NovelToon NovelToon

The Legend Of The Shadow Eater

1

Pada zaman dahulu, orang-orang di nusantara percaya bahwa bayangan bukan sekadar gelap yang mengikuti langkah manusia. Bayangan adalah bagian halus dari jiwa, belahan tipis yang menghubungkan manusia dengan dunia roh.

Namun tidak semua jiwa bisa kembali dengan tenang. Bila seseorang mati dengan cara yang tidak wajar—karena bunuh diri, dendam yang membara, kelaparan yang tak tertahankan, atau kematian penuh penyesalan—maka rohnya tersesat. Ia tidak bisa kembali ke alam leluhur, tidak bisa pula masuk kembali ke dunia manusia. Roh itu pun terperangkap di antara terang dan gelap, di lapisan bayangan yang tak terlihat.

Di sanalah roh itu menderita. Ia kehilangan tenaga untuk bertahan, dan dari kelemahan itu lahir rasa lapar yang tak berujung. Lapar akan sesuatu yang hanya dimiliki manusia hidup—bayangan. Maka, perlahan-lahan, roh itu mulai mendekati manusia, menyedot sari kehidupan dari bayangan mereka.

Orang-orang menamai makhluk itu Lelepah. Roh gagal yang harus memangsa bayangan agar tetap ada.

Lelepah yang lemah hanya berupa bisikan samar, bayangan kabur di sudut mata. Namun ada yang begitu tua dan kuat, hingga mampu mengambil rupa manusia. Mereka membentuk tubuh dari energi bayangan yang telah ditelan, dan memilih wajah yang tampan atau jelita agar mudah menipu manusia.

Namun, sekalipun menyamar, selalu ada tanda yang membedakan mereka. Matanya terlalu hitam, atau terlalu pucat. Bayangan mereka sendiri bergerak tak selaras, atau kadang… hilang sama sekali.

Karena itu, orang tua dahulu selalu berpesan kepada anak-anaknya:

“Jangan terlalu lama menatap bayanganmu sendiri. Jangan pula berjalan sendirian di senja hari. Sebab bila kau bertemu seseorang yang terlalu rupawan, perhatikanlah tanah di bawah kakinya. Bila ia tak berbayang… maka larilah. Karena itu bukan manusia. Itu adalah Lelepah.”

Masa kini...

“Sama seperti kasus sebelumnya,” ucap Keniro, kapten tim detektif Lira, dengan nada datar yang justru membuat udara di ruangan semakin berat.

TKP itu dipenuhi aktivitas. Kilatan lampu kamera dari tim forensik sesekali menyilaukan, suara klik shutter bercampur bunyi langkah sepatu bot yang menekan lantai kayu. Seorang petugas jongkok di dekat mayat, mengukur jarak dengan penggaris forensik, sementara yang lain menempelkan label nomor bukti pada benda-benda di sekitar.

Lira melangkah hati-hati, pandangannya terpaku pada tubuh korban yang tergeletak di tengah ruangan. Kulitnya pucat kelabu, bukan pucat normal, melainkan pucat yang membuatnya tampak seperti lembaran foto hitam-putih. Tubuhnya berkerut kaku, seolah semua cairan dan isi di dalamnya sudah tersedot habis. Tidak ada rona, tidak ada kehidupan—hanya kulit yang membungkus tulang tipis.

Keniro menunjuk ke lantai di sekitar mayat. “Bayangannya hilang. Sama seperti korban lainnya.”

Lira memicingkan mata, mencoba melihat dari sudut berbeda, tapi cahaya lampu tak memantulkan apa pun. Ragu-ragu, ia mengeluarkan ponselnya dan menyalakan senter, menyinari tubuh itu dari berbagai arah. Hasilnya sama—tidak ada siluet, tidak ada garis gelap di lantai. Tubuh itu benar-benar datar dari segi cahaya, seolah bukan benda tiga dimensi.

Bulu kuduk Lira berdiri. Di matanya, mayat itu lebih mirip gambar yang ditempel di lantai ketimbang jasad manusia. “Ini… seperti hanya coretan di atas kertas,” gumamnya.

Keniro menatapnya serius. “Dan sesuatu di luar sana bisa membuat manusia jadi seperti ini.”

Beberapa jam kemudian, Lira dan Keniro kembali ke kantor penyelidikan regional. Udara lembap masih menempel di jaket mereka saat melewati lorong sempit yang dindingnya penuh papan pengumuman, foto TKP, dan peta dengan garis-garis merah.

Dari balik pintu kaca ruang rapat, para anggota tim sudah berkumpul di meja oval. Tumpukan map, laptop menyala, dan cangkir kopi berserakan. Lampu gantung memancarkan cahaya pucat, menyoroti wajah-wajah serius yang menunggu.

Keniro masuk lebih dulu, melepaskan jasnya ke sandaran kursi, lalu berdiri di depan papan presentasi. Foto-foto korban terpampang di layar proyektor. “Korban pertama: pria 42 tahun, pembunuh yang hanya dihukum setahun setengah. Korban kedua: buruh pelabuhan, pengedar narkoba. Korban ketiga: pelaku pelecehan anak. Korban keempat—yang kita temukan pagi ini—identitasnya sudah kita kantongi, tapi latar belakangnya masih kosong. Belum ada catatan kriminal yang jelas.”

Ia menatap seluruh ruangan. “Tapi pola yang kita lihat sejauh ini menunjukkan, korban bukan orang biasa. Kita tidak bisa abaikan kemungkinan keterkaitan kasus ini.”

Keniro menekan tombol, menampilkan foto close-up tubuh korban keempat: kulit pucat kelabu, berkerut, tanpa bayangan. “Kondisinya sama. Tidak ada tanda kekerasan konvensional. Tidak ada DNA asing. Tidak ada siluet, meskipun cahaya diarahkan langsung.”

Suasana ruangan mengeras. Beberapa detektif mencatat, yang lain bertukar pandang. “Untuk saat ini, fokus kita—” Keniro menatap satu per satu anggota timnya, “—temukan rekaman CCTV di sekitar rumah korban. Tanya tetangga, gali siapa saja yang mengenal korban, baik secara pribadi maupun lewat pekerjaan. Kita butuh gambaran hidupnya sebelum kematian.”

“Siap, Kapten,” jawab salah satu anggota.

Malam menelan kota dalam balutan lampu jalan yang pucat. Hujan gerimis meninggalkan kilau tipis di aspal, ban mobil memecah genangan kecil saat Keniro dan Lira terus menyusuri jalan. “Sejauh ini, korban punya satu kesamaan,” ujar Lira, matanya menatap kosong ke depan.

“Pelaku kriminal,” potong Keniro tanpa menoleh. “Korban pertama: pembunuh yang cuma dihukum setahun setengah. Kedua: pengedar narkoba. Ketiga: pelaku pelecehan anak. Keempat: pemilik judi online.”

“Ken…” Lira menarik napas berat. “Aku mulai ragu manusia bisa melakukan ini.”

