NovelToon NovelToon

Obsesi Om Duda

Bab. 1. Bagaikan Anak Pungut

“Naina!?” teriak Bu Rahayu dari bawah, suaranya memantul di dinding rumah dua lantai itu.

Di lantai atas, Naina yang sedang fokus mengerjakan tugas sekolah hanya menggeleng pelan. “Astagfirullahaladzim, kenapa Mama tiap hari teriak terus, padahal Papa di Surabaya sudah kirim uang belanja,” gumamnya pelan.

Biasanya bu Rahayu akan marah-marah dan teriak-teriak seperti saat ini, kalau uang belanjanya semakin menipis sedangkan papanya Pak Aditya bekerja di Surabaya belum gajian untuk transfer uang belanja.

“Naina, kamu dengar nggak Mama manggil!”

“Sabar, Ma… aku udah jalan ke bawah,” sahut Naina sambil turun tangga perlahan.

Begitu sampai di ruang tamu, tatapan Bu Rahayu menusuk seperti pisau. Sorot matanya membuat dada Naina menciut, seolah ia baru saja melakukan dosa besar.

“Maaf, Ma… tadi aku lagi kerjain tugas sekolah,” ujarnya pelan, berusaha menahan nada suaranya agar tidak ikut meninggi.

“Papa tadi pagi sudah transfer uang buat kamu beli motor. Mama sudah beli, tapi motornya untuk adikmu. Kamu pakai motor bekasnya Namirah,” tegas Bu Rahayu.

Naina mengerutkan dahi. “Tapi, Ma… bukannya Papa bilang itu buat aku ke sekolah? Lagian motor Namirah masih baru, kan?”

Dari samping, Namirah yang sejak tadi sibuk main ponsel ikut menimpali. “Kakak kan cuma sekolah biasa, sedangkan aku di sekolah elit. Masa aku pakai motor butut?” ujarnya sambil tersenyum miring.

Bu Rahayu mengangguk mantap. “Betul kata adikmu. Di mana-mana, kakak itu harus ngalah sama adiknya kalau mau jadi anak penurut dan berbakti.”

Kata-kata itu menusuk hati Naina. Ia menunduk, mencoba menelan perasaan pahit yang sejak kecil sudah terbiasa ia rasakan.

Dari dulu, ia tahu dirinya berbeda di mata Mama. Sejak ia dan Namirah lahir, jarak usia hanya setahun, tapi jarak kasih sayang terasa seperti jurang.

“Mama nggak pernah adil sama aku,” lirihnya nyaris tak terdengar.

“Apa?!” Bu Rahayu langsung menatap tajam. “Kamu bilang Mama nggak adil? Mama capek nyekolahin kamu, ngurusin kamu. Kalau bukan karena Mama, kamu nggak bisa sampai kayak sekarang!”

Naina mengangkat wajahnya, air mata sudah menggenang. “Iya, Ma… aku tahu Mama capek. Tapi pernah nggak Mama mikirin aku? Sekali aja, Ma…”

Ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan suara televisi yang menyala di sudut ruangan terasa jauh. Namirah hanya memutar bola mata, sementara Bu Rahayu berdiri mematung, seperti tidak percaya anak sulungnya berani bicara begitu.

Di dalam hati Naina, ada rasa sesak bercampur lega. Ia lelah menelan semuanya sendirian. Hari ini, untuk pertama kalinya, ia berani bicara.

Ruang tamu sore itu terasa panas walau kipas angin berputar kencang. Suara televisi dibiarkan menyala tanpa ada yang menonton. Naina berdiri mematung di dekat meja, tangan gemetar menahan amarah yang bercampur sedih.

“Oh, jadi kamu sudah pintar melawan aturan Mama, ha!?” bentak Bu Rahayu sambil melangkah cepat mendekat.

Plak!

Tamparan itu mendarat keras di pipi Naina. Rasanya bukan cuma sakit di kulit, tapi sampai menusuk ke dalam dada.

