"Hari itu, aku tidak menyangka bahwa akan mendapatkan pengkhianatan terbesar dalam hidupku," batin Lyra seraya meringkuk di lantai. Air mata terus luruh, membasahi wajahnya sejak tadi.
*
*
*
"Lyra, ada hal serius yang ingin aku bicarakan denganmu," Safira, kakak Lyra sambil menyeruput kopi di kursi sofa.
Lyra berdiri di ambang pintu dengan napasnya masih tersengal setelah pulang dari kantor tempatnya bekerja. Dahinya berkerut ketika melihat orang tua beserta kakaknya berkumpul di ruang keluarga— sesuatu yang jarang terjadi. "Ada apa, Safira? Biasanya kau hanya akan mengirimiku pesan," tanya wanita itu mencoba tetap terlihat tenang, padahal sejak tadi jantungnya terus berdebar kencang. Ia perlahan menjatuhkan tubuhnya pada sofa empuknya.
Pak Satria menghela napas, jarinya terlihat mengetuk-ngetuk lututnya. "Safira, apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan, Nak? Lyra sudah ada di sini,"
"Tunggu sebentar lagi, Papa. Masih ada satu orang yang belum tiba," ujar Safira lalu meraih ponselnya seperti sedang menghubungi seseorang.
"Maaf aku terlambat," potong seseorang yang berdiri di ambang pintu dengan napas yang memburu.
Lyra terperanjat ketika menoleh ke belakang, "Dion? Ada apa buru-buru kemari? Kenapa tidak kabari aku, kita bisa pulang bersama tadi," ucapnya ketika melihat tunangannya ada di kediamannya tanpa mengabari terlebih dahulu.
Dion tidak menjawab, ia justru hanya berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Safira menyipitkan kedua matanya, seolah tidak senang melihat kedekatan mereka berdua.
Pak Satria melirik Safira, tak ada kata-kata yang keluar. Namun sorot matanya seolah menyuruh putri sulungnya untuk memuntahkan seluruh rahasia yang berusaha disembunyikan.
Dion menelan ludahnya kasar, "Lyra ... sebenarnya ...," ucap Dion sambil memainkan jemarinya dibarengi dengan keringat dingin yang mengucur di dahinya.
Lyra menatapnya dengan penuh kebingungan, jantungnya berdebar kencang menunggu apa yang akan diungkapkan tunangannya.
"Hhh ... biar aku yang mengatakannya. Kau terlalu lama, Dion! Lyra ... aku dan Dion akan menikah," sela Safira dengan tangan yang terlipat di dada. Pak Satria dan Bu Sintia terperanjat mendengar kabar Safira tengah mengandung.
"Hah?! Kau dan Dion? Jangan bercanda, Safira," ujar Lyra, alisnya bertaut tajam.
"Aku tidak sedang bercanda. Kami benar-benar akan menikah. Saat ini aku sedang mengandung buah hatinya."
Kata-kata itu lebih tajam dari sebuah belati dan menusuk dadanya bertubi-tubi. "Dion? Katakan kalau kalian sedang mengerjaiku," ucap Lyra, dahinya mengerut membentuk lekukan yang tajam, dadanya semakin berdebar seolah jantungnya akan meledak di dalam.
"Di–dia tidak bercanda, Lyra. Aku dan Safira memang akan segera menikah, dan itu harus," jawab Dion terbata-bata. Keringat meluncur dari keningnya.
"Kau gila?! Di mana akal sehatmu, Safira?!" hardik Lyra seraya menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari. Fakta yang keluar langsung dari mulut Dion membuatnya terasa seperti tersambar petir di siang bolong.
"Lyra dengarkan aku, aku ... aku tidak sengaja. Semuanya berada di luar kendaliku," ujar Dion kemudian meraih tangan Lyra. Raut wajahnya seolah meminta pengampunan dari wanita itu atas kesalahan yang telah ia perbuat.
"Lepaskan tanganku!!! Bajingan sepertimu tidak pantas untuk mendapatkan maafku!!!" gertak Lyra sambil menarik tangannya kasar.
"Mau bagaimana lagi?! Anak ini butuh ayah, kau tidak mungkin merebut ayah dari anak kakakmu, kan?!" bantah Safira, tangannya terlipat di dada dengan raut wajah seperti orang yang tidak bersalah.
"Kau yang merebut calon suami adikmu, Keparat!!!" hardiknya kemudian pergi menjauh dari ruang keluarga.