“Entahlah,” jawab Keniro, suaranya datar namun mengandung beban. “Kita selidiki sebisa kita.”

Lampu merah memaksa mobil berhenti. Lira menoleh ke luar jendela. Dari kejauhan, di jembatan penyeberangan, ia melihat seorang anak SMA berdiri di pagar, seragamnya kusut, wajahnya kosong seperti tak lagi mengenali dunia.

Di belakang anak itu, seorang pria berjas hitam dan kemeja hitam tanpa dasi berdiri santai. Tangannya di saku, dan di bibirnya terukir senyum tipis yang tidak hangat—senyum yang lebih mirip tatapan predator menikmati kelemahan mangsanya.

Lira membeku sesaat, lalu—klik!—membuka pintu dan berlari keluar.

“Lira! Hei! Mau ke mana?!” teriak Keniro, tapi suaranya tertelan deru lalu lintas malam.

Tangga jembatan ia naiki dua anak tangga sekaligus, napasnya memburu. Jantungnya menghentak di telinga saat angin malam dingin memukul wajahnya. Bau besi dari pagar jembatan bercampur aroma aspal basah memenuhi hidungnya.

Sesampainya di atas, ia melihat anak itu mulai mengangkat satu kaki ke sisi luar pagar. Pria berjas hitam itu tak bergerak, hanya memiringkan kepalanya sedikit ke arah Lira, matanya gelap seperti lubang tak berdasar, senyumnya tak berubah. Bayangannya memanjang dan melengkung di lantai jembatan, bergerak perlahan seolah punya nyawa sendiri.

“Dek, jangan!” teriak Lira.

Detik terakhir—ia menerjang, meraih tubuh anak itu dengan kedua tangan. Tubuh mereka terhempas ke lantai jembatan, berguling sekali sebelum berhenti. Lutut Lira perih tergores permukaan kasar.

Pria itu berbalik, melangkah pergi tanpa terburu-buru, tak sekalipun menoleh. Bayangannya tetap merayap di bawahnya, bergeser seolah mengikuti irama yang tak terlihat.

“Dek! Sadar!” Lira mengguncang bahu anak itu. Kelopak matanya bergetar sebelum perlahan terbuka. Tatapannya linglung, wajahnya basah oleh gerimis, seperti baru bangun dari mimpi yang panjang dan menakutkan.

“Kamu nggak apa-apa?” suara Lira bergetar. Anak itu mengangguk pelan, bibirnya gemetar, namun ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Lira menatap punggung pria itu yang mulai menuruni jembatan. Napasnya masih memburu, tenggorokannya kering, tapi instingnya berteriak: jangan biarkan dia pergi.

Ia langsung berlari. Sepatu boot-nya menghantam lantai besi jembatan, dentangnya bergema keras di tengah malam yang basah. Pria itu—tinggi, bahu tegap, langkahnya mantap—menoleh sekilas. Senyum tipis masih menempel di wajahnya, seolah ia sudah memperhitungkan bahwa Lira akan mengikutinya.

“Berhenti!” teriak Lira, suaranya memantul di lengkung baja jembatan.

Pria itu tidak berlari, tapi setiap langkahnya panjang, cepat, dan terukur. Saat Lira mulai menutup jarak, ia membelok ke tangga dan menuruni anak tangga dengan kelenturan yang aneh—gerakannya terlalu mulus, nyaris tanpa hentakan, seperti tubuhnya mengikuti aliran air. Bayangan di bawah kakinya bergerak lebih dulu, menjulur ke anak tangga berikutnya, seolah menuntun arah.

Di bawah, lalu lintas masih padat. Lampu mobil memantulkan kilatan cahaya yang memotong kegelapan, klakson sesekali terdengar, bercampur suara deru mesin. Lira melompat dua anak tangga sekaligus, hampir menabrak seorang wanita yang membawa tas belanja. “Maaf!” serunya sambil terus mengejar.

Pria itu melintas di antara kerumunan tanpa menyentuh satu pun orang, seolah tubuhnya menemukan celah yang tidak dilihat orang lain. Lira mempercepat langkah, napasnya berat, jantungnya menghantam dada. Saat jarak hanya tinggal dua meter, angin dingin menyapu wajahnya. Ia melihat jelas—bayangan pria itu memanjang, lalu terpecah menjadi dua arah berbeda sebelum kembali menyatu di bawah kakinya.

Tanpa ragu, pria itu berbelok masuk ke sebuah gang sempit di sisi jalan. Dinding beton di kiri-kanan memantulkan suara langkah Lira yang cepat, menggema seperti pukulan palu. Begitu ia masuk, hawa di dalam gang berubah. Udara di sana lebih dingin, hening seperti ruang kosong, bahkan suara lalu lintas di luar terasa jauh.

Pria itu berdiri di ujung gang, punggungnya tegak. Lira mengangkat pistolnya. “Berhenti!” suaranya terdengar tegas, tapi genggaman tangannya sedikit bergetar.

Pria itu menoleh perlahan. Matanya… hitam pekat, nyaris tanpa putih, berkilau dingin seperti kaca basah. Senyumannya tetap tipis, tak bergerak sedikit pun. “Kau… bisa melihatku,” ucapnya, suaranya rendah, serak, namun menusuk langsung ke dasar pikiran Lira.

Kepala Lira berdenyut hebat. Matanya terasa berat, napasnya terhenti setengah jalan. Ada sensasi seperti pusaran gelap menariknya ke dalam. Giginya mengatup keras, bibirnya digigit hingga nyaris berdarah, memaksa tubuhnya tetap sadar.

Pria itu melangkah setapak mendekat. Bayangannya di tanah merambat seperti cairan, menyentuh ujung sepatu Lira. Sensasi dingin merayap cepat ke betis, lalu ke pahanya, membuat seluruh ototnya kaku. “Sampai jumpa, Detektif,” bisiknya—nyaris seperti angin yang lewat di telinga.

Lampu neon di atas mereka berkedip sekali… dua kali… lalu padam sejenak. Dalam sepersekian detik itu, pria itu lenyap. Tidak ada suara langkah, tidak ada bayangan, hanya udara dingin yang menempel di kulit.

Lira berdiri terpaku, pistol masih teracung, jemarinya gemetar. Dada naik-turun cepat, keringat dingin membasahi pelipis. Yang tersisa hanyalah aroma lembap gang dan kesadaran menyesakkan: ia baru saja menatap sesuatu yang jelas bukan manusia.

Ruang pusat CCTV kepolisian dipenuhi deru kipas pendingin dan cahaya layar yang berkedip. Puluhan monitor menampilkan sudut-sudut kota, menari dengan gambar hitam-putih dan warna buram.

Lira duduk di kursi operator, matanya terpaku pada rekaman yang diambil malam tadi di jembatan. Tangannya cekatan memundurkan waktu.

Klik.

Gambar bergerak mundur, memperlihatkan anak SMA itu masih berdiri di pagar, lalu… pria itu. Jas hitam, kemeja hitam, rambut gelap yang sedikit berantakan, dan mata—bahkan di rekaman—tampak terlalu tajam untuk kamera biasa.

