"Jadi ini akhirnya, ya?" ucap Yansya Ardian, suaranya tercekat karena menahan pilu yang mendalam. "Kamu benar-benar menceraikanku, hanya karena gajiku tidak cukup untuk memenuhi semua keinginanmu yang tak ada habisnya?"
Sarah membuang pandang, bibirnya mengerucut tipis tanpa ada penyesalan. "Bukan cuma itu, Yansya," sahut Sarah dingin. "Aku butuh kepastian, aku butuh kemapanan, karena hidup bersamaku itu butuh uang, bukan cuma janji cinta."
Yansya tertawa hambar, rasanya sangat getir sampai ke ulu hati. "Oh, jadi uang, ya?" tanya Yansya sambil menaikkan sebelah alisnya. "Pantas saja akhir-akhir ini kamu sering pulang larut, katanya ada rapat kantor. Rupanya rapatmu itu dengan Herman di apartemennya, begitu?"
Sarah menatap Yansya tajam, tidak lagi menyembunyikan amarah yang sudah lama dipendamnya. "Kalau memang kamu sudah tahu, kenapa baru sekarang bertanya?" tantang Sarah, suaranya meninggi. "Herman bisa memberiku semua yang tidak bisa kamu berikan, Yansya, dan apa salahnya aku mencari kebahagiaanku sendiri?"
Mata Yansya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak. "Kebahagiaan di atas kehancuranku?" Yansya bertanya dengan suara bergetar. "Kebahagiaan yang kamu bangun di atas janji suci kita, yang kamu injak-injak hanya karena ada dompet yang lebih tebal dariku?"
Sarah tidak lagi membalas ucapannya. Ia hanya berbalik mengambil tasnya yang tergeletak di sofa ruang tamu lalu melangkah cepat menuju pintu tanpa sedikit pun menoleh ke arah Yansya. Semua kata-kata pedih yang keluar dari bibir mantan suaminya itu tidak ia pedulikan sama sekali karena tidak ada lagi yang mengikat mereka. Pintu rumah tertutup rapat, meninggalkan Yansya yang kini terduduk lemas di lantai, sendirian dengan kepingan hatinya yang hancur.
"Baiklah, Sarah, pergilah," bisik Yansya pada kehampaan, suaranya parau dan sarat kepedihan. "Pergilah dengan kebahagiaan semu yang kau cari itu. Apa kamu benar-benar akan bahagia dengan uang tanpa sedikit pun ketulusan? Apa kamu pikir semua ini tidak akan kembali padamu, suatu hari nanti?"
Yansya memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara lengan, membiarkan air mata yang selama ini ia tahan tumpah membasahi celana yang dikenakannya. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan, namun yang terasa hanyalah kehancuran tak berujung karena semua impian dan masa depan yang telah mereka bangun bersama kini lenyap begitu saja, hanya menyisakan puing-puing kepedihan yang tak tertahankan.
Dalam keheningan yang menyesakkan, ketika Yansya sedang larut dalam keputusasaannya, tiba-tiba sebuah benda keras melayang menghantam wajahnya. 'BUGH!' Sebuah buku tebal jatuh dari rak di atas kepalanya, mengenai pelipisnya. Yansya tersentak kaget. Rasa sakit yang mendadak muncul itu sejenak mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit di hati yang lebih mendalam. "Aduh!" desisnya, sambil mengangkat tangannya menyentuh area yang nyeri, lalu mengerjap bingung melihat buku yang kini tergeletak di sampingnya.
Perlahan, Yansya meraih buku itu, sampulnya terasa usang namun kokoh di genggamannya. Judulnya terpampang jelas, "Sumber Pengetahuan," dan seketika ia merasa ada dorongan aneh untuk membukanya. Begitu lembaran pertama terbuka, cahaya putih terang memancar, menyilaukan mata Yansya sesaat.
Ia merasa ada aliran energi yang tak terlihat masuk ke dalam otaknya, memenuhi setiap sudut pikirannya dengan informasi yang tak terhingga. Ketika cahaya itu meredup, Yansya menyadari sesuatu yang luar biasa: semua tulisan, gambar, dan setiap isi dalam buku itu lenyap, hanya menyisakan halaman-halaman kosong yang bersih dan tak berbekas. Kepalanya terasa penuh, seluruh ilmu yang ada dalam buku itu kini menjadi miliknya.
