NovelToon NovelToon

Dikutuk Jadi Tampan

Bab 1 Tersiksa karena Tidak Tampan

Edo Tegar Ferdias, dipaksa melompat-lompat jongkok seperti kodok oleh 5 teman sekelasnya. Remaja Kurus itu sudah sangat kelelahan, kakinya gemetar. Ditambah lagi matahari siang bersinar terik. Siksaan ini makin terasa seperti neraka.

Edo ingin sekali berhenti melompat-lompat, tapi jika berhenti, 5 siswa yang sedang mengelilinginya pasti langsung menghajarnya lagi.

“Woy kodok jelek. Kenapa berhenti?” seru salah seorang dari 5 orang itu yang bernama Edgar dengan nada merendahkannya.

“Ma–maaf!” sahut Edo yang berhenti melompat sebentar hanya untuk mengatur napasnya, lalu lanjut lagi.

“Bagus. Terus melompat-lompat sampai besok. Haha!” ledek Edgar puas, lalu diiringi tawa bersama 4 teman gengnya.

Edgar sendiri memang sosok ketua geng dari 4 orang yang mengelilingi Edo. Dia terkenal di SMA 7 sebagai cowok paling tampan dan paling diidolakan cewek-cewek, namun dia juga terkenal sebagai siswa paling sering membuat onar.

Sedangkan Edo yang sedang lompat-lompat itu. Cuma seorang siswa yang dianggapnya sangat tidak penting karena memiliki paras sangat jelek. Sampai-sampai dianggap layak untuk disakiti.

Beberapa jam yang lalu, Edgar mendapatkan nilai 25 dari ulangan matematika. Kemudian dia tidak sengaja melihat paras jelek Edo dari kejauhan. 

Hanya gara-gara itu lah, Edgar lalu menyeret Edo ke lapangan belakang sekolah bersama gengnya, menghajar Edo sampai babak belur, lalu menyuruhnya melompat-lompat hingga sekarang.

Sebenarnya, Edgar dan gengnya hampir setiap hari memperlakukan Edo dengan buruk. Mereka bilang: melihat paras Edo bikin emosi jadi naik.

Bukan cuma Edgar, tapi hampir semua penghuni sekolah memang setuju akan hal itu. Sampai-sampai Edo dijuluki sebagai siswa perusak pemandangan sekolah.

Rambut pendek kaku; warna kulit sawo kematangan; hidung sangat tumpul; dua gigi kelinci besar yang sampai-sampai menyembul keluar meski menutup mulut; dan juga punya tompel besar di pipi kiri.

Hanya gara-gara tidak good looking, dia jadi dibenci.

Sungguh kehidupan yang tidak adil untuk Edo. 

Padahal, dia sendiri juga tidak ingin terlahir dengan paras begitu. Edo juga ingin hidup normal seperti anak lainnya, punya teman akrab dan bisa memiliki pacar.

“Sampai kapan aku harus hidup menyedihkan kaya ini?” keluh Edo dalam hati. Dia sudah tidak kuat dengan kehidupannya sendiri. Tersiksa hampir setiap hari.

Brugh!

Bola mata Edgar seketika membulat tatkala melihat Edo berhenti melompat dan duduk tertunduk lemah di tanah. Edgar cepat-cepat menghampiri Edo dan mencengkram kerah bajunya.

“Berani-beraninya! Aku belum nyuruh kamu berhenti. Mau kami hajar lagi, hah?” geram Edgar sambil menggertakkan giginya.

“Ma–maaf, Gar. Aku capek banget. Gak sanggup lompat-lompat lagi,” sahut Edo dengan nada penuh memohon.

“Wah berani ngelawan dia, tuh. Jangan kasih ampun, Gar!” Salah satu teman Edgar memanas-manasi.

“Betul, tuh. Hajar saja sampai babak belur lagi!” tambah salah satu teman Edgar.

“Enggak, Gar, aku gak ngelawan. Aku beneran capek,” mohon Edo dengan sangat memelas.

Edgar tersenyum miring. Saran dari dua temannya dinilai cukup menarik . Tangan kanannya pun mulai mengepal kuat dan perlahan diangkat ke atas.

