NovelToon NovelToon

Jodohku Ternyata Kamu

Biro Jodoh dan Bagian dari Masa Lalu

Syamsul Rizal Danantara duduk di ruang kantornya yang luas di lantai paling atas Gedung Danantara Corp., sebuah bangunan kaca menjulang yang menjadi markas utama salah satu perusahaan konstruksi dan investasi terbesar di Jakarta. Di balik dinding kaca itu, langit senja mulai meluntur warnanya, seperti hati Rizal yang entah kenapa terasa semakin hampa seiring bertambahnya usia.

Hari ini dia genap 35 tahun.

Tidak ada pesta. Tidak ada lilin. Bahkan tidak ada ucapan ‘Selamat Ulang Tahun’ dari siapa pun, kecuali dari asisten kepercayaannya, yang sedikit supel dan lempeng, tapi terlalu gugup untuk bercanda lebih dari dua kalimat.

Rizal mengetik cepat di laptopnya, mencoba menyibukkan diri dengan laporan proyek ekspansi di Bali. Tapi pikirannya teralihkan ketika ponselnya bergetar.

 Enam panggilan tak terjawab.

Mama❤️

Dan satu pesan.

Nak, kamu harus pulang malam ini. Mama tunggu di rumah. Harus. Titik.

Ia menghembuskan napas panjang. Jika ibunya sudah memakai titik, itu artinya tak ada ruang untuk negosiasi.

*****

Di rumah besar keluarga Danantara, Wika sedang duduk di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya berwajah ramah dan seorang gadis muda yang duduk manis dengan senyum malu-malu. Meja tamu dipenuhi kudapan dan teh manis. Seolah sedang menyambut tamu istimewa.

Ketika Rizal masuk, ia langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Sepatunya belum sempat dilepas, tapi matanya sudah menangkap sinyal bahaya dari senyum ibunya yang terlalu lebar.

“Rizal, kenalkan ini Tante Rani dan ini anaknya, Manda.”

Rizal mengangguk kaku, mencoba tetap sopan.

“Ini anak saya, Syamsul Rizal. Tapi lebih sering dipanggil Rizal.”

“Ah, kami sudah banyak dengar tentang Rizal dari Ibu Wika. Tampan, sukses, sopan. Sayang belum menikah ya, Nak.” Tante Rani tersenyum.

Rizal mengalihkan pandangannya ke ibunya.

“Ma, ini maksudnya apa?”

Wika berdiri dan menarik anaknya menjauh dari tamu.

“Mama capek ditanya-tanya terus sama tante-tante arisan. Usia kamu sudah 35 tahun, Rizal. Masih juga sendiri. Kamu pikir mama nggak khawatir?”

“Jangan bilang Mama nyewa biro jodoh?”

“Bukan cuma nyewa. Mama sudah daftar ke paket platinum! Pilihan terbaik dari seluruh Jakarta dan sekitarnya!”

 “Ma… please.” Rizal mengusap wajahnya.

“Terserah kamu mau pilih yang mana. Tapi satu yang Mama curiga… Jangan-jangan kamu nggak suka perempuan?”

“MA!” Rizal hampir berteriak, tapi menahan suaranya.

Ia menatap ibunya dalam-dalam.

“Mama tahu aku pernah suka sama seseorang.”

“Tapi kamu nggak pernah bawa dia ke rumah, nggak pernah cerita siapa.”

Karena dia tidak pernah tahu. Dan aku tak pernah punya cukup keberanian.

*****

Lima hari kemudian, di kantor Danantara Corp.

Yuna Indra Pitaloka berlari-lari kecil menuju lift. Tasnya terbuka separuh, dompet hampir terjatuh, dan rambutnya sedikit berantakan karena angin pagi. Dia mengutuk dirinya dalam hati karena bangun terlambat lagi. Alarm sudah dia pasang tiga, tapi tetap saja kelewatan.

“Yuna!” Panggil Putri, rekan sekantor dari bagian marketing.

“Bos besar naik ke lantai keuangan pagi ini. Pastikan meja kamu rapi!”

“Ya Tuhan…” Yuna langsung menyambar tisu dari laci dan mulai mengelap meja yang sudah penuh dengan tumpukan nota dan struk.

Pintu lift terbuka. Sepatu kulit mahal itu melangkah tenang. Jas Armani. Wajah serius. Ketampanan yang tak berubah sejak dulu.

Yuna menegang.

Bibirnya kaku. Matanya melebar.