Namun, kebahagiaan sesaat itu sirna, digantikan nyeri luar biasa yang menusuk otaknya, terasa seperti jutaan jarum menusuk bersamaan. Kepalanya berdenyut hebat, pandangannya mulai kabur, dan telinganya berdengung nyaring. Yansya berusaha untuk mempertahankan kesadarannya, ia bergumam lemah, "Apa ini? Sakit sekali..." Akan tetapi, upayanya sia-sia. Tubuhnya terasa mati rasa, ia tak mampu lagi menopang dirinya sendiri. Seluruh penglihatannya menggelap, dan ia pun limbung, jatuh tak sadarkan diri di atas lantai.
Saat kesadarannya kembali, pandangan Yansya perlahan terbuka. Hal pertama yang ia rasakan bukan lagi nyeri di kepala, melainkan sebuah sensasi aneh di matanya, dan ia melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru. Yansya bisa melihat pola-pola rumit di dinding yang sebelumnya tampak polos, jarak pasti antara dirinya dengan setiap benda di ruangan itu, bahkan sebuah angka muncul di benaknya memperkirakan berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk mencapai setiap objek, lengkap dengan perkiraan jumlah langkah yang harus ia ambil. Sebuah gumaman pelan keluar dari bibirnya, "Ini... ini apa?" Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, dan seketika ia menghitung dengan tepat berapa sentimeter jarak antara jempol dan jari telunjuknya, karena pikirannya terhubung dengan sebuah sistem pengukuran universal yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Di tengah kebingungan akan kemampuan barunya, Yansya tiba-tiba mendengar suara pintu didobrak keras dari arah ruang depan. 'BRAK!' Ia tersentak kaget, jantungnya berdegup lebih cepat, dan ia langsung mencoba menganalisis pola suara serta jaraknya dengan kecepatan luar biasa. Beberapa detik kemudian, tiga sosok berpakaian serba hitam dengan senjata di tangan memaksa masuk ke dalam rumahnya. Wajah mereka tertutup masker, membuat Yansya tidak tahu siapa yang mengirim mereka.
"Siapa kalian?" teriak Yansya, meski suaranya terdengar gemetar. Ia sudah menghitung kemungkinan jarak dan waktu yang ia butuhkan untuk melarikan diri dari mereka. "Apa yang kalian inginkan dariku?"
Alih-alih melarikan diri, mata Yansya justru bergerak cepat, memindai setiap sudut ruangan dengan fokus intens. Kemampuan barunya bekerja jauh melampaui perhitungan jarak dan waktu biasa, dan ia mulai melihat pola pergerakan tubuh para penyerang, titik lemah pada postur mereka, bahkan sudut serangan optimal yang bisa ia manfaatkan. Pikirannya memproses data dengan kecepatan yang tak masuk akal, menciptakan berbagai skenario di kepalanya.
"Ada tiga orang, masing-masing dengan berat sekitar tujuh puluh kilogram, jarak dua meter dari pintu," Yansya bergumam pada dirinya sendiri, membaca data dari sebuah layar tak terlihat. "Tangan kanan mereka memegang senjata, menyisakan sisi kiri yang lebih terbuka." Ia menyusun strategi dengan presisi tinggi, setiap detail dianalisis untuk menemukan cara yang paling tepat mengalahkan dan melumpuhkan para penyerang, bukan melarikan diri dari mereka.
Yansya bertindak cepat, memanfaatkan setiap celah yang ia temukan. Dengan gerakan gesit, ia melompat ke samping, menghindari ayunan tongkat pertama dari penyerang terdepan. "Gerakan mereka bisa ditebak," pikirnya, saat pandangannya mengidentifikasi setiap sendi yang bisa dilumpuhkan. Ia lalu mendaratkan pukulan siku yang terukur tepat ke sendi siku penyerang pertama, membuatnya tersentak dan menjatuhkan senjatanya.