“Perbesar,” ucap Lira. Operator di sebelahnya menggerakkan mouse, wajah pria itu memenuhi layar. Lira mencondongkan tubuh. Ia melihat jelas lekuk rahang tegas, garis senyum samar, dan tatapan yang seolah… menatap balik dari layar.

“Oke, simpan frame ini. Aku mau pencarian wajah,” kata Lira.

Mereka memasukkan foto itu ke sistem identifikasi wajah nasional. Layar menampilkan persentase pencocokan yang terus berputar. Lira mengetuk meja tak sabar.

10%… 40%… 99%… lalu—"Tidak ada hasil yang ditemukan."

Lira mengerutkan kening. “Ulangi, pakai database internasional.”

Operator mencoba lagi. Butuh waktu beberapa menit, dan akhirnya… sama. Kosong. “Mustahil,” desis Lira. “Semua orang punya jejak. SIM, paspor, kartu identitas… minimal foto di sekolah.”

Dia menatap layar lagi, matanya menyipit. “Oh ya… anak SMA itu mungkin mengenalnya.”

Tanpa menunggu lama, Lira meraih tasnya dan keluar. Siang itu juga ia melaju ke sekolah anak itu, membiarkan sinar matahari menyengat kulitnya. Di kepalanya, wajah pria itu terus berputar seperti potongan film yang tidak mau berhenti.

SMA Negeri 5 berdiri di tengah hiruk-pikuk kota, gerbangnya penuh siswa berseragam yang berlarian karena bel masuk sudah berbunyi. Lira menapaki halaman dengan langkah mantap, jas panjangnya berkibar ringan dihembus angin siang.

Ia langsung menuju ruang guru. Di dalam, aroma kopi bercampur bau kertas dan spidol menyambutnya. Beberapa guru menghentikan pekerjaan mereka saat melihat seorang wanita mengangkat ID kepolisian masuk.

“Permisi, saya dari kepolisian. Saya ingin bertanya tentang salah satu murid,” ucap Lira sambil mengeluarkan foto dari map—foto Van yang ia ambil dari rekaman CCTV. Seorang guru muda berambut sebahu mendekat. “Saya Bu Ayunda, wali kelas Damian. Ada apa dengan murid saya?”

“Saya butuh berbicara dengan Damian. Bisa dipanggilkan sekarang?”

Guru itu mengangguk, lalu keluar kelas. Lira mengikutinya. Mereka melewati deretan pintu kelas hingga berhenti di salah satu ruangan. Suara riuh pelajaran mereda saat Bu Ayunda memanggil, “Damian, ikut Ibu ke ruang BK.”

Damian melangkah keluar. Rambutnya acak-acakan, seragamnya tidak terlalu rapi. Wajahnya memang terlihat lebih segar dibanding semalam, tapi tatapannya agak ragu saat melihat Lira.

Mereka duduk berhadapan di ruang BK. Lira membuka catatan kecilnya. “Damian, aku mau tanya. Kemarin malam… kamu ada di jembatan penyebrangan dekat Jalan Seruni, kan?”

Damian menelan ludah. “Iya… saya ingat.”

“Kenapa kamu ada di sana? Siapa pria yang berdiri di belakangmu?”

Damian mengerutkan kening, kebingungan jelas terpancar dari wajahnya.

“Pria? Saya Cuma ingat… Anda duduk memangku kepala saya, terus… tiba-tiba Anda berlari menjauh. Itu saja. Saya nggak ingat apa yang terjadi sebelumnya.”

Lira diam beberapa detik. Ada jeda aneh di sana—bagian paling krusial justru hilang. Lira menatapnya lekat-lekat. Tidak ada tanda-tanda dia berbohong. Hanya kebingungan yang nyata. Apa mungkin pria itu yang menghapus ingatannya?

Lira melangkah keluar dari gerbang sekolah. Matahari siang memantul di permukaan aspal, menyilaukan hingga membuat matanya menyipit. Namun, di sela panas yang menggigit kulit, ada hawa dingin tipis yang merayap di belakang lehernya—aneh, seperti hembusan napas dari sesuatu yang tak terlihat.

Kerumunan siswa berseragam putih abu-abu berdesakan di trotoar. Tawa, teriakan, dan deru sepeda motor bercampur menjadi satu, menekan telinga. Ponselnya tiba-tiba bergetar di saku jaket.

Ia mengangkatnya. “Lira, di mana kamu?” Suara Keniro terdengar datar, tapi ada nada cemas di baliknya. “Aku… ada urusan,” jawab Lira, matanya menyapu kerumunan. “Kamu baik-baik saja?”

“Iya. Nanti kuceritakan di kantor.”

Klik. Sambungan terputus.

Lira menarik napas panjang, mencoba meredakan denyut yang mulai terasa di pelipis. Ia melangkah ke area parkir, menuju mobilnya yang terparkir di bawah flamboyan tua. Daun merah oranye berguguran di kap, beberapa menempel di kaca depan seperti bercak darah pudar.

Kantor Penyelidikan Regional – Ruang Rapat

Pintu ruang rapat terbuka keras—hentakan logam engselnya memantul di dinding. Lira masuk dengan langkah cepat, map tebal di tangan. Obrolan kecil dan suara lembaran kertas berhenti seketika.

Keniro duduk di ujung meja memanjang, jas kerjanya terbuka, tatapannya terangkat dari berkas yang sedang ia baca. Campuran rasa ingin tahu dan kewaspadaan terlihat jelas di matanya.

“Aku ingin semua mendengarkan ini.” Suara Lira tegas, nyaris tanpa jeda.

Ia menurunkan map ke meja, lalu menyalakan proyektor di ujung ruangan. Suara mesin proyektor berdengung pelan, lampu sorotnya memantulkan foto buram dari CCTV: seorang pria berjas hitam, kemeja hitam tanpa dasi, berdiri di jembatan penyeberangan. Di depannya—seorang remaja berseragam SMA, memegang pagar jembatan.

“Namanya… belum jelas,” ujar Lira. “Tak ada data. Pusat data kependudukan nihil. Bahkan pemindaian wajah di database interpol—kosong. Tapi aku menemukannya di lokasi kejadian tadi malam.”

Keniro menyandarkan punggung ke kursinya, kedua tangannya terlipat di dada. “Dan?”

“Remaja itu, Damian, siswa SMA 5, ditemukan hampir melompat dari pagar jembatan. Dia selamat. Tapi yang aneh…” Lira memutar kursinya sedikit, menatap seluruh ruangan. “Damian tidak mengingat apa pun. Satu-satunya yang dia ingat—aku menariknya jatuh dari pagar. Tidak ada ingatan tentang pria ini, padahal dia jelas berdiri di belakangnya.”

Seorang anggota tim, Rafi, memiringkan kepala, alisnya bertaut. “Kau yakin dia melihatnya?”

“Yakin. CCTV menangkap mereka berdiri di jarak setengah meter.”

