NovelToon NovelToon

Perlindungan Anak Mafia

Bab 1 : Pertemuan Setelah Sekian Lama

Welcome… 

...Happy Reading...

.... ...

.... ...

.... ...

“Siapa yang berani membuat susu di rumah ini?!” Jameson sangat marah saat mendapati segelas susu di atas meja kerjanya. 

Tidak lama seorang pria berjas hitam rapi berjalan terburu-buru ke arah sumber suara. Di belakangnya seorang wanita juga berpakaian serba hitam namun masih terlihat feminim. 

Jameson menatap kedua bodyguard nya, Nine dan Ten. Wajahnya merah, tangannya mengepal seakan ingin memukul siapa saja yang ada di dekatnya. 

“Apa maksudnya ini? Ten, tolong jelaskan padaku!” tanya Jameson berusaha mengontrol emosi nya. 

“Maaf, Tuan. Susu ini dibuat oleh Nine, dia sepertinya lupa dengan larangan di rumah ini.” Ten menjelaskannya dengan tenang, tidak ada wajah takut sama sekali. 

Berbeda dengan wanita yang kini bersembunyi di belakang Ten, wajahnya cemas dan gelisah. 

Bibirnya bergetar namun ia paksakan untuk berbicara, “M-mohon maaf, Tuan, dari apa yang aku baca Tuan Jameson sangat menyukai susu. Jadi aku berinisiatif untuk membuatkannya.”

“Benar, Tuan Jameson. Yang tidak bisa minum susu di rumah ini hanya Nyonya Luna.” Ten menambahkannya. 

Degg. 

Nama yang sudah lama tidak ia dengar, hari ini dia mendengarnya. Hatinya seakan tercabik-cabik. Sudah 5 tahun, Jameson memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang yang sangat dia cintai. Demi melindunginya dari para musuh yang ingin membunuh Jameson.

Jameson Navarro adalah seorang anak Mafia yang memiliki berbagai bisnis legal berbanding terbalik dengan Ayahnya. Dan bisnisnya bisa dibilang sukses, akan tetapi pesaingnya ingin sekali menghancurkan bisnis tersebut. Bahkan, mereka tidak segan untuk membunuh Jameson dan keluarganya. 

Langkahnya perlahan memasuki kamar yang pencahayaannya sedikit redup. Jameson menghirup udara di kamar itu, ia mengingat aroma khas dari sana. 

Jameson memandang sekeliling, semua masih sama seperti sebelumnya. Selama ini dia memang tidak mengijinkan siapapun untuk masuk ke kamar itu. 

Kemudian matanya terusik oleh sebuah brankas besi yang berada di atas meja. Jameson meraih brankas itu dan menatapnya sejenak. 

Dia teringat perkataan seseorang, “Di dalam brankas ini ada hal yang sangat penting dalam hidupmu, Jameson.” 

Jameson mencoba menekan beberapa tombol angka di sana, dimulai dari tanggal lahir Luna. Namun, sayangnya brankas itu tidak terbuka. 

Jameson kali ini mencoba dengan tanggal kelahirannya, tapi gagal lagi. Dia mencoba lagi dengan tanggal-tanggal penting dalam hidupnya namun brankas tersebut tetap terkunci. 

Kali ini dia mencoba membukanya dengan sensor suara, tangannya menekan tombol bergambar mic. 

“Aku mencintaimu.” Failed. 

“Noureen De Luna.” Failed. 

“Baby, I love you.” Failed. 

“Anak.” Failed. 

“Agghhh!!!” Jameson mengacak-acak rambutnya frustasi. 

“Sebenarnya apa isi dalam brankas ini sampai kau menguncinya sangat rapat?” gumamnya lirih dan terlihat matanya kini berkaca-kaca. 

Matanya tak sengaja melihat sebuah bingkai foto. Menampilkan seorang wanita berambut panjang memakai dress putih sedang tersenyum lebar. 

Jameson menyentuh foto itu dengan lembut, “Sayang, maafkan aku. Aku hampir saja melupakanmu.” Air matanya tak sanggup lagi dia bendung setelah mendapati wajah yang sangat ia rindukan. 

Tiba-tiba ponselnya berdering, ia menatap ponselnya. Menampilkan nama seseorang yang membuatnya berharap cemas. 

“Halo, Seven! Apa yang terjadi? Mengapa kau menghubungiku?” tanya Jameson dengan suara yang tegas. 

“Tuan, sepertinya Nyonya sudah tidak aman lagi di sini.” 

“Apa maksudmu?”

“Beberapa hari ini, dia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakinya cedera bahkan dia hampir celaka lagi kalau aku tidak di sana.”

“Kau sudah selidiki apa penyebabnya?”

“Kecelakaan-kecelakaan itu disengaja, Tuan. Perusahaan yang menyokong sopir mobil yang menabrak Nyonya dari Kanada. Sudah bisa dipastikan, mereka adalah pesaing Tuan Jameson.”

Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat, “Terus awasi Luna! Jangan sampai dia terluka lagi! Aku akan segera ke sana.”

Jameson segera bangkit dan menyuruh Ten untuk segera menyiapkan pesawat pribadinya. Saat itu juga, Jameson ditemani beberapa bodyguard ikut mengawalnya terbang ke Indonesia. 

Perjalanan dari Kanada ke Indonesia memakan waktu cukup lama, sekitar 24 jam. Dengan menggunakan pesawat jenis Long range jet membuat Jameson memang sedikit merasa aman. Ia tidak mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya takut.

Dalam pesawat, Jameson tidak bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Dia merasa tidak sabar untuk bertemu Luna. 

Jameson teringat sesuatu, “Ten, kamu sudah hubungi pihak Panti Asuhan bahwa kita akan menjemput Luna?”

“Sudah, Tuan. Pihak Panti Asuhan sangat senang mendengar Tuan Jameson ingin menjemput Nyonya.” 

“Syukurlah, jangan lupa nanti berikan dia 3 triliun atau jika dia menolak, bilang saja untuk donasi Panti Asuhan!”

“Baik, Tuan.”

Pesawat itu berhasil mendarat di Bandara Ibukota. Jameson tidak langsung menuju ke tempat yang ia tuju, akan tetapi dia menuju ke salah satu hotel bintang 5. Setelah melakukan perjalanan yang menghabiskan waktu hanya dengan duduk saja, memang membuat tubuhnya sangat tegang. Patut dia kini membutuhkan tempat istirahat yang nyaman. 

Meskipun tubuhnya telah mendarat di kasur, namun pikirannya terus melayang jauh ke wajah yang sangat ia rindukan. 

Dalam lamunannya, Jameson sempat bertanya-tanya. Apa yang selama ini dia lakukan? Apakah dia benar-benar tidak mengingatnya walaupun cuma secuil memori? Atau malah dia telah memiliki kekasih baru? 

Mungkin selama ini adalah kesalahan Jameson, karena tidak mencari tahu semua tentang Luna setelah ia mengirimkannya ke Panti Asuhan Mimpi. 

Karena matanya tidak bisa diajak kerjasama, Jameson akhirnya bangkit dari tempat tidur. Ia keluar dari kamar hotel, tepat di depan pintu telah berdiri beberapa bodyguard salah satunya adalah Ten. 

Pria itu terlihat lembut dengan rambut gaya undercut rapi. Aura maskulinnya terpancar kuat. Dia juga salah satu bodyguard Jameson yang memiliki banyak penggemar di dalam rumah Tuannya. 

“Tuan—” 

“Ten, tolong antar ke Restoran milikku! Aku butuh makan!” Jameson telah memotong ucapan Ten lebih dulu. Dan sebenarnya, ungkapan butuh makan hanyalah alasan Jameson agar bisa bertemu dengan Luna. 

Lima tahun sudah waktu yang dia habiskan tanpa Luna. Entah berapa kali, Jameson akan terbang ke Indonesia demi memperbaiki hubungannya kembali.

 Namun, dia terus teringat ancaman dari pesaing bisnisnya yang misterius. Mereka mengancam akan terus mencelakai Luna jika dia masih disamping Jameson. 

“Tuan, Jameson, anda tidak turun untuk melihatnya?” tanya Ten yang sejak tadi melihat Tuannya masih terus memperhatikan satu persatu sudut Restoran dari dalam mobil. 

Jameson terdiam, matanya terus mencari seseorang. Tak lama, seorang wanita berambut panjang keluar dari Restoran membawa kresek hitam. Dengan jalan pincang, ia membuang kresek itu ke dalam tong sampah di samping Restoran. 

Jameson masih belum menyadari, hingga matanya mendapati wanita itu yang sedang membenarkan celemek coklatnya. Dia juga terlihat kesakitan sambil memegang kaki kanannya. 

Sorot matanya mulai basah, ia tak kuasa melihatnya. Namun, tangan kekarnya menghapus air mata yang hampir menetes di pelupuk mata. 

Jameson akhirnya keluar dari mobil, tubuhnya  tegap dan kekar. Dia berjalan berkharisma masuk ke dalam Kafe De Luna. 

Dan ia memilih duduk di pojok dekat jendela, jadi dia bisa melihat jelas barista yang bekerja di sana. Tidak lama, Wanita yang kesulitan berjalan mendekatinya. 

“Selamat Datang, Tuan. Tuan ingin pesan apa?” tanya wanita itu sopan. 

Suaranya masih sama. Aroma tubuhnya jelas sama dengan aroma kamar beberapa hari lalu. Jameson mencoba mengangkat wajahnya dan kali ini mata mereka saling bertemu. 

“Maaf, Tuan ingin pesan apa?” tanya Wanita itu sekali lagi. 

