NovelToon NovelToon

Cinta Yang Beralih

ISYARAT YANG SALAH

Pagi itu, suasana kantor PT. Graha Pratama mulai ramai oleh suara langkah kaki para karyawan yang baru berdatangan.

Aluna Maharani sudah duduk di mejanya, menyalakan laptop, dan membuka agenda kerja hariannya. Padahal jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan lewat lima belas

Tapi ia sudah berada di sana sekitar setengah jam yang lalu. Alasan yang membuat ia selalu bersemangat sangat sederhana, ada seseorang yang selalu ia tunggu.

Tak lama kemudian, suara yang ia nanti-nantikan terdengar.

"Pagi, Na."

Aluna langsung menoleh. Reza Mahesa berdiri di dekat meja kerjanya, dengan kemeja warna mocca yang rapi dan dasi yang sengaja dibiarkan sedikit longgar, gaya khasnya sejak dulu.

"Pagi juga, Za," jawab Aluna, tersenyum kecil.

Reza meletakkan tas kerjanya di kursi, lalu melirik ke arahnya. "Udah sarapan?" tanyanya ringan, tapi nada suaranya terdengar tulus.

Pertanyaan sederhana itu selalu berhasil membuat dada Aluna berdetak sedikit lebih cepat. Bagi orang lain, mungkin hanya basa-basi. Tapi bagi dirinya, itu bentuk perhatian. Dan perhatian dari Reza selalu terasa berbeda.

"Udah kok. Kamu?" balasnya, berusaha terdengar biasa saja.

"Lumayan, cuma roti sama kopi," jawab Reza sambil terkekeh kecil sebelum akhirnya duduk di mejanya.

Hari itu berjalan seperti biasa. Mereka tenggelam dalam laporan dan deadline klien, tapi sesekali, Aluna tetap menemukan hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum sendiri.

Seperti ketika pulpennya jatuh, dan Reza langsung memungutkannya tanpa diminta. Atau ketika ia mengeluh karena angka laporan berantakan, Reza menoleh sambil berkata.

"Biar aku yang periksa. Kamu udah kebanyakan tugas."

Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat Aluna merasa istimewa.

Menjelang jam makan siang, tepat pukul dua belas, Reza menoleh lagi.

“Na, kamu mau makan apa? Aku beliin aja kalau kamu lagi malas keluar.”

Aluna tersenyum pelan. “Nggak usah repot, Za. Mending kita makan bareng aja gimana?”

Reza langsung mengangguk tanpa pikir panjang. “Boleh. Kamu aja yang pilih tempatnya.”

Dan lagi-lagi, hatinya terasa hangat.

Selama hampir lima belas tahun mereka bersahabat sejak SMA, kuliah, hingga kini bekerja di tempat yang sama hubungan itu tak banyak berubah.

Reza selalu ada, selalu menjadi tempat pertama yang ia tuju saat butuh seseorang. Dari masa-masa sulit ketika baru mulai bekerja, sampai sekarang, saat mereka sudah sama-sama dipercaya memegang proyek besar.

Bahkan di luar kantor pun perhatian itu tetap terasa. Saat hujan deras, Reza tak segan menjemputnya, padahal arah rumah mereka berlawanan. Saat Aluna sakit, Reza diam-diam mengantarkan obat ke apartemennya.

Bagi Aluna, semua itu bukan sekadar perhatian seorang sahabat.

Itu cinta, setidaknya. Begitu ia meyakini.

Namun, ia tak pernah berani menanyakan langsung.

Ia hanya menyimpannya rapat-rapat dalam hati. Karena setiap kali menatap mata Reza, ia merasa jawabannya sudah ada di sana meski mungkin, hanya ia yang melihatnya.

****

Malam itu, setelah sampai di apartemennya, Aluna membuka jendela dan membiarkan udara malam masuk.

