NovelToon NovelToon

七界神君– Dewa Penguasa Tujuh Dunia

Bab 1

Langit di atas Azure Cloud Sect malam itu bergemuruh seakan hendak runtuh. Awan hitam pekat bergulung-gulung, menyelimuti gunung megah yang selama ribuan tahun menjadi pusat kemegahan sekte. Suara petir bagai raungan naga surgawi, mengguncang puncak-puncak batu yang menjulang hingga retakan muncul di lereng.

Di tengah badai langit, cahaya ungu keemasan menari liar, membentuk pusaran raksasa yang menyerupai mata surgawi yang menatap marah ke bawah.

Malapetaka Surgawi.

Namun bukan karena ada seorang kultivator yang mencoba menembus batas puncak—melainkan karena seorang bayi akan lahir.

Di dalam sebuah paviliun batu putih yang terletak di inti sekte, suara erangan perempuan terdengar parau namun penuh tekad.

“Arghh…! Tahan… aku bisa… aku… harus melahirkan dia…”

Wajah pucat wanita muda itu dipenuhi keringat, rambut hitam panjangnya menempel di pipi. Aura kehidupan dan energi spiritual di sekitarnya bergetar tak terkendali, seakan tubuhnya sendiri tengah melawan kekuatan langit yang hendak menolak keberadaan bayinya.

Dialah Ling Xueya, istri pertama Patriark sekte, wanita terhormat yang dihormati seluruh murid dan tetua. Namun kini, tubuhnya yang rapuh bergetar keras, seolah setiap tarikan napas adalah pertarungan hidup dan mati.

Di luar paviliun, seorang pria paruh baya berdiri tegak, jubah biru dengan simbol awan putih berkibar tertiup badai energi. Matanya tajam menatap ke arah langit, namun dalam sorot itu tersimpan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.

Dia adalah Patriark Azure Cloud Sect, Ling Tianyao—sosok yang kekuatannya berada di puncak Nascent Soul, pemimpin tertinggi yang ditakuti sekaligus dihormati di seluruh wilayah.

“Xueya… bertahanlah. Kau harus melahirkan dia. Anak kita…” gumamnya dengan suara rendah, nyaris bergetar.

Langit meraung. Petir raksasa menyambar menukik, jatuh lurus ke arah paviliun tempat Xueya berjuang.

“CEPAT!!!” teriak Tianyao.

Dua sosok melesat keluar dari balik bayangan. Mereka adalah Grand Elder Azure Cloud Sect, para monster tua dengan kultivasi Soul Transformation yang telah lama melampaui batas manusia biasa.

Satu mengibaskan lengan, formasi pelindung berbentuk perisai giok raksasa muncul dan menahan petir pertama. Satu lagi merapal mantra kuno, mengubah energi spiritual menjadi dinding cahaya yang memantulkan guncangan.

Namun petir itu bukan petir biasa. Saat menyentuh perisai, suara pecahan kaca terdengar keras. Lapisan demi lapisan formasi runtuh, membuat udara di sekitar mereka bergetar seperti hendak hancur.

“Keparat! Malapetaka ini… bahkan lebih kuat dari seorang kultivator yang mencoba menembus Dao Realm!” salah satu Grand Elder menggeram, wajahnya pucat.

Empat tetua dengan kultivasi Nascent Soul puncak segera melangkah maju, membentuk formasi segel delapan arah. Cahaya biru keperakan mengikat langit, mencoba menahan sambaran berikutnya.

Tianyao maju ke depan, wajahnya dipenuhi amarah dan tekad. “Tidak ada yang bisa menghalangi kelahiran anakku! Meskipun langit sendiri turun, aku akan menentangnya!”

Suara jeritan Xueya kembali terdengar, bercampur dengan tangisan putus asa namun juga keberanian. “Tianyao…! Jangan biarkan… surga merenggut anak kita…”

Tianyao memejamkan mata sesaat, dadanya bergetar. Selama ini ia dikenal dingin, kejam, bahkan murid-muridnya tak berani menatap wajahnya terlalu lama. Tapi kini, di hadapan istrinya, dia hanyalah seorang pria yang takut kehilangan orang yang ia cintai.

Ketika ia membuka mata, cahaya membara terpancar. Dengan satu gerakan tangan, ia mengeluarkan Pedang Azure Heaven, pusaka leluhur sekte yang hanya bisa dipanggil oleh seorang Patriark.

Pedang panjang biru keperakan itu melayang di udara, mengeluarkan raungan naga. “Kalau langit ingin menghancurkan paviliun ini,” Tianyao menggeram, “maka ia harus melewati tubuhku terlebih dahulu!”

BOOOMM!!!

Petir kedua jatuh. Kali ini, jauh lebih dahsyat. Tanah di sekitar paviliun terangkat, pecahan batu beterbangan, formasi gunung bergemuruh seperti hendak runtuh.

Keenam tetua bergidik, darah menetes dari sudut bibir mereka. Grand Elder bahkan harus mengeluarkan darah esensi untuk memperkuat segel.

Namun meskipun tubuh mereka hampir remuk, tak satu pun dari mereka mundur. Mereka tahu betul: jika bayi itu gagal lahir, sekte mereka akan kehilangan kesempatan yang tak ternilai.

Sebab bayi ini… bayi yang bahkan ditentang oleh surga… adalah jenius yang hanya lahir sekali dalam sepuluh ribu tahun.