Pak Rizal? Nggak mungkin.

Tapi matanya tak salah. Meski kini pria itu tampak lebih dewasa, lebih matang, dan jauh lebih berwibawa, ia tetap bisa mengenali garis rahang dan tatapan mata yang pernah membuatnya tidak bisa tidur semalaman semasa SMA dulu.

Yuna menunduk. Jantungnya berdetak begitu kencang, seolah waktu memutar ulang hari-hari ketika ia diam-diam memperhatikan guru olahraga tampan itu dari jauh.

Syamsul Rizal, guru olahraga yang menghilang tanpa jejak menjelang kelulusan.

Dan sekarang… dia adalah CEO perusahaannya sendiri.

Rizal memperhatikan para staf dari balik kacamata tipisnya. Tatapannya tajam tapi tenang. Namun, ia sedikit terkejut saat matanya bertemu dengan salah satu karyawan perempuan yang menunduk terlalu cepat saat melihatnya.

Ada yang aneh. Wajah itu… terasa familiar.

“Nama kamu siapa?” Tanyanya langsung.

 “Y-Yuna, Pak. Yuna Indra Pitaloka. Saya Asisten Manajer Meuangan.” Yuna menelan ludah.

Rizal mengangguk perlahan. Dia menatapnya sekali lagi sebelum beranjak menuju ruang rapat.

Di balik ketenangannya, pikirannya tak berhenti bertanya.

Yuna? Indra Pitaloka?

Kenapa nama itu terasa seperti bagian dari masa lalu?

Sore harinya, Rizal membuka laci meja kerjanya. Ia menarik sebuah album kecil berisi foto-foto lama semasa ia mengajar dulu, sebelum memilih meninggalkan dunia pendidikan dan kembali ke bisnis keluarga setelah ayahnya jatuh sakit.

Dan di sana… sebuah foto acara perpisahan SMA terpampang jelas. Di salah satu sudutnya, seorang gadis muda tersenyum manis ke arah kamera, mengenakan seragam putih abu-abu.

Yuna Indra Pitaloka.

Dia masih mengingatnya. Gadis ceroboh yang pernah terjatuh di lapangan dan menolak dibawa ke UKS karena malu. Gadis yang sering terlambat tapi selalu tersenyum minta maaf.

Gadis yang… diam-diam juga pernah dia perhatikan.

Tapi waktu itu, ia terlalu takut akan kehilangan kariernya karena terlibat perasaan pada siswi sendiri. Maka ia memilih pergi, mengubur semuanya dalam-dalam.

Dan kini… semesta mempertemukan mereka kembali.

Yuna berdiri di depan cermin kamar mandi kantor, membasuh wajah dengan air dingin. Pipinya masih merah, bukan karena malu semata, tapi karena degup jantung yang tak kunjung tenang sejak matanya bertemu sosok Rizal pagi tadi.

Dia bukan hanya atasan. Dia Pak Rizal.

Guru olahraga yang dulu membuat hatinya berbunga hanya karena sekadar menyapa di lorong sekolah.

“Kenapa kamu bisa kerja di sini, Yun?” Gumamnya sendiri sambil menatap pantulan wajahnya yang kebingungan.

Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Apakah sebaiknya berpura-pura tidak kenal? Atau bertanya langsung.

“Pak, Bapak masih ingat saya?” Gumammnya lagi.

Tapi… dia bukan ‘Pak’ lagi.

Dia kini CEO perusahaan besar, dan Yuna cuma staf divisi keuangan biasa. Jarak mereka kini bahkan lebih jauh dari sekadar guru dan murid.

“Oke, Yun, relax! Kamu harus pura-pura nggak kenal. Ya, lebih baik begitu.” Ucapnya dengan kepalan tangan, demi menyemangati dirinya.

Sementara itu, di ruang kerjanya, Rizal berdiri memandangi langit senja dari balik jendela kaca. Senja memang selalu membuatnya melankolis. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Nama itu, Yuna.

Wajah itu.

Senyumnya yang dulu selalu ia lirik diam-diam saat mengawasi siswa bermain voli. Kini berdiri di dekatnya, tak lagi dalam ingatan, tapi nyata. Di kantor. Di ruang yang sama. Dalam hidup yang sama sekali baru.

“Apakah ini kesempatan kedua yang diberikan Tuhan?” gumamnya pelan.

Tangannya terulur, meraih interkom.

“Pak Doni, tolong panggilkan staf Yuna dari bagian keuangan. Saya ingin berbicara dengannya. Sekarang!”