“Mama…” suara Naina bergetar, tapi belum sempat ia bicara lebih jauh, bentakan itu kembali menghantam telinganya.

“Kalau kamu nggak terima sama apa yang Mama putuskan, mulai besok kamu berhenti ikut sanggar tari!” ucap Bu Rahayu dengan nada ancaman yang dingin.

Naina memejamkan mata, mencoba menelan ludah yang terasa pahit. Sanggar tari bukan sekadar hobi, itu tempat ia merasa hidup, merasa dihargai, merasa dirinya berarti.

“Mama…” katanya pelan, berusaha tetap sopan walau hatinya perih, “Naina nggak pernah niat melawan. Naina cuma pengen Mama dengar dulu, sebelum Mama mutusin.”

Bu Rahayu menatap tajam, seolah kata-kata itu hanya angin lewat.

“Sejak kapan anak ngajarin orang tua?” ujarnya ketus.

Naina menunduk, mengusap air mata yang jatuh tanpa bisa ia tahan. “Naina cuma mau Mama tahu… nari itu satu-satunya alasan Naina kuat jalanin hari. Kalau Mama larang, Naina nggak tahu harus ke mana lagi.”

Hening sesaat. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Tapi hati keduanya sama-sama gaduh.

Bu Rahayu mengalihkan pandangan, sementara Naina berdiri dengan dada sesak, berharap sedikit saja pintu pengertian terbuka dari wanita yang paling dicintai, meski hari itu terasa seperti jurang di antara mereka makin lebar.

Baik, aku gabungkan dialog itu ke dalam adegan yang menyentuh, tetap realistis, dan seimbang antara narasi serta dialognya supaya emosinya lebih terasa.

Dapur sore itu penuh aroma bawang goreng yang belum sempat dirapikan. Piring kotor menumpuk di wastafel, sisa makan siang masih berserakan di meja.

“Tidak usah cengeng, kamu bereskan dapur. Mama capek,” ujar Bu Rahayu sambil meletakkan tas belanja ke kursi dengan suara berat.

Naina menahan napas dan kebas. Pipi kirinya masih terasa panas bekas tamparan tadi, tapi ia memilih diam.

Dari arah ruang tengah, Namira, adiknya, muncul sambil tersenyum penuh arti.

“Maaf yah, Kak seperti biasanya aku juga capek dari les bahasa Inggris sama piano,” ucapnya sambil menghela napas panjang.

Naina hanya menatap sebentar, lalu kembali menunduk. Ia tahu adiknya tidak bermaksud jahat, tapi entah kenapa kata-kata itu terasa seperti beban tambahan di pundaknya.

Sendok-sendok ia masukkan ke ember cucian, air keran terus mengalir, menenggelamkan suara hatinya yang ingin berteriak.

Di balik wajah pasrah, ada rasa ingin berhenti dari semua ini, tapi ia tahu tak ada tempat lain untuk pulang selain rumah ini.

Air keran terus mengalir, membasahi tangan Naina yang sudah mulai pucat. Suara gesekan spons di piring terdengar samar di telinganya, tertutup oleh suara detak jantung yang makin cepat.

Air matanya jatuh satu per satu, menyusuri pipi yang masih terasa perih bekas tamparan tadi. Ia tidak berusaha menghapusnya, membiarkan bercampur dengan cipratan air cucian.

“Apa salahku, ya Allah…? Kenapa Mama selalu membedakan aku sama Namira?” bisiknya dalam hati, begitu pelan sampai hanya Tuhan yang bisa mendengarnya.

Matanya buram, tapi tangannya tetap bergerak, seolah kalau ia berhenti sedikit saja, air mata itu akan berubah menjadi tangis yang pecah. Di dadanya, rasa sesak menumpuk, seperti ada batu besar yang menekan dari dalam.