Berikutnya, ia membanting tubuhnya ke samping, menghindari tembakan yang meleset tipis dari penyerang kedua. Yansya kemudian menyapu kaki penyerang tersebut, menjatuhkannya ke lantai, lalu ia memutar tubuhnya dengan cepat, mengunci lengan penyerang ketiga, memelintirnya hingga terdengar suara retakan tulang dan penyerang itu menjerit kesakitan. Hanya dalam hitungan detik, tiga penyerang bersenjata itu sudah terkapar tidak berdaya, dilumpuhkan oleh Yansya yang kini berdiri tegak, napasnya sedikit terengah namun matanya penuh ketajaman.
Setelah melumpuhkan para penyerang, Yansya tidak membuang waktu. Ia segera memeriksa setiap penyerang, memastikan mereka benar-benar tidak berdaya dan tidak ada ancaman susulan. Meskipun adrenalin membanjiri tubuhnya, pikirannya tetap jernih. Kemampuan barunya secara otomatis menganalisis identitas dan motif para penyerang, meski informasi itu masih samar dan perlu diurai lebih lanjut. "Siapa yang mengirim mereka? Dan mengapa?" Yansya bertanya pada dirinya sendiri, seraya menatap buku "Sumber Pengetahuan" yang masih tergeletak di lantai, sumber kekuatan baru yang misterius itu.
"Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?" Yansya bertanya dengan suara tegas, sambil menatap tajam salah satu penyerang yang masih merintih di lantai. "Jawab aku sekarang!" Penyerang itu hanya mengerang, menolak untuk bicara.
Yansya beralih ke penyerang kedua, mencengkeram kerah bajunya. "Jangan coba-coba main-main denganku," ancamnya. "Aku tahu kalian tidak datang sendiri." Namun, penyerang itu hanya memalingkan wajah, bibirnya terkatup rapat, dan yang ketiga juga tidak jauh berbeda. Mereka semua tetap bungkam, tidak ada satu pun yang mau mengaku siapa dalang di balik penyerangan ini. Yansya mendengus frustrasi, menyadari bahwa menginterogasi mereka secara paksa tidak akan membuahkan hasil.
Tanpa ragu, Yansya memutuskan untuk menyerahkan para penyerang itu ke pihak berwajib. Ia tidak ingin mengambil risiko lebih lanjut, juga karena ia yakin investigasi resmi dapat mengungkap siapa dalang di balik penyerangan misterius ini. Yansya menghubungi kantor polisi terdekat, menjelaskan secara singkat apa yang terjadi, dan tak lama kemudian, sirene mobil polisi terdengar mendekat, memecah kesunyian malam di permukiman itu.
Beberapa petugas datang, dengan sigap mengamankan para penyerang yang terkapar, serta mulai melakukan olah TKP, sementara Yansya hanya bisa menatap buku "Sumber Pengetahuan" di tangannya, bertanya-tanya tentang apa lagi yang akan terjadi.
Yansya kemudian mengalihkan perhatiannya pada buku "Sumber Pengetahuan" yang tergeletak di lantai. Ia membolak-balik halamannya, memastikan bahwa buku itu kini benar-benar kosong, tak ada lagi tulisan atau gambar yang tersisa. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya, sebuah pemikiran yang ekstrem namun terasa benar.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil korek api dari saku celananya. Dengan tatapan serius, ia menyulutkan api ke salah satu sudut halaman buku itu. Api dengan cepat menjalar, melahap setiap lembaran kertas hingga hanya menyisakan abu, karena Yansya ingin menghapus jejak masa lalu, atau mungkin, mengukuhkan kekuatannya yang baru.
"Jadi, Pak Yansya," ujar salah satu polisi, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal, sambil menatap Yansya dengan dahi berkerut, sebuah ekspresi kebingungan yang jelas terpampang di wajahnya. "Bisa Anda jelaskan kembali, bagaimana ceritanya tiga orang berbadan besar dengan senjata di tangan mereka ini bisa tak berdaya hanya dengan tangan kosong Anda? Jujur saja, semua yang terjadi ini di luar nalar kami dan sangat sulit untuk diterima akal sehat."