Gumaman kecil terdengar di antara anggota tim. Beberapa mulai menunduk, mencatat di buku mereka, yang lain saling bertukar pandang tak percaya.

Keniro mengetuk ujung jarinya di meja, sekali, dua kali. “Jadi, apa yang kau pikirkan?”

“Entah ini hipnosis, manipulasi pikiran, atau sesuatu yang lebih… rumit.” Lira menekankan kata terakhir itu. “Tapi pria ini harus kita cari. Aku yakin dia terhubung dengan fenomena hilangnya bayangan para korban.”

Seorang anggota tim perempuan, Ayu, mengangkat alis. “Kita masih bekerja dengan asumsi pelaku manusia… kan?”

Lira terdiam sebentar, lalu menatap lurus ke layar. “Sejauh ini, iya. Tapi kalau dia… bukan manusia?”

Keheningan turun, hanya suara dengung proyektor yang terdengar.

Keniro memutusnya dengan ketukan keras di meja. “Oke. Foto ini masuk ke daftar pengawasan internal. Tidak ada yang bocor ke media. Kita pantau setiap kemunculannya. Dan satu lagi…” tatapannya mengunci pada Lira, “…jangan hadapi dia sendirian lagi.”

Lira tidak menjawab. Hanya jemarinya yang mengetuk pelan map di pangkuannya—irama tak sadar dari pikiran yang tak tenang.

2

Ratusan tahun lalu, pada malam panjang tanpa bulan, Lelepah datang ke Lematang. Satu demi satu warga desa ditemukan membujur kaku di jalan, di ladang, bahkan di ambang pintu rumah mereka. Tak ada teriakan, tak ada jejak perlawanan—hanya keheningan. Semua tanpa bayangan.

Hanya seorang gadis kecil yang selamat. Ia berlari menuju laut sebelum Lelepah menyentuhnya, dan hanyut entah ke mana. Sebelum hilang, ia meninggalkan satu pesan yang selalu dibisikkan turun-temurun:

> “Lelepah akan kembali… saat bayangan mulai bergerak tanpa tubuhnya.”

Sejak hari itu, pulau Lematang ditinggalkan. Namanya dihapus dari peta, rumah-rumahnya membusuk dimakan waktu. Tapi di antara tetua desa-desa pesisir, kisah Lelepah masih bergaung—bukan untuk menakut-nakuti anak-anak… melainkan untuk memperingatkan mereka yang berani menatap bayangannya terlalu lama.

 

Kai menutup buku bersampul kulit itu perlahan, debu tipis beterbangan dari tepinya. Sampulnya hitam, huruf-huruf emas di judulnya sudah pudar, tapi aroma kertas tua menguar kuat—campuran lembab dan garam laut, seolah buku itu sendiri pernah menginap di Pulau Lematang.

Ia membiarkan jemarinya mengusap permukaan sampul, lalu meletakkannya di meja kerja kecil di sudut apartemennya. Di layar laptop yang menyala redup, sederet berita terbaru terbuka: “Bunuh Diri Beruntun di Kota Pelabuhan”, “Korban Ditemukan Tanpa Bayangan”, “Polisi Masih Bungkam Soal Penyebab Kematian”.

Kai menggeser kursor, memperbesar salah satu foto TKP yang diunggah media. Seorang pria muda tergeletak di tengah jalan, mata menatap kosong langit yang kelabu. Tak ada bayangan di bawah tubuhnya, bahkan tiang listrik di sebelahnya memancarkan bayangan normal ke arah yang seharusnya… kecuali tubuh itu.

Jantung Kai berdetak sedikit lebih cepat. Ia meraih selembar foto tua dari tumpukan—gambar korban pembantaian di desa tepi laut puluhan tahun lalu. Posisinya, warna langitnya, bahkan tatapan kosong korban… nyaris identik.

“Lelepah…” gumamnya pelan, seolah memanggil nama yang seharusnya tetap terkubur di antara halaman-halaman usang.

Ia menutup laptop, menyelipkan foto-foto ke dalam map, dan meraih kamera yang tergantung di kursi. Besok ia harus menemui seseorang—satu-satunya orang yang mungkin bisa membuktikan ini bukan sekadar cerita rakyat. Lira.

Udara malam menggigit kulit. Lampu jalan memercikkan cahaya kuning pucat di trotoar yang masih basah sisa hujan. Beberapa mobil melintas di kejauhan, suara mesinnya bergema samar di antara deretan bangunan.

Lira mendorong pintu kaca kantor penyelidikan, langkahnya mantap tapi lelah. Jas kerjanya terlepas dari satu bahu, dan rambutnya sedikit berantakan setelah seharian penuh di lapangan. Ia baru saja ingin menekan tombol remote mobil ketika sebuah suara memanggilnya dari arah gerbang.

“Detektif Lira.”

Ia menoleh. Di bawah cahaya lampu jalan yang setengah redup, Kai berdiri bersandar pada tiang besi, kamera tergantung di lehernya. Tatapannya yang dulu pernah ia kenal baik—campuran rasa ingin tahu dan sedikit nakal—terlihat jelas meski separuh wajahnya tertutup bayangan.

Lira menarik napas, sudut bibirnya menegang. “Kalau soal wawancara, Kai, aku sedang tidak ada waktu.”

Kai melangkah keluar dari bayangan, senyum tipisnya muncul. “Kamu selalu bilang begitu kalau ingin menghindar dariku.” Nada suaranya ringan, tapi matanya fokus, penuh hitungan. “Aku dengar… kasus bunuh diri beruntun itu tak sepenuhnya murni bunuh diri, kan?”

Lira menatapnya datar. “Kami masih menyelidiki. Tolong jangan bikin berita fiksi.”

“Bayangan korban hilang, bukan?” ucap Kai, kali ini lebih pelan, seolah berbagi rahasia. “Bahkan benda mati pun punya bayangan… bagaimana manusia tidak?”

Lira merasakan tarikan di dadanya—campuran antara rasa kesal dan penasaran. “Aku tidak tahu dari mana kamu dapat informasi itu.”

Kai mendekat setengah langkah. Bau kopi dingin dan parfum kayu yang dulu akrab menusuk hidungnya. “Apa kamu pernah dengar nama… Lelepah?”

Lira menyipitkan mata. “Lelepah?”

Kai melirik mobil lira tangannya dimasukkan ke saku jaket. “Kita bicara di dalam mobil,” katanya, suara rendah namun tegas.

Dengan helaan nafas lira berjalan lebih dulu ke arah mobilnya. Kai mengikuti di belakang dan ikut masuk kedalam mobil. Kemudian Lira menoleh meminta penjelasan pada Kai.

Kai menarik napas. “Lelepah adalah makhluk dalam cerita rakyat tua. Pemakan bayangan. Mereka menelan sisa hidup manusia lewat bayangannya… lalu meninggalkan tubuh kosong. Aku sudah mencari tahu beberapa bulan terakhir. Dan kasusmu sekarang—” ia menatap Lira lurus-lurus, “punya pola yang sama.”