Tak Cukup Untuk Diingat

Ruang kerja Rizal terasa begitu sunyi saat Yuna masuk dengan langkah ragu. Pintu tertutup pelan di belakangnya, memisahkannya dari hiruk pikuk kantor dan melemparkannya ke dalam ruang yang dipenuhi aura kekuasaan dan ketegangan. Dinding abu-abu bersih, meja kayu gelap yang mengilap Adan aroma kopi yang samar.

Di balik meja itu, Rizal duduk dengan tenang, matanya menatap langsung ke arahnya.

“Silakan duduk.” Ucapnya singkat.

Yuna menunduk hormat, duduk perlahan di kursi yang terasa lebih menyeramkan dari kursi ujian nasional.

“Saya dengar kamu baru bergabung dua bulan lalu?” Tanya Rizal.

“Iya, Pak. Saya baru pindah dari kantor lama.” Jawab Yuna dengan nada profesional.

Ia tidak membiarkan suaranya goyah.

Rizal menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia memandangi wajah itu, wajah yang pernah ia simpan dalam ingatan selama bertahun-tahun. Ia menunggu. Menanti sedikit pengakuan. Isyarat kecil bahwa Yuna mengenalnya. Bahwa dia bukan sekadar orang asing dalam hidup gadis itu.

Tapi tidak ada.

Tidak sepatah kata pun.

Tidak ada ‘Pak Rizal yang dulu?’

Tidak ada ‘Bapak mengajar di SMA 1 Suqryacendana, kan?’

Hanya kesunyian dan formalitas. Seperti dua orang yang benar-benar baru pertama kali bertemu.

“Kamu pernah sekolah di SMA 1 Suryacendana, bukan?” Rizal akhirnya membuka pertanyaan yang lebih personal, mencoba memancing sesuatu.

Yuna sedikit terkejut, tapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. Ia mengangguk pelan.

“Iya, Pak. Saya pernah sekolah di sana.”

“Oh.” Rizal menahan napas.

“Kamu tidak merasa mengenali saya?”

Yuna menatap pria di depannya sesaat. Jantungnya seperti diguncang. Tapi ia memilih untuk tersenyum kecil dan menjawab.

“Maaf, sepertinya tidak, Pak.”

Jawaban itu seperti tamparan bagi Rizal. Ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya mengangguk kecil, seolah tak menganggapnya penting. Tapi jauh di dalam dadanya, ada sesuatu yang retak pelan.

Ia mengingat dengan jelas hari perpisahan sekolah waktu itu. Saat semua siswa sibuk berfoto, saat guru-guru mendapat bunga dan kartu ucapan. Ia sempat datang, berdiri di pinggir aula, hanya berharap satu orang mendekatinya. Seorang siswi dengan pita merah muda di rambutnya, yang selalu mencuri-curi pandang ke arahnya.

Yuna.

Tapi gadis itu tak pernah datang menghampirinya.

Dan kini, setelah bertahun-tahun… ternyata ia bahkan tidak cukup berkesan untuk dikenang.

“Baiklah, kamu boleh pergi.”

Yuna melangkah keluar dari ruangan dengan bingung serta napas yang tertahan. Begitu pintu tertutup, ia menyandarkan diri ke dinding koridor dan menutup mata.

Bodoh.

Kenapa dia bohong?

Kenapa dia tidak bilang bahwa ia mengingat semua hal tentang Pak Rizal?

Bahwa ia bahkan menyimpan koran sekolah yang memuat foto Pak Rizal terakhir kali.

Bahwa ia dulu pernah menulis surat cinta yang tak pernah berani dikirim.

Yuna menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah. Tapi ia tahu, jika ia jujur, semuanya bisa jadi lebih rumit. Hubungan profesional mereka bisa goyah. Orang-orang bisa bicara. Ia tidak mau terlihat seperti anak SMA yang masih tergila-gila pada masa lalu.

Lagi pula, pria itu… bukan Pak Rizal yang dulu lagi. Kini dia CEO. Pemilik gedung ini. Atasan yang bisa memecatnya kapan saja.

Di ruangan lain, Rizal termenung. Matanya menatap ke luar jendela, tapi pikirannya melayang jauh.

Mungkin dia memang terlalu berharap.

Mungkin dia sudah terlalu tua untuk menaruh kenangan pada seseorang yang bahkan tidak mengingatnya.