Jameson tak bisa berpaling dari wajah yang sudah lama ia rindukan. Cantiknya masih sama, itulah yang dipikirkan Jameson saat ini. Ingin sekali dia mendekap tubuh yang ada di hadapannya kalau saja tidak memikirkan akibatnya. 

“Tuan!” Kali ini Wanita itu meninggikan suaranya. 

Dan berhasil, Jameson tersadar dari lamunannya. 

“Aku ingin pesan Ice Americano, Nyonya Luna,” jawab Jameson datar. 

“Baiklah, tunggu sebentar Tuan. Kami akan segera membuatkannya.” Luna pergi dalam kebingungan, dia merasa ada sesuatu yang aneh tapi dia tidak menyadarinya. 

Luna sibuk dengan membuat segelas ice americano. Setelah selesai membuatkannya, dia menatap gelas itu dengan pandangan kosong. 

Jameson mengerutkan keningnya bingung, apa yang terjadi pada Luna hingga ia terdiam. Apakah dia mengingatnya? Jameson akan bersorak girang jika wanita itu mengingat dirinya. 

Tapi, ia tidak akan mungkin mengingat Jameson semudah itu. Dan hanya dialah yang bisa membuat ingatan Luna kembali. 

Luna terlihat mencari seseorang, kemudian matanya menatap jam dinding. Dia menghembuskan napas panjang. 

Jameson masih memperhatikan wanita itu, apa yang sedang dia lakukan. Jameson baru mengerti apa yang ada dalam pikiran Luna setelah wanita itu membawa segelas ice americano dengan kesulitan. 

Buru-buru Jameson menghampirinya dan meraih ice americano tersebut dengan wajah kesal. 

“Mengapa kamu membawanya sendiri? Tidak adakah pegawai yang lain, huh? Bagaimana kalau gelas ini jatuh dan melukaimu?!” geramnya. 

Namun, Jameson belum menyadari wanita di depannya saat ini terlihat kebingungan. 

“Mengapa mereka menyuruh orang yang kakinya sakit mengantarkan minuman? Di mana Managermu, Luna? Aku akan memecatnya sekarang!”

Luna terkaget oleh pertanyaan Jameson hingga dia tidak bisa berkata-kata. 

Jameson menoleh dan mendapati Luna yang menatapnya dengan terheran-heran. Dia baru menyadari sudah membuatnya bingung. 

Jameson menghembuskan napas berat, “Luna, aku pemilik Kafe ini,” ungkap Jameson sambil meletakkan gelas yang dia ambil tadi di atas meja kasir.

Luna semakin terkejut setelah mendengar pengakuan dari Jameson. Dia merasa beruntung hari ini bisa bertemu pemilik Kafe tempat ia bekerja. 

“Apa aku tidak salah dengar? Anda pemilik Kafe ini?” Luna menutup mulutnya terkejut. 

“Di mana pegawai yang lain? Mengapa kau sendirian?” tanya Jameson lagi. 

Luna dengan gugup menjawab, “Y-yang lain sudah pulang Pak, saya memang mendapat giliran jaga malam.”

Jameson mengecek jam tangannya, “Sekarang sudah jam 8, tutup saja Kafenya. Dan kamu akan aku antar pulang!” suruh Jameson tegas. 

Luna dengan tergesa-gesa melepas celemek coklatnya menampilkan dress putih bermotif bunga kuning. Tidak lupa dia mengambil tas dan ponselnya di loker. 

Jameson sejak tadi sudah menunggu di depan mobil. Dia terkesima melihat penampilan Luna yang tidak terbalut dengan celemek coklatnya. 

“Luna, kamu tidak berubah,” gumam Jameson bibirnya sedikit melengkung. 

“Maaf, Pak, sudah menunggu lama,” Luna membungkuk kepada Jameson untuk menghormati atasannya. 

Jameson membukakan pintu mobil untuknya. Luna yang bingung bercampur senang tidak berhenti menggenggam bawah dressnya. Dia selalu begitu saat dirinya nervous. 

Di dalam perjalanan Luna tidak mengatakan apapun karena dirinya sudah dirundung gugup. Jameson yang menyadarinya langsung angkat bicara. 

“Noureen De Luna!” panggilnya lembut. 

“Iya?” jawab Luna cepat sambil menoleh. 

Kini wajah mereka terlalu dekat membuat Luna merasa jantungnya seakan berhenti. 

“Luna, ikutlah aku pulang ke Kanada!” 

To be continued

Luna mau ikut gak ya?? 🤭🤭

Kalau kalian jadi Luna, mau ikut Tuan Jameson gak nih??

Bab 2 : Penculikan

Welcome…

...Happy Reading...

.......

.......

.......

“Maksud Mbok Gadis? Dia itu keluargaku?” tanya Luna tak percaya penjelasan Mbok Gadis, Pengurus Panti Asuhan Mimpi.