Lira mendecak pelan, memalingkan wajah ke jendela. “Omong kosong apa ini? Kau jurnalis atau penulis novel horor?”

Tidak tersinggung, Kai justru merogoh tas selempangnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto kusam, tepiannya sobek, warnanya menguning. “Kau tahu Pulau Lematang? Pulau terpencil di timur, bahkan jarang muncul di peta. Dulu pernah ada kematian massal di sana. Semua korban ditemukan tanpa bayangan, bahkan batu nisan mereka pun tak berbayang di bawah matahari. Warga menyebut pelakunya Lelepah.”

Lira menerima foto-foto itu dengan gerakan enggan. Matanya menelusuri gambar: tubuh-tubuh terbujur kaku di tanah terbuka, wajah pucat, mata kosong menatap langit. Di bawah sinar matahari, tanah di sekitar mereka tak menunjukkan bayangan sedikit pun—seolah mereka melayang, atau dunia di bawah mereka terpotong.

Jari Lira menegang di tepi foto. Kilasan kejadian semalam menyeruak di kepalanya—di jembatan, sosok pria berjas hitam itu berjalan pergi, dan bayangannya… bergerak seperti cairan, merayap berlawanan arah dari tubuhnya.

Ia mengembalikan foto itu tanpa banyak bicara, mencoba menutup rapat ekspresi wajahnya. “Aku tidak bisa menangkap pelaku hanya dengan dongeng.”

Kai tersenyum tipis, seolah sudah tahu itu akan menjadi jawabannya. “Tentu saja kau tak akan langsung percaya. Tapi kalau kau penasaran…” Ia menyalakan lampu dalam mobil sebentar, membuat matanya terlihat jelas—serius, tanpa gurauan. “Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke sana. Aku tunggu di pelabuhan sampai jam enam pagi.”

Lira menatapnya lama. Ada banyak alasan untuk mengabaikan tawaran itu—prosedur, logika, harga dirinya sebagai penyelidik. Tapi bayangan yang bergerak salah itu kembali mengusik pikirannya, seperti bisikan yang tak mau diam.

Ia mengalihkan pandangan, “Jangan berharap terlalu banyak.”

Namun Kai tahu, nada suaranya bukan penolakan. Kai membuka pintu mobil dan meninggalkan Lira.

 

Menjelang subuh, langit masih setengah pekat dengan semburat biru pucat di ujung timur. Udara dingin menusuk kulit, membawa aroma asin laut yang samar. Kai berdiri di depan cermin kecil di penginapan murah, menyampirkan tas kamera di pundak kiri dan mengangkat ransel hitamnya ke punggung.

Ia memastikan kamera tergantung aman, lalu meraih jaketnya. Setelah menarik napas panjang, ia memesan ojek online lewat ponselnya.

Motor yang menjemputnya melaju membelah jalanan kota yang masih lengang, lampu-lampu jalan bergoyang tertiup angin dini hari. Deru mesin motor bercampur suara ombak dari kejauhan. Saat sampai di pelabuhan, waktu menunjukkan pukul 05.55.

Kai melangkah ke dermaga, papan kayu tua di bawah kakinya berderit setiap kali ia menapak. Ia berhenti di sisi sebuah kapal kayu berwarna biru kusam yang siap berlayar. Tali-tali tambatannya terikat longgar, berkibar pelan oleh ombak kecil.

Ia menunggu sambil menatap air laut yang berkilau redup, sesekali menoleh ke arah pintu gerbang pelabuhan.

Jarum jamnya menunjuk tepat pukul 06.00 ketika suara serak seorang nelayan memecah kesunyian.

“Mas, jadi ikut nggak?” tanya pria paruh baya itu, kulitnya legam, rambutnya sudah dipenuhi uban, sarungnya terikat di pinggang.

Kai mengangkat tangan. “Sebentar, Pak. Beri saya waktu lima menit.”

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari ujung dermaga. Dari balik kabut tipis dan cahaya pagi yang redup, Lira muncul. Jaket kulit hitamnya tertutup rapat, kedua tangan terselip di saku, ransel hitam tergantung di punggungnya. Wajahnya dingin, matanya hanya menatap lurus ke arah kapal.

Kai tersenyum tipis. “Akhirnya. Satu tahun bersama cukup membuatku mengenalmu.”

“Tutup mulutmu,” ucap Lira singkat, tanpa melambatkan langkah.

Ia langsung menaiki papan sempit menuju kapal, tubuhnya bergerak luwes seolah sudah terbiasa dengan dermaga licin. Kai mengikuti dari belakang, menyadari aroma parfum Lira yang samar tertiup angin laut.

Begitu kaki mereka menapak di geladak, nelayan tadi mulai melepas tali tambatan. Mesin kapal tua itu menggeram pelan, menghasilkan getaran halus di papan geladak.

Kai duduk di bangku panjang dekat sisi kapal, sementara Lira memilih berdiri di dekat pagar, matanya menatap ke laut yang mulai membelah kabut.

 

Langit siang itu cerah, biru muda dengan semburat keemasan di tepiannya. Laut berkilau memantulkan cahaya matahari, dan dari jauh Pulau Lematang terlihat seperti surga tropis—garis pantainya memanjang dengan pasir putih, pepohonan kelapa bergoyang perlahan, dan beberapa atap rumah kayu mencuat di antara rimbunnya dedaunan.

Lira berdiri di sisi kapal, memandang siluet pulau yang semakin jelas. Semuanya tampak… normal. Bahkan, samar-samar ia mendengar tawa anak-anak bercampur bunyi ayam berkokok yang terbawa angin.

Namun semakin dekat, sesuatu berubah. Langit yang tadi cerah perlahan meredup, seperti warna-warnanya tersedot keluar. Ombak mengecil, tapi bukan karena angin mereda—lebih seperti laut itu sendiri sedang menahan napas.

Udara di sekitarnya mulai berat, dingin merayap pelan di kulit, lalu menyusup ke tulang. Lira menyipitkan mata. Dari jarak ini, ia bisa melihat bayangan pepohonan di tepi hutan… bergeser pelan, meski batangnya sama sekali tidak bergerak.

Kai, yang berdiri tak jauh sambil mengangkat kamera, memperhatikan raut wajah Lira. Ia menurunkan kameranya lalu berbisik pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi mesin kapal.

“Jangan bilang kalau kamu polisi. Kita cuma fotografer, tak lebih. Jangan menarik perhatian… penduduk di sini masih banyak yang primitif.”

Lira menoleh sekilas, tatapannya singkat namun penuh arti. Ia mengangguk pelan.

“Ayo,” ucap Kai, matanya tak lepas dari dermaga kayu yang mulai tampak di depan.

Kapal perlahan merapat, dan bau asin bercampur aroma tanah basah menyambut mereka. Dari jauh, beberapa sosok berdiri di tepi dermaga—tak bergerak, hanya menatap. Mata mereka gelap, seperti tak memantulkan cahaya.

