NovelToon NovelToon

Manuver Cinta

BAB 1

“Diandra Elene Maris.”

Suara berat itu menghantam gendang telinganya seperti gelombang yang datang tanpa aba-aba. Refleks, Diandra menoleh cepat.

Alisnya berkerut bingung, hanya segelintir orang yang tahu nama lengkapnya. Namun matanya langsung membesar saat melihat seorang pria tinggi berpostur tegap, rapi terbungkus setelan jas mahal, melangkah mendekat dengan wajah dinginnya.

Wajah dingin dengan rahang tegas itu tak memberi ruang untuk menebak isi pikirannya. Aura dominan yang menyertainya bagaikan medan gravitasi, menarik pandangan siapa pun yang berada di sekitarnya. Untuk sepersekian detik, Diandra lupa bagaimana caranya bernapas.

Pria itu adalah Lingga Aditya Wijaya. Anak sulung keluarga Wijaya dan sekarang menjabat sebagai CEO di Perusahaan Adiwijaya Grup, Lingga terkenal dingin, tertutup, tegas dan tak tersentuh itu kini menatapnya tajam.

“Apa yang kamu lakukan di kantor saya?” tanyanya dengan wajah datar.

Nada suaranya tenang, namun sorot matanya cukup untuk membuat nyali Diandra menciut.

Diandra menegakkan punggung, berusaha menyembunyikan gugup yang mulai merayap ke permukaan. “Salah masuk,” ujarnya singkat, Ia berbalik, berniat segera pergi.

Baru satu langkah, jemari kokoh mencengkeram lengannya. Sentuhan itu membuatnya spontan menoleh, mata membulat.

“Kenapa?” suaranya meninggi, lebih karena terkejut dan tak suka tubuhnya disentuh tanpa izin. Ada ketegangan yang jelas dalam tatapannya dan sedikit rasa takut yang berusaha ia sembunyikan.

"Seorang Diandra Elene maris salah masuk kantor orang?" ujar Lingga, matanya menyipit penuh selidik.

Diandra mencoba menarik lengannya, tapi pegangan Lingga terlalu kuat.

"Ish! Mau lo apa sih?!" bentaknya kesal.

"Alasan kamu masuk kantor saya?" ulang Lingga tenang, namun tatapan matanya tajam.

Diandra mendengus, "Udah gue bilang, gue salah masuk! Kurang jelas?"

"Saya bukan orang bodoh, Diandra."

Diandra memutar bola matanya, geram. "Yang bilang lo bodoh siapa?"

Lingga terdiam, matanya menelusuri wajah di hadapannya. Yang tersisa hanya guratan kesal, bercampur samar dengan kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.

"Udah ya, gue buru-buru." Diandra menarik lengannya dengan paksa. Kali ini berhasil lepas.

Tanpa menunggu respon, dia langsung berlari keluar, mengabaikan suara Lingga yang memanggil namanya.

Tak lama setelah itu, suara derap langkah menggema dari arah pintu. James muncul sambil menyibak jasnya, menatap ke arah lorong dengan alis terangkat.

“Tadi itu... anak dari Harris Aditama?” tanyanya, nada suaranya penuh selidik.

Lingga hanya mengangguk pelan, sebelum kembali melangkah masuk ke ruangannya tanpa sepatah kata.

James mengikutinya dengan langkah cepat. “Ngapain dia ke sini?”

Lingga berhenti sejenak sebelum membuka pintu ruangannya. “Katanya salah masuk,” ucapnya singkat.

"Salah masuk?” James menyipitkan mata, curiga. “Lo percaya?”

Lingga tidak langsung menjawab. Ia berjalan santai menuju kursi kerjanya, lalu menjatuhkan tubuh dengan elegan di kursi yang megah itu. Tangan kirinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi dengan ritme lambat. Matanya menatap kosong ke depan seakan tengah merangkai potongan-potongan teka-teki yang baru saja muncul.

“Tatapannya terlalu tenang untuk orang yang nyasar.”

James menyilangkan tangan di depan dada, mengangguk kecil. “Lo nggak mau cari tahu lebih lanjut? Maksud gue, siapa juga yang nyasar ke lantai dua belas dan kebetulan banget masuk ruangan ini?”

“Nggak perlu,” jawab Lingga tenang, nyaris terlalu tenang. “Saya yakin dia tahu persis ke mana dia melangkah.”

James mengerutkan dahi, nada suaranya mulai terdengar waspada. “Apa gue perlu turun tangan?”

Lingga tersenyum tipis. “Tidak perlu. Saya sudah tahu tujuannya.”

James semakin mengernyit. “Hah? Maksudnya gimana?”

“Nanti kamu akan tahu,” jawab Lingga santai, suaranya nyaris tenang berlebihan.

James diam sesaat, lalu mengangguk. Dia tahu, sahabatnya itu tidak pernah asal bicara. Insting Lingga jarang meleset dan ketika pria itu mulai bermain tenang seperti ini, biasanya ada rencana yang sedang dijalankan.