Angin berembus lembut, membawa aroma hujan yang tertinggal di udara. Dari lantai sepuluh, lampu-lampu kota terlihat seperti bintang yang bertebaran di bawah sana.

Ia bersandar di kusen jendela, memandangi pemandangan itu sambil mengingat kembali hari-hari yang baru lewat.

Bagaimana Reza selalu muncul di setiap momen menolongnya tanpa diminta, menemani makan siang, atau sekadar membuatnya tertawa di tengah hari yang melelahkan. Semua itu terasa hangat, terlalu indah untuk dianggap biasa.

"Kalau bukan cinta, lalu apa?" gumamnya pelan, senyum samar tersungging di bibirnya.

Namun setelah itu, hening kembali mengisi ruangan. Angin malam berembus, seolah mengingatkan bahwa tidak semua yang terasa benar berarti demikian.

Sering kali, isyarat bisa menipu.

Dan di balik keyakinannya selama ini, ada kenyataan lain yang belum siap ia terima bahwa tidak setiap perhatian lahir dari cinta.

Kadang, yang selalu dekat justru tak ditakdirkan untuk menetap.

Yang selalu hadir, belum tentu ingin tinggal.

Dan di titik inilah, cerita mereka perlahan mulai bergerak.

Tentang cinta yang tak seimbang, perasaan yang bertabrakan, dan seseorang yang mencintai tanpa pernah tahu apakah ia akan dicintai kembali.

✒️ Bersambung.

...----------------...

.......

.......

.......

Yang kepo dengan visual mereka, bisa langsung cek di ig yah... ⬇️⬇️⬇️

KEDATANGAN YANG MENGUSIK

Pagi itu, suasana di divisi pemasaran PT. Graha Pratama terasa sedikit berbeda dari biasanya. Semua karyawan diminta berkumpul di ruang tengah untuk rapat singkat.

Aluna yang masih membereskan berkas di mejanya pun buru-buru ikut berdiri bersama rekan-rekannya.

Tak lama kemudian, Pak Ardi dari HRD masuk, diikuti seorang perempuan muda di sampingnya. Wajahnya lembut, dengan rambut panjang berkilau yang tergerai rapi dan senyum yang menenangkan.

"Teman-teman, perkenalkan, ini karyawan kontrak baru kita yang akan bergabung di divisi pemasaran," kata Pak Ardi sambil memberi isyarat agar perempuan itu maju sedikit.

Perempuan itu tersenyum dan melangkah ke depan.

"Halo semuanya, nama saya Kezia Ayudira. Senang bisa bergabung di sini. Semoga bisa belajar banyak dan bekerja sama dengan kalian."

Beberapa orang bertepuk tangan kecil, termasuk Aluna. Ia menatap Kezia dengan senyum ramah.

"Kelihatannya baik dan gampang akrab," batinnya.

Namun, dari sudut pandangnya, ia sempat menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Reza. Tatapan pria itu seperti menyimpan pengenalan, seolah pernah melihat Kezia sebelumnya.

Dan ketika Kezia menunduk malu-malu, senyum Reza mengembang samar bukan senyum formal seperti biasanya.

"Baik, Kezia akan ditempatkan di divisi pemasaran. Tolong dibimbing, ya," lanjut Pak Ardi sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.

Begitu HRD pergi, suasana jadi lebih santai. Beberapa karyawan langsung mendekati Kezia, memperkenalkan diri satu per satu. Aluna pun ikut menghampiri.

"Hai, aku Aluna. Kalau ada yang kurang dipahami, jangan sungkan tanya, ya," ujarnya ramah.

"Terima kasih banyak, Kak Aluna," jawab Kezia tulus, matanya menatap penuh sopan.

Di saat itu, Reza ikut mendekat. Ia tersenyum kecil, senyum yang entah kenapa terasa berbeda di mata Aluna.

"Kezia… ternyata kita ketemu lagi."

Kezia tampak sedikit terkejut, tapi segera tersenyum. "Kak Reza? Wah, nggak nyangka banget bisa satu kantor!"