Begitu kaki Lira menjejak papan dermaga, ia merasa seolah tatapan-tatapan itu menembus kulitnya, mencari sesuatu yang tersembunyi. Angin laut berhembus, namun anehnya, suara ombak terdengar jauh… terlalu jauh.

Kai mengangkat kameranya, pura-pura memotret pemandangan. “Ingat,” bisiknya, “senyum saja… meski mereka tidak.”

Di ujung dermaga, seorang pria tua dengan wajah keriput menunggu. Tangannya menggenggam tongkat kayu, dan di lehernya tergantung kalung dari gigi-gigi hewan. Senyumnya tipis, tapi matanya… sama seperti yang lain, hitam dan dalam.

Misteri pulau ini baru saja mulai membuka pintu, dan mereka berdua sudah berdiri di ambangnya.

3

Ratusan tahun lalu…

Desa Lematang malam itu porak-poranda. Jeritan bercampur suara gonggongan anjing dan bunyi bambu terbakar. Bayangan-bayangan manusia melarikan diri ke segala arah, namun satu demi satu bayangan itu lenyap, terserap oleh asap hitam yang menjelma menjadi sosok tinggi.

Asap pekat berputar, lalu wujudnya semakin jelas: seorang pria muda dengan wajah tampan, namun tatapannya tajam bagai jurang tanpa dasar. Dialah Lelepah—makhluk yang pernah dibakar hidup-hidup oleh penduduk desa, kini kembali dengan dendam yang membara.

“Akhirnya…” suaranya berat, penuh gema. “Akhirnya aku bisa membalas semua ini. Kalian yang pernah mengikatku, kalian yang menyalakan api untuk melahapku.”

Tubuh-tubuh bergelimpangan, bayangan hilang, desa mulai sunyi. Tapi dari antara kobaran api, seorang gadis kecil berlari tunggang-langgang menuju pantai. Rambutnya berantakan, matanya sembab, namun langkahnya tak berhenti.

Lelepah tidak langsung mengejarnya. Ia hanya berjalan pelan, tenang, mengikuti jejak kaki mungil yang terburu-buru itu. Kabutnya merayap di sepanjang jalan, tapi sesuatu yang aneh membuatnya berhenti sejenak.

“Hm?” ia bergumam. “Kenapa… bayanganku tak bisa menyentuhnya?”

Ia menyipitkan mata, menatap gadis itu lekat-lekat. Ada cahaya samar yang mengelilinginya, seakan kabut hitam yang biasa melahap manusia enggan mendekat.

Gadis itu terus berlari, hingga akhirnya langkah kecilnya menjejak pasir pantai. Ia tidak berhenti. Dengan tangisan lirih, ia masuk ke laut, berjalan semakin jauh.

Lelepah berdiri di bibir pantai, hanya memperhatikan. Ombak menyambut gadis itu dengan buas. Ketika tubuh mungil itu mulai tenggelam, Lelepah menggerakkan tangannya. Kabut hitam memadat, berubah menjadi potongan kayu lapuk yang terdorong tepat ke arah gadis itu. Gadis itu meraihnya dengan sisa tenaga, lalu tubuhnya lemas, pingsan, mengambang bersama kayu itu.

Lelepah melangkah maju. Bayangan hitam menjulur dari kakinya, mengangkat tubuh kecil itu tanpa menyentuh air laut. Seolah ia sedang mengangkat sesuatu yang amat rapuh, ia membawanya ke tepi pantai.

Beberapa saat kemudian, gadis itu tersadar. Nafasnya tersengal, matanya terbuka perlahan. Dan yang pertama kali dilihatnya adalah sosok pria asing yang duduk di depannya, kabut hitam berputar pelan di sekeliling tubuhnya.

Gadis itu tersentak. Matanya melebar ketakutan. Ia bergeser mundur, punggungnya menabrak karang. Tubuh mungilnya gemetar, air mata jatuh bercucuran. Lelepah mendekat selangkah. Kabutnya berputar di sekitar gadis kecil itu, tapi tak satu pun berani menyentuh kulitnya.

Ia mengulurkan tangan, jemarinya dingin, mengangkat dagu mungil itu agar menatap langsung ke matanya. “Kau berbeda dari yang lain… Kau satu-satunya cahaya yang bisa menembus kabutku.”

Tangisan gadis itu melemah. Ia tidak mengerti, tapi tubuhnya terkunci oleh tatapan makhluk itu. “Mulai malam ini… aku akan menjagamu. Menyimpanmu.”

“Dan ketika kau dewasa nanti…” ia berhenti sejenak, suaranya semakin rendah, hampir seperti bisikan.

“Kau akan menjadi pengantinku.”

Lalu, sebelum gadis itu sempat menjerit, kabut hitam menutup mereka berdua. Ombak pecah menghantam karang, menelan semua saksi.

Sejak malam itu, nama gadis kecil bernama Arum hilang dari desa Lematang. Semua orang mengira ia tewas ditelan laut, padahal sesungguhnya… ia hidup di bawah takdir kelam yang baru.

Masa Kini

Seorang pria tua berdiri di ujung dermaga kayu, tubuhnya sedikit membungkuk, wajahnya penuh keriput yang mengingatkan pada peta tua yang retak di banyak tempat. Tangannya menggenggam erat tongkat kayu yang ujungnya tampak aus, sementara di lehernya tergantung kalung dari gigi-gigi hewan yang sudah menguning. Senyumnya tipis, nyaris tidak terlihat, tetapi matanya… hitam legam, dalam, tanpa pantulan cahaya.

Begitu Lira dan Kai melangkah turun dari perahu, pria itu membuka mulut. Suaranya parau, berat, dengan logat khas yang membuat tiap kata terdengar seperti berasal dari masa lalu.

“Selamat datang… di Pulau Lematang.”

Kai membalas dengan senyum ramah, sementara Lira hanya mengangguk, bibirnya membentuk senyum sopan yang tidak sampai ke mata.

“Perkenalkan… saya Merta.” Ia mengetukkan tongkatnya sekali ke papan dermaga—bunyi kayu beradu dengan kayu bergema singkat, seperti tanda pembuka sebuah upacara. “Kalian… pasti datang dari kota”

Kai mengangguk pelan. “Ya, kami fotografer dan tertarik memotret tempat-tempat indah disini. Saya Kaisar dan ini teman saya Lira” ucapnya sopan.

Tatapan Pak Merta melekat pada mereka lebih lama dari yang nyaman. Lira mulai merasa ada sesuatu yang menekan dadanya, seperti udara di sekitarnya mendadak lebih padat. Angin laut kembali berhembus, membawa aroma asin… bercampur samar bau besi, tajam dan dingin, seperti darah yang sudah lama kering.

“Saya harap…” Merta berbicara pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum yang terlalu kaku untuk disebut ramah. “…kalian tidak memotret sesuatu yang seharusnya tak dilihat.”

Lira menelan ludah, matanya menyipit, tapi Kai malah tertawa kecil, mencoba mengubah suasana. “Kami hanya akan mengambil gambar pemandangan.”