Ekspresi Edo kembali ketakutan lagi. “Ampun, Gar … !” mohonnya.

“Kau … wajah jelekmu itu benar-benar bikin aku kesal. Orang kaya kamu, pantasnya mati saja!” geram Edgar

Pukulannya pun dilayangkan cepat menuju wajah Edo.

Edo menutup mata rapat-rapat. Pasrah.

“Berhenti!” 

Tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak lancang, membuat Edgar menghentikan laju pukulannya yang belum mendarat di wajah Edo.

Semua orang menoleh ke sumber suara. Itu ternyata dari Putri, si ketua kelas. Siswi yang juga menyandang gelar cewek paling cantik di sekolah.

“Lagi-lagi ngehajar anak jelek itu. Apa kalian gak ada kerjaan lain?” tegur Putri dengan tatapan sinis dan menyilangkan tangan di dada.

“Itu urusan kami. Ngapain kamu ikut campur?” balas Edgar sewot. Tidak suka Putri mengganggu kesenangannya.

Putri menghela napas panjang. “Kalau mau ngehajar itu anak, jangan di sekolah. Gara-gara kalian, kelas kita dapat nilai kesopanan paling buruk!”

“Halah. Peduli apa aku. Pergi sana cewek pengganggu!” Edgar tidak mau kalah.

Putri beralih menatap wajah Edo yang terlihat jelas seperti orang yang setengah sadar karena kelelahan.

“Lepasin Edo, atau kulaporin kalian ke pak kepala sekolah. Kalian tahu kan, aku ini anak pak kepala sekolah. Aku bisa bikin kalian semua dikeluarkan dari sekolah jika aku mau!” ancam Putri yang kali ini kata-kata tegasnya membuat Edgar dan gengnya jadi ciut.

“Cewek gak asik. Selalu aja gini. Yuk guys. Cabut!” tatih Edgar sambil melepas kasar cengkraman tangannya dari kerah seragam Edo.

“Makasih, Put, udah nolongin aku.” Edo berucap dengan penuh senyuman setelah Edgar dan gengnya pergi jauh. Dia datangi Putri dengan langkah tertatih-tatih.

Menyadari Edo datang mendekat, wajah Putri berubah kecut. Dia pun cepat-cepat balik badan seakan jijik.

“Aku nolong bukan peduli sama kamu. Memangnya siapa yang bakalan peduli sama cowok muka kaya kamu!” Putri melangkah pergi.

Kata-kata Putri memang selalu menusuk hati Edo dengan sakitnya. Akan tetapi, Edo selalu gagal untuk membenci cewek yang selalu menguncir rambutnya itu.

Meski Putri tak jarang ikut-ikutan mengina paras Edo seperti cewek-cewek lainnya, tapi malah dialah yang menjadi orang satu-satunya yang sering datang menyelamatkan Edo dari perbuatan Edgar, seperti yang telah ia lakukan tadi.

Entah apa alasannya, namun perbuatannya itu membuat Edo diam-diam mengagumi Putri. Putri dianggapnya sebagai pahlawan dan cewek impian.

Diam-diam juga, Edo menyimpan rasa suka ke Putri. Namun, Edo sadar diri akan kualitas wajahnya.

“Cowok jelek sepertiku, mana mungkin bisa jadi pacarnya,” gumam Edo sambil terus melihat punggung Putri yang makin menjauh.

Bell sekolah berbunyi tanda jam sekolah selesai. Para siswa berhamburan keluar melewati pintu gerbang. 

Edo pulang ke rumah dengan berjalan kaki karena jarak rumahnya cukup dekat dan hanya butuh perjalanan 5 menit saja.

Selama perjalanan, Edo meringis kesakitan. Sekujur tubuhnya nyilu-nyilu, serta beberapa titik di wajahnya lebam karena bekas pukulan Edgar dan gengnya tadi siang.

Di jalan perumahan yang dilaluinya, Edo tiba-tiba melihat seseorang yang ia kenal tak jauh di depannya. Dan orang itu punya wajah tampan.

“Denis!” panggil Edo.