Atau… mungkin dia hanyalah satu bab kecil dalam hidup Yuna, sementara gadis itu adalah seluruh cerita dalam hidupnya yang sepi.

Ia menutup laptopnya, bangkit berdiri, dan berjalan ke sisi ruangan, ke tempat ia biasa menenangkan diri.

Di dinding tergantung sebuah lukisan abstrak yang sering membuatnya terdiam. Ia memandangi lukisan itu seperti mencari jawaban.

“Mungkin kamu memang tak pernah melihatku.” Bisiknya, entah pada siapa.

*****

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, setidaknya dari luar. Rizal tetap hadir dalam rapat dengan wajah dingin dan datar. Yuna tetap mengurus laporan dan data keuangan sambil terus menghindari ruang CEO sebisa mungkin.

Namun, sesuatu perlahan berubah.

Rizal mulai memperhatikan lebih banyak.

Ia memperhatikan cara Yuna duduk dengan sedikit membungkuk saat bekerja. Cara ia memiringkan kepala saat membaca. Cara bibirnya mengerucut kecil saat berpikir keras. Semua itu, semua kebiasaan kecil yang dulu pernah ia lihat di lapangan sekolah, kini kembali hidup di depan matanya.

Yuna… tetaplah Yuna.

Ia belum berubah.

Dan itu membuat Rizal sulit berpaling.

Di sisi lain, Yuna pun mulai gelisah. Ia tahu tatapan itu. Ia merasakannya saat melintas di depan ruang CEO. Ia melihat bayangan pria itu berdiri di balik kaca, memperhatikannya.

Apakah Rizal tahu?

Apakah ia kecewa?

Atau justru masih menunggu pengakuan darinya?

Tapi apa gunanya?

Bahkan jika ia berkata jujur… lalu apa?

Ia hanya staf biasa, dengan gaji pas-pasan dan masa depan yang belum jelas. Sedangkan pria itu… memiliki segalanya.

Yuna tidak ingin hatinya terluka lagi.

Beberapa hari kemudian, kantor mengadakan acara internal kecil, perayaan ulang tahun perusahaan. Karyawan berkumpul di aula, makan bersama dan mengobrol santai. Rizal jarang hadir dalam acara seperti ini, tapi sore itu ia muncul, mengenakan batik tenun biru tua, menyalami beberapa karyawan, dan berdiri di dekat meja minuman.

Yuna yang baru saja mengambil sepotong kue nyaris tersedak saat melihat Rizal melangkah ke arahnya.

“Bisa kita bicara sebentar?”

Yuna hanya mengangguk, membeku.

Mereka berjalan ke teras belakang aula yang sepi.

Rizal menyandarkan diri ke dinding, menatap langit senja yang mulai menggelap.

“Aku tahu kamu mengenaliku.”

Yuna menggigit bibir. Tak bisa lagi mengelak.

“Maaf, Pak…” Kepalanya otomatis tertunduk.

“Kenapa berpura-pura tidak kenal?”

“Saya… takut semua jadi canggung.”

Rizal mengangguk pelan.

“Saya pikir, mungkin saya terlalu tidak berarti untuk diingat.”

“Bukan begitu.” Yuna buru-buru berkata.

“Saya… saya ingat semuanya. Tapi saya hanya staf biasa sekarang. Dan Bapak adalah CEO. Dulu guru saya. Sekarang atasan saya.”

Saya takut perasaan masa lalu ikut terbawa dan merusak semuanya. Sayangnya, Yuna hanya bisa mengucapkannya dalam hati.

Perasaan.

Kata itu menggantung di antara mereka.

Rizal tersenyum, untuk pertama kalinya dalam seminggu terakhir.

“Aku tahu. Kamu pura-pura nggak tahu saya. Mungkin kita memang saling pura-pura, ya?”

Yuna mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum.

Dulu aku pergi karena takut melanggar batas. Kata Rizal pelan dalam hati.

Tapi aku masih menyimpan namamu. Kali ini aku nggak akan melepaskanmu lagi, Yuna.

Yuna tak tahu harus berkata apa. Rasa canggung dan debaran jantungnya tak mampu dia kendalikan.

Malam itu mereka berdiri lama di bawah cahaya redup teras kantor, tapi Yuna tak ingin masa lalu menyelinap kembali, meski bukan untuk disesali, tapi untuk dimulai kembali, rasanya tidak akan pernah ada dalam mimpi Yuna. Karena Rizal mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada statusnya dulu sebagai gurunya.