Ia mengingat lagi semua hari di mana ia mencoba sebaik mungkin, membantu pekerjaan rumah, mengalah saat Namira mendapat perlakuan istimewa, menahan kecewa tanpa pernah bersuara.

Tapi malam ini, rasa itu menumpuk terlalu tinggi, dan ia mulai bertanya-tanya apakah cintanya kepada Mama benar-benar cukup untuk bertahan?

Suara Namira dari ruang tengah terdengar samar, disusul langkah Mama menuju kamarnya. Naina berdiri sendirian di dapur, dengan punggung membungkuk di hadapan wastafel, seakan seluruh dunianya menyempit hanya jadi satu sudut kecil yang basah oleh air cucian dan air mata.

Air cucian terus mengalir, membasahi tangan Naina yang mulai pucat. Spons di genggamannya terasa ringan, tapi hatinya berat. Air matanya sudah bercampur dengan cipratan air wastafel.

“Apa salahku, ya Allah…? Kenapa Mama selalu membedakan aku sama Namira?” batinnya lirih.

Suara notifikasi ponselnya tiba-tiba terdengar dari meja makan. Naina buru-buru mengeringkan tangannya di celemek, lalu meraih ponsel itu. Nama Papa muncul di layar Pak Aditya yang sedang bekerja di Surabaya.

“Assalamualaikum, Nak…” suara Papa terdengar berat tapi hangat dari seberang. “Papa dengar kamu habis ribut sama Mama?”

Naina menggigit bibir, menahan suara yang hampir pecah. “Naina nggak ribut, Pa. Cuma Naina capek.”

Hening sebentar. Lalu Papa berkata pelan, “Naina jangan pernah benci atau dendam sama Mama dan adikmu. Mereka itu sayang sama kamu, cuma caranya yang berbeda. Kadang cara orang nunjukin sayang nggak selalu sesuai sama yang kita mau.”

Air mata Naina jatuh lagi, kali ini tanpa ia tahan. “Tapi, Pa… rasanya Naina selalu salah di mata Mama.”

Papa menghela napas dari seberang. “Papa tahu… Papa juga nggak suka kamu sedih begini. Tapi percayalah, Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Nanti Papa pulang, kita ngobrol panjang, ya.”

Panggilan itu berakhir, tapi suara Papa masih bergema di kepalanya. Naina kembali ke wastafel, melanjutkan cucian piring dengan hati yang masih sesak, tapi ada sedikit hangat yang menahan supaya ia tidak sepenuhnya runtuh malam itu.

Bab. 2. Insiden

Pagi masih dingin, aroma masakan Naina sudah memenuhi dapur. Usai shalat subuh, ia terbiasa memulai hari dengan menanak nasi, menumis sayur, lalu membereskan rumah.

Semua dilakukan tanpa banyak suara, hanya derit sendok kayu di wajan dan langkahnya yang berpindah-pindah dari dapur ke ruang tengah.

Namira baru keluar kamar sambil menguap, rambutnya masih acak-acakan. Naina tersenyum tipis, menaruh piring berisi sayur di meja. Tak lama, Bu Rahayu keluar dari kamarnya. Tatapannya langsung tertuju pada kedua anaknya.

“Ini dua puluh ribu buat kamu. Cukupin buat dua hari, ya. Sekalian buat bensin motor dan makan di sekolah. Habis itu langsung ke sanggar, biar irit bensin,” ucap Bu Rahayu sambil mengulurkan uang ke Naina.

Naina menerima uang itu dengan hati-hati, mencoba menyembunyikan rasa perih yang menusuk setiap kali perlakuan ibunya terasa berbeda.

“Iya, Bu. Naina ngerti kok. Nanti Naina langsung ke sanggar. Nggak usah khawatir,” jawabnya, tetap ramah meski ada getir di suaranya.

Bu Rahayu lalu menoleh ke Namira, senyumnya melembut. Tangannya terulur mengusap puncak kepala gadis itu penuh sayang.