Yansya menghela napas panjang, sebuah tarikan napas berat yang menunjukkan beban pikiran yang mendalam. Ia tahu pertanyaan seperti itu pasti akan muncul dan harus dijawab, karena kemampuan barunya memang sulit dipercaya akal sehat orang biasa, bahkan untuk dirinya sendiri yang masih merasakan keanehan itu.
"Saya hanya membela diri, Pak," jawab Yansya, berusaha terdengar setenang mungkin meskipun jantungnya masih berdebar kencang di dalam dadanya. "Mereka tiba-tiba menyerang saya tanpa peringatan, dan insting saya langsung bergerak begitu saja secara spontan untuk melindungi diri. Mungkin karena kaget dan panik luar biasa yang saya alami, saya jadi punya tenaga ekstra yang tidak terduga sebelumnya."
Polisi lain, yang tampak lebih muda dan sangsi dengan penjelasan Yansya, menyela dengan nada sedikit meragukan. "Tenaga ekstra sampai bisa melumpuhkan tiga orang sekaligus tanpa luka sedikit pun di tubuh Anda, Pak? Kami sudah memeriksa seluruh tubuh Anda, tidak ada satu pun goresan atau memar yang terlihat. Apa Anda punya latar belakang beladiri tertentu yang tidak Anda ceritakan, mungkin?"
Yansya menggelengkan kepalanya perlahan, bibirnya sedikit tersenyum kecut, sebuah senyum tipis yang penuh dengan rahasia yang ia simpan rapat. "Tidak, Pak, saya hanya karyawan biasa yang bekerja di sebuah perusahaan. Ini juga pertama kalinya saya mengalami hal luar biasa seperti ini dalam hidup saya. Saya sendiri masih bingung dan terus bertanya-tanya bagaimana semua ini bisa terjadi pada diri saya."
Polisi berbadan tegap itu kembali menatap Yansya dengan tatapan intens, mencoba membaca setiap ekspresi di wajah Yansya dan mencari kebenaran di balik setiap kata yang terucap. "Kami masih merasa ada yang janggal dan tidak masuk akal, Pak Yansya. Tolong, ceritakan lebih detail, apa yang sebenarnya terjadi sebelum kami tiba di tempat kejadian ini?"
Yansya menatap kedua polisi itu bergantian, menghela napas panjang sekali lagi, lalu sorot matanya berubah serius dan dalam, seolah memutuskan untuk tidak lagi menyembunyikan sesuatu yang penting yang harus segera ia ungkapkan.
"Baik, Pak, sebenarnya ada sesuatu yang saya sembunyikan dari kalian," ucap Yansya perlahan, suaranya kini terdengar lebih mantap dan penuh keyakinan.
"Saya memang tidak punya latar belakang beladiri secara formal melalui pelatihan resmi, tapi dulu saya pernah menjadi bagian dari tim investigasi khusus, semacam detektif swasta yang bekerja secara independen. Karena pekerjaan itu yang mengharuskan saya menghadapi berbagai situasi berbahaya, saya banyak belajar teknik bela diri secara otodidak untuk melindungi diri sendiri. Kejadian tadi malam mungkin memicu kembali ingatan otot saya yang sudah lama tidak terpakai."
Polisi berkumis tebal itu mengernyitkan dahinya, tampak sedikit terkejut dan penasaran dengan pengakuan Yansya. "Detektif swasta? Kenapa tidak Anda sebutkan dari awal, Pak? Informasi ini sangat penting untuk penyelidikan kami dan bisa mengubah pandangan kami."
"Maaf, Pak," Yansya menunduk sejenak, menunjukkan penyesalan yang tulus. "Saya sudah tidak ingin berhubungan lagi dengan masa lalu itu, karena banyak hal buruk terjadi dan saya ingin melupakannya seutuhnya. Saya hanya ingin hidup tenang sebagai karyawan biasa dan meninggalkan semua bahaya di belakang saya."
Kedua polisi itu saling pandang, seolah ada kesepakatan tanpa kata yang terucap di antara mereka, sebuah pemahaman diam-diam yang terjalin erat. Lalu polisi berkumis tebal itu kembali menatap Yansya dengan sorot mata berbeda, kini ada kilatan ketertarikan yang jelas terlihat di sana, sebuah ketertarikan yang tidak bisa ia sembunyikan.
