

"Terima kasih sudah membangunkanku, Akari."

Akari tersenyum sumringah dengan pipi yang sedikit memerah.

"He he, sama-sama Kakak."

Akari melepaskan tanganku dari kepalanya, kemudian dia berjalan ke pintu kamarku. Sambil membuka pintunya, Akari berkata.

"Aku keluar dulu ya kak. Jangan lupa, langsung bersiap-siap untuk berangkat sekolah."

"Baik, Akari."

Akari tersenyum dari balik pintu sebelum keluar dari kamarku.

Aku pun langsung berdiri dari kasur dan mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

•Beberapa menit kemudian...

Setelah selesai bersiap-siap, aku berlari ke pintu rumah dan membukanya.

Saat hendak melangkah keluar rumah, aku menghentikan langkahku secara mendadak.

Aku menoleh ke kanan dan melihat foto keluargaku. Aku, Akari, ibuku, dan ayahku, kami berempat tersenyum di foto itu.

Aku tersenyum saat melihat foto itu.

"Aku berangkat dulu ya... Ayah."

* * *

[•] Sekolah

Setelah beberapa menit berjalan dari rumah, aku telah sampai di sekolah. Aku langsung berjalan ke kelasku, kelas 3-C.

Di kelas, aku melihat Hana-chan dan Megumi-chan yang sudah berada di sana lebih dulu.

"Hana-chan, Megumi-chan! selamat pagi!"

Aku berjalan menuju mejaku. Selagi aku berjalan, mataku tertuju ke meja Haruki-kun yang masih kosong.

Aku duduk di kursiku. "Megumi-san, Haruki-kun ke mana?"

"Mungkin sebentar lagi dia datang, Sakura."

Tepat setelah Megumi menjawab pertanyaanku. Haruki datang memasuki kelas.

"Sakura, Megumi, Hana, selamat pagi!" ujar Haruki-kun dengan tangan kanan di atas.

"Akhirnya kamu datang juga ya, Haruki-kun. Selamat pagi!"

Haruki-kun tersenyum padaku sebelum duduk di kursinya.

Kemudian, Haruki-kun meletakkan tasnya di atas meja, lalu mengeluarkan sebuah buku dari dalamnya dan menunjukkannya pada kami dengan wajah tersenyum.

"Nee, semuanya. Apa kalian sudah selesai mengerjakan PR matematika?"

Kami bertiga saling pandang sebelum Megumi menjawabnya.

"Haruki... Apa kamu belum mengerjakan PR-nya?"

Haruki-kun hanya tersenyum saat ditanya oleh Megumi. Megumi menghela napasnya dengan sengaja.

"Jadi... Kamu mau melihat PR kami kan? Haruki."

Haruki-kun diam, berarti yang Megumi katakan memang benar.

Dengan wajah pasrah, Megumi menyerahkan bukunya kepada Haruki-kun.

"Kau boleh melihatnya, Haruki."

Haruki-kun mengambil buku Megumi dan berterima kasih padanya.

Haruki-kun dengan cepat menyalin PR milik Megumi.

•Beberapa menit kemudian...

"Ah... Akhirnya selesai juga."

Haruki-kun menarik napas lega sambil meregangkan tangannya.

"Syukurlah, Haruki-kun. Kamu sempat menyelesaikan PR-mu sebelum bel masuk."

Haruki-kun menatapku sambil tersenyum lebar. "Syukurlah, Sakura."

Di sisi lain, Megumi menatap Haruki-kun dengan tatapan yang tajam sambil menyilangkan tangan di dadanya.

Senyum Haruki-kun memudar saat tahu kalau Megumi menatapnya dengan tajam.

"Kau harusnya berkata apa padaku... Haruki-dono."

Haruki tersenyum pahit. "Terima kasih banyak atas bantuanmu... Megumi-sama."