“Sayang, nanti pulang sekolah langsung ke rumah, ganti baju yang rapi sebelum les bahasa Inggris sama piano,” ujarnya pelan.

Namira mengangguk manja. “Iya, Ma. Nanti aku ganti baju yang cantik,” katanya sambil tersenyum lebar.

Naina diam, hanya menunduk sambil merapikan ranselnya. Di hatinya, ia sudah hafal pola ini. Namun, baginya, menahan luka jauh lebih penting daripada memperpanjang masalah.

Meski begitu, ia tetap menjaga sikap, membalas setiap kata dengan nada sopan, seolah tak ada yang mengganjal.

Naina diam-diam mengikuti kursus bahasa Inggris dan bahasa Korea dengan biaya dari hasil menari di sanggar. Setiap lembar uang yang ia terima disisihkan sedikit demi sedikit, tanpa sepengetahuan Mama maupun Namira.

Bagi mereka, Naina hanya gadis yang sibuk di sanggar, padahal di balik itu ia sedang menyiapkan jalan untuk masa depannya sendiri.

Berselang beberapa menit kemudian…

Jalanan pagi itu padat, suara klakson bersahutan. Naina duduk di belakang kemudi motornya, napasnya berat. Sejak keluar rumah, pikirannya terus dipenuhi hal-hal yang mengganjal.

Sesekali ia menghela napas, menatap lurus ke depan, mencoba fokus, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.

Tanpa sadar, remnya terlambat ditarik. Suara “duk!” memecah riuh jalanan ketika bagian depan motornya menyentuh bemper mobil hitam mengilap. Naina langsung terpaku, matanya membulat.

“Astagaa… ya Allah, ya ampun!” serunya spontan, tangannya refleks menepuk dada sendiri. Nafasnya memburu, kakinya gemetar di atas aspal.

Beberapa detik ia hanya bisa berdiri kaku sambil menatap motor dan mobil di depannya, seolah otaknya belum sempat memproses apa yang baru saja terjadi.

Naina terlonjak, kedua tangannya refleks merapat di depan dada. “Astaga… maafkan saya, Pak. Sungguh nggak sengaja tadi saya kaget,” ujarnya terbata-bata, suaranya bergetar.

Dia menunduk, mencoba mengatur napas, sementara jantungnya berdentum keras seperti ingin pecah.

Seorang pria paruh baya keluar dari kursi depan, wajahnya masam. “Kamu nggak lihat jalan apa? Ini mobil mahal, tahu!” serunya dengan nada tinggi.

Naina mengangkat wajah, matanya tajam. “Pak, saya kan udah bilang nggak sengaja. Lagian cuma nyenggol sedikit, nggak sampai penyok,” ucapnya, mencoba menahan nada suaranya tetap sopan.

“Sedikit? Kamu pikir cat mobil begini murah?” imbuhnya pria itu, yang ternyata adalah supir pribadi.

Dari dalam mobil, kaca jendela belakang perlahan turun. Seorang lelaki berjas rapi memperhatikan. Pandangannya tertuju pada gadis berkuncir satu yang sedang berdebat dengan supirnya.

Bibirnya membentuk senyum tipis. “Cantik,” gumamnya pelan sebelum membuka pintu dan melangkah keluar.

Langkahnya tenang, matanya tak lepas dari Naina. “Ada masalah apa di sini?” ujarnya sambil menatap Pak Rudi, supirnya.

“Bos, anak ini nyenggol mobil kita. Dia nggak mau tanggung jawab,” kata Pak Rudi cepat.

Naina menatap lelaki itu. “Saya bukan nggak mau tanggung jawab, Pak. Cuma menurut saya ini nggak separah yang dibilang. Saya juga buru-buru mau ke sekolah,” balasnya, masih berusaha menahan emosi.