Denis menoleh ke belakang. Saat tahu siapa yang memanggil, wajahnya seketika menampakkan kemalasan.

Denis sendiri adalah adik kandung Edo yang juga bersekolah di SMA 7. Edo sudah duduk di kelas 3, sedangkan Denis masih di kelas 1.

Iya … memang cukup aneh. Denis terlahir tampan, tapi wajah Edo malah berbanding terbalik dengan adiknya sendiri. Jika mereka disuruh berdiri berdampingan, tidak ada orang yang akan percaya kalau mereka kakak-adik.

“Pulang bareng, yuk,” ajak Edo antusias saat tiba dan ikut berjalan di samping Denis.

“Abang ngapain dekat-dekat? Kalau ada teman-temanku lihat bisa malu aku!” sahut Denis sambil sedikit menjauhkan diri.

“Aku cuma ngajak pulang bareng doang.”

“Gak boleh! Aku di sekolah sering dikata-katain gara-gara punya abang muka jelek,” protes Denis.

Perkataan Denis sebenarnya menyakiti perasaan Edo, namun ia tetap berusaha ramah karena ingin mengakrabkan diri dengan adik satu-satunya ini.

“Tapi aku ini abangmu. Masa sebagai kakak gak boleh akrab sama adik sendiri?”

Denis tiba-tiba berhenti berjalan. Ia menoleh ke sang kakak lalu mendorongnya kuat-kuat sampai-sampai Edo terjengkang di tanah. 

Edo syok dengan sikap kasar adiknya yang tiba-tiba ini.

“Mau di sekolah, di rumah, Abang enggak boleh akrab sama aku. Malu aku!” bentak Denis dengan tatapan benci kepada Edo. 

Denis lalu bergegas pergi, meninggalkan Edo yang terdiam dengan hati yang remuk. 

Denis memang sejak lama selalu menekankan kepada Edo agar jangan dekat-dekat kepada dirinya.

Bahkan di rumah pun, Denis enggan untuk mengakrabkan diri dengan sang kakak.

Denis tidak peduli dengan Edo. Bahkan saat menyaksikan sang kakak diganggu oleh Edgar dan gengnya, Denis hanya diam menyaksikan.

Denis di sekolah masuk jajaran 10 besar cowok ganteng. Ia merasa jika akrab dengan sang kakak akan mencoreng gelarnya itu.

Bagi Denis, Edo sudah tidak dianggap sebagai kakak kandung setelah sang ayah meninggal 2 tahun yang lalu. 

Tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Edo kembali berdiri dan melanjutkan perjalanan pulang. Yang ia inginkan sekarang hanyalah mengobati luka dan lebam di sekujur tubuhnya. Lalu istirahat.

Soal perlakuan kasar Denis tadi, Edo tidak mau memperpanjang lagi. Dia cuma berharap, suatu hari nanti sang adik bisa menerima kekurangan kakaknya ini.

Edo akhirnya sampai di depan sebuah rumah gaya minimalis berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. Dia ingin cepat-cepat masuk lalu pergi beristirahat.

Tapi baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, sang ibu datang buru-buru dari arah samping.

Tak tanggung-tanggung, sang ibu langsung menampar keras pipi Edo sampai jatuh tersungkur.

“Anak enggak tahu diri!” sergah si ibu yang bernama Ratna itu.

Bab 2 Dihukum Ibu

“Ibu kenapa tiba-tiba nampar Edo?” tanya Edo dengan wajah terkejut dan bingung.

Tidak mau basa-basi, Ratna langsung saja menarik tangan kurus anaknya ke dalam rumah secara paksa.

“Mau tahu kesalahanmu, ikut ibu!” seru Ratna dengan tatapan geram.

Edo diseret sampai ke ruang tamu dan tampaklah kesalahan Edo yang dimaksud oleh Ratna. Di sana juga sudah ada Denis, berdiri sambil menyilangkan tangan di dada.

Edo terkejut dengan mulut terperanga karena melihat satu gaun tidur kesayangan Ratna dan satu kaos kesayangan Denis tergeletak sembarang di lantai. 2 baju itu sudah rusak dengan bekas gosong. Bahkan baju kesayangan milik Denis gosong sampai bolong.