* * *

•Jam istirahat

[•] Kantin

Saat jam istirahat tiba, kami biasanya pergi ke kantin bersama.

"Sakura... Apa kau tidak ada kegiatan lain saat pulang sekolah?"

Saat sedang menyantap makanan, Haruki-kun hartanya padaku. Aku rasa aku bisa menebak apa yang ingin dia katakan.

"Tidak ada. Memangnya kenapa, Haruki-kun?!"

"Bagaimana kalau kita pergi bersama? Berduaan. Kamu mau?"

Dia mengatakan tepat seperti yang aku pikirkan. Aku pun menjawab pertanyaannya dengan senyuman.

"Baiklah, Haruki-kun. Aku terima tawaranmu."

Kencan kali ini, aku cukup menantikannya, Haruki-kun.

Kira-kira, kamu akan membawaku ke mana kali ini ya?

•Beberapa jam kemudian...

[•] Gerbang sekolah

Saat bel pulang berbunyi, Haruki-kun memintaku untuk menunggu di gerbang. Sepertinya dia ada keperluan.

"Haruki-kun... dia selalu saja membuatku menunggu ya... "

Di saat aku sedang menunggu Haruki-kun. Seseorang datang menghampiriku.

"Yoshimoto-san, kamu sedang menunggu siapa?"

Yang menghampiriku adalah salah satu teman sekelasku. Dia merupakan ketua kelas kami, Yoshino Mai.

"Aku sedang menunggu Haruki-kun, Yoshino-san."

Setelah aku menjawab, wajah Yoshino-san tersenyum. Kemudian dia menyentuh kedua pundakku.

"Semangat, Yoshimoto-san!"

Eh... Kenapa dia menyemangatiku?!

Setelah itu, Yoshino-san pergi meninggalkanku. Tak lama setelah Yoshino-san pergi, Haruki-kun datang menghampiriku.

"Urusanmu sudah selesai, Haruki-kun?"

"Sudah. Oh ya, tadi aku melihatmu bersama Yoshino-san. Kamu membicarakan apa dengannya?"

"Tadi Yoshino-san hanya menyapaku saja kok, Haruki-kun."

Haruki-kun mengangguk kecil setelah mendengar jawabanku, kemudian Haruki-kun menunduk dan bergumam.

"Begitu ya? Berarti aku salah mengira."

Haruki-kun kembali mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku dan kemudian tersenyum.

"Ayo kita mulai, Sakura!"

Aku mengangguk lalu tersenyum. "Ayo, Haruki-kun!"

* * *

•Satu jam kemudian...

[•] Perjalanan pulang

Setelah selesai kencan, Haruki-kun ingin mengantarku sampai kembali ke rumahku. Saat ini, kami sedang dalam perjalanan pulang.

Kalau dipikirkan kembali, ini adalah saat pertama kali Haruki-kun datang ke rumahku. Entah kenapa, rasanya...

"Nee, Haruki-kun."

"Ada apa hm, Sakura?"

"Kalau dipikirkan kembali, ini adalah pertama kalinya kamu berkunjung ke rumahku kan?"

Haruki-kun mendadak menghentikan langkahnya dan kemudian diam membeku.

"Kau kenapa... Haruki-kun?"

"Aku hanya merasa gugup saja, Sakura."

Tangannya dan mulutnya bergetar. Sepertinya Haruki-kun takut bertemu dengan ibuku.

"Tingkahmu lucu sekali, Haruki—"

Aku berhenti berbicara karena teringat kenangan buruk itu kembali.

"Kamu Kenapa, Sakura?"

Ayolah Yoshimoto Sakura, kau harus bisa melupakan kenangan itu. Jangan sampai membuat Haruki-kun mengkhawatirkanmu.

"Aku gak kenapa-napa, Haruki-kun. Hanya teringat kenangan yang buruk."

"Apa kamu baik-baik saja, Sakura?"