Dion hendak berdiri untuk menahan wanita itu, namun Safira mencegatnya. "Sudahlah, Dion. Mungkin Lyra butuh waktu untuk menerima semua ini."
"Safira! Dion! Kenapa hal ini bisa terjadi?" tanya Pak Satria, ayah dari Lyra dan Safira. Wajahnya memerah seakan menahan amarah yang sedari tadi bergejolak.
"Papa ... maaf karena baru mengatakannya sekarang. Malam itu, aku dan Dion ... kami berdua di bawah pengaruh alkohol," ucap Safira. Kepalanya yang tadinya tegak kini perlahan mulai tertunduk.
"Sudahlah, Pa. Jangan menghakimi Safira, dia juga putrimu dan situasinya sekarang sudah berat. Nasi sudah menjadi bubur, yang bisa kita lakukan sekarang hanya menikahkan mereka berdua." Bu Sintia, ibu dari Lyra dan Safira meraih tangan suaminya.
"Tapi Dion adalah tunangan Lyra, Ma. Mereka akan menikah bulan dep—"
"Tapi sekarang Safira sedang mengandung anak Dion! Tidak mungkin anak itu lahir tanpa seorang ayah. Lalu bagaimana jika suatu saat ia mengetahui bahwa ayahnya adalah Dion?" potong wanita setengah baya itu.
"Tidak ada pilihan lain. Kita harus menikahkan Safira dan Dion," ucapnya tegas seolah tak ingin dibantah oleh siapapun, termasuk suaminya.
*
*
*
Di sisi lain, Lyra mendorong pintu kamarnya kemudian menutupnya dengan satu hentakan. Dentuman dari pintu itu terdengar samar di lantai bawah, tempat keluarganya sedang berkumpul.
Wanita itu berdiri di belakang pintu kamar, perlahan tubuhnya meluncur ke bawah. Air matanya tak dapat dibendung lagi, "Benar-benar keterlaluan ...," lirih Lyra kemudian menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal lalu menumbuk dadanya yang terasa sesak.
Bahunya bergetar hebat, bukan karena kedinginan, tapi karena tidak dapat menerima fakta bahwa saudarinya yang telah menghancurkan hubungannya yang hanya tinggal selangkah lagi menuju ke jenjang yang lebih serius.
Beberapa jam berlalu, yang Lyra lakukan hanya meringkuk di lantai kamar yang dingin. Tubuhnya terasa berat bahkan hanya sekedar menyalakan lampu kamar.
Ting!
Ting!
Ting!
Dering notifikasi dari telepon genggamnya sedari tadi terdengar, seolah memaksanya untuk membuka pesan yang masuk.
Lyra meraba-raba lantai, mencari keberadaan tasnya lalu meraih ponsel yang sedari tadi berdering. Cahaya dari layar kecil itu menyorot wajahnya, matanya yang sembap melebar serta otot-otot wajahnya mengencang seketika saat membaca pesan yang masuk. "Aku akan mengakhiri segala hal yang berhubungan denganmu hari ini!"
Dion : Lyra
Dion : Aku bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Dion : Tolong. Beri aku kesempatan. Aku akan menunggumu di taman yang ada di dekat rumahmu.
Tanpa banyak bicara, Lyra meraih jaket yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya sebelum akhirnya pergi ke tempat Dion berada. Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terjawab.
Tangannya terulur, menarik daun pintu kamarnya perlahan. "Pasti semuanya sudah tidur," gumamnya saat mendapati suasana rumah telah gelap dan sunyi.
Ia melangkah pelan menuju pintu depan, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun sebelum akhirnya berlari menuju tempat Dion menunggu.
"Lyra! Hah!" sahut Dion langsung berlari menghampiri Lyra dengan mata yang berbinar. Hatinya terasa senang, hingga sudut bibirnya tertarik ke atas. Tanpa perintah ia memerangkap Lyra ke dalam pelukannya.
"Lepas!" suara Lyra pecah, tubuhnya meronta-ronta dalam pelukan pria yang kini menjadi mantan kekasihnya.
Napasnya memburu, "Aku datang kemari bukan untuk berpelukan denganmu! Melainkan untuk meminta penjelasanmu, Dion. Kenapa? Kenapa?!" suaranya meninggi hingga membuat urat di lehernya timbul.