“Semalam ibu suruh kamu untuk menyetrika semua baju, tapi kenapa kamu bikin gaun tidur ibu dan kaos Denis jadi gini!” bentak Ratna dengan mata melotot tajam.

Edo nampak kebingungan. Pasalnya, semalam memang ia menyetrika pakaian kesayangan Ratna dan Denis ini, tapi merasa tidak melakukan kesalahan.

“Tidak, Bu. Edo semalam memang menyetrika sampai ketiduran, tapi aku ketiduran setelah selesai menyetrika semua baju-baju. Edo juga enggak tahu kenapa baju ibu dan Denis bisa hangus begini,” kilah Edo, menerangkan sejujur-jujurnya.

“Alasan dia tuh. Orang salah mana mungkin ngaku. Mana itu kaos mahalku lagi yang dirusak,” Denis buka suara dengan tatapan bencinya kepada Edo

“Enggak Denis. Aku beneran jujur. Aku bahkan ingat sudah kulipat rapi setelah selesai menyetrika. Yang jelas bukan aku yang bikin baju kesayangan kalian rusak.” Edo tetap kekeh kalau dirinya benar.

“Terus yang bikin baju-baju ini hangus sampai bolong siapa? Hantu?” 

“Mungkin saja…” lirih Edo.

Ratna makin geram dengan jawaban Edo. “Udah salah masih aja keras kepala. Gini aja, malam ini kamu tidur di luar dan gak dapat makan malam!”

“Tapi, Bu—”

“Titik. Enggak ada tapi-tapian!”

Ratna dan Denis kemudian kembali bersama menuju ruangan keluarga. Sementara Edo masih memaku di tempat. Ia menerka-nerka benarkah semalam telah melakukan kesalahan.

“Apa benar aku yang ngelakuinnya? Aku ko tidak merasa,” gumam Edo, penuh tanda tanya.

Pada akhirnya, Edo pun mengikhlaskan diri untuk dihukum tidur di luar dan tidak mendapatkan jatah makan malam. Dia membawa kasur lipat, selimut, baju ganti, dan kotak P3K ke bagasi mobil. Dia akan tidur di sana.

Malam tiba, Edo mengobati luka-luka dan memarnya di sana. Selesai itu, ia rebahan untuk mengistirahatkan tubuh sambil menyelimuti diri karena di dalam garasi terasa dingin. 

Edo bisa saja tidur di dalam mobil milik Ratna yang juga terparkir di dalam. Tapi jika ketahuan, bisa-bisa sang ibu marah dan mungkin Edo akan mendapatkan tambahan hukuman.

Edo sudah tidak ingin memikirkan perkara baju gosong itu. Sekarang cuma ingin istirahat merenungi nasib hidupnya yang seperti tidak pernah mendapatkan kebahagiaan sama sekali. 

Bayangkan saja, Edo Di rumah dijadikan seperti pembantu. Di sekolah selalu mendapatkan hinaan dan perlakuan kasar.

Iya… Di rumah, Edo memang diperlakukan seperti pembantu oleh ibu dan adiknya. Disuruh ngepel, menyetrika baju, cuci piring, bersih-bersih rumah, dan lain-lain. Dan ini sudah berlangsung sejak sang ayah meninggal 2 tahun yang lalu.

Alasan Ratna dan Denis tega berbuat begitu ternyata hanya perkara Edo memiliki wajah tidak enak dipandang. Bisa dibilang, nasib Edo yang buruk baik di sekolah dan di rumah, itu semua karena perkara kekurangan wajahnya.

“Wajahmu itu bikin ibu malu punya anak kaya kamu.” Begitulah salah satu lontaran pedas Ratna yang sering dikatakan ke anak kandung sulungnya.

“Abang jangan dekat-dekat. Muka abang bikin mual.” Itu juga ucapan yang sering dilontarkan Denis sebagai adik.

Edo hanya bisa diam dan terus menerima dengan tegar, serta tetap bersikap baik ke mereka. Dia tidak mau membenci sosok ibu yang telah melahirkannya, serta adiknya sendiri.