Pria tua itu tak menjawab, hanya memutar tubuhnya perlahan dan mulai berjalan, langkahnya diiringi bunyi gesekan ujung tongkat pada papan dermaga. “Ayo… aku akan menunjukkan jalan. Malam di Lematang… datang lebih cepat dari tempat lain.”

Saat kaki Lira menjejak tanah pulau itu untuk pertama kalinya, hawa panas lembap langsung membungkusnya, namun entah bagaimana ada pula dingin yang merayap dari telapak kaki hingga punggung. Dari dalam hutan yang rimbun, samar-samar terdengar sesuatu yang bergerak—ritmenya tak seperti langkah manusia, tapi lebih seperti gesekan… daging dan tanah.

“Di sini, malam terasa lebih panjang,” ujar Pak Merta sambil mengetuk tongkatnya ke tanah. Suaranya tenang, tapi serak, seperti daun kering yang diremas. “Pepohonan besar dan tebing tinggi menutupi sinar matahari. Bahkan saat siang pun… ada tempat yang tetap gelap.”

Kai menoleh sekilas, memasang senyum basa-basi. “Kalau penginapan di sini di mana, Pak?”

“Banyak,” jawab Merta, matanya tetap ke depan. “Pulau ini sudah jadi tujuan wisata. Tapi… kebiasaan warga lama masih melekat. Banyak yang masih hidup seperti zaman nenek moyang—primitif. Dan… tidak semua ramah pada pendatang.”

Lira, yang sejak tadi memperhatikan cara bicara Merta, bertanya hati-hati. “Maaf, Pak Merta ini lurah atau… RT di sini?”

Merta berhenti. Kali ini ia menoleh, menatap Lira agak lama, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak terlihat. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya menusuk, membuat Lira tanpa sadar menahan napas. “Aku sesepuh di sini. Orang yang bertanggung jawab menjaga adat, cerita lama, dan… batas-batas yang tak boleh dilewati.”

“Batas-batas?” Lira mengulang, keningnya berkerut.

Tatapan Merta tak lepas darinya, seakan mencari sesuatu jauh di balik matanya. “Nanti kau akan mengerti. Di sini, tidak semua jalan boleh dilalui… dan tidak semua tempat boleh dipotret. Kalau seseorang melanggar...” ia menahan kalimatnya, suaranya turun lebih dalam. 2kadang, pulang bukan lagi pilihan.”

Kai tertawa kecil, tapi tawanya terdengar kaku. “Tentu, kami akan ikuti aturan,” ucapnya buru-buru. Namun Lira masih merasakan sisa tatapan Pak Merta yang seolah menempel padanya—tatapan orang yang bukan sekadar memperingatkan, melainkan… mengenali.

Mereka kembali melangkah, menyusuri jalan setapak berbatu yang diapit rumah-rumah kayu beratap rumbia. Bau asap kayu terbakar tipis tercium di udara, bercampur aroma lembap tanah dan dedaunan. Dari balik celah jendela, Lira merasa tatapan mengikuti setiap langkahnya—mata hitam, bulat, tidak berkedip, seperti sedang mengukur-ukur mereka.

Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan kayu dua lantai, sedikit lebih besar dari rumah-rumah lain. Dindingnya berwarna cokelat tua, catnya mengelupas di beberapa bagian. Pak Merta mengangkat tongkatnya, menunjuk ke arah bangunan itu. “Itu penginapan kalian. Pemiliknya akan menjaga kalian… sepanjang malam.”

Ada penekanan halus di kata sepanjang malam yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Lira menatap Kai, dan Kai menatap balik—keduanya tak perlu bicara untuk saling tahu bahwa perasaan mereka sama: sesuatu di tempat ini… tidak normal.

“Ada larangan yang tak boleh kalian langgar di sini,” kata Pak Merta tiba-tiba, suaranya lebih pelan, seperti tidak ingin didengar orang lain. “Jangan menatap terlalu lama pada sesuatu yang terasa… tidak wajar.”

Lira mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Bisa berupa bayangan, suara, cahaya, bahkan wajah yang kalian kenal,” jelas Merta, matanya menajam. “Semua itu bisa menjerat. Ingatlah—apa yang terlihat nyata, belum tentu milik dunia ini.”

Ia menatap mereka bergantian, lalu menambahkan, “Dan jangan masuk hutan terlalu dalam. Ada pembatas—tali, batu, atau tanda lain. Jangan pernah diterobos. Itu bukan sekadar batas wilayah, tapi batas dunia. Kalau kalian melewatinya… aku tidak bisa menjamin kalian bisa kembali.”

Kai tersenyum ramah, mencoba meredakan ketegangan. “Baik, Pak. Terima kasih arahannya. Kalau ada yang kami bingungkan, kami akan bertanya.”

Pak Merta hanya menatap mereka lama, tatapannya seperti menembus kulit dan daging. Lalu ia berbalik, tongkat kayunya menghentak tanah dalam irama lambat—tok… tok… tok. Suara itu terdengar aneh di telinga Lira, seperti gema di lorong sempit, padahal mereka berdiri di ruang terbuka.

Ketika mereka tiba di depan sebuah bangunan kayu dua lantai, seorang perempuan paruh baya sudah berdiri di pintu. Kebayanya lusuh, warnanya pudar, dan di tangannya ada kunci tua berwarna keperakan. Matanya mengamati mereka tanpa ekspresi, tapi tatapan itu seolah mengatakan dia sudah tahu siapa yang akan datang malam ini.

“Kalian tamu yang dikirim Pak Merta?” tanyanya, suaranya datar tanpa senyum. “Masuklah… sebelum matahari benar-benar tenggelam.”

Lira secara refleks menoleh ke langit. Matahari memang sudah separuh hilang di balik puncak pepohonan, dan bayangannya merayap cepat menelan jalan setapak—terlalu cepat untuk ukuran senja biasa.

Malam di Lematang jatuh seperti tirai tebal—tanpa transisi, tanpa jeda. Satu menit langit masih berwarna jingga redup, menit berikutnya, kegelapan sudah menelan segalanya.

Di dalam penginapan, bau minyak tanah memenuhi udara. Lampu minyak bergoyang pelan di gantungannya, cahayanya bergerak liar di dinding kayu yang tua. Lira duduk di tepi ranjang, menatap layar kamera Kai—foto-foto pohon kelapa, perahu nelayan, dan wajah penduduk pulau siang tadi.

Tiba-tiba—

Tok… tok… tok…!

Suara kentongan memecah keheningan. Bukan pola biasa. Ritmenya tak beraturan, cepat, seperti orang yang memukul karena panik. Lira mendongak. Kai sudah berdiri di dekat jendela, menyingkap tirai bambu. “Itu…” Kai menoleh ke arahnya. “Pasti ada yang darurat.”

Tanpa banyak bicara, Lira mengunci kembali tas kameranya, meraih jaket, lalu membuka laci kecil di meja. Sebuah pistol kecil ia keluarkan dan masukkan ke pinggang, tersembunyi di balik kaosnya.