Luka yang Tak Terucap

Wika Danantara tidak pernah mengira bahwa langkah kakinya malam itu akan membawanya pada satu pemandangan yang tak pernah ia sangka.

Acara puncak ulang tahun perusahaan baru saja usai. Musik telah mereda, dan karyawan mulai berangsur meninggalkan aula dengan senyum dan ucapan selamat. Wika, yang datang terlambat karena menghadiri acara amal di luar kota bersama suaminya, bermaksud menyusul Rizal untuk memberinya kejutan kecil, kue ulang tahun yang baru sempat ia pesan.

Ia menyusuri lorong perusahaan dengan langkah ringan, membawa kotak kue dalam tas jinjing mungilnya, hati-hati agar tidak merusak bentuk hiasan cokelat di atasnya.

Namun, langkahnya terhenti dari kejauhan, ketika ia melihat sosok anaknya berdiri berdampingan dengan seorang gadis.

Wika tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan, tapi ia bisa melihat ekspresi lembut di wajah Rizal. Tatapan hangat itu, serta senyum yang jarang sekali muncul bahkan di depan dirinya.

Perempuan muda di sebelahnya mengenakan gaun biru tua yang sederhana namun manis. Matanya teduh dan wajah cantiknya gugup tapi tulus. Mereka tidak saling bersentuhan, tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Ada jarak, jarak yang terlihat hanya oleh orang yang benar-benar mengenal Rizal.

Dan Wika tahu. Sebagai seorang ibu, dia tahu.

Ini bukan percakapan biasa.

Bukan sekadar bicara antara atasan dan bawahan.

Ini adalah… perasaan yang sedang tumbuh.

Tanpa berniat mencuri momen, Wika mundur pelan-pelan. Tangannya meremas kotak kue dalam diam. Ia tidak jadi menghampiri Rizal. Tak ingin merusak suasana, tak ingin membuat anaknya kembali menarik diri.

Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun menduga yang bukan-bukan tentang anak lelakinya, Wika merasa… sedikit lega.

Mungkin anak itu tak butuh agen jodoh, tak butuh tekanan keluarga.

Mungkin… ia hanya butuh waktu.

*****

Yuna menyusuri trotoar dengan langkah cepat. Ponselnya menunjukkan pukul 23.48 saat ia naik ke dalam taksi online. Masih mengenakan gaun pesta dan sepatu hak rendah, ia terlihat lelah tapi juga sedikit bahagia.

Percakapannya dengan Rizal barusan masih terpatri jelas dalam ingatannya. Jantungnya masih belum kembali normal. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada kehangatan di dadanya, yang bukan dari teh manis atau selimut tebal, tapi dari seseorang.

Namun, senyum itu perlahan pudar saat taksi memasuki gerbang menuju rumahnya.

Lampu teras masih menyala. Pintu rumah tidak terkunci.

Dan saat ia membuka pintu perlahan, bayangan besar itu sudah berdiri menunggunya di ruang tamu.

Indra Lesmana.

Ayah kandungnya.

Pria paruh baya berwajah keras itu duduk di kursi kebesarannya, matanya menatap lurus ke arahnya. Tidak ada suara. Hanya dengusan pelan dan tatapan seperti batu.

Yuna menelan ludah.

“P-pi… Aku baru pulang dari acara kantor.”

“Pukul berapa ini?” Suara Indra terdengar serak namun dingin.

“Sudah tengah malam dan kamu baru pulang dengan baju seperti itu?”

Yuna mundur setengah langkah.

“Ini… dress code kantor, Pi. Ada perayaan.”

Indra berdiri. Langkahnya berat, namun cepat.

Plak.

Dalam sekejap, telapak tangannya menghantam pipi kanan Yuna dengan keras.

“Perayaan apa?! Kamu pikir papi bodoh?! Kau kira papi tidak tahu, Sania sudah bilang...”

“Papi percaya omongan Sania daripada anak kandung Papi sendiri?” Potong Yuna, air mata menggenang.

Pipinya terasa panas, seperti terbakar. Tapi hatinya lebih sakit.

“Bersikaplah sopan, Sania itu ibumu juga!” Bentaknya

Yuna hanya diam, dengan telapak tangannya menutupi bekas tamparan sang ayah.

“Omongan Sania masuk akal! Kamu pulang malam, berdandan seperti itu, dari mana saja kamu?!”

“Aku kerja! Aku bukan main! Aku...”

Indra menunjuk wajah Yuna dengan marah.