Pak Rudi ingin menimpali, tapi lelaki itu mengangkat tangannya memberi isyarat diam. “Biar saya yang urus,” ucapnya tenang, namun matanya tetap meneliti wajah Naina.

Udara di antara mereka seolah menegang. Naina tak bergeming, tatapannya tetap tegas meski jantungnya berdetak cepat.

Tatapan lelaki itu berubah. Ada kilat licik yang sekilas muncul di matanya. Ihsan menyelipkan kedua tangannya di saku celana, memandang Naina dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dalam hati, ia sudah merancang cara untuk membuat gadis ini terpojok.

Naina masih berdiri dengan ransel di punggung, napasnya belum teratur. “Kalau memang mau saya ganti rugi, kasih saya waktu. Saya nggak bawa uang sebanyak itu,” ujarnya pelan tapi tegas.

Ihsan melangkah setapak lebih dekat. “Saya rasa kamu nggak akan sanggup. Mobil ini bukan barang murahan,” ucapnya pelan namun penuh tekanan.

Naina menelan ludah, mencoba tidak mundur. “Kalau gitu, saya akan cari cara. Saya nggak mau masalah ini berlarut,” katanya, matanya tetap menatap lurus.

Senyum Ihsan semakin lebar. Ia menunduk sedikit, suaranya sengaja dibuat terdengar seperti tawaran yang tak bisa ditolak.

“Kalau dia nggak sanggup bayar, aku punya cara biar dia tetap terikat sama aku,” batinnya Ihsan sambil menahan senyum tipis.

“Baiklah,” ucapnya pelan tapi tegas, “kamu ganti rugi mobil aku lima belas juta. Bayar sekarang juga. Kalau nggak siap-siap berurusan sama polisi.”

Naina langsung melongo, matanya membesar seperti habis dengar harga konser idola.

“Lima belas juta? Pak… saya jual ginjal juga kayaknya belum cukup!” serunya spontan, membuat beberapa orang yang menonton dari pinggir jalan menahan tawa.

Ia maju setengah langkah, menatap Ihsan dari bawah ke atas. “Bentar, mobil segede gini, nyenggol dikit aja langsung minta ganti rugi kayak mau beli rumah. Ini catnya cat emas apa gimana?” ujarnya sambil melipat tangan di dada, wajahnya separuh kesal separuh nggak percaya.

“Dek, ini masalah serius,” potong Pak Rudi, supirnya.

“Serius juga, Pak, saya nggak bawa ATM apalagi brankas di tas sekolah!” imbuh Naina cepat, nada suaranya naik turun seperti lagi stand-up comedy, tapi matanya tetap menatap tajam, menolak kalah.

Ihsan melipat tangan, sudut bibirnya terangkat. “Kalau gitu aku akan mendatangi rumah kamu, gimana?” ujarnya pelan tapi menekan.

Naina langsung mundur setapak, matanya melebar. “Waduh, jangan, Pak! Mama saya itu kayak FBI, sekali lihat muka orang langsung tahu niatnya. Bisa-bisa Bapak dikira penagih utang atau calo KTP,” sahutnya cepat, nada suaranya campuran panik dan bercanda.

Beberapa orang yang masih menonton dari pinggir jalan mulai berbisik-bisik, sebagian menahan senyum melihat keberaniannya.

Naina melanjutkan, “Lagian, saya nggak siap mental lihat Bapak nongol di teras rumah. Nanti Mama saya langsung lempar sandal jepit sebelum Bapak sempat ngomong. Mau?” katanya sambil menaikkan satu alis, seolah menantang.

Ihsan hanya menatapnya, separuh kesal, separuh terhibur. Dalam hati, justru rasa penasarannya pada gadis berkuncir satu itu semakin menjadi-jadi.

Ihsan terdiam sebentar, lalu menatap Naina dari ujung kaki sampai ujung rambut. Senyumnya perlahan muncul, kali ini lebih lebar. “Kamu ini unik,” ujarnya santai.