“Oh ya, untuk urusan keluarga Hadinata?” tanya James, mengalihkan topik.

“Tolong atur pertemuan dengan anaknya Hadinata. Secepatnya.”

James mematung sejenak. Menatap Lingga, lalu mengerjapkan mata, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Ini pertama kalinya pria itu tidak menyetujui urusan yang tidak penting.

“Lo serius?” gumam James, masih belum yakin.

Lingga menoleh sekilas dan melemparkan senyum kecil yang nyaris seperti sindiran. “Kesempatan harus dijemput, bukan dihindari.”

James mengernyit bingung, pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang maksud dan tujuan sebenarnya dari Lingga. Namun tanpa banyak tanya, ia tetap melangkah keluar ruangan, menjalankan semua perintah yang diberikan tanpa protes. Tapi kepercayaannya pada insting sahabatnya tetap tak tergoyahkan.

Begitu pintu tertutup, Lingga bersandar kembali. Pandangannya kosong, namun senyum di wajahnya perlahan mengembang licik, penuh perhitungan.

“Let’s see... sampai sejauh mana kamu berani melangkah, Diandra Elene Maris,” bisiknya pelan.

______

Diandra berlari kecil menuju sebuah kafe yang tak jauh dari gedung megah Adiwijaya Grup. Nafasnya memburu, pelipisnya basah oleh keringat.

Begitu sampai, ia langsung menjatuhkan tubuh ke kursi di pojok ruangan. Tanpa sepatah kata, tangannya meraih gelas minuman dingin yang sudah dipesan Marissa dan menenggaknya seolah tenggorokannya tengah terbakar.

“Gue… ketahuan.” Suaranya terdengar lemah.

“Ketahuan?” Marissa langsung mencondongkan tubuh, mata membulat tidak percaya.

Diandra mengangguk, masih mencoba menstabilkan nafasnya. “Gila… aura dia tuh kejam banget, Ca. Dingin, tajam… kayak bisa menguliti orang lewat tatapannya.”

Marissa mengernyit. “Kok bisa sih lo langsung ketahuan?”

“Baru juga masuk ruangan, tiba-tiba ada yang manggil gue… pakai nama lengkap pula! Diandra Elene Maris!” Diandra mendengus, syok masih jelas membekas di wajahnya.

Marissa sontak menegakkan punggung. “Lingga tahu nama lengkap lo? Kok bisa?!”

“Itu dia yang gue nggak ngerti.” Diandra mengusap wajahnya, nadanya berat. “Gue nggak pernah ngenalin diri sebagai anak bokap. Gue nggak pernah pakai nama keluarga gue. Tapi… kenapa dia tahu nama lengkap gue?”

"Yah, berarti rencana kita gagal dong? Gue ngarep banget lo bisa bantu dikit. Ini penting banget, Ra." ujar Marissa sedikit kecewa.

“Ca...” Diandra menoleh dengan wajah serius. “Lo lupa siapa gue? Gue anaknya Harris Aditama. Dan keluarga gue udah musuhan lama sama keluarga Lingga sejak zaman baheula. Lo pikir gue bisa bantu lo dalam kondisi kayak begini?”

Marissa mendesah panjang. Ia tahu itu. Semua orang di kalangan bisnis tahu. Dua nama besar,  Adiwijaya dan Aditama, ibarat kutub yang tak pernah akur. Bahkan dulu sempat ada skandal besar yang nyaris bikin dua keluarga itu saling menghancurkan.

“Tapi... lo kan nggak pernah tampil di publik sebagai anak bokap lo. Nama lo juga nggak ada embel-embel Aditama. Profesi lo beda banget sama jalur keluarga lo. Gue kira, ya... dia nggak bakal ngeh.”

“Gue juga mikir gitu, Ca. Tapi kenyataannya?” Diandra menatap sahabatnya tajam. “Dia nyebut nama gue lengkap. Dengan nada datar, dingin, dan creepy abis.”

Marissa menggeleng tak percaya. “Tapi tetap aja aneh, Ra. Dia bisa tahu nama lengkap lo segitunya? Dari mana coba?”

Diandra terdiam. Matanya menunduk menatap gelas yang nyaris kosong. Semakin ia pikirkan, semakin tidak masuk akal.

“Iya ya... Bahkan di dokumen-dokumen resmi pun gue nggak pakai nama keluarga. Semua dirahasiain.”

Keduanya terdiam. Hening mendadak menyelimuti meja mereka. Suara denting sendok, dengung mesin kopi dari balik bar, dan obrolan pelan pengunjung lain terasa seperti gema jauh.

Namun di benak Diandra, hanya satu suara yang bergema, Bagaimana Lingga bisa tahu siapa dia sebenarnya?

Marissa akhirnya mendesah keras, lalu menjatuhkan kepalanya ke meja dengan dramatis.

"Terus gue harus gimana, Ra?" suaranya nyaris putus asa.

Diandra menyandarkan diri ke kursi, mengangkat alis dengan santai. "Ya udahlah... terima aja. Dari wajah sih, nggak nyesel."