Di dalam ruangan, Xueya hampir pingsan. Tubuhnya bergetar, energi kehidupannya terkuras begitu cepat. Namun senyum samar muncul di bibir pucatnya.

“Aku bisa merasakan… dia… dia menendang…” bisiknya lemah, air mata jatuh dari sudut matanya.

Tiba-tiba, teriakan panjang terdengar.

Tangisan bayi.

Namun bukan tangisan biasa—melainkan suara yang menggema ke seluruh sekte, seperti raungan naga kecil yang menembus langit. Suara itu membuat seluruh murid yang tengah panik di halaman menoleh ke arah paviliun dengan ekspresi tak percaya.

“Dia… lahir…” gumam salah satu Elder dengan suara bergetar.

Namun tangisan bayi itu bukan tanda akhir. Justru sebaliknya.

Langit meraung semakin marah. Dari pusaran hitam pekat, cahaya merah darah muncul, membentuk tombak petir sepanjang ratusan meter.

Mata para tetua melebar. “Itu… hukuman terakhir! Malapetaka surgawi yang tak pernah muncul di benua ini!”

Grand Elder segera berteriak, “Tianyao! Itu akan menghancurkan segalanya!”

Namun Tianyao justru mengangkat pedangnya ke langit, darahnya menyembur keluar, membentuk mantra kuno yang memaksa pusaka sekte bersinar lebih terang.

“Kalau begitu… biarlah aku yang menebas surga itu sendiri!”

CRAAASSHHHH!!!

Tombak petir turun, menghancurkan langit seakan alam semesta terbelah dua. Suara itu menggetarkan jiwa setiap makhluk di gunung.

Pedang Tianyao terangkat, tubuhnya diselimuti cahaya biru keperakan. Grand Elder dan tetua mengerahkan semua energi mereka, menggabungkan kekuatan ke dalam pedang.

Dan dalam sekejap—

BUUUMMMM!!!

Tabrakan maha dahsyat terjadi. Petir merah darah melawan cahaya pedang azure, menciptakan gelombang kejut yang meluluhlantakkan setengah gunung. Murid-murid berteriak panik, banyak yang terlempar puluhan meter meski berada jauh dari pusat bentrokan.

Langit hancur. Gunung bergetar. Namun paviliun tempat Xueya berada tetap berdiri kokoh, meski retakan memenuhi dindingnya.

Saat suara ledakan mereda, Tianyao tersungkur, lututnya menghantam tanah. Darah memenuhi bibirnya, napasnya berat, namun di wajahnya ada senyum puas.

Tangisan bayi kembali terdengar, kali ini lebih kuat, lebih lantang, seakan menantang langit.

Grand Elder menatap ke arah paviliun, matanya berkaca-kaca. “Bayi ini… tidak hanya menentang surga… dia menundukkan surga.”

Beberapa saat kemudian, seorang pelayan keluar dengan kain putih di pelukannya. Tubuhnya gemetar, wajahnya dipenuhi air mata.

“Patriark… selamat… tuan muda telah lahir.”

Tianyao bangkit dengan langkah goyah, menatap sosok mungil itu. Bayi dengan rambut putih bersih, namun matanya—meski baru lahir—bersinar seperti bintang, menembus hati setiap orang yang menatapnya.

Senyum getir sekaligus bangga muncul di wajah Patriark. “Mulai hari ini… kau adalah anakku, penerus Azure Cloud Sect…”

Ia berhenti sejenak, lalu menatap langit yang mulai mereda.

“Namamu adalah… Ling Xuanyan. Bayi yang membuat surga sendiri bergetar.”

Tangisan bayi itu kembali menggema, dan pada malam itu, seluruh benua mencatat kelahiran seorang jenius yang kelak akan mengguncang dunia.

Suara tangisan bayi bergema, menembus langit yang masih dipenuhi sisa awan merah darah. Namun, ketika dua Grand Elder melangkah mendekat, tatapan mereka seketika membeku.

Salah satu Grand Elder, kakek berambut putih panjang dengan mata setajam elang, terhuyung ke belakang. “I–Ini…!”

Yang satunya lagi menatap bayi mungil dalam pelukan pelayan dengan mata melebar, pupilnya bergetar hebat. Ia bahkan menggenggam jubahnya sendiri untuk memastikan tidak sedang bermimpi. “Mustahil… bagaimana mungkin tubuh seperti ini masih ada di dunia fana?!”

Patriark Tianyao menoleh cepat, sorot matanya tajam bagai pedang. “Apa maksud kalian?”

Pelayan yang membawa bayi itu nyaris jatuh terduduk ketika merasakan hawa dingin yang merembes dari tubuh mungil tersebut. Bukan hawa dingin biasa—melainkan es yang begitu murni, bahkan spiritual qi di sekitarnya membeku.

Grand Elder pertama bersuara lirih, namun setiap kata mengandung getaran yang membuat seluruh tetua di sekitar sana ikut menahan napas.

“Tubuh… Dao Es Surgawi (Heavenly Dao Ice Body)…”

Kata-kata itu bagaikan ledakan. Seluruh tetua menatap bayi mungil itu dengan ekspresi tak bisa dipercaya. Bahkan murid-murid yang jauh di luar aula, meski tidak mengerti sepenuhnya, ikut merasakan betapa kata-kata itu mengguncang jiwa mereka.