Aku menekan dadaku, lalu menarik napas dan mengembuskannya. Aku mengulanginya beberapa kali hingga diriku kembali tenang.

"Aku sudah baik-baik saja, Haruki-kun. Ayo, kita terus berjalan sampai ke rumahku."

Bersama dengan Haruki-kun, kami pun melanjutkan langkah kami menuju rumahku.

•Beberapa menit kemudian...

[•] Kediaman Keluarga Yoshimoto

Kami telah sampai di depan rumahku. Sekarang, seharusnya ibuku belum pulang.

"Aku masuk ya, Haruki-kun."

Aku pun memegang gagang pintu rumahku dan membukanya secara perlahan.

Saat pintu terbuka, aku pun melangkah masuk ke dalam.

"Akari, aku pulang!"

Namun... suasananya terlalu sunyi setelah aku melangkah masuk.

Akari di mana? Biasanya dia sudah pulang ke rumah.

"...?"

Beberapa saat kemudian, Akari berjalan ke arahku. Dia berjalan sangat pelan dengan kepala menghadap ke bawah dan dengan bekas tamparan di pipinya.

Aku pun langsung mendekatinya karena khawatir padanya.

"Akari, kamu kenapa?!"

Akari mengangkat kepalanya, tatapan matanya penuh dengan rasa takut yang sangat besar.

"Kakak... Ibu... sudah pulang."

Mataku membelalak begitu mendengar kalau ibuku telah kembali ke rumah. Tanganku bergetar, napasku tak teratur.

Rasa takut itu... telah kembali!

Aku pun langsung menoleh ke arah Haruki-kun dan segera memberitahunya.

"Haruki-kun, kamu harus cepat pulang—"

Mulutku berhenti mengucap. Sebuah suara langkah kaki mulai terdengar dari ruang tamu. Langkah kaki itu sedang berjalan ke arah kami.

"Akari... Tadi kakakmu, Sakura sudah pulang kan?"

Terlambat sudah, aku tak sempat memintanya kembali ke rumah.

"Kenapa kamu tidak langsung membawanya masuk ke dalam, Akari?!"

Langkah kaki itu berhenti tepat di belakang Akari. Aku menoleh ke belakang secara perlahan.

Di belakang Akari. Dia menatapku dengan mata melotot.

"Siapa orang yang kamu bawa itu, Sakura?"

Dia adalah ibu kandung Akari dan aku. Yoshimoto Hanabi, adalah nama ibuku.

Bersambung....

Ch. 2 - Kilas Balik yang Tragis

[15 Tahun yang lalu]

[•] Prefektur Nagano

Dulu keluargaku tinggal di pinggiran Nagano. Aku lahir dan dibesarkan di sana sebagai Yanagi Sakura.

Pada saat itu, ayah dan ibuku sangat bahagia karena aku terlahir di keluarga ini. Aku pun sangat senang karena memiliki kedua orang yang sangat menyayangiku.

Keluarga yang bahagia. Hanya itulah yang kalimat yang dapat menggambarkan kondisi keluargaku pada saat itu.

Suatu hari aku bertanya pada ibuku. Sebuah pertanyaan yang cukup konyol, namun ibuku menjawabnya dengan wajah tersenyum.

"Ibu... Kenapa aku diberi nama Sakura? Padahal kan aku lahir saat musim dingin?"

Ibuku tersenyum dan tertawa, lalu menjawab pertanyaanku.

"Dengar ya, Sakura... Alasan ibu menamaimu 'Sakura' itu karena ayahmu lho!"

Aku memiringkan kepalaku dengan bingung. Ibuku tertawa kembali melihat tingkah laku-ku.

"Sakura... Ayahmu itu percaya kalau musim semi akan datang membawa kebahagiaan dan kehangatan. Karena itulah ayahmu menyarankan nama 'Sakura' untuk anak pertamanya. Ayahmu yakin, kalau kamu akan membawa kebahagiaan dan kehangatan di keluarga ini, Sakura."