“Iya, Luna. Dia menitipkan kamu padaku 5 tahun lalu.”

“Tapi, mengapa aku tidak ingat sama sekali Mbok? Dia itu siapa aku? Paman? Sepupu? Kakak? Suami? Itu semua gak mungkin, Mbok!” Elak Luna bersikeras.

“Luna!” panggil Mbok Gadis lembut. “Kamu harus ikut dengannya! Kamu akan aman jika bersamanya,” bujuk Mbok Gadis memegang lengan wanita yang sudah dianggap sebagai putrinya selama 5 tahun ini.

“Dia mau membawa aku ke Kanada, Mbok. Kanada Mbok, Kanada! Kanada itu jauh,” ucap Luna merasa sedikit takut.

Mbok Gadis berusaha meyakinkan Luna, “Mbok paham, Luna. Tapi, Tuan Jameson itu keluargamu. Kamu ikut dia ya, nak!”

Jameson penasaran apa yang mereka bicarakan di dalam kamar. Dia berharap Luna mau diajaknya pulang ke Kanada. Tapi, suara Luna yang sedikit tinggi dapat didengar Jameson.

“Dia menolak,” gumamnya menghembuskan napas berat.

Tidak berapa lama, Mbok Gadis keluar dari kamar. Dia menampilkan senyuman yang sopan saat menghadapi pria yang sedang duduk di sofa ruang tamunya.

“Tuan Jameson, Mbok minta waktunya ya untuk membujuk Luna agar mau diajak pulang.”

“Aku tahu, dia pasti akan terus menolak. Mbok, Terima kasih selama ini sudah menjaga dia untukku,” ucap Jameson tersenyum.

“Mbok sangat tidak keberatan, Tuan. Tapi, aku yakin, Luna pasti sangat berat meninggalkan Panti Asuhan karena tempat ini selama 5 tahun sudah menjadi tempat dia pulang.”

“Mbok ijinkan aku untuk membawanya! Dia sudah tidak aman untuk tinggal di sini lagi. Aku sangat mengkhawatirkannya.”

Meskipun Jameson sangat berhak membawa Luna tanpa izin kepada Mbok Gadis, namun dia selama ini sudah menjadi malaikat pelindung bagi Luna. Tidak salahnya, dia meminta izin terlebih dahulu.

“Mbok tidak akan menghalangi Tuan Jameson untuk membawanya. Mbok hanya ingin Tuan Jameson melindunginya dan jangan sampai dia terluka!” pinta Mbok Gadis matanya sudah berkaca-kaca.

“Luna adalah tanggung jawabku, Mbok. Aku pasti akan melindunginya.”

Jameson akhirnya meninggalkan Panti Asuhan Mimpi. Dia sudah memutuskan jika selama 2 hari Luna terus menolak, maka Jameson akan membawanya paksa.

Pria itu terus mengawasi Luna dari dalam mobil. Luna memang terlihat gelisah namun saat datang pelanggan wajahnya yang masam seketika akan berubah menjadi senyuman yang sopan.

Jameson melihat pria berjaket hitam kulit dan memakai topi hitam sedang berjalan menuju Kafe De Luna. Dia tidak mencurigai pria itu, karena Jameson memang menyuruhnya untuk mendatangi Luna.

“Selamat Datang, Tuan. Tuan ingin pesan apa?” tanya Luna dengan ramah.

Pria itu membuka topinya, “Ini aku, Seven.”

Luna terkejut siapa yang datang karena dia mengenalnya, “Seven, apa kabar? Kau kemana saja selama ini?” tanya Luna antusias.

“Aku baik, Luna. Oh iya, bagaimana dengan Jason dan Sonya?” Alih-alih senang karena Luna menanyakan kabarnya, dia malah menanyakan seseorang.

“Mereka baik-baik saja. Seperti biasa Jason sangat cengeng dan Sonya akan selalu melindungi Jason,” jawab Luna sambil membayangkan dua anak kembar yang tinggal di Panti Asuhannya.

“Syukurlah kalau dia baik-baik saja. Luna, kurasa kita sebentar lagi akan sering bertemu,” ungkap Seven menampilkan senyuman yang dalam.

Luna membalas senyumnya, “Aku pasti akan sangat senang kalau kita sering bertemu seperti ini.”

Dari dalam mobil Jameson mengepalkan tangannya erat, “Mengapa dia bisa tersenyum seperti itu di depan pria lain?” tanyanya kesal.

“Tuan Jameson mau menemuinya?” tanya Ten yang duduk di tempat sopir.

“Tunggu sampai pria itu pergi.”

Jameson sedikit naik tikam, sudah 2 jam lamanya Seven baru keluar dari Kafe. Bahkan, Jameson tidak berani penasaran apa saja yang mereka bicarakan.

Segera dia keluar dari mobil dan menuju ke dalam Kafe. Dengan raut wajah kesal dia menghampiri Luna.