Tubuh Dao Es Surgawi—legenda yang sudah hilang sejak zaman para Immortal kuno. Sebuah tubuh yang dikatakan mampu menguasai esensi es sejati, membekukan dunia hanya dengan satu napas, dan berjalan di jalur Dao tanpa hambatan.

“Tidak heran… tidak heran surga ingin memusnahkannya…” salah satu tetua bergumam, tubuhnya bergetar. “Karena tubuh ini… adalah tubuh yang menentang tatanan! Jika dibiarkan tumbuh, kelak ia bisa melampaui batas surga itu sendiri!”

Suasana mendadak berubah. Kegelisahan, rasa takut, sekaligus euforia bercampur menjadi satu. Semua tetua segera berlutut, suara mereka penuh hormat.

“Selamat, Patriark! Selamat, Matriark! Azure Cloud Sect… melahirkan seorang jenius langka yang hanya muncul sekali dalam sepuluh ribu tahun!”

Suara itu bergema, membuat gunung sekte penuh dengan teriakan selamat dan pujian. Murid-murid yang mendengar kabar itu ikut bersorak, meski banyak dari mereka masih kebingungan dengan makna Tubuh Dao Es Surgawi.

Namun bagi para tetua, semuanya jelas: mulai saat ini, nama Azure Cloud Sect akan mengguncang seluruh wilayah, bahkan seluruh benua.

Di dalam paviliun, Xueya yang hampir kehilangan kesadaran kini tersenyum lemah, air mata mengalir di pipinya. Ia menatap bayi kecilnya yang masih memegang napas mungil. “Xuanyan… kau benar-benar anugerah… aku rela menukar nyawaku demi kelahiranmu.”

Namun Tianyao menunduk, wajah kerasnya yang selalu penuh wibawa kini dipenuhi emosi lembut. Ia mengulurkan jarinya.

Bayi mungil itu, seolah tahu siapa yang ada di depannya, meraih jari ayahnya dengan genggaman kecil namun kuat.

Tianyao terdiam sesaat, lalu senyum bangga muncul di wajahnya. “Mulai hari ini… seluruh dunia akan tahu nama Ling Xuanyan, putra dari Patriark Azure Cloud Sect. Tubuh Dao Es Surgawi yang bahkan surga tak mampu meniadakan.”

Di luar, langit perlahan mereda. Awan hitam sirna, digantikan sinar bulan pucat yang menenangkan. Namun dalam hati semua orang, mereka tahu: kelahiran bayi ini adalah awal dari badai yang jauh lebih besar.

Sepuluh Tahun Kemudian

Waktu berlalu. Sepuluh tahun telah melintasi Azure Cloud Sect.

Di sebuah halaman yang dipenuhi pohon pinus, seorang anak laki-laki duduk bersila di atas batu giok. Rambutnya putih berkilau bagai salju abadi, mata birunya dalam dan jernih, wajahnya sudah menunjukkan ketampanan luar biasa. Ia seperti patung dewa es muda, dengan hawa dingin samar yang selalu mengelilinginya.

Dialah Ling Xuanyan.

Namun meski memiliki tubuh Dao Es Surgawi yang legendaris, wajah anak itu tampak muram. Kedua tangannya yang mungil menggenggam lututnya erat, napasnya terengah-engah.

“Kenapa… kenapa selalu gagal…?” gumamnya pelan, suara serak penuh kekecewaan.

Di depannya, buku-buku kuno berserakan, semuanya tentang teknik pernapasan, cara membuka meridian, dasar-dasar kultivasi. Namun setiap kali ia mencoba, qi di sekitarnya justru menolak masuk. Lebih buruk lagi, meridian di tubuhnya selalu membeku, tertutup oleh lapisan es tipis yang tak bisa dihancurkan.

Seorang tetua berambut putih panjang, guru pribadinya, menatap Xuanyan dengan sorot mata penuh belas kasihan. Ia sudah berusaha berkali-kali membantu, namun setiap kali mencoba, qi yang masuk ke tubuh Xuanyan langsung hancur dan membeku.

“Patriark kecil…” suaranya berat. “Sepertinya… kutukan surgawi itu nyata. Tubuh Dao Es Surgawi memang melampaui batas, namun karenanya… meridianmu terkunci. Kau tidak bisa menapak jalur kultivasi seperti manusia biasa.”

Xuanyan menunduk. Tangan mungilnya mengepal begitu erat hingga kuku menancap ke kulit.

Jenius langka… putra surga… penerus yang akan mengguncang benua…

Namun kenyataannya, ia bahkan tak bisa melangkah ke tahap paling dasar: Tempering Body.

Di puncak gunung tertinggi, Patriark Tianyao berdiri bersama istrinya, Xueya. Mereka menatap ke bawah halaman tempat putra mereka berusaha.

Xueya menggenggam tangan suaminya erat, matanya berkaca-kaca. “Dia… begitu menderita. Setiap hari berusaha… setiap hari gagal. Anak sekecil itu… menanggung beban yang bahkan orang dewasa tak sanggup memikul.”

Tianyao terdiam. Wajah kerasnya dipenuhi retakan emosi yang ia sembunyikan.

“Kalau saja aku bisa menukar hidupku dengan membuka meridiannya…” gumamnya lirih, suara yang tak pernah didengar murid atau tetua sebelumnya.