Pada saat ibu mengatakan itu, aku yang masih kecil sama sekali tidak tahu maksud yang dikatakan ibuku.

Seandainya aku mengetahuinya, mungkin aku dapat mempertahankan keluargaku ini.

[Musim panas, 14 tahun yang lalu]

Setahun berikutnya, seorang adik lahir dari rahim ibuku. Dia dinamai Akari, Yanagi Akari.

Ayahku menamainya dengan nama itu karena Akari lahir pada malam hari saat cahaya bulan purnama menerangi bumi.

Pada saat Akari dilahirkan, aku yakin kalau ayah memiliki alasan memilih nama itu untuknya.

Akari yang berarti cahaya. Dia mungkin akan membawa cahaya penuntun untuk keluarga ini di masa depan nantinya.

Sejak kelahiran Akari, keluarga kami menjadi utuh dan memiliki kebahagiaan yang tiada habisnya.

Begitulah yang aku pikirkan pada saat itu. Namun kenyataan berkata lain...

* * *

[10 Tahun yang lalu]

Kini, usiaku telah menyentuh 7 tahun, dan Akari berusia 4 tahun.

Untuk merayakan ulang tahun Akari yang keempat, ayahku mengajak kami sekeluarga liburan bersama di Shizuoka.

Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan seorang pria yang sedang bersama istrinya yang sedang hamil tua.

Pria itu tampak panik. Ayahku pun turun dan menolong pria itu.

Ternyata pria itu sedang mencari tumpangan untuk mengantarkan istrinya ke rumah sakit untuk persalinan.

Pria itu bernama Manabe Kunimi, dan istrinya bernama Manabe Mina.

Saat sampai di rumah sakit, sang ibu berhasil melahirkan anaknya dengan selamat.

Untuk berterima kasih, Manabe-san meminta keluargaku untuk menginap di penginapan yang dia urus bersama istrinya secara gratis.

Ayahku pun menerima tawaran itu dengan senang hati.

Keluargaku pun menginap di penginapan milik Manabe-san. Serta, kami pergi ke berbagai tempat di sekitar sana. Sungguh liburan yang menyenangkan.

Liburan yang menyenangkan itu pun, selesai dengan cepat. Dan kami pun, harus segera pulang ke rumah.

Sepulangnya dari liburan, aku sempat bertengkar dengan Akari hingga membuatku kabur dari rumah.

Bodohnya aku pada saat itu. Aku tak tahu arah pulang sehingga tersesat di tempat yang aku tak tahu di mana.

Pada saat itulah, aku bertemu dengan cinta pertamaku. Dia datang dan menolongku untuk kembali ke rumah.

Dia anak yang sangat baik. Namun aku tak tahu siapa namanya dan di mana anak itu tinggal. Dia pergi tanpa memberitahu namanya padaku.

* * *

[9 Tahun yang lalu]

Keluargaku masih menjadi keluarga yang bahagia. Namun dari sinilah semuanya berubah...

Pada saat itu, aku dan Akari terkena demam tinggi. Ayah dan ibu sangat khawatir terhadap kami berdua.

Sebenarnya, demamku dan Akari pada saat itu tidaklah terlalu tinggi sehingga memerlukan uang yang banyak untuk mengobatinya.

Namun bukan dari sanalah masalahnya berasal...

"Sayang! Bagaimana kita akan membayar biaya pengobatan anak-anak?!"

"Aku tidak tahu bagaimana caranya, Hanabi. Tapi akan aku usahakan semampuku."

"Semampumu bagaimana?! Kamu kan belum lama ini dipecat dari pekerjaanmu!"

"Aku akan mencari pekerjaan dengan cepat, Hanabi. Apa pun akan aku lakukan untuk mengobati mereka berdua!"

Aku terbangun di tengah malam dan mendengar perdebatan ayah dan ibuku.