Naina mengerutkan dahi. “Unik gimana? Kayak barang langka?” tanyanya ketus.

Ihsan tertawa pendek, lalu mendekat satu langkah. “Gini aja. Kamu bebas dari ganti rugi, nggak usah bayar lima belas juta. Tapi…” ucapnya, lalu sengaja berhenti untuk membiarkan Naina penasaran.

“Tapi apa?” seru Naina tak sabar.

“Tapi… kamu jadi kekasihku,” katanya datar namun tajam.

Naina membelalak. “Hah?! Bapak serius? Astaga, umur Bapak berapa sih? Jangan bilang…”

“Bukan jangan bilang, memang iya. Tiga puluh sembilan,” imbuh Ihsan tenang, seolah itu hal biasa.

Naina memegangi kepalanya dramatis. “Ya Allah… pantesan gaya ngomongnya kayak sinetron jam delapan malam. Pak, saya ini anak SMA, bukan pemeran pengganti istri kedua!” ujarnya, separuh kaget, separuh geli, tapi jelas-jelas terkejut dengan tawaran absurd itu.

Ihsan hanya tersenyum, matanya tak lepas dari Naina, seperti sedang menandai buruannya. “Pikirin aja. Aku orang yang nggak gampang nyerah,” ucapnya, lalu berbalik menuju mobilnya.

Bab. 3. Keputusan Naina

Naina menatap Ihsan dengan wajah setengah kesal, setengah putus asa. Ia menghela napas panjang lalu merogoh ponselnya.

“Oke, ini nomor telepon Papa saya… Pak Aditya Pratama. Tapi beliau lagi di Surabaya, jadi nggak bisa langsung datang,” ujarnya sambil menyerahkan ponsel pada Ihsan.

Ihsan menerima nomor itu tanpa banyak bicara. Namun, dalam hatinya, pikirannya berputar cepat.

“Aku harus dapatin dia. Nggak peduli caranya. Cewek ini harus jadi milikku, batinnya sambil melirik Naina sekilas.”

Sebagai pengusaha sukses yang namanya sering muncul di majalah bisnis, Ihsan Ghazi terbiasa mendapatkan apa yang ia mau.

Meski usianya sudah empat puluh tahun, wajahnya tetap awet muda, tubuh terawat, dan gaya bicara yang dingin. Sifatnya tegas, disiplin, kadang arogan, dan licik jika itu perlu. Tapi kali ini berbeda dia jatuh hati pada pandangan pertama, dan targetnya adalah gadis SMA berusia delapan belas tahun dengan tatapan tajam itu.

Naina sendiri sedang berusaha menahan Ihsan agar tidak menghubungi mamanya.

“Pak, jangan telepon Mama saya, ya. Serius, beliau itu kayak komandan militer. Kalau tahu, hidup saya habis,” katanya setengah memohon, setengah bercanda.

Ihsan mengangkat alis. “Bukannya kamu bilang kamu tangguh? Masa kalah sama mama sendiri?” imbuhnya, senyum liciknya mulai terlihat.

“Beda, Pak. Kalau ini urusan Mama, saya bisa langsung pindah ke planet lain,” serunya sambil melipat tangan di dada.

Di matanya, Naina adalah campuran langka antara cantik, cerdas, dan berani. Tingginya semampai, kulitnya putih, pembawaannya tegas tapi masih ada sisi hangat yang ia tunjukkan di rumah.

Sayangnya, kasih sayang dari mamanya sering terasa timpang, berbeda dengan perlakuan pada adiknya, Namira.

Pertukaran kata-kata di antara mereka terus berlanjut. Ihsan menguji kesabaran, Naina membalas dengan gaya bar-bar khas anak SMA tapi tetap sopan. Hingga pada akhirnya, Naina terdiam. Nafasnya berat.