Dion terdiam, napasnya tercekat. Pria itu mundur setengah langkah sambil mengusap tengkuknya berulang kali, "A–aku ... itu sebuah kesalahan, Lyra. Aku berada dalam pengaruh alkohol malam itu," jawab Dion, suaranya parau sambil memandang paving blok yang di pijaknya.
"Kamu jahat, Dion," ujar Lyra, tatapannya kosong. Mulutnya sedikit terbuka tapi tak ada suara yang keluar, seolah dunia di sekitarnya meredam semua bunyi.
"Lyra ... aku salah. Aku akan menebus semuanya. Setelah anak itu lahir, aku akan menceraikan Safira dan kembali padamu. Kau mau menungguku, kan?" tanya Dion dengan suara bergetar. Tangannya terulur, meraih tangan wanita yang amat ia cintai.
Lyra menghela napas, "Kau gila? Di mana akal sehatmu, Brengsek?!" wanita itu menunjuk-nunjuk kepala pria di hadapannya. Dadanya naik turun, berusaha menahan gejolak amarah yang membuncah.
Dion hanya bisa terdiam, menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Matanya terus menatap ke bawah, berusaha menghindari tatapan mata wanita itu.
Tanpa perintah, Lyra melepas cincin yang ada di jari manisnya lalu melemparnya ke arah Dion. "Mulai hari ini hubungan kita berakhir, Dion." Ia pergi meninggalkan Dion yang masih terpaku di sana.
Pria itu sangat ingin mengejar Lyra yang kian menjauh tapi apa daya, menatapnya saja ia tak lagi memiliki keberanian. Dion hanya bisa berjongkok dan memungut cincin itu. "Bulan lalu aku yang memasangkan cincin ini di jari manismu. Tapi sekarang aku justru merusak segalanya."
*
*
*
Sinar matahari menerobos tirai jendela kamar Lyra. Alih-alih bersiap untuk pergi bekerja, pagi ini ia justru hanya berbaring— membungkus dirinya dengan selimut. Rasa sedih yang dirasakannya membuatnya terjaga semalaman.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Lyra ... ini Papa. Kau tidak ke kantor, Nak?" tanya Pak Satria, tangannya masih melekat pada daun pintu.
"Tidak, Papa. Aku mengambil cuti."
"Hhh ... apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya?" batin Pak Satria dengan dahi berkerut perlahan menjauh dari kamar putrinya.
"Apa yang Lyra katakan, Pa?" tanya Bu Sintia seraya mengoleskan selai pada roti tawarnya.
Pak Satria hanya menggeleng, "Dia hanya butuh waktu, jangan khawatir. Bagaimana kondisi perusahaan papa saat ini?" tanya wanita setengah baya itu lagi.
"Entahlah, Ma. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu," jawab Pak Satria lalu menyeruput kopinya.
"Papa, sebenarnya teman mama ada yang sedang mencari pasangan untuk putranya. Karena Lyra dan Dion gagal menikah, bagaimana kalau kita menjodohkannya dengan anak teman mama? Mungkin saja itu bisa membantu Lyra untuk melupakan Dion," ucap Bu Sintia.
"Aku harus melakukan segala cara. Aku tidak ingin hidup miskin seperti dulu lagi," batin Bu Sintia mencengkram erat pisau oles di tangannya.
Pak Satria hanya terdiam, seolah sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. "Lalu ... jika Lyra sudah menjadi bagian dari keluarga mereka, tidak mungkin mereka hanya diam dan membiarkan perusahaan papa bangkrut."
"Mama akan mengatur pertemuan sore ini," ucap Bu Sintia lagi kemudian meraih ponselnya.
"Ma, apa itu tidak terlalu cepat?"
"Lebih cepat lebih baik, Pa. Serahkan semua pada mama." Bu Sintia menarik sudut bibirnya ke atas, seolah mengatakan untuk tidak perlu khawatir.
Pak Satria akhirnya berpamitan dan segera berangkat ke kantor.
"Ma, apa papa akan menyetujui hal ini?" tanya Safira sambil mengaduk tehnya.
"Tentu saja, Sayang. Cepat atau lambat papa akan menyetujuinya," balas Bu Sintia lalu memakan roti di tangannya.
*
*
*
Ting! Ting!
Ponsel Lyra kembali berdering, "Hhh, ini pasti dari mereka," dengusnya kemudian perlahan meraih ponsel di sebelahnya.
Sena : Hei! Terjadi sesuatu? Kenapa kau tidak masuk kantor?
Juan : Lyra, kau baik-baik saja? Kenapa tidak mengabari kami kalau kau tidak masuk hari ini?