"Melihat kemampuan luar biasa Anda melumpuhkan tiga penyerang profesional tanpa kesulitan berarti, Pak Yansya, kami rasa Anda memiliki potensi luar biasa yang sangat bisa dimanfaatkan untuk kepentingan negara," ucapnya, nadanya kini lebih serius dan bernada penawaran yang menggiurkan, sebuah kesempatan emas yang jarang datang.
"Bagaimana kalau Anda bergabung dengan kami sebagai agen khusus? Kami sangat membutuhkan orang dengan kemampuan seperti Anda untuk misi-misi yang tidak bisa ditangani oleh petugas biasa dan membutuhkan keahlian khusus yang hanya Anda miliki."
Yansya tersentak kaget mendengar tawaran itu, sebuah tawaran yang tidak pernah ia duga sebelumnya, lalu ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, Pak, terima kasih banyak atas tawarannya yang menarik ini, tapi saya sudah tidak tertarik lagi dengan dunia seperti itu," jawab Yansya dengan tegas, karena ia benar-benar hanya ingin hidup normal dan damai setelah semua yang terjadi dalam hidupnya. "Saya sudah selesai dengan masa lalu saya dan ingin memulai lembaran baru yang lebih tenang."
"Anda masih muda, Pak Yansya, sangat disayangkan jika bakat alami seperti ini tidak dimanfaatkan secara optimal untuk kebaikan bersama," timpal polisi muda, ikut membujuk dengan nada persuasif yang meyakinkan.
"Lagipula, posisi ini menawarkan gaji yang sangat menjanjikan, jauh di atas rata-rata gaji karyawan biasa. Mungkin gaji ini bisa membantu Anda membangun kehidupan baru yang lebih baik dan lebih stabil di masa depan, tanpa perlu khawatir soal materi."
Yansya yang awalnya ingin menolak tegas tawaran itu, tiba-tiba terdiam sesaat, pikirannya langsung sibuk memproses informasi baru. Pikirannya langsung melayang pada percakapannya yang menyakitkan dengan Sarah dan betapa uang menjadi penyebab utama hancurnya rumah tangganya yang dulu.
Matanya berkedip cepat. Mendengar kata "gaji besar" membuat hatinya bergejolak hebat, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan dan kini muncul kembali. Ia mulai membayangkan bagaimana uang itu bisa mengubah segalanya dalam hidupnya, termasuk memulihkan kembali harga dirinya yang sempat terinjak-injak oleh Sarah.
Akhirnya, Yansya menghela napas, seolah pasrah pada takdir yang membawanya kembali ke dunia lama, namun senyum tipis tersungging di bibirnya, sebuah senyum penuh arti. "Baiklah, Pak," ucapnya, suaranya kini terdengar lebih riang dan penuh semangat, sebuah perubahan drastis dari nada sebelumnya yang ragu. "Jika memang gajinya menjanjikan dan saya bisa membantu banyak orang yang membutuhkan, kenapa tidak saya coba? Anggap saja saya kembali ke dunia lama saya, dengan bekal kemampuan yang lebih baik dan tujuan yang lebih jelas."
Mendengar penerimaan Yansya yang begitu mendadak setelah penolakan keras sebelumnya, kedua polisi itu tak bisa menahan tawa geli mereka yang pecah begitu saja. Mereka saling menepuk pundak Yansya, merasa senang dan puas karena mendapatkan aset baru yang sangat berharga bagi kepolisian, seorang agen dengan kemampuan unik.
Tak lama setelah itu, Yansya segera dibawa ke kantor polisi, sebuah tempat yang akan menjadi awal dari perjalanan barunya sebagai penegak hukum. Di sana, ia tidak langsung diinterogasi lebih lanjut mengenai insiden penyerangan di rumahnya, melainkan diarahkan menuju sebuah ruangan khusus yang sudah disiapkan untuk menjalani serangkaian tes yang sangat ketat. Hal ini dilakukan karena polisi ingin memastikan kemampuan luar biasa Yansya benar-benar bisa dimanfaatkan secara maksimal sebagai agen khusus yang profesional dan andal.