Ia menatap langit, kepalan tangannya bergetar. “Kutukan kuno surgawi… apakah benar aku harus menyaksikan putraku, jenius langka yang bahkan surga tak mampu musnahkan… hidup sebagai orang biasa?!”

Xuanyan sendiri, di halaman kecil itu, menatap telapak tangannya. Ada luka-luka kecil akibat latihan tanpa henti. Namun matanya, meski basah, masih bersinar.

“Aku… tidak akan menyerah…” katanya pelan.

“Meskipun surga menolak keberadaanku dan mengutukku… aku akan menentangnya sekali lagi. Sama seperti ayah dulu menentang petir merah… aku juga akan menantang langit.”

Bab 2

Halaman kecil itu dipenuhi ketegangan. Elder Han Qing, tetua berambut putih panjang dengan janggut tipis, berdiri tegak di samping Xuanyan. Wajahnya serius saat menatap bocah sepuluh tahun itu yang masih berjuang membuka meridian.

“Xuanyan…” suara Han Qing lembut namun tegas. “Jangan putus asa. Tubuh Dao Es Surgawi adalah keberkahan sekaligus kutukan. Mungkin jalur kultivasi biasa menolakmu… tapi aku percaya ada jalan lain. Jika surga menutup satu pintu, berarti ada pintu lain yang menunggu untuk ditemukan. Aku akan mencarinya.”

Xuanyan mengangkat kepala, matanya sedikit berbinar. Bibirnya hendak membuka, namun suara dingin tiba-tiba menyambar dari belakang.

“Hmph, mencari jalan lain? Apa gunanya tubuh legendaris… kalau akhirnya tetap cacat?”

Suasana mendadak membeku.

Xuanyan perlahan menoleh. Dari gerbang halaman, seorang pemuda sekitar tiga belas tahun berjalan masuk. Posturnya tegap, wajahnya tampan dengan sorot mata penuh kesombongan. Jubah biru muda berkibar di tubuhnya, di dada tersulam lambang keluarga Ling.

Dialah kakak kedua Xuanyan, Ling Jianyu.

Xuanyan menatapnya dengan ekspresi datar. “Kakak kedua… jika kau hanya datang untuk mengejekku, lebih baik kau pergi. Fokuslah pada kultivasimu saja.”

Namun sebelum kata-kata itu sempat mereda, sebuah tinju melayang cepat. Bugh!

Wajah Xuanyan langsung terpukul keras. Tubuh mungilnya terhempas ke tanah, terguling beberapa kali hingga berhenti dengan darah segar menetes dari sudut bibir.

“Beraninya seorang cacat seperti kau menasihatiku?” Jianyu mendengus, sorot matanya penuh penghinaan. “Sungguh sampah menyedihkan!”

“Tuan muda Jianyu!” Elder Han Qing langsung maju, berdiri di antara keduanya. “Beraninya kau menyerang adikmu sendiri!”

Namun Jianyu hanya menyeringai. “Elder Han Qing, dengan segala hormat, kau hanya menyia-nyiakan waktumu untuk mengajari orang biasa yang bahkan tak bisa membuka meridian. Lebih baik kau berhenti saja. Tenagamu akan lebih berguna membimbing murid berbakat—seperti aku.”

Kata-katanya menusuk, bukan hanya pada Xuanyan, tapi juga pada Han Qing.

Xuanyan perlahan bangkit. Darah ia usap dengan punggung tangan, lalu menatap Jianyu. Meski tubuhnya gemetar, matanya tetap tajam.

“Apakah begini… sikap keturunan keluarga Ling?” suaranya serak namun jelas. “Sombong… angkuh… merasa paling kuat di antara yang lemah.”

Han Qing segera berkata, “Tuan muda, hentikan—”

Namun Xuanyan melanjutkan, nadanya penuh keteguhan yang menusuk. “Namun nyatanya… kau hanyalah butiran debu di antara yang terkuat. Sementara kau sibuk menindas orang lemah, mereka yang benar-benar kuat… bahkan tak akan pernah melirik keberadaanmu.”

Ucapan itu menusuk hati Jianyu lebih dalam daripada pedang. Wajahnya memerah, nadinya menegang.

“Dasar anak cacat!” Jianyu berteriak marah. “Kau… aib keluarga! Meski kau keturunan langsung Patriark dan Matriark, aku tak segan membunuhmu hari ini juga!”

Tanpa ragu, Jianyu mengangkat tangannya. Qi Refining lapisan ketiga melonjak dari tubuhnya, membentuk gelombang energi kasar. Ia menerjang brutal, tinjunya diarahkan langsung ke dada Xuanyan.

“MATILAH!”

BOOM!

Namun sebelum pukulan itu mendarat, aura dingin yang tajam menebas udara. Han Qing bergerak secepat kilat, satu telapak tangannya menangkis serangan Jianyu. Energi es menyelimuti tangan tetua itu, menghentikan tinju Jianyu hanya sejengkal dari tubuh Xuanyan.

Ledakan energi membuat tanah di sekitar retak. Xuanyan terhuyung ke belakang, nyaris terjatuh lagi.

“Cukup!” suara Han Qing menggema, penuh kekuatan. “Kalian berdua adalah darah keluarga Ling! Apa pantas saling membunuh hanya karena ego dan amarah?”

Jianyu mundur beberapa langkah, wajahnya memerah karena malu dihentikan. Ia menggertakkan gigi, matanya menatap tajam ke arah Xuanyan.