“Selamat Datang, Tuan Jameson.” Luna menyapanya dengan ramah sambil membungkukkan badan untuk menghormati.

Jameson tambah kesal, “Luna, akan aku berikan Kafe ini tapi kamu harus ikut aku ke Kanada. Bagaimana?”

Luna menghembuskan napas berat, “Mohon maaf, Tuan Jameson. Di sini saya sudah memiliki keluarga, jadi saya tidak akan meninggalkan Indonesia,” jelas Luna dengan lembut dan sopan.

Jameson menarik kedua pipi Luna dengan satu tangan. Membuat Luna terkejut dan terlihat merintih.

“Apa yang sedang kau lakukan, Tuan Jameson?!” tanya Luna dengan nada tinggi.

“Noureen De Luna, Ingatlah Kamu adalah milikku. Jadi, jangan pernah membantah!” tekan Jameson menatapnya penuh kesal.

Cuihhh…

Luna meludahi Jameson tepat pada wajahnya. Alhasil, Jameson seketika menghindar dan melepaskan pipi Luna yang sudah terlihat memerah karena cengkeramannya.

“Tolong anda ingat ini, Tuan Jameson!” Luna menatapnya marah. “Saya bukan milik Anda. Anda hanyalah pemilik Kafe ini. Dan saya akan berhenti bekerja di Kafe ini, terima kasih.”

Luna dengan cepat melepaskan celemeknya lalu pergi meninggalkan Kafe De Luna. Tidak lama, Ten menghampiri Tuannya.

“Tuan, ada apa dengannya? Sepertinya dia sangat marah,” tanya Ten bingung.

“Ten, segera siapkan pesawat di lapangan! Kita akan segera terbang ke Kanada malam ini!” perintah Jameson dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Jameson berdiri di hadapan jendela kamar hotelnya, dia memandang lampu perkotaan malam itu. Kemudian dia mengecek jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 00.45 WIB.

“Kau sudah siapkan semuanya?” tanya Jameson sedang menelepon seseorang.

“Sudah, Tuan.”

“Ingat! Jangan sampai membangunkannya! Cukup dengan satu suntikan saja, kau mengerti?” jelas Jameson penuh penekanan.

“Aku mengerti, Tuan.”

Pria itu keluar dari Hotel dan seperti biasa di depan pintu kamar telah berdiri beberapa bodyguard.

Jameson berhenti di depan pintu kamar, “Terus awasi sekitar! Jangan sampai pergerakan kita ketahuan!” ingatnya dengan tatapan tajam.

Jameson dan beberapa pengawal telah berdiri di depan Panti Asuhan Mimpi. Mereka memakai kemeja dan masker hitam. Tidak lupa topi yang membuat wajah mereka tertutup sempurna.

Kecuali Jameson, seperti biasa dia mengenakan jas hitamnya. Pakaian formal yang menurutnya sangat nyaman dan juga membuat kesan tegas.

Tidak lama, Mbok Gadis keluar dari Panti menyambut kedatangan Pria berjas hitam itu.

“Tuan, benar-benar akan membawanya dengan cara seperti ini?” tanya Mbok Gadis memastikan lagi dengan harapan Jameson berubah pikiran.

Jameson tersenyum dengan tenang, “Hanya dengan cara seperti ini, Luna bisa aku bawa pulang.”

“Tuan, ingat pesan Mbok ya! Lindungi Luna dan jangan sampai orang lain menyakitinya!” Mbok Gadis mengingatkan Jameson.

“Mbok, tenang saja. Dia adalah milikku. Tidak ada seorangpun yang bisa menyakitinya!” ucap Jameson.

Jameson akhirnya menyuruh pengawalnya untuk melakukan aksinya. Ada 8 pengawal yang menjaga di berbagai sisi Panti Asuhan, setiap sisi dijaga oleh 2 orang pengawal.

Sedangkan Jameson ditemani Ten masuk ke dalam Panti Asuhan. Mereka berdua langsung menuju kamar Luna diikuti oleh Mbok Gadis di belakang Jameson.

“Mbok, tadi Luna sudah terbangun malam untuk makan?” tanya Jameson memastikan. Dia sangat hafal, wanita itu setiap malam akan terbangun karena lapar.

“Belum, Tuan.” Mbok Gadis menggeleng.

Jameson mengangkat tangan kanannya mengisyaratkan kedua bodyguard nya untuk berhenti. Kini mereka berdiri di depan kamar Luna.

Krek…

Luna menutup pintu kamarnya perlahan, dia belum menyadari mereka sudah berdiri di belakangnya.

Saat dia membalikkan badan, Luna sangat terkejut.

“Sedang apa kalian di sini?” tanya Luna bingung.

Mereka terdiam dan Luna pun yang mendapati Mbok Gadis di sana juga bertanya “Mbok, sedang apa mereka di sini?”

Mbok Gadis terdiam, dia hanya dapat menggelengkan kepala dengan menahan tangis.