Setelah melewati berbagai rintangan yang menguji kekuatan fisik dan kemampuan bertarung langsung dalam simulasi yang realistis, Yansya berhasil menyelesaikan semua tes itu dengan gemilang, membuat para instruktur yang mengawasinya terkesima dengan performa dan keahliannya yang tak terduga.
Langkah selanjutnya, ia dihadapkan pada serangkaian tes kecerdasan dan psikologi yang jauh lebih rumit dan menantang, dirancang khusus untuk menguji kecepatan berpikir dan analisisnya dalam berbagai situasi yang kompleks.
Dalam ruangan hening yang penuh dengan soal-soal rumit dan abstrak, Yansya dengan mudah memecahkan setiap teka-teki yang diberikan, menganalisis data kompleks dalam hitungan detik, dan menemukan solusi untuk skenario-skenario sulit yang disajikan.
Pikirannya bekerja sangat cepat, mengolah informasi dengan presisi luar biasa, seolah-olah setiap pertanyaan sudah ada jawabannya dalam benaknya yang baru, sehingga Yansya berhasil menyelesaikan tes kecerdasan itu dalam waktu singkat dan dengan hasil yang sempurna, jauh melampaui ekspektasi semua penguji.
Keesokan harinya, Yansya berdiri tegak di hadapan kepala kepolisian, mengenakan seragam baru yang rapi dan pas di tubuhnya, sebuah simbol identitas barunya sebagai bagian dari korps kepolisian.
Dengan bangga, ia menerima lencana khusus yang berkilau, menandakan posisinya sebagai agen khusus kepolisian. Semua tatapan penuh hormat dan harapan kini tertuju padanya, karena ia telah resmi menjadi bagian dari tim elit yang bertugas menangani kasus-kasus paling pelik dan berbahaya bagi negara.
Sebagai agen khusus, Yansya kemudian ditempatkan di divisi investigasi rahasia, sebuah unit khusus yang menangani kasus-kasus sensitif dan berprofil tinggi yang membutuhkan penanganan cermat. Di sanalah ia pertama kali bertemu dengan kepala divisinya, Lisa, seorang wanita cantik jelita yang memancarkan aura kepemimpinan kuat dan ketegasan yang tak terbantahkan, serta terlihat sangat kompeten.
Divisi ini juga dihuni oleh agen-agen khusus lainnya yang tak kalah hebat dan memiliki keahlian unik, seperti Firmino yang selalu tenang dalam setiap situasi, Beban dengan kekuatan fisiknya yang luar biasa, Layla yang cerdas dan gesit dalam setiap pergerakan, serta Delisa dengan keahliannya yang tak tertandingi dalam penyamaran. Yansya kini menjadi bagian dari tim yang solid, siap menghadapi tantangan apa pun bersama-sama sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Tak lama setelah perkenalan yang singkat namun efektif, kepala divisi Lisa langsung mengumpulkan Yansya dan seluruh timnya di ruang rapat utama. Wajahnya menunjukkan keseriusan penuh, lalu ia memaparkan sebuah misi yang sangat penting dan mendesak yang harus segera mereka tangani. Misi itu adalah untuk membongkar sindikat perdagangan barang antik ilegal yang beroperasi lintas negara dan telah meresahkan banyak pihak, karena jaringan kejahatan ini tidak hanya menyelundupkan artefak berharga dengan nilai historis tinggi, tetapi juga menggunakan dana hasil kejahatan mereka untuk mendanai berbagai aktivitas terorisme yang mengancam keamanan global dan stabilitas dunia.
"Baik, karena semua sudah jelas," Lisa memulai, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Tim ini akan dibagi menjadi dua unit."
"Unit Alpha yang dipimpin oleh Firmino akan fokus pada intelijen lapangan dan pelacakan jaringan penyelundup di Eropa."
"Unit Beta yang akan dipimpin oleh Yansya akan bertanggung jawab untuk infiltrasi dan penyamaran di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan negara-negara tetangga yang menjadi pusat transit mereka."