“Hmph! Mari kita lihat… sampai kapan kau bisa bersembunyi di balik punggung Elder Han Qing.” Ia meludah ke tanah, lalu berbalik. “Dasar sampah!”

Keheningan menyelimuti halaman. Xuanyan berdiri terhuyung, tangannya masih mengusap darah di bibirnya. Napasnya berat, namun sorot matanya tetap kokoh.

“Guru…” suaranya lirih namun mantap. “Apakah… aku benar-benar hanya sampah di mata mereka?”

Han Qing menatap murid kecilnya dengan mata bergetar. Ia ingin berkata bahwa itu tidak benar, namun melihat tubuh Xuanyan yang dipenuhi luka, melihat betapa keras surga menutup jalannya… kata-kata seolah tertelan.

Namun akhirnya, Han Qing menghela napas panjang. Ia meletakkan tangan di pundak Xuanyan.

“Tidak, tuan muda Xuanyan. Kau bukan sampah. Kau adalah orang yang bahkan surga tak sanggup musnahkan. Ingatlah itu. Jalanmu mungkin berbeda, namun bukan berarti kau tak bisa berdiri di puncak.”

Xuanyan menunduk sesaat, lalu tersenyum tipis, meski wajahnya masih penuh luka. “Kalau begitu… aku akan membuktikannya. Suatu hari, orang yang hari ini menyebutku sampah… akan berlutut di kakiku.”

Jalan berbatu yang menuju ke Paviliun Pedang Azure selalu dipenuhi para murid. Xuanyan berjalan pelan, rambut putihnya tertiup angin lembut. Namun setiap langkahnya disertai tatapan tajam, bisikan, dan tawa yang ia dengar jelas meski mereka berusaha menutupi.

“Lihat itu… si cacat.”

“Benar-benar aib keluarga Ling. Tubuh Dao Es Surgawi, katanya? Omong kosong. Hanya tubuh sampah yang menolak berkultivasi.”

“Kasihan Patriark, sudah mempertaruhkan nyawa istrinya… hanya untuk melahirkan beban sekte.”

Suara-suara itu menusuk lebih dalam dari pedang. Namun Xuanyan tetap menatap lurus ke depan, wajahnya datar seakan tak mendengar. Hanya dalam hatinya, suara kecil yang tenang bergema.

Hmm… guruku menyuruhku mencari catatan tentang Tubuh Dao Es Surgawi. Jika aku beruntung, mungkin aku bisa mendapatkan pencerahan. Aku tidak boleh peduli pada suara-suara ini. Mereka bukan jalanku.

Langkahnya mantap hingga akhirnya sampai di depan bangunan megah. Paviliun Pedang Azure, perpustakaan sekte dengan ribuan gulungan teknik, rahasia, dan sejarah. Bangunan itu menjulang 11 tingkat dengan atap biru keperakan, dijaga oleh formasi pelindung yang berkilauan samar.

Namun tepat sebelum ia masuk, lima murid inti muncul menghadang di depan gerbang.

Xuanyan berhenti, tatapannya dingin. “Menyingkirlah.”

Kelima murid itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Aduh… takutnya!”

“Hahaha! Apa yang dilakukan orang cacat di sini, hah?”

Xuanyan terdiam. Dalam hati ia tahu, bayangan kakak keduanya ada di balik semua ini. Jianyu selalu punya cara untuk membuat hidupnya semakin sulit.

“Aku hanya ingin masuk.” Xuanyan mencoba sabar.

Namun salah satu murid mendorongnya dengan kasar hingga ia mundur setapak. “Maaf, orang cacat tidak diizinkan masuk. Lagipula… membaca ribuan buku kultivasi pun tak akan mengubah kondisimu.”

Tawa mereka pecah.

Xuanyan menahan amarahnya. “Ini adalah fasilitas umum sekte. Dan kau melarangku masuk? Apa hakmu?”

Murid itu mendengus. “Hak? Kau ini hanya sampah. Meski kau anak Patriark, aku yakin beliau menyesal memiliki anak sepertimu.”

Kata-kata itu membuat tangan Xuanyan mengepal keras.

Murid lain menambahkan dengan nada keji. “Begitu juga dengan Matriark. Kasihan sekali, melawan malapetaka surgawi hanya untuk melahirkan seorang cacat. Betapa menyedihkan…”

Tawa mereka meledak lagi.

DUAK!

Seketika sebuah pukulan mendarat di wajah salah satu murid. Semua terdiam. Xuanyan berdiri dengan napas terengah, matanya dingin menusuk.

“Jangan pernah… menghina kedua orang tuaku.” Suaranya dalam, penuh ketegasan.

Namun ironinya, pukulan itu nyaris tak berbekas. Murid yang dipukul hanya terkejut sesaat, lalu wajahnya berubah marah.

“Beraninya kau menyentuhku, dasar cacat!”

BRUGHH! Tinju keras melayang ke perut Xuanyan. Napasnya seketika terputus, tubuhnya terhempas ke tanah. Belum sempat bangkit, pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghajar tubuhnya.

Bugh! Bugh! Crack!

Darah bercucuran dari bibir dan pelipisnya. Meski banyak murid lain yang menyaksikan dari jauh, tak seorang pun berani menolong. Sebagian malah tersenyum puas melihat Xuanyan diperlakukan seperti itu.