Luna mencoba mendekati Mbok Gadis, namun Jameson lebih dulu menahannya.

Luna menoleh dan memperlihatkan tatapan marahnya, “Kenapa kau ke sini?! Kau ingin membuat masalah di sini, huh?”

“Luna, kau harus ikut aku pulang malam ini!” kata Jameson lembut, matanya penuh harap.

“Sudah aku bilang, aku tidak mau. Harus berapa kali aku bilang?!” teriak Luna geram.

“Kamu tidak aman jika terus berada di sini. Aku harus melindungimu, dan itu hanya bisa kulakukan jika kau ikut pulang bersamaku.” Jameson menjelaskannya dengan panjang berharap wanita itu mengerti.

“Aku tidak memintamu untuk melindungiku, Tuan Jameson!” kata Luna penuh penekanan sembari melepaskan genggaman tangan Jameson.

Belum sempat Jameson membalas, salah satu pengawalnya melapor.

“Bos, sepertinya pergerakan kita sudah diketahui oleh Kubu Devil Mamba,” lapor pengawalnya.

Jameson terlihat cemas, “Katakan pada semua pengawal, perketat penjagaan! Kita akan segera membawa Nyonya menuju lapangan!” perintahnya.

Lalu dia menoleh ke arah Luna yang masih mencerna pembicaraan Bos dan bawahan itu.

Jameson meraih tangan Luna dan menggenggamnya kembali, “Luna, kau harus ikut aku!” Jameson sudah bersiap menarik Luna.

Luna dengan sekuat tenaga menepisnya, “Apa hakmu membawaku, huh?!” teriak Luna.

Tidak lama, pengawal yang lain melaporkan kembali bahwa Kubu Devil Mamba terlihat sudah mengepung lapangan.

Jameson frustasi karena Luna sangat keras kepala. Jameson seketika terdiam kemudian menampilkan sorot mata tajam.

“Ten!” Jameson memberi isyarat.

Ten paham akan isyarat Tuannya, tidak berpikir lama Ten mengeluarkan jarum suntik. Diam-diam dia berjalan ke belakang Luna tanpa wanita itu sadari.

Tanpa hitungan, Ten menancapkan jarum suntik ke leher kanan Luna. Luna terkejut sambil memegang lehernya.

Sebelum ambruk, wanita itu sempat menatap Jameson dengan tatapan kecewa. Luna merasa dunia seakan berputar, pandangannya kabur. Kemudian Jameson menangkapnya tepat sebelum wanita itu jatuh ke lantai.

Dengan sigap, Jameson menggendong Luna dengan mudah karena rutin melakukan gym. Sebelum dia meninggalkan Panti Asuhan Mimpi, dia berterima kasih lagi kepada Mbok Gadis.

Jameson memasukkan Luna ke dalam mobilnya yang disopiri oleh Ten. Mobil Jameson dikawal beberapa mobil di depan dan di belakang menuju lapangan.

Tiba-tiba, Ten berhenti mendadak membuat Jameson marah.

“Ten, kenapa kau berhenti mendadak!” teriaknya marah.

“Maaf, Tuan. Sepertinya ada yang menghalangi perjalanan kita di depan sana.” Ten menunjukkan seorang lelaki yang mengenakan topi dan masker serba hitam.

“Siapa dia?” tanya Jameson menyipitkan matanya.

Jameson dan Ten mengenalinya setelah dia melepaskan topi dan maskernya.

“Seven?!” ucap Jameson menatap tajam ke arahnya.

To be continued

Apakah Seven akan menghalangi Jameson membawa Luna ke Kanada?? 🤔

Bab 3 : Permainan Menebak Isi Brankas

Welcome…

...Happy Reading...

.... ...

.... ...

.... ...

“Aku percayakan semua padamu!” ucap Jameson dari balik kaca mobil.

Seven mengangguk kemudian dia mengarahkan semuanya menuju tempat yang berbeda. Pasalnya, Seven sudah tahu sejak awal pengepungan pesawat Jameson di lapangan. Karena itu, dia bertindak lebih dulu sebelum pengepungan itu terjadi.

“Dia akan membawa kita kemana, Tuan?” tanya Ten sambil mengamati lelaki yang mengendarai sepeda motor di depannya.

“Kita lengah, Ten. Untungnya Seven sudah memindahkan pesawat ke tempat lain sebelum mereka datang.”

“Tuan, akan membawanya ke Kanada?” tanya Ten ingin tahu.

“Selama ini dia sudah membantuku untuk melindungi Luna, aku akan menanyakannya nanti,” jelas Jameson sambil memandang Luna yang dia sandarkan di bahunya.

“Tapi, sepertinya mereka berdua ada hubungan spesial Tuan,” gumam Ten curiga.

Jameson mengepalkan tangannya, “Diamlah! Atau aku akan merobek mulutmu!” ancamnya.