Yansya mengangguk, menyerap setiap instruksi dengan fokus penuh. Matanya menunjukkan kesiapan untuk bertindak karena ia tahu misi ini tidak hanya tentang keahlian, tetapi juga tentang keberanian dan strategi matang.
"Setiap unit akan bergerak secara independen namun tetap menjaga koordinasi erat," Lisa melanjutkan. "Karena kecepatan dan ketepatan adalah kunci keberhasilan misi ini, jadi jangan ada kesalahan sedikit pun."
Firmino langsung menunjuk Beban dan Layla untuk bergabung dengan unitnya. Sementara itu, Yansya memilih Delisa yang ahli penyamaran dan satu agen baru bernama Rio yang dikenal karena kemampuannya dalam bidang siber. Ia memastikan setiap anggota memiliki peran vital dalam menghadapi tantangan yang akan datang.
Setelah pembagian tugas yang jelas, tim Yansya, Unit Beta, segera menyusun rencana aksi yang matang karena mereka tahu waktu sangat berharga.
Delisa mulai menyiapkan berbagai identitas palsu dan latar belakang cerita yang meyakinkan untuk Yansya dan Rio. Sementara Rio sibuk memetakan jaringan digital sindikat melalui data yang didapat dari intelijen awal, mencari celah untuk infiltrasi virtual.
Yansya, dengan kemampuan analisis super cepatnya, meninjau ulang semua informasi. Ia menghitung kemungkinan risiko dan menyusun skenario-skenario tak terduga yang mungkin mereka hadapi di lapangan. Ia memastikan setiap langkah sudah diperhitungkan dengan cermat sebelum mereka melangkah ke dalam dunia gelap sindikat barang antik ilegal yang berbahaya.
Di sela-sela persiapan intens itu, Fabian, ketua tim lain yang dikenal sebagai yang terbaik di antara sepuluh tim agen khusus, menghampiri Lisa di koridor.
"Lisa, saya harap Anda tidak gagal lagi kali ini," ucap Fabian dingin, tanpa basa-basi. "Divisi Anda adalah yang terendah dan terburuk selama beberapa tahun ini, dan ini adalah kesempatan terakhir Anda untuk membuktikan bahwa Anda memang pantas memimpin tim ini."
"Ingat, reputasi kita semua dipertaruhkan, jadi jangan sampai misi ini berujung kegagalan lagi."
Lisa hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, seolah perkataan Fabian tidak berarti baginya. Lalu ia bergegas kembali ke ruang rapat, mendesak semua agen untuk menyelesaikan persiapan mereka lebih cepat dari jadwal.
Dengan segala persiapan sudah rampung, Yansya, Delisa, dan Rio kini berada di Jakarta. Mereka menyamar sebagai kolektor seni dan asisten pribadi yang tertarik pada pasar gelap barang antik.
Mereka mengamati sebuah pelelangan tertutup di kawasan elite yang disinyalir menjadi sarang awal sindikat. Delisa berhasil menyusup masuk sebagai staf katering untuk mendapatkan informasi orang dalam.
Sementara Rio memantau semua komunikasi digital dari sebuah van tak mencolok di seberang jalan, karena kemampuan sibernya sangat dibutuhkan untuk merekam setiap percakapan dan transaksi yang mencurigakan.
Yansya sendiri berdiri di antara kerumunan tamu, wajahnya tenang namun matanya tajam mengamati setiap gerak-gerik. Ia menganalisis pola interaksi para peserta lelang dan menghafal setiap detail wajah karena ia mencari target kunci yang telah mereka identifikasi dari data intelijen. Ia siap untuk mengambil langkah berikutnya saat momen yang tepat tiba.
Tiba-tiba, Delisa mengirim pesan singkat terenkripsi ke perangkat Yansya, "Target utama baru saja menerima sebuah koper kecil dari pria berjas hitam di sudut ruangan, terlihat mencurigakan."
Yansya membalas singkat, "Konfirmasi isi koper jika memungkinkan."
Beberapa menit kemudian, pesan lain dari Delisa masuk, "Ada artefak kecil yang terlihat sangat kuno di dalamnya, sepertinya kunci atau semacamnya, dan transaksi dilakukan secara terburu-buru."