Mungkin, hanya ada satu hal yang dia sesali dan tidak terima hingga saat ini, yakni kenapa harus terlahir dengan wajah yang mirip dengan almarhum ayahnya?

“Andai wajahku tidak mirip dengan ayah, aku pasti sekarang hidup bahagia,” gumam Edo sambil berbaring melihat langit-langit garasi.

Singkat cerita di masa lalu: Ratna saat masih gadis menikahi pria kaya bernama Lukman. Meski Lukman memiliki paras tidak enak dipandang alias jelek, Ratna tetap mau menjadi istrinya demi bisa hidup mewah karena Lukman tergolong orang yang banyak harta.

Bisa dibilang, Ratna tidak mencintai Lukman, tapi hanya ingin hidup nyaman.

Setahun setelah pernikahan, lahirlah anak pertama, diberi nama Edo Tegar Ferdias. Ratna langsung kurang menyukai anaknya sendiri karena parasnya mirip dengan suaminya.

Dua tahun kemudian, lahirlah Denis yang membuat Ratna senang bukan main karena anak kedua memiliki wajah tampan. Ketampanan Denis ditularkan dari wajah Ratna yang cantik.

Tahun demi tahun berlalu. Lukman meninggal karena kecelakaan. Kehidupan Edo yang dipenuhi dengan hinaan pun jadi semakin bertambah berat hingga sekarang.

Edo hampir selalu ingin meneteskan air mata tiap kali mengingat semua hinaan dan perbuatan buruk Ratna, Denis, dan teman-teman sekolahnya yang selalu mengejek kekurangan wajahnya serta berperilaku kasar ke dirinya.

Jujur, Edo sebenarnya sudah dari lama ingin kabur jauh-jauh. Ia ingin kabur ke ibu kota dan memulai hidup bebas sendirian di sana. Edo sudah tidak betah dengan kehidupan disini yang selalu membuatnya sakit hati setiap hari.

Akan tetapi, tindakan untuk kabur itu selalu Edo tahan karena sebuah sebab.

...****...

Jam di layar HP pipih Edo menunjukkan pukul 9 malam. Edo bangun dari rebahannya karena perutnya daritadi keroncongan hebat.

“Laper banget. Apa aku diam-diam ambil makanan di kulkas saja, ya?” ucap Edo sambil memegang erat perutnya.

Karena sudah tidak tahan lagi dengan perut laparnya, Edo mengendap-ngendap menuju depan pintu rumah. Untung saja pintu rumah masih belum dikunci. Dia terus diam-diam masuk ke dalam dapur dan membuka kulkas. Ada sepotong kue brownies di dalam sana.

“Syukurlah. Ini juga cukup buat ganjel perut sampai besok pagi,” ujar Edo sambil membawa brownies itu, senang.

Ketika melewati ruang keluarga, kaki Edo berhenti melangkah karena tidak sengaja mendengar percakapan antara Ratna dan Denis yang sedang duduk santai di ruang tengah. Dia pun menguping di sana.

“Ibu, apa yakin kita udah bikin Bang Edo makin gak betah tinggal di rumah ini?” tanya Denis yang sambil main game online di HP-nya.

“Yakin, soalnya kita berdua udah lama memperlakukan Edo dengan buruk seperti pembantu di rumah ini,” sahut Ratna sambil tetap fokus menonton sinetron kesayangannya.

Edo tercengang mendengarnya. Sengaja memperlakukan buruk? Apa maksudnya? Rasa penasaran memuncak. Edo ingin mendengar lebih lanjut lagi.

“Bisa gak si, Bu, kita usir langsung saja abang Edo dari rumah ini tanpa harus pakai cara pelan-pelan? Aku sudah muak tiap hari lihat muka dia,” usul Denis lagi.

“Ibu juga muak lihat muka dia. Tapi kalau pakai cara usir langsung, entar nama baik ibu di masyarakat jadi buruk. Akan lebih aman jika kita buat dia yang inisiatif kabur sendiri. Edo pasti sekarang makin tidak betah gara-gara dihukum tidur di luar dan gak dapat jatah makan malam.”