“Diam! Sudah cukup! Kamu tidak akan terus-terusan mempermalukan keluargamu. Papi akan menjodohkanmu!”

Yuna menahan napas.

Indra melangkah ke meja, mengambil selembar kartu nama yang sudah ia siapkan.

“Besok kamu akan bertemu anak dari kolega bisnis Papi. Dia anak dari pemilik perusahaan konstruksi dari keluarga baik-baik. Kamu akan menikah dengannya!”

“Aku nggak mau!” Jerit Yuna, matanya membelalak.

“Kamu tidak punya pilihan!” bentak Indra.

“Ini hidup aku, Pi. Bukan lelang perusahaan!”

Indra mendekat, menatap putrinya dengan sorot mata penuh luka dan ego.

“Kamu pikir kamu bisa memilih? Kamu pikir setelah semua yang papi lakukan untuk membesarkanmu, kamu bebas menolak?”

“Yang Papi lakukan cuma percaya pada Sania dan menyalahkan Yuna atas semua hal!”

Indra terdiam sesaat. Tapi wajahnya tetap keras.

“Kamu akan menikah. Titik!”

Dan dengan itu, ia berjalan menuju kamarnya dan membanting pintu.

Yuna terdiam, air mata menetes perlahan. Bukan hanya karena pipinya sakit, tapi karena hatinya kembali tercabik.

Setiap kali ia berpikir bahwa mungkin… mungkin ia bisa menemukan bahagia, selalu ada tembok tinggi yang menghalangi.

Ayahnya. Sania. Luka kecil yang semakin melebar, luka yang tak pernah sembuh.

Dan kini, Rizal.

Apakah ia harus kembali mengorbankan segalanya?

Atau melawan?

*****

Sementara itu, Rizal masih berada di kantor. Ia belum pulang. Matanya menatap langit malam dari balik jendela tinggi, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin.

Tapi pikirannya tidak pada proyek.

Bukan pula pada ulang tahun perusahaan yang sukses besar.

Melainkan pada satu senyuman dan satu tatapan takut yang tersirat dari gadis itu.

Yuna menyimpan sesuatu.

Dia tahu itu.

Dan Rizal… ingin tahu apa yang membuat matanya terlihat seperti itu setiap kali ia bicara dengannya.

Ada luka di sana.

Dan entah kenapa, Rizal ingin sekali menyembuhkannya.

Pagi belum sepenuhnya datang ketika Yuna duduk di pinggir ranjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Pipinya masih memerah, bukan hanya karena tamparan semalam, tapi juga karena beban yang terus menekan dadanya. Gaun pesta sudah tergantung di balik pintu, diganti dengan kaus tipis dan celana panjang, tapi luka di hatinya belum berganti.

Pintu kamarnya terbuka tanpa permisi.

“Wah, sudah bangun juga si anak malam.” Suara tajam itu datang dari ambang pintu.

Yuna menoleh dan mendapati sosok wanita muda dengan senyum mengejek, Nadine, kakak tirinya. Anak kandung Sania dari pernikahan sebelumnya, dan satu-satunya orang yang diwarisi Sania seluruh keangkuhan serta kelicikan.

“Aku kira kamu masih tidur setelah pulang dari… entah mana.” Lanjut Nadine, melangkah masuk tanpa diundang.

“Aku pulang dari acara kantor.” balas Yuna datar.

“Ya ya… kantor. Tapi coba lihat gaun kamu itu, Yuna. Gaun pesta? Heels kecil? Kamu pikir Papi sebodoh itu?”

Yuna menghela napas, menahan diri.

“Aku nggak butuh penilaianmu, Nadine.”

“Oh sayang… kamu memang nggak butuh penilaian. Tapi kamu butuh reputasi bersih dan kamu kehilangannya sejak semalam.” Bisik Nadine, merunduk ke arahnya.

“Dan tahu nggak? Mama sudah menyebarkan cerita ke tetangga bahwa kamu punya hubungan gelap dengan atasanmu.”

Yuna menegang. Nadine tersenyum puas.

“Papi sudah percaya. Tinggal satu langkah lagi dan kamu resmi jadi milik orang yang dia pilihkan. Selamat, Yun. Semoga bahagia… dalam kandang emas pilihan Papi tercintamu.”

Nadine berbalik dan meninggalkan kamar dengan langkah ringan, seolah baru saja memenangkan permainan.

Yuna menatap kosong.

Haruskah ia pergi?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!