Xuanyan menggertakkan giginya. Aku tidak boleh menyerah… Aku tidak akan membiarkan mereka menghina Ayah dan Ibu…

Namun tubuh kecilnya terlalu lemah. Pukulan demi pukulan membuatnya hampir pingsan.

Tiba-tiba, BOOOM!

Ledakan aura dahsyat menyapu halaman. Kelima murid itu terhempas sejauh beberapa meter, menghantam tanah dengan keras. Tubuh mereka bergetar, wajah pucat.

Suara tajam menggema.

“Berani sekali kalian mengganggu dan memukul adikku seperti itu! Meski kalian dari keluarga ternama… akan kubunuh kalian tanpa ampun!”

Xuanyan yang terbaring di tanah perlahan mengangkat kepala. Pandangannya buram, namun ia dapat melihat sosok itu jelas. Rambut panjang hitam berkilau, mata tajam penuh kemarahan, aura dingin yang menekan udara.

Itu adalah Ling Yueran, kakak perempuannya, dan juga anak tertua keluarga Ling.

Yueran segera bergegas ke samping Xuanyan, menunduk dengan wajah cemas. “Xuanyan… kau tidak apa-apa?”

Tangannya mengeluarkan sebuah pil berwarna hijau giok. “Ini, makanlah. Pil penyembuh tingkat menengah. Akan mempercepat pemulihan luka dalammu.”

Xuanyan menerima dengan tangan gemetar, menelan pil itu perlahan. Hangat energi obat mengalir ke tubuhnya, meringankan rasa sakit meski hanya sedikit.

Sementara itu, kelima murid yang berusaha bangkit mendadak terhenti. Tatapan Yueran menatap mereka tajam. Aura ganas meledak dari tubuhnya, membuat udara bergetar.

Wuuuuuuum!

Tekanan mengerikan menindih tubuh mereka. Nafas kelima murid itu tersengal, kaki mereka gemetar. Wajah mereka pucat pasi, seolah dada mereka ditekan oleh gunung raksasa.

Xuanyan hanya terdiam menatap. Dalam hatinya bergemuruh kekaguman sekaligus rasa iri yang sulit dibendung.

Jadi… ini kekuatan seorang kultivator ranah Core Formation…

Aura Yueran semakin menindas, hingga tanah di sekitar retak halus. “Ingat baik-baik,” suaranya dingin menusuk. “Sentuh Xuanyan sekali lagi… maka aku akan mencabut nyawa kalian, apa pun latar belakang keluargamu!”

Kelima murid itu terjatuh berlutut, keringat dingin membasahi wajah mereka. Tak ada yang berani melawan tatapan Yueran.

Xuanyan menatap kakak perempuannya yang berdiri bagai dewi pelindung. Dalam hatinya, ia merasakan campuran rasa kagum, syukur, dan luka.

Hanya dia… satu-satunya kakak yang pantas kupanggil kakak.

Bab 3

Xuanyan menghela napas pelan. Setelah menelan pil penyembuh dari Yueran, ia merasa tubuhnya sedikit lebih baik. Luka-luka di dada dan wajahnya memang belum sepenuhnya pulih, namun setidaknya ia bisa berdiri dengan tenang. Ia menatap kakak perempuannya yang berdiri anggun di hadapannya.

“Terima kasih, Kak Yueran,” ucapnya lirih. “Maaf… selalu merepotkan kakak.”

Yueran mengangkat alis, lalu tanpa diduga menyentil kening Xuanyan cukup keras hingga pemuda itu meringis kecil.

“Apa yang kau bicarakan?” Nada suaranya setengah manja, setengah tegas. “Sudah sewajarnya seorang kakak melindungi adiknya, bukan?”

Xuanyan sempat tertegun, lalu tersenyum. Senyum tipis yang jarang sekali muncul di wajahnya yang penuh beban. “Benar juga.”

Yueran memandangnya dalam-dalam. “Lalu, apa yang sebenarnya ingin kau lakukan? Apakah kau sudah menemukan petunjuk untuk memulai kultivasi? Elder Han Qing sudah berusaha keras mencarikan jalan untukmu.”

Xuanyan menarik napas panjang, menatap ke arah Paviliun Pedang Azure yang berdiri megah. “Iya, Kak. Guruku menyuruhku mencari petunjuk tentang Tubuh Dao Es Surgawi. Katanya mungkin ada catatan kuno, atau legenda yang bisa menuntunku.”

Ia berhenti sejenak, suaranya melembut, nyaris seperti bisikan. “Aku sudah membaca ribuan buku kultivasi di dalam sana. Namun… tidak ada satu pun yang membahas tentang Dao Es Surgawi. Bahkan tentang Alam Immortal Kuno saja tidak ada.”

Bahunya sedikit merosot, ada getir yang tak bisa ia sembunyikan. “Yah… aku memang tidak berharap banyak. Tapi setidaknya, setiap peluang—meski hanya 0,1%—akan kuambil. Aku tidak mau menyerah begitu saja.”

Yueran memandangnya lama, lalu tersenyum. Senyum yang penuh kebanggaan meski dibalut rasa iba. “Xuanyan… semangatmu benar-benar mengingatkanku pada Ibuku. Dia pun dulu selalu keras kepala meski dunia menentangnya.”

Xuanyan hanya diam. Di matanya ada cahaya yang bergetar. Mendengar nama bibi nya selalu menyalakan sesuatu yang dalam di hatinya.