“Haha … asli. Ide ibu licik tapi bagus. Nuduh Bang Edo yang ngehangusin baju kita. Padahal ibu sendiri yang ngehangusinnya.”

Edo terbelalak dengan napas yang terasa tercekat. Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa gemetar. Tangan kirinya mengepal kuat.

“Jadi … Ibu sama Denis sengaja jahat biar aku pergi dari rumah ini tanpa disuruh!” geram Edo dengan rahang mengeras dan deru napas yang mulai memburu.

Tak pikir panjang. Edo cepat mendatangi Ratna dan Denis dengan langkah lebar, lalu melempar kue brownies dari tangannya tepat ke layar kaca televisi. Sampai-sampai kue itu hancur dan menempel di sana menutupi hampir semua layar.

“Edo. Kamu udah gila!” bentak Ratna sambil cepat berdiri.

Bab 3 Pergi dari Rumah

Flashback kemarin malam:

[Malam itu di kediaman Ratna sedang diadakan pesta ulang tahun Denis yang cukup meriah. Banyak teman-teman Denis hadiri pesta. Sementara Edo ada di ruangan belakang sedang menyetrika banyak baju.

Tentu saja, Edo tidak diizinkan ikut berpesta. 

“Jangan ikut pesta, entar mukamu bikin teman-teman Denis takut!” cegah Ratna melarang.

Padahal sejak tadi siang, Edo yang membantu banyak persiapan acara ulang tahun Denis itu. Tapi malamnya malah disuruh menyetrika pakaian-pakaian Ratna dan Denis.

Setelah selesai menyetrika dan melipat semua baju dengan rapi, Edo membaringkan kepala ke tepi meja sambil tetap duduk di kursinya. Dia kelelahan sampai-sampai malas untuk pindah tidur ke kamarnya. Dia pun tertidur.

Ratna yang datang untuk mengecek apakah sudah selesai atau belum langsung mendapatkan ide saat mempergoki Edo yang tertidur pulas. Sebuah ide licik untuk membuat Edo makin tidak betah dan membuatnya berinisiatif sendiri untuk pergi dari rumah tanpa perlu susah-susah mengusirnya.

Ratna mengambil gaun tidur kesayangannya serta kaos kesayangan Denis yang sudah disetrika dan dilipat rapi oleh Edo. Dia setrika ulang dua pakaian itu dan didiamkan sampai hangus dan bolong.

Kemudian, Ratna melipatnya seperti semula dan meletakkan kembali dua pakaian itu ke tempat semula.

Semua telah direncanakan oleh Ratna demi bisa menyingkirkan anak kandungnya sendiri.]

“Kenapa Ibu dan Denis bisa setega ini? Aku punya salah apa ke kalian?” bentak Edo penuh emosi kepada Ratna dan Denis.

Belum pernah ia terlihat semarah ini. Sampai-sampai bahunya naik turun cepat mengikuti alur napasnya yang mengalir deras.

Sementara Ratna dan Denis nampak seperti mati kutu karena terbongkarlah perbuatan mereka selama ini.

Ratna ingin menepis dengan cara berbohong. Tapi setelah dipikir-pikir, itu akan percuma. Edo sudah terlanjur tahu banyak. 

“Mau tahu apa salahmu? Salahmu karena lahir dengan muka mirip seperti ayahmu yang meninggal itu. Ibu memang gak pernah menyukaimu dari dulu!” Ratna menyilangkan dua tangannya di dada sambil melempar pandangan ke arah lain.

“Memangnya Edo minta dilahirkan dengan muka seperti ini? Edo juga ingin terlahir ganteng seperti Denis. Hanya gara-gara wajah, kalian seperti gak menganggapku keluarga!”

Ratna menyeringai. “Iya. Kamu memang gak pernah kami anggap bagian keluarga. Justru ibu dan Denis senang jika kamu pergi dari rumah ini. Bisa bikin hidup aku sama Denis jadi lebih baik!”

Seketika, dada Edo terasa seperti ditikam pukulan keras yang membuat napasnya sesak. Tidak percaya sang ibu mengatakan hal keterlaluan seperti itu.