Seminggu yang lalu, ayahku dipecat dari pekerjaannya. Karena itulah, kondisi keuangan keluargaku sedang sangat menurun.

Ayahku bersikeras untuk mencari pekerjaan lain untuk mendapatkan uang. Sementara ibuku tidak ingin ayah memaksakan dirinya.

Aku sangat ingin membantu mereka berdua, namun kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukannya.

•Seminggu kemudian...

Setelah melewati masa krisis, ayah berhasil mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi untuk membiayai kehidupan keluargaku.

Ayahku pun berhasil mendapatkan uang untuk mengobati kami.

Dalam waktu dekat, aku dan Akari pun telah sembuh dari demam hingga dapat bermain sambil tertawa kembali.

Namun ibu selalu tampak murung setelah tahu kalau ayah mendapatkan pekerjaan baru dengan gaji yang cukup.

Aku tak tahu apa yang menjadi beban pikiran ibu pada saat itu. Diriku yang masih tampak polos tak mungkin mengetahuinya.

Seandainya aku tahu, mungkin aku dapat menyelamatkannya dari keterpurukan.

* * *

[8 Tahun yang lalu]

Sudah setahun berlalu sejak ayah mendapatkan pekerjaan baru. Namun ayah selalu pulang larut malam, bahkan tidak pernah tidur cukup setiap harinya.

Selain itu, ayah hampir tidak pernah mendapatkan cuti dari bosnya.

Satu hari, aku melihat ayah sedang duduk di sofa sambil memandangi laptop dengan mata sayu.

Aku pun datang menghampiri ayahku.

"Ayah... Kenapa ayah selalu pulang larut malam?"

"Ayah harus bekerja keras untukmu dan Akari, Sakura. Kalau ayah berhenti, nanti kita tidak akan bisa makan enak lagi."

Ayah menjawab dengan senyum pahit di wajahnya.

Aku sangat ingin meminta ayah untuk berhenti memaksakan dirinya. Namun aku tak bisa melakukannya.

Meskipun sangat kelelahan, ayah tetap tersenyum padaku. Ayah mengatakan sebuah kalimat padaku.

"Sakura... Suatu saat nanti kamu akan menghadapi masalah yang sangat berat, sama seperti ayah saat ini. Tetapi... Kamu harus tetap tersenyum saat menghadapinya ya, Sakura."

Kata-kata itu, selalu aku ingat hingga saat ini. Aku percaya, kalau ayah sengaja meninggalkan nasihat itu untukku di masa depan nantinya.

Namun... Senyuman itu, merupakan senyuman terakhir yang aku lihat dari ayahku.

[Musim gugur, 8 tahun yang lalu]

Karena terlalu memaksakan dirinya, ayahku mengalami sakit keras yang membutuhkan banyak biaya untuk mengobatinya.

Ibuku hampir mengalami depresi karena harus memutar otak untuk memenuhi biaya rumah sakit ayahku.

Tak ada yang bisa dilakukan oleh anak kecil sepertiku. Aku hanya bisa diam meratapi kenyataan ini.

Mulai dari kejadian itulah. Secara perlahan, ibuku mulai berubah sejak kejadian itu.

Dulu, ibu merupakan orang yang selalu menyayangiku dan Akari.

Namun kini, dia mulai memarahi dan menyalahi kami berdua.

"Gara-gara kalian berdua, ayah kalian jadi memaksakan dirinya. Ini semua salah kalian!" itulah yang ibu katakan padaku dan Akari.

Aku tak bisa membalas perkataannya sama sekali. Itu karena yang dikatakan oleh ibu adalah kebenaran.

Karena aku dan Akari yang sakit pada saat itulah, ayah harus bekerja hingga memaksakan dirinya.

Bahkan aku tak menyadarinya sama sekali. Kalau ayah bekerja di perusahaan gelap yang selalu memaksa karyawannya bekerja tanpa henti.