“Jadi?” tanya Ihsan, tatapannya menusuk.

Naina menatapnya lama, lalu mengembuskan napas panjang. “Oke saya terima hukumannya. Jadi kekasih Bapak,” ucapnya lirih tapi jelas, seperti menelan pil pahit.

Senyum puas terbit di wajah Ihsan. Baginya, permainan baru saja dimulai.

Pagi itu, setelah menyerahkan nomor telepon kedua orang tuanya pada Ihsan, Naina tak mengucap sepatah kata pun.

Ia langsung menyalakan motor, memacu kendaraan kecil itu secepat mungkin. Jam masuk sekolah sudah di ujung waktu, dan ia tak mau menambah catatan keterlambatan.

Begitu tiba, ia hampir melompat ke kursinya. Namun belum sempat meletakkan tas, suara yang sudah akrab di telinganya terdengar.

“Hahaha kemarin ngaku-ngaku papanya yang kerja di Surabaya mau beliin motor baru. Nyatanya malah bawa motor butut. Itu juga punya adiknya lagi,” cibir Rubi, teman sekelas sekaligus rivalnya di hampir semua hal.

Naina menoleh, senyumnya tipis tapi matanya tajam. “Oh… motor butut ini? Iya, Rub. Minimal nggak butuh supir cadangan buat nyalainnya. Kalau kamu mau, besok aku pinjemin asal kamu siap jalan sambil dorong,” ucapnya santai tapi menusuk.

Janeta, teman sebangku Naina, ikut menyambar. “Rubi, kalau kamu nggak terima Naina lagi-lagi jadi perwakilan sekolah buat lomba matematika, tari, sama bahasa Inggris, ya jangan mancing ribut. Nanti ketahuan cemburunya,” katanya sambil mengangkat alis.

Rubi sudah menarik napas, siap membalas. Namun langkah wali kelas yang masuk ke ruangan membuatnya menelan kata-kata. Semua siswa kembali ke tempat duduk, pura-pura sibuk membuka buku.

Di kursinya, Naina hanya terkekeh kecil, lalu mulai menulis di buku catatan, seolah tak ada apa pun yang terjadi.

Sementara itu, di lantai tertinggi gedung PT. IGR, ruang kerja Ihsan Ghazi terasa sunyi namun tegang. Dinding kaca besar memamerkan pemandangan kota yang sibuk, tapi fokus lelaki itu hanya tertuju pada satu hal.

“Irwan,” panggilnya tanpa menoleh dari kursi kerjanya.

Irwansyah, asisten pribadi yang sudah bekerja dengannya bertahun-tahun, segera masuk. “Ya, Pak?” ujarnya sambil membawa tablet catatan.

Ihsan memutar kursi, menatapnya lurus. “Cari semua data pribadi Naina. Lengkap. Sekolah, alamat, keluarga, semuanya,” ucapnya singkat namun sarat tekanan.

Irwan sempat ragu. “Naina… yang tadi pagi, Pak?” tanyanya memastikan.

Ihsan mengangguk pelan. “Ya. Gadis itu. Aku mau tahu setiap detail hidupnya,” imbuhnya, nada suaranya datar tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.

Tanpa banyak tanya, Irwan menunduk. “Baik, Pak. Saya laksanakan.”

Begitu pintu menutup di belakang asistennya, Ihsan bersandar di kursi. Jari-jarinya mengetuk meja perlahan.

“Kamu pikir bisa kabur dari pandanganku, Naina? Kita lihat saja,” batinnya sambil menatap keluar jendela, senyum tipis terukir di bibirnya.

Sedangkan di tempat lain malamnya, rumah besar bergaya modern di kawasan elite Jakarta mulai sunyi. Rubi baru pulang dari les, masih mengenakan seragam, masuk ke ruang keluarga dengan wajah capek tapi tetap menjaga gaya anggunnya.