Aluna spontan menoleh. "Kamu kenal, Za?" tanyanya penasaran.

Reza tersenyum kecil, menjawab seolah ringan.

Reza mengangkat bahu ringan, seolah tak ada yang istimewa. "Dulu pernah ketemu di jalan. Mobil Kezia sempat mogok, aku bantuin isi bensin."

Kezia tertawa kecil. "Iya, kalau nggak ada Kak Reza, mungkin aku sama Mamah dorong mobil di pinggir jalan."

Mereka berdua tertawa suasana di antara mereka tampak hangat dan akrab. Aluna ikut tersenyum tipis, tapi dalam hatinya ada rasa aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Bukan marah, bukan cemburu, tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal tanpa alasan yang jelas.

Sepanjang hari, Aluna mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi matanya terus saja menangkap interaksi kecil antara Reza dan Kezia.

Mereka lebih banyak mengobrol, tawa singkat, atau sekadar saling pandang. Semua terlihat biasa, tapi tidak bagi Aluna.

****

Jam Makan Siang

Begitu jam makan siang tiba, Aluna mulai merapikan meja kerjanya. Seperti biasa, ia menunggu Reza menghampiri untuk makan bersama.

Itu sudah jadi kebiasaan kecil mereka tanpa perlu janjian pun, Reza pasti datang.

Dan benar saja, tak lama kemudian Reza berdiri di samping mejanya.

"Na, makan bareng yuk. Eh, sekalian ajak Kezia juga, biar dia nggak bingung cari tempat," katanya santai.

Aluna sempat terdiam sejenak. Biasanya hanya mereka berdua. Tapi kali ini, ada satu nama tambahan yang entah kenapa membuat dadanya terasa sedikit sesak. Meski begitu, ia tetap tersenyum.

"Boleh, ayo."

Belum sempat Aluna melangkah, Reza sudah lebih dulu menuju meja Kezia.

"Cia, mau makan di kantin bareng kita nggak?" tanyanya ramah..

Kezia menoleh, wajahnya langsung berbinar. "Boleh, Kak. Makasih ya, Kak Reza, Kak Aluna, udah ngajak aku."

Aluna sempat tertegun mendengar panggilan itu, Cia. Panggilan kecil yang terdengar akrab di telinga untuk seseorang yang baru bergabung, bukankah itu agak terlalu cepat?

Begitu Reza kembali menoleh ke arahnya, Aluna tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Za, kok kamu panggil dia Cia?" tanyanya pelan.

Reza menatapnya sebentar, lalu tersenyum santai.

"Oh, itu panggilan akrabnya. Waktu itu dia bilang lebih enak dipanggil Cia aja."

Aluna hanya mengangguk pelan. "Oh… gitu."

Ia berusaha tersenyum seperti biasa, tapi hatinya terasa sedikit aneh seolah ada ruang kecil yang tiba-tiba menyempit di antara mereka.

...----------------...

.......

.......

.......

Yang kepo dengan visual mereka, bisa langsung cek di ig yah... ⬇️⬇️⬇️

PULANG YANG TAK LAGI SAMA

Suasana kantor mulai lengang. Jam dinding tepat menunjuk angka lima sore, tanda waktu kerja usai. Beberapa karyawan sudah sibuk membereskan meja, sebagian lagi bergegas menuju pintu keluar.

Aroma kopi sisa siang masih tercium samar, bercampur dengan bunyi langkah sepatu yang beradu di lantai marmer.

Aluna menutup laptopnya dengan hati lega.

"Akhirnya selesai juga…" gumamnya, sembari merapikan map berisi laporan yang tadi ia kerjakan.

Hatinya sedikit berdebar, seperti biasa. Pulang bareng Reza sudah jadi rutinitas yang paling ia nantikan. Baginya, perjalanan pulang dengan obrolan kecil dan canda ringan mereka lebih berharga dari apa pun.