Dan setelah aku ingat-ingat kembali, liburan itu adalah yang terakhir bagi keluargaku.

Karena harus tetap dirawat di rumah sakit dalam waktu lama, ayahku dipecat dari pekerjaannya.

Tepat sebulan setelah ayah dirawat di rumah sakit. Ayahku pun mengembuskan napas terakhirnya di sana.

Keluargaku pun telah berubah 180 derajat sejak hari itu.

* * *

[Saat ini, 21 September — 2015]

Sekarang, tepat 8 tahun sejak kematian ayah kandungku.

Dan saat ini, aku harus berhadapan langsung dengan ibuku untuk melindungi Haruki-kun.

"Siapa orang yang kamu bawa itu, Sakura?!"

"Dia adalah pacarku, ibu."

Aku harus bisa menghadapinya, jika tidak, maka aku tidak akan bisa melangkah lebih jauh lagi—

"KENAPA KAMU MEMBAWA ORANG SEPERTI ITU KE RUMAH, SAKURA?!"

Ibu berteriak sangat kencang padaku. Namun kenapa aku tidak bisa membuka mulutku untuk membalas perkataannya?

Ayolah... Aku harus bisa membalas perkataan ibu.

"Ibu, aku—"

"Naa... Kenapa kau memarahi anakmu sendiri?! Aku sudah cukup muak melihatmu memarahi Sakura."

Saat aku ingin membalas perkataan ibu, Haruki-kun menyela perkataanku. Dan itu sangat buruk.

"Haruki-kun, sudahlah... Kamu simpan saja amarahmu!"

"Tidak bisa Sakura! Aku tidak bisa menahan amarahku lebih dari ini. Ibumu sudah menampar Akari, dia juga sudah memarahimu. Itu sudah kelewatan!"

"Ha... ruki-kun?!"

Haruki-kun menyentuh pundakku dan maju ke hadapan ibuku.

Tetapi sesaat... hanya sesaat. Aku tidak melihat adanya amarah di mata Haruki-kun. Selain itu, dia sempat tersenyum tipis saat menyentuh pundakku.

Apa yang ingin kamu lakukan, Haruki-kun?

"Kalau kau adalah ibu dari Sakura dan Akari... jelaskan padaku, mengapa kau sangat membenci anakmu sendiri."

Haruki-kun begitu percaya diri saat mengatakan itu pada ibuku. Tetapi ibuku...

"Apa maksudmu?! Kenapa aku harus mengatakannya pada orang sepertimu hah?!"

Ibuku berteriak pada Haruki-kun. Namun Haruki-kun tetap tersenyum saat menghadapi ibuku.

"Aku bisa melihatnya dari matamu... Kalau kau sendiri sangat tidak ingin menyakiti anakmu sendiri kan? Pasti ada sebabnya... alasanmu harus membenci anakmu sendiri."

Saat mendengar Haruki-kun menjawab pertanyaan ibuku. Ibuku mendadak mundur secara perlahan dengan tatapan seperti sedang ketakutan.

"A-Apa yang kau maksud itu?! Aku tidak seperti yang kau katakan itu!"

"Tapi aku bisa mengetahuinya... Kalau kau sangat menyayangi kedua anakmu."

Ibuku terdiam setelah mendengar perkataan itu. Kemudian, dia maju perlahan dan mendekat padaku.

Akari memegang lenganku dengan sangat erat saat melihat ibu berjalan mendekati kami.

Ibu memandangiku dan Akari. Namun... Aku tak melihat kebencian dalam tatapannya sama sekali.

Yang ada hanyalah tatapan mata penuh penyesalan.

Ibu mulai angkat bicara dan hendak memberitahukan sesuatu padaku dan Akari.

"Sakura... Akari... Ibu akan mengatakan pada kalian, kejadian yang sebenarnya."

Kejadian yang... sebenarnya?!

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!