Saat ia keluar, Kai sudah lebih dulu menuruni tangga kayu penginapan. Udara malam langsung menyergap, lembap dan dingin, bercampur bau garam laut.

Di luar, jalanan tanah yang tadi sepi kini penuh orang. Warga berlari kecil, sebagian membawa obor, sebagian membawa senter besar. Nyala api memantul di wajah mereka yang tegang. Bayangan bergerak liar di dinding rumah-rumah kayu.

Kai mendekat ke seorang bapak yang lewat, napasnya masih terengah.

“Ada apa ini, Pak?” tanya Kai.

“Anak Pak Samin hilang!” jawabnya cepat, lalu melanjutkan lari.

Tak lama, Pak Merta muncul dari arah jalan utama. Langkahnya terukur, tapi sorot matanya tajam. Ia berhenti di tengah kerumunan, menancapkan tongkat kayunya di tanah. “Semuanya dengar!” suaranya berat dan tegas. “Kita berpencar, tapi tidak ada yang berjalan sendirian. Minimal dua orang. Cari di hutan dan sekitar pantai! Waktu kita tidak banyak.”

“Nggeh!” jawab para warga hampir bersamaan. Suara itu seperti gema, menembus pekatnya malam. Kai melirik ke Lira, memberi isyarat dengan dagu.

“Ke hutan?” bisiknya. Lira mengangguk singkat.

Mereka mengikuti kelompok yang menuju gerbang jalur hutan. Lira berjalan di tengah barisan, memperhatikan sekeliling. Lampu obor menyorot batang-batang pohon yang tinggi, membentuk lorong gelap. Bau tanah basah menusuk hidung, bercampur suara serangga malam yang tak berirama.

Di depan, salah satu warga berteriak memanggil nama anak itu. Suaranya pecah, penuh rasa cemas. Setiap kali angin bertiup, obor bergetar, membuat bayangan pepohonan di tanah tampak bergerak… seperti sesuatu yang sedang mengikuti mereka.

Kai sesekali menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang terpisah dari rombongan. Sementara Lira merasakan sensasi aneh di kakinya—seperti tanah yang sedikit bergetar. Ia tidak yakin itu karena langkah mereka… atau sesuatu yang lain.

Langkah-langkah mereka makin dalam memasuki hutan. Udara di sini lebih dingin, lembap, dan menekan. Obor-obor warga menciptakan lingkaran cahaya yang berkelip-kelip di tengah kegelapan.

Lira berjalan di belakang, matanya terus menyapu area di antara batang-batang pohon. Suara serangga mendominasi, bercampur desir angin di daun kelapa hutan yang tinggi. Lalu—sebuah suara lirih memecah keheningan.

Tangis anak kecil. Pelan, namun jelas… seperti hanya berjarak beberapa meter dari telinganya. Tangis itu tersendat-sendat, terdengar ketakutan. Lira berhenti sejenak, menoleh ke kiri-kanan. “Kalian dengar itu?” tanyanya pada warga di depannya. Seorang bapak menoleh bingung. “Dengar apa, Mbak?”

“Anak kecil… nangis,” jawab Lira, napasnya sedikit terhenti.

Bapak itu menggeleng cepat. “Saya nggak dengar apa-apa.” Lalu ia kembali berjalan, mengikuti rombongan.

Tangis itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Seperti dari balik semak di sisi kiri jalur. Lira menelan ludah, lalu melangkah pelan ke arah sumber suara.

“Kai,” panggilnya lirih.

Namun Kai yang berada agak jauh di depan tak menoleh. Obor-obor mereka sudah bergerak menjauh, hingga cahaya di sekitar Lira mulai meredup.

Langkahnya semakin dalam ke sisi hutan. Bau tanah bercampur aroma anyir samar tercium. Pohon-pohon di sini lebih rapat, menutup cahaya langit sepenuhnya. Tangis itu terus memanggil… seakan sengaja menuntunnya.

Di balik rimbun daun pisang liar, ia melihatnya—sosok kecil duduk membelakangi, bahunya berguncang-guncang. “Dek…” suara Lira hampir berbisik. “Kamu anaknya Pak Samin, ya?” Sosok itu berhenti menangis. Diam. Lira melangkah sedikit lebih dekat.

Perlahan… bahu kecil itu berputar. Tapi yang menoleh bukanlah wajah anak kecil. Itu wajah pucat keabu-abuan, dengan mata besar menonjol, bibir lebar tersenyum menyingkap gigi-gigi tajam. Rambut kusut panjang menutupi sebagian wajah, dan dari sela rambut itu keluar suara perempuan serak:

“Kau datang sendirian…”

Dalam sekejap, sosok itu berdiri—tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia biasa—dan lengan kurusnya terjulur cepat ke arah Lira. Lira terhuyung mundur, tangannya refleks meraih pistol di pinggang, tapi kaki kirinya terperangkap akar pohon, membuatnya jatuh. Nafasnya memburu, sementara bayangan besar itu menutup cahaya obor terakhir yang masih terlihat di kejauhan.

Lira mengangkat pistolnya, jari telunjuknya siap di pelatuk.

DOR!

Peluru pertama menembus udara, mengenai bahu sosok itu—namun tidak ada darah, hanya percikan hitam pekat yang langsung menguap.

Makhluk itu tertawa, suara cekikikan panjang menggema di antara batang pohon. “Senjata manusia… tidak berarti di sini,” bisiknya.

Lira mundur, menembak lagi. DOR! DOR!

Sosok itu menghilang di depan matanya, lalu tiba-tiba muncul di belakang, kuku-kuku panjangnya nyaris menggores leher Lira. Refleks, Lira membalik dan menghantamkan gagang pistol ke wajahnya. Sosok itu terhuyung, namun hanya sepersekian detik sebelum ia kembali maju.

“Pergi kau!” teriak Lira, menendang perutnya sekuat tenaga. Tendangannya membuat makhluk itu terdorong mundur, tapi ia hanya tertawa lagi—lebih keras, lebih menusuk.

Tiba-tiba, tangan dingin dan kasar mencengkeram leher Lira.

Seketika napasnya tersendat. Jari-jari panjang itu mencengkeram makin kuat, mengangkatnya sedikit dari tanah. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Suara hutan meredam, hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.

Lira mencoba meraih belati di boot-nya, tapi genggaman itu terlalu kuat. Makhluk itu mendekatkan wajahnya—mata besar itu berputar liar, bibirnya menyeringai. “Kau akan ikut denganku…”

Suara itu merayap ke kepalanya, membuat tubuhnya kaku. Tenggorokannya perih, napasnya nyaris putus. Namun dengan sisa tenaga, Lira berhasil menyentuh gagang belati—ujung jari-jarinya gemetar, hampir berhasil menariknya keluar.

SSSHHHHT!

Angin dingin mendesir tiba-tiba, disertai bunyi gesekan logam tipis membelah udara. Dalam sekejap, sesuatu berkilau melintas di depan mata Lira. Apa itu?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!