Ihsan sedang duduk santai di sofa, mengenakan kemeja hitam, matanya memandangi putrinya itu. “Gimana sekolah hari ini?” tanyanya tenang.

“Biasa aja, Pak. Cuma ada yang nyebelin,” jawab Rubi sambil membuka ikatan rambutnya.

“Nyebelin? Siapa?” pancing Ihsan.

“Ya… Naina. Dia itu sok pinter, sok cantik, semua lomba mau dimonopoli. Orangnya juga ah, pokoknya bikin kesel,” serunya.

Ihsan menyembunyikan senyum. “Naina ya kayaknya aku pernah dengar nama itu,” ujarnya pura-pura lupa.

Rubi mengangguk cepat. “Dia tuh nggak pernah mau kalah sama aku, Pak. Semua guru juga selalu ngebela dia karena katanya disiplin, pinter, rajin. Padahal…”

“Padahal?” dorong Ihsan lembut.

“Padahal dia cuma pinter jaga image,” imbuh Rubi dengan nada ketus.

Ihsan menyandarkan tubuhnya, tatapannya penuh arti. “Menarik sepertinya aku harus kenal lebih dekat sama temanmu itu,” katanya pelan, seperti berbicara pada diri sendiri.

Rubi memandang ayahnya heran. “Ngapain kenal sama dia? Biarin aja, Pak. Orang kayak dia nggak pantes jadi teman aku.”

Ihsan tersenyum samar. “Justru karena itu, Nak justru karena itu.”

---

Ikhsan bergegas masuk ke walk in closet. Tangannya cepat memilih kaos polos warna navy dipadukan dengan jaket jeans yang membuat wajah baby face-nya terlihat makin muda dari usianya.

Sepasang sneakers putih ia kenakan. Tatapannya di cermin tajam namun bibirnya tersenyum tipis, seperti sudah membayangkan sesuatu yang menyenangkan.

“Waktunya mulai,” gumamnya.

Tanpa membuang waktu, ia keluar rumah membawa motor sport merah yang selama ini jarang ia pakai. Udara malam menerpa wajahnya saat ia melaju, mampir sebentar ke toko bunga dan mengambil seikat mawar merah muda.

“Bunganya harus wangi, manis, kayak dia,” ujarnya ke penjaga toko. Beberapa menit kemudian, sekotak cokelat premium juga masuk ke kantong belanjaannya.

Di sisi lain, Naina dan Janeta baru selesai ganti kostum tari di ruang ganti sanggar. Musik tradisional sudah mengalun dari speaker, kaki-kaki penari mulai bergerak kompak.

“Besok latihan lebih padat, Nai,” ucap Janeta sambil merapikan selendang. Naina mengangguk sambil mengatur napas.

Latihan berjalan lancar sampai pintu sanggar terbuka. Semua kepala otomatis menoleh. Seorang pria tinggi, berwajah teduh namun berkharisma, masuk sambil membawa bunga dan cokelat.

“Permisi saya mencari Naina,” ujarnya lantang tapi halus.

Suara musik berhenti, suasana hening seketika. Janeta menoleh cepat ke Naina yang ternganga. “Lo kenal?” bisiknya.

Naina menggeleng cepat. “Nggak. Sumpah gue nggak kenal,” imbuhnya panik.

Ihsan melangkah ke depan, tatapannya terkunci pada Naina. “Boleh bicara sebentar?” ucapnya dengan senyum yang entah kenapa membuat sebagian penari lain ikut tersipu.

“Kalau mau ikut tari, daftar aja, Pak. Tapi kalau mau nyari saya kayaknya nggak ada urusan,” seru Naina mencoba tegas, meski jantungnya berdegup kencang.

Ihsan hanya tersenyum tipis. “Kita lihat nanti, Naina kita lihat nanti,” ujarnya pelan, namun cukup membuat Naina merasa ia baru saja masuk ke babak baru yang tak pernah ia rencanakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!