“Maafkan kakak karena tidak bisa membantu lebih banyak,” ucap Yueran lirih, suaranya agak bergetar.

Namun Xuanyan segera menggeleng. “Sudahlah, Kak. Tidak perlu meminta maaf. Aku sudah dewasa… aku akan menjalani ini sekuat tenaga. Suatu hari nanti, aku akan melindungimu. Dengan kedua tanganku sendiri.”

Yueran tertegun. Senyum tipis merekah di wajahnya, namun senyum itu cukup untuk membuat Xuanyan terpaku. Untuk sesaat, dunia seolah hening.

“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya lembut namun tegas. “Aku akan menunggu saat ketika kau melindungiku.”

Xuanyan menggertakkan giginya pelan, matanya berkilat. “Ya. Aku bersumpah.”

Keheningan hangat mengisi ruang di antara mereka. Akhirnya Xuanyan menarik napas, lalu berkata, “Kalau begitu… aku akan masuk dulu.” Ia melangkah menuju Paviliun, meninggalkan Yueran yang berdiri dengan senyum samar.

Namun di dalam hatinya, Yueran bergumam, Xuanyan… semoga kau benar-benar bisa menemukan jalurmu. Aku tidak peduli apakah seluruh dunia menertawakanmu, aku akan selalu berdiri di sisimu.

Di sisi lain…

Suasana di sebuah paviliun kecil milik murid inti sangat berbeda. Jeritan kesakitan terdengar. Tubuh lima murid yang sebelumnya menghajar Xuanyan kini tergeletak babak belur.

Di depan mereka berdiri Jianyu, kakak kedua Xuanyan. Wajahnya tampan, namun kini terdistorsi oleh kemarahan. Matanya berkilat liar, nafasnya memburu.

“Dasar semut bodoh!” teriaknya. CRACK! Kakinya menghantam perut salah satu murid hingga orang itu terbatuk darah. “Kalian bahkan tidak bisa menangani orang cacat, dan malah membuatku malu di depan seluruh sekte!”

Salah satu murid, dengan wajah penuh luka, memohon lirih, “Tuan Muda Jianyu… itu semua karena Ling Yueran datang membelanya. Kami—”

CRACK! Suara tulang patah terdengar. Jianyu menendang keras lutut murid itu hingga kakinya tertekuk aneh. Jeritan memilukan menggema di ruangan.

“Aku tidak menerima alasan seperti itu!” teriak Jianyu, matanya menyala penuh kebencian.

Ia menggertakkan giginya, berjalan mondar-mandir seperti binatang buas yang terkurung. “Kenapa… KENAPA semua orang selalu membela sampah itu!? Ayah! Ibu! Elder Han Qing! Bahkan kakak!”

Tangannya terkepal begitu keras hingga darah merembes dari telapak tangannya sendiri. “Sialan! Apa bagusnya dia selain tubuh Dao Es Surgawi yang bahkan tidak berguna itu… dan wajahnya yang terlalu rupawan? Hah!? Kalau begitu lebih baik dia jadi gigolo saja!”

Suara tawa sinisnya terdengar menakutkan.

Seorang murid lain mencoba menenangkan, meski suaranya bergetar ketakutan. “B-bos… tenanglah sedikit…”

Jianyu berhenti, menatapnya dengan tatapan gila. “Tenang?”

BUGH! Tinju keras menghantam wajah murid itu hingga giginya rontok. Darah muncrat ke lantai. Jianyu berteriak, suaranya menggelegar.

“BAGAIMANA AKU BISA TENANG SELAMA SAMPAH ITU MASIH ADA DI SEKTE INI!?”

Napasnya memburu, dadanya naik turun. Matanya penuh kebencian yang mendidih. “Karena dia… karena dia… sumber daya kultivasiku dipotong! Semua pil, semua ramuan, semua teknik, harus dialihkan untuk menghidupi tubuh cacat itu! Dan untuk apa!? Untuk orang yang bahkan tidak bisa membuka meridiannya!”

Ia menghantam meja dengan keras hingga kayu itu retak. “Jika saja sumber dayaku tidak dipotong, aku pasti sudah menembus Foundation Establishment sekarang! Tapi tidak… aku terjebak di Qi Refining! Semua karena dia!”

Ruangan itu dipenuhi keheningan mencekam. Para murid tak berani bersuara, tubuh mereka bergetar hebat. Jianyu berdiri di tengah ruangan, napasnya berat, matanya tajam penuh kebencian.

Lalu, perlahan, sebuah senyum keji muncul di wajahnya. Senyum yang membuat darah para murid membeku.

“Heh… sepertinya aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Xuanyan mengelilingi setiap lorong Paviliun Sutra Es Azure. Rak-rak giok putih menjulang, berdiri anggun dengan ukiran rumit yang seakan-akan masih menyimpan sisa aura kuno. Cahaya lentera giok biru membuat bayangan panjang berjatuhan di lantai batu dingin, menciptakan suasana sunyi dan misterius.

Tangannya menyusuri permukaan rak, matanya menyapu gulungan demi gulungan, buku demi buku, dari teknik dasar hingga catatan sekte lama. Namun semakin lama ia mencari, semakin kuat rasa hampa yang ia rasakan.

“Hah…” Xuanyan menghela napas panjang, suaranya berat. “Apakah tidak ada catatan tentang para Immortal Kuno sama sekali…? Bahkan selembar pun?”