“Apa benar aku sedang bicara dengan ibu kandung? Ko gampang banget ngomong kaya gitu?” kecewa Edo dalam batin.

Edo pun tertunduk. Dua bahunya perlahan turun. Beberapa tetes air mata mulai berjatuhan ke lantai. Air mata kekecewaan yang menyayat hati.

“Padahal, selama ini aku berusaha baik dan menuruti semua perintah ibu demi bisa mendapatkan kasih sayang. Aku juga berusaha akrab sama Denis supaya punya teman, karena di sekolah semua orang menjauhiku.

Aku berusaha baik ke kalian berdua cuma supaya dapat balasan cinta dan kasih sayang. 

Tapi … tapi … ternyata orang jelek sepertiku memang tidak pantas mendapatkan hal sederhana kaya gitu.”

Isak tangis Edo semakin tak terbendung. Berbeda dengan Ratna yang tetap bersikap dingin, Denis malah merasa seperti nampak iba dan bersalah. Namun, ia tidak mau menunjukkan dan memilih diam.

Edo yang masih terus mengeluarkan air mata kini mulai menegakkan kepalanya lagi. Ratna kaget dengan sorotan mata Edo yang kini berubah tajam. Seperti dipenuhi kebencian. Tatapan yang belum pernah dilihat Ratna dan Denis selama ini.

“Jika itu yang memang diinginkan Ibu dan Denis. Baik … aku akan pergi dari rumah ini. Sekarang!”

Ratna malah tertawa kencang. Lebih tepatnya seperti tawa meremehkan. “Baguslah kalau lebih cepat. Memang kamu bakalan pergi ke mana? Terus tinggal di mana?”

“Itu urusanku, apa urusan ibu!?”

Ratna tercengang mendengar balasan cepat Edo yang malah menantang. Ditambah lagi, tatapan Edo benar-benar menunjukkan ketidakpedulian dan tidak mau sopan atau tunduk lagi.

“Semoga Ibu dan Denis bahagia. Maaf sudah membuat kalian tersiksa gara-gara melihat wajahku setiap hari yang tidak pantas dilihat ini!”

Edo memutar badan, dengan langkah mantap ia menuju ke kamarnya. Di sana, dia mengemas semua bajunya ke dalam tas sekolahnya yang akan digunakan untuk pergi ke ibu kota.

Tak butuh waktu lama, Edo sudah memakai jaket hitam dan celana panjang, serta menggendong tas yang berisi bawaannya. Dia melangkahkan kaki ke luar rumah dengan mantap. Pergi tanpa mengucapkan kata pamit.

Denis yang melihat kepergian Kakaknya hanya bisa berdiri di ambang pintu. Ia ingin sekali berteriak, menghentikan langkah sang kakak, tapi tidak bisa. Rasa ragunya lebih tinggi.

Lain dengan Ratna, dia malah kembali duduk di ruang tengah dan menonton sinetron kesukaannya lagi. Dia benar-benar tidak peduli. Dan memang ini yang ia inginkan sejak dulu.

Di tempat lain, Putri sedang sibuk mengerjakan PR di kamar. Tiba-tiba ketukan pintu kamar mengganggu konsentrasinya. Sang mamah datang hendak memberitahu sesuatu.

“Put. Ada temenmu tuh nyariin di bawah.”

Putri menoleh. “Siapa, Mah?”

“Entahlah. Mamah lupa nanya namanya. Dia gak mau masuk. Maunya ketemu sama kamu di pintu gerbang. Katanya bentar doang.”

Putri bingung dan menebak-nebak teman yang mana. Pasalnya, jarang teman-temannya datang bertamu malam-malam begini. Kalaupun ada, biasanya memberi kabar dulu lewat pesan.

Putri lalu turun ke lantai bawah. Dia keluar menuju pintu gerbang rumah dan melihat seseorang memakai jaket dengan kepala yang ditutup dengan tudung jaketnya. Orang itu menghadap ke arah berlawanan.

“Maaf. Kamu siapa ya?”

Saat orang berjaket itu putar badan, Putri melongok bercampur bingung.

“Edo … ngapain ke sini? Kamu ko nangis?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!