Bersamaan dengan itu, Rio menginterupsi melalui komunikasi internal, "Saya mendeteksi lonjakan aktivitas komunikasi terenkripsi dari ponsel target, sepertinya mereka akan segera bergerak, bersiaplah untuk tindakan lanjutan."
Yansya mengencangkan rahangnya, karena informasi tersebut sangat krusial. Lalu ia mengaktifkan lensa kontaknya yang terhubung ke sistem Rio, meminta Rio untuk memperbesar rekaman video dari sudut Delisa, memastikan tidak ada detail yang terlewat.
"Yansya, ada dua orang lagi mendekat ke arah target, mereka membawa tas jinjing," Rio melaporkan dengan nada terburu-buru, suaranya sedikit pecah di telinga Yansya.
"Terlalu cepat! Kita belum punya cukup informasi tentang siapa mereka!" Delisa menyahut melalui saluran yang sama.
"Tunggu dulu, Rio, fokus pada koper itu. Yansya, bisakah kau periksa lebih dekat artefak yang mereka pegang? Ada ukiran aneh di sana." Yansya bergeser sedikit, mencoba mendapatkan sudut pandang yang lebih baik, karena ia merasa instruksi mereka saling tumpang tindih.
"Rio, fokus pantau pergerakan orang baru itu. Delisa, pastikan koper itu tidak berpindah tangan," Yansya memberi instruksi, mencoba menengahi karena koordinasi mereka masih belum padu. Hal itu menyebabkan sedikit miskomunikasi di tengah keramaian acara yang mulai memanas itu.
"Kita harus tahu persis apa yang mereka bawa dan apa yang mereka incar, jangan sampai salah langkah."
"Dengar, tim!" Yansya berkata tegas melalui saluran komunikasi mereka, suaranya kini penuh otoritas tanpa ada keraguan.
"Mulai sekarang, hanya ada satu orang yang akan memberikan instruksi lapangan, dan itu adalah saya. Rio, tetap fokus pada pemantauan digital dan beri tahu saya setiap anomali data, karena itu sangat penting."
"Delisa, fokus pada observasi visual dan konfirmasi setiap objek yang mencurigakan, jangan ada yang terlewat. Jangan ada lagi instruksi tumpang tindih karena tim ini perlu kompak dan efisien."
"Kita perlu bergerak cepat dan terorganisir agar misi ini berjalan lancar tanpa ada kesalahan sedikit pun, ingat ini baik-baik!"
Setelah instruksi Yansya yang lugas, tim kembali fokus pada tugas masing-masing. Rio segera mengalihkan perhatiannya pada dua sosok misterius yang mendekat, sambil memperbesar citra tas jinjing yang mereka bawa, mencari petunjuk yang tersembunyi.
Sementara itu, Delisa yang berada lebih dekat dengan target, diam-diam menggunakan perangkat pemindai mini di balik seragam kateringnya untuk mendapatkan detail lebih akurat tentang artefak kuno di dalam koper, karena ia ingin tahu bahan dan usia benda itu.
Yansya mengamati dari jauh, matanya bergerak cepat, menganalisis setiap ekspresi wajah, gerak tubuh, dan bahkan perubahan mikro pada suhu ruangan yang ia rasakan, mencari tanda-tanda ancaman atau perubahan rencana mendadak dari para target.
Detik-detik berikutnya terasa menegangkan, karena target utama mulai bergerak menuju pintu keluar, diikuti dua pria berjas hitam dengan langkah cepat, seolah ingin menghindari perhatian.
"Target bergerak! Mereka menuju pintu samping, Yansya!" Rio melaporkan, suaranya kembali tegang.
"Delisa, apakah kau bisa menghambat mereka sebentar?" Yansya bertanya, karena ia harus segera mendekat tanpa menimbulkan kecurigaan.
Dengan sigap, Delisa menjatuhkan nampan yang sedang ia bawa secara tidak sengaja, menciptakan suara gaduh yang cukup untuk menarik perhatian dan sedikit menghalangi jalan para target. Sementara Yansya memanfaatkan kekacauan singkat itu untuk mempersempit jarak, matanya terus menganalisis potensi jalur pelarian dan titik-titik lemah di sekitar area tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!