Ia terus bergerak, memeriksa rak demi rak, matanya kadang berbinar penuh harap, namun selalu meredup setelah melihat isi gulungan yang ternyata hanya catatan biasa: metode pernafasan dasar, sejarah sekte, teori alkimia rendah. Tidak ada yang menjelaskan apa-apa soal Dao Es Surgawi.

Sampai akhirnya, ia tiba di rak terakhir. Hatinya berdebar, meski logika sudah menyiapkan jawaban yang sama: nihil. Ia berjongkok, memeriksa dengan seksama setiap celah, bahkan meniup debu halus yang menempel di bagian dalam. Dan seperti yang ia takutkan—tetap saja, hasilnya nol.

Rasa lelah menguasai tubuhnya. “Yah… sudah kuduga.” Xuanyan tertawa getir. “Mungkin aku memang sedang mengejar bayangan kosong.”

Dengan langkah berat ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia bersandar ke rak giok itu, lebih keras dari biasanya karena tubuhnya benar-benar letih dan pikirannya dipenuhi rasa putus asa.

BRUK!

Rak bergoyang. Dalam sekejap, gulungan-gulungan berjatuhan menimpanya. BAM! BAM! BAM! Suara gulungan jatuh bergema di dalam paviliun.

Beberapa murid yang kebetulan melihat dari jauh hanya mencibir sambil tertawa pelan. “Huh, dasar sampah. Bahkan berdiri pun tak becus.”

Xuanyan berusaha bangkit, menepuk-nepuk jubahnya yang kini penuh gulungan berserakan. “Ah, sialnya aku….”

Ia mulai mengumpulkan gulungan-gulungan itu, meletakkannya kembali ke rak dengan hati-hati. Namun tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang aneh.

Di dalam rak, agak jauh ke dalam, ada sebuah gulungan yang berbeda dari lainnya. Gulungan itu tampak sedikit berkilau, warnanya lebih tua, seolah terbuat dari kulit binatang kuno, bukan kertas biasa. Yang lebih aneh lagi, gulungan itu tidak ikut jatuh bersama yang lain. Seakan-akan ada kekuatan yang menahannya di sana.

Alis Xuanyan berkerut. Ia terdiam sesaat. Kenapa gulungan ini tidak jatuh? Bukankah tadi seluruh rak berguncang?

Rasa penasaran menyusup ke dalam dirinya. Ia mengulurkan tangan, mencoba meraih gulungan itu. Namun begitu jari-jarinya menyentuh permukaan gulungan, ia langsung terkejut.

“Ugh! Apa-apaan ini… berat sekali!?”

Gulungan itu seperti melekat ke rak. Meski ia menarik sekuat tenaga, gulungan itu tidak bergerak sedikit pun.

Ia menggertakkan giginya, wajahnya memerah karena menahan tenaga. Urat di lengannya menonjol. “Ayo… keluar…!”

Namun justru karena terlalu bersemangat, kakinya menginjak gulungan lain yang berserakan di lantai. SRAAK! Tubuhnya terpeleset, dan tangannya secara refleks menyambar rak untuk menahan diri. Sayangnya, permukaan giok yang tidak rata itu menggores telapak tangannya cukup dalam.

“Aghh!” Xuanyan meringis. Darah segar langsung mengalir dari luka itu. Ia terjatuh, mengusap tangannya yang perih. “Aduh… apes banget hari ini…”

Namun sesuatu yang aneh terjadi.

Cipratan darah yang jatuh dari tangannya mengenai gulungan misterius itu. Dalam sekejap, gulungan tersebut menyerap darah dengan cepat, seakan-akan memang sudah menunggunya selama ini.

Mata Xuanyan melebar. “Apa…?”

Tiba-tiba, es tipis menjalar di permukaan gulungan. CRACK! CRACK! Suara bekuan terdengar jelas. Seluruh gulungan itu kini terbungkus lapisan es transparan yang berkilauan indah seperti kristal. Udara di sekitar pun berubah drastis, menjadi dingin menusuk tulang.

Xuanyan terdiam, matanya tak berkedip. Aura dingin itu bukan dingin biasa. Itu adalah dingin yang mengandung dao, seakan-akan berasal dari es purba yang membekukan surga dan bumi.

Dengan napas tercekat, ia hanya bisa menyaksikan. Perlahan, lapisan es itu mulai retak. KRAK! KRAK! Dan bukannya menghancurkan gulungan, es itu malah mencair, membentuk aliran cahaya biru pucat yang merayap ke arah Xuanyan.

Tanpa bisa melawan, gulungan itu tiba-tiba terlepas dari rak dan melayang ke arahnya. Xuanyan secara refleks mengangkat kedua tangannya.

BRUK! Gulungan itu jatuh tepat di telapak tangannya, dingin menusuk hingga ke tulang.

Xuanyan tertegun. Hatinya berdebar liar. Ia menatap gulungan itu, lalu matanya membesar ketika melihat sesuatu di permukaan gulungan: sebuah cap kuno.

Cap itu bercahaya samar, seperti ukiran misterius yang entah terbuat dari emas, entah dari cahaya murni. Pola-pola aneh melingkar di sekitarnya, tampak asing, namun terasa… agung.

“Apa maksudnya ini…?” Xuanyan berbisik dengan suara gemetar. “Cap ini… lambang apa…?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!