Ten langsung diam setelah mendapat ancaman dari Tuannya. Tidak ada yang tahu seberapa dalam hubungan Luna dan Seven kecuali mereka berdua. Jameson semakin geram jika memikirkan hal itu.

Waktu telah menunjukkan pukul 02.00 WIB, rombongan Kubu Black Mamba telah berhasil sampai di tanah kosong tepatnya di tengah hutan.

Pesawat sudah siap di sana, Jameson menggendong Luna keluar menuju burung besi tersebut.

“Seven, kau bisa ikut kita ke Kanada. Dan di sana, aku pasti butuh bantuanmu untuk menjaganya.” Jameson melirik ke arah Luna.

“Baik, Tuan. Aku juga ada hutang penjelasan kepada Luna.” Seven menerima tawaran Jameson.

Jameson terlihat kesal saat mendengar lelaki itu menyebut nama miliknya dengan santai, “Ingat, kau di sana harus memanggilnya Nyonya Luna!”

“B-baik, Tuan,” jawab Seven gugup.

Keberangkatan pesawat long range jet milik Jameson tepat pukul 02.30 dini hari. Semua pengawal ikut serta dalam penerbangan.

Jameson dan Luna duduk di bangku pesawat privasi, di mana ada ruang tersendiri untuk mereka.

Jameson menutup matanya sambil bersedekap dada di depan kursi Luna. Sebenarnya, dia tidak benar-benar tertidur. Jameson sangat menunggu wanita itu tersadar dari obat biusnya.

Tidak berapa lama, kelopak lentik itu terbuka. Luna memegang kepalanya, dia merasa dunia masih saja berputar. Setelah sepenuhnya sadar, dia terkejut mengapa tangannya diikat.

Dia menoleh ke samping dan menyadari bahwa dia kini berada dalam pesawat.

Luna menatap penuh amarah ke arah Pria di depannya, “Apa yang kau lakukan, brengsek?!” teriaknya kemudian dia berusaha melepaskan ikatan di tangannya, namun ikatan itu malah semakin kuat.

“Jangan terlalu banyak gerak atau ikatan itu akan semakin kuat!” kata Jameson tanpa membuka mata.

Meskipun diingatkan tak membuat Luna berkutik. Dia masih tetap berusaha untuk melepaskan ikatan itu. Hingga suaranya tak terdengar lagi karena menahan sakit di tangannya.

Jameson menghembuskan napas berat dan membuka matanya, dia berpikir wanita di hadapannya memang keras kepala.

Terpaksa Pria itu melepaskan tali yang mengikat tangan Luna.

Plakk

Tamparan keras berhasil mendarat di pipi Jameson setelah ikatan itu terlepas dari tangan Luna. Jameson memegang pipinya yang memerah sembari membelalakkan matanya.

“Kau mau membawaku kemana, huh?!” tanya Luna marah.

“Aku sedang membawamu pulang,” jawab Jameson lembut.

“Pulang? Rumahku di Panti Asuhan Mimpi.”

“Aku tahu Luna, tapi jauh sebelum itu kamu tinggal di Kanada bersamaku,” jelas Jameson mencoba meraih tangan wanita itu namun dia menepisnya.

“Aku tidak ingat kalau memiliki keluarga brengsek sepertimu!” tunjuknya dengan wajah geram.

Jameson melirik pergelangan tangan Luna yang lebam karena bekas ikatan tali. Dia merasa bersalah akan tetapi Jameson tidak berani menyentuh Luna yang belum menaruh percaya padanya.

Jameson memutuskan untuk menelepon Ten, “Bawa brankas itu kemari!” perintahnya dari telepon.

Tidak lama, Ten datang membawa brankas besi di atas troli pengantar makanan. Luna melirik benda itu, dia merasa aneh dengan brankas besi tersebut.

“Luna, apa kamu mengingat brankas ini?” tanya Jameson penuh harap.

Luna kini bersedekap dada dengan menampilkan wajah tak peduli, “Tidak ada yang perlu kuingat dengan benda ini!”

Jameson ragu, “Benarkah? Kamu benar-benar tidak mengingatnya?” tanyanya sekali lagi.

“Benar, aku tidak tahu. Mengapa aku harus mengingatnya?!”

“Brankas besi ini milikmu,” jawab Jameson berat.

Luna menatap matanya dan mencari celah kebohongan di sana. Namun, dia hanya melihat tatapan tulus.

“Aku tidak pernah memiliki brankas seperti itu!” elak Luna tak peduli.

“Aku mohon, bisakah kamu mencoba mengingatnya?!” Jameson memohon.

“Aku sudah bilang, aku tidak tahu brankas ini! Mengapa kamu memaksa aku untuk mengingatnya!” teriaknya geram.

“Kalau begitu, kita bisa bermain tebak-tebakkan. Jika kamu bisa menebak isi dalam brankas ini, aku akan melepaskanmu. Tapi, jika kamu tidak bisa menebaknya, kamu harus tetap ikut aku ke Kanada.” Jameson menatapnya sambil menarik sudut bibirnya.