Namun, momen itu mendadak terusik oleh suara riang dari dekat meja Reza.

Aluna spontan menoleh. Suara itu jelas milik Kezia. Gadis baru itu berdiri dengan tas kecil tersampir di bahunya, wajahnya tampak sumringah seolah tak lelah meski seharian bekerja. Ia tersenyum manis ke arah Reza, matanya berbinar penuh antusias.

"Kebetulan rumah Cia searah ke arah barat, Kak. Kalau Kakak nggak keberatan, boleh nggak Cia ikut pulang bareng? Soalnya Cia masih agak bingung naik transport di sini."

Aluna terdiam. Senyumnya yang tadi ada, langsung memudar. Jarak antara mejanya dan Reza membuat ia bisa mendengar jelas setiap kata Kezia.

Reza, yang sedang merapikan dokumen, menoleh sebentar. Ekspresinya sempat kaget, lalu berubah menjadi ramah.

"Oh, rumahmu searah? Ya udah, nggak apa-apa. Ayo bareng aja."

Jawaban itu menghantam dada Aluna.

Tangan Aluna refleks menggenggam erat resleting tasnya. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada gumpalan yang menyumbat.

"Jadi… Reza bakal pulang bareng Kezia? Bukannya biasanya dia selalu nunggu aku?" batinnya.

Tak lama, Reza bangkit dari kursinya. Ia melangkah mendekat ke meja Aluna, wajahnya tetap hangat seperti biasa.

"Na, kamu pulang duluan ya. Aku bareng Kezia. Hati-hati di jalan, jangan lupa kabarin kalau udah sampai rumah."

Suara lembut itu dulu selalu membuat Aluna tenang. Tapi kali ini, justru seperti pisau kecil yang menusuk perlahan.

Aluna memaksakan senyum. "Iya, Za. Kamu juga hati-hati."

Reza sempat menepuk pundaknya sebentar, lalu kembali ke sisi Kezia. Dari sudut mata, Aluna melihat mereka berjalan berdampingan menuju pintu keluar.

Suara tawa kecil Kezia terdengar nyaring, memenuhi telinganya hingga menusuk ke dalam hati.

Aluna menunduk. Ia berjalan ke arah lift sendirian, tas di pundak terasa lebih berat dari biasanya. Begitu pintu lift menutup, senyum yang tadi ia paksakan akhirnya runtuh.

"Mungkin cuma sekali ini. Mungkin besok dia bakal pulang bareng aku lagi… mungkin." Aluna mencoba menenangkan dirinya, meski hatinya tahu, ada sesuatu yang mulai bergeser.

Di luar gedung, hujan turun deras. Aluna melangkah menuju halte bus sendirian, sementara di kejauhan, mobil Reza sudah lebih dulu melaju, dengan Kezia duduk nyaman di kursi penumpang.

Tanpa mereka sadari, ada satu hati yang diam-diam retak di belakang mereka.

Aluna duduk di halte bus, dengan kedua earphone di telinganya. Sesuai dengan perasaannya sekarang, ia mulai mencari satu lagu yang bisa mewakili perasaannya saat itu.

🎶****Heize - Can You See My Heart dari drama Hotel del Luna. Mengalun lirih, mengisi ruang kosong di telinganya.

Liriknya seakan berbicara langsung padanya tentang hati yang berusaha terlihat, namun tak pernah benar-benar dipahami. Tentang cinta yang diam-diam tumbuh, hanya untuk dibiarkan layu tanpa pernah dipetik.

Aluna menarik napas panjang. Setiap bait lagu menambah sesak di dadanya, seolah menegaskan perasaan yang sudah lama ia simpan untuk Reza. Rasa itu nyata, begitu kuat, namun sayangnya hanya berbalas perhatian tanpa cinta.

...----------------...

Yang kepo dengan visual mereka, bisa langsung cek di ig yah... ⬇️⬇️⬇️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!