Lyra mengabaikan pesan yang masuk, dirinya terlalu malas bahkan untuk membalas pesan. Seluruh tubuhnya terasa berat, bahkan untuk menelan ludah pun sulit rasanya.
Tanpa disadari, langit yang tadinya biru kini diselimuti oleh warna jingga yang sedikit kemerahan. Matahari perlahan turun ke ufuk barat, menyembunyikan dirinya dibalik pegunungan.
Tok! Tok! Tok!
"Lyra? Ini papa," ucap seseorang di balik pintu kayu.
Lyra menghela napas, "Hah ... aku tidak bisa terus seperti ini. Safira dan mama pasti sedang menikmati penderitaanku," gumam wanita itu lalu bangkit dari ranjangnya.
Langkahnya masih terasa berat ketika berjalan menuju pintu kamar. Tangannya terulur menarik daun pintu hingga terbuka lebar. "Iya, Pa?"
"Ayo turun, kita kedatangan tamu istimewa," ucap Pak Satria, bibirnya melengkung ke atas kemudian turun ke lantai satu.
"Tamu? Siapa? Orang tua Dion?" pikir Lyra dengan salah satu alis terangkat. Tanpa pikir panjang wanita itu segera bersiap-siap.
"Hhh ... lihat mata sembap ini, semoga saja masih bisa di tutupi dengan make up," ucapnya seraya menatap refleksi dirinya di cermin.
*
*
*
"Lyra ... kemarilah sayang. Ada yang ingin Mama kenalkan padamu," kata Bu Sintia ketika melihat Lyra menuruni tangga.
Lyra menatapnya dengan dahi berkerut. "Siapa mereka?" batinnya ketika melihat tiga orang yang terlihat asing sedang asik bercengkerama di ruang tamunya.
"Selamat sore," sapa Lyra seraya sedikit menundukkan tubuhnya kemudian duduk di samping seorang pria yang diyakini adalah anak dari pasangan suami istri itu.
"Dia sangat cantik! Sangat cocok dengan Adrianku. Seharusnya sudah dari lama kau mengenalkannya padaku," ucap seorang wanita setengah baya menyiku lengan Bu Sintia sambil tertawa.
"Olivia, kau berlebihan. Semua putriku cantik!" balas Bu sintia sedikit terkekeh, lalu menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Apa?! Apa ini perjodohan?!" batin Lyra, refleks wanita itu berdiri. Ia menatap setiap orang di sana dengan dahi yang berkerut, namun Pak Satria mengisyaratkan padanya untuk segera duduk dan tidak bertingkah aneh.
Kedua keluarga itu bercengkerama hingga waktu makan malam tiba. Makanan telah tersedia di meja, memenuhi ruang makan dengan aroma yang menggugah selera.
Mereka menyantap makan malam itu dengan lahap, terkecuali Lyra. Pikirannya masih kacau, akibat masalah Safira dan Dion. Kini ia harus di hadapkan lagi dengan perjodohan yang mendadak.
Seusai makan malam, Lyra berjalan seorang diri di taman kecil di halaman rumahnya. Wanita itu menatap langit malam yang bertabur bintang hingga terhanyut dalam lamunannya.
"Kau tampak tidak menginginkan perjodohan ini," celetuk seorang pria yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
Lyra terperanjat, lalu menoleh cepat ke arah suara iru berasal. "A–apa yang kau lakukan di sini?"
"Orang tuamu dan orang tuaku menyuruhku untuk menyusulmu. Kurasa mereka sangat mengharapkan perjodohan ini berhasil." ucapnya seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
Lyra mendengus pelan, kemudian menatap pria itu sinis. "Kau ... apa kau tidak merasa risih? Seharusnya kau yang menentukan sendiri pendamping hidupmu."
Adrian mendekati Lyra perlahan, jarak mereka kini sangat dekat seolah dapat mendengar suara hembusan napas masing-masing. Pria itu perlahan mencondongkan tubuhnya ke arah Lyra, hingga bibirnya sejajar dengan telinga wanita itu. "Aku kemari untuk menawarkan solusi yang bisa menguntungkan kita berdua," bisiknya lalu kembali menegakkan tubuhnya.
Lyra mengerjap, "Sebuah tawaran?" batinnya, salah satu alisnya terangkat.
"Mari setujui perjodohan ini dan bercerai setelah dua tahun," ucap Adrian datar, matanya tidak berkedip sama sekali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!