Kedengarannya menarik, pikir Luna. Dia memang bertujuan untuk tidak ikut dengan pria di hadapannya. Tapi, apakah semua itu adil?

Luna berdehem, dia melirik Jameson dan brankas itu bergantian. “Aku hanya perlu menebak isinya kan?” tanyanya memastikan.

“Ya, kamu hanya perlu menebak isi dalam brankas ini,” jawab Jameson tersenyum puas, karena sejak awal dia tahu kalau wanita keturunan Spanyol itu tidak akan bisa menebak dengan benar.

Luna mengambil posisi ternyamannya, sambil memandangi brankas besi. Dia menatap tajam Jameson, “Kau harus menepati janjimu! Atau aku tidak akan segan melompat dari pesawat!” ancamnya.

Jameson sedikit takut mendengarnya, akan tetapi dia menyetujui apa yang Luna katakan.

“Baiklah, kita mulai sekarang!”

Lima belas menit terlewat, Luna masih tampak berpikir sambil menatap ke arah benda itu. Dia terlihat geram lalu melirik ke arah Jameson.

“Surat Warisan?” tebaknya masih ragu.

Jameson menampilkan ekspresi datar, “Kamu yakin?”

Luna mencari jawaban dari sorot mata pria di depannya, dan ia merasa tebakannya salah.

“Harta Karun Kafe De Luna?” tebaknya lagi.

Jameson tertawa, “Kalau isinya harta karun Kafe De Luna, mengapa aku harus memaksamu untuk menebak isinya?”

Luna terlihat kecewa, “Beri aku kata kunci!”

“Kamu ingin bermain curang?”

“Bagaimana aku bisa menebaknya? Aku saja baru melihat benda ini!” protes Luna kesal.

“Di dalam brankas ini ada sesuatu yang penting dalam hidupku,” jawab Jameson menatap pupil biru itu.

“Batu nisan!” tebak Luna dengan cepat dan yakin.

Jameson mendengar jawaban Luna sedikit emosi namun dia menahannya, “Mengapa kamu bisa seyakin itu?”

“Batu nisan juga benda penting dalam hidupmu kan? Benda itu akan sangat berguna saat kematianmu.” Luna tersenyum puas.

Jameson menghela nafas panjang untuk meredam emosinya.

Luna tahu tebakannya salah lagi, “Surat wasiat,” tebaknya lagi tak menyerah.

“Guci Abu?”

“Karangan bunga? Keranda? Dupa?”

“Kamu sedang menyumpahiku ya?” geram Jameson memegang dahinya pening.

“Bukannya itu semua hal yang penting dalam hidupmu?!”

“Aku tahu semua orang akan mati tapi–”

“Love,” Luna memotong ucapan Jameson.

Jameson tersentuh mendengarnya, dia mencoba menatap lekat wanita di hadapannya.

“Cinta juga penting kan dalam hidupmu?” tanya Luna memastikan. “Atau tidak ada cinta dalam hidupmu?” imbuhnya terdengar mengejek.

Jameson berpikir sejenak, “Kamu benar, Cinta sangatlah penting dalam hidupku.”

Luna senang mendengarnya, “Berarti aku benarkan? Isi dalam brankas ini mungkin foto orang yang kamu cintai.”

“Mungkin kamu benar,” Jameson terhanyut.

“Sekarang lepaskan aku! Pulangkan aku lagi ke Panti Asuhan Mimpi! Kau sudah berjanji!”

Jameson tersadar, “Aku tidak bilang kalau jawabanmu benar,” katanya membuat Luna kesal.

“Dasar brengsek! Aku akan melompat saja dari sini!” ancamnya kemudian dia berdiri dan berjalan pincang menjauhi Jameson.

Jameson menutup matanya santai, dia sengaja membiarkan wanita itu bergerak. Dia tahu, Luna tidak akan bisa membuka pintu pesawatnya.

Jameson masih mendengar Luna mengomel, suaranya semakin jauh. Dia pikir wanita itu berjalan ke gerbong dapur dan di sana banyak sekali pengawalnya yang menjaga.

Lambat laun, Jameson sudah tak mendengar suaranya. Dia juga merasa lelah dan mengantuk. Saat dirinya sudah hampir tertelan oleh mimpi, telinganya seakan mendengar sesuatu yang aneh.

Dorrrr

Suara tembakan membangunkannya dari mimpi. Dia membelalakkan matanya terkejut bercampur takut. Dengan cepat Jameson berlari ke arah gerbong dapur.

Saat dia membuka tirai pembatas antar gerbong, matanya membulat sempurna. Rasa takut menelannya.

To be continued

Suara tembakan? Luna kah yang kena tembakan? Aduhhh, gawat. Jangan sampai deh ya 😅

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!