Marissa mengangkat kepala, menatap sahabatnya tajam.

"Tampang doang nggak cukup buat bikin bahagia, Diandra!" suaranya mulai bergetar, lalu tiba-tiba saja isakan kecil lolos dari bibirnya. "Gue nggak bisa bayangin harus hidup sama orang kayak dia... dingin, kaku, misterius... kayak tembok beton!"

Isaknya semakin jelas. Beberapa pengunjung mulai melirik penasaran, tapi Marissa tak peduli.

"Katanya... dia nggak percaya sama cinta atau hubungan apa pun. Terus, gimana nasib gue nanti?" gumamnya di sela tangis.

Diandra hanya bisa memandang dengan tatapan prihatin. Meski mulutnya kadang seenaknya, tapi tetap saja ia tidak tega.

"Udahlah... jangan nangis, Ca. Lo bisa cari cara lain." ucapnya pelan sambil mengelus bahu sahabatnya.

"Ini tuh antara hidup dan mati, Diandra!" seru Marissa sambil kembali menjatuhkan kepalanya ke meja.

"Dia ganteng, Ca. Setidaknya lo bisa cuci mata setiap hari," goda Diandra mencoba mencairkan suasana.

"Diandra Elene Maris!" teriak Marissa kesal.

BAB 2

"Ada yang bilang kamu masuk ke gedung Adiwijaya?"

Suara berat Harris memecah keheningan meja makan yang biasanya sunyi. Pertanyaan itu membuat semua mata menatap ke arah Diandra, yang saat itu sedang memotong ayam di piringnya.

Diandra terdiam sesaat, lalu menjawab santai, "Diandra salah masuk, Pah."

Nada suaranya ringan, tapi ketegangan di ruangan langsung terasa. Semua tahu, nama Adiwijaya bukan sekadar nama biasa bagi keluarga ini.

"Jangan pernah berhubungan dengan keluarga Adiwijaya, Diandra" tegas Harris. Tatapannya menusuk, menyiratkan larangan yang tidak bisa ditawar.

Diandra hanya mengangguk kecil. Kalau bukan karena Marissa, dia pun tak akan pernah menginjakkan kaki di gedung itu.

"Ra," suara lembut Mama Salma terdengar dari seberang meja makan, "Mama dengar Marissa mau dijodohkan dengan anak sulung keluarga Adiwijaya, ya?"

Diandra mengangguk sambil berpura-pura tak tahu. "Katanya sih, Ma... Diandra juga kurang paham," ujarnya sambil menyuap makanan, berusaha tetap tenang.

"Pasti urusan bisnis," tebak Mama Salma, nada suaranya santai, seolah perjodohan karena kepentingan bisnis adalah hal yang lumrah.

"Diandra nggak tahu pasti sih, Ma... Tapi kayaknya iya," jawabnya pelan, tak ingin menyulut percakapan lebih jauh.

Dari ujung meja, Harris meletakkan sendoknya perlahan. Tatapannya menelusuri wajah putri bungsunya. "Kamu sampai kapan mau tinggal di apartemen?" tanyanya.

"Pah-"

"Kamu nggak bisa terus menghindar, Diandra," potong Harris, suaranya kini terdengar lebih tegas. "Cepat atau lambat, semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya."

Ucapan itu membuat Diandra menunduk. Rasa bersalah menyelinap di dadanya, mengendap pelan.

Selama ini, ia memang sengaja menjauh. Tinggal sendiri di apartemen, bekerja tanpa menggunakan nama besar keluarganya, bahkan menolak fasilitas yang ditawarkan sang ayah. Bukan karena benci, tapi karena Diandra ingin dikenal karena kemampuannya, dan dia memiliki alasan lain.

Ia tahu betul, hidup di bawah bayang-bayang nama keluarga besar bukan hal mudah. Ia melihat sendiri bagaimana kakaknya berjuang keras mempertahankan nama keluarga, tapi tetap saja ada saja yang meremehkan. Menuduh kesuksesannya hanya hasil warisan.

"Gimana Koasnya lancar?" tanya Mama Salma, berusaha mengalihkan arah pembicaraan. Ia tahu betul, jika dibiarkan berlarut, topik tadi bisa memicu perdebatan yang tak perlu.

"Lancar, kok, Mah," jawab Diandra singkat. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tapi nada suaranya tetap datar. Bukan karena tak ingin berbagi, melainkan karena tidak akan ada yang perduli dengan pekerjaanya.

Sejak awal keluarganya tidak suka dengan pilihannya, karena papanya ingin ia seperti kakaknya menjadi penerus keluarga. Namun ia tidak suka bersaing apalagi dengan kakaknya sendiri.

Hening sejenak menyelimuti meja makan. Hanya denting sendok dan aroma masakan hangat yang mengisi ruangan, seolah semua orang mencoba menyesuaikan kembali napas dan pikiran mereka.

Tiba-tiba, suara langkah heels menggema di lantai marmer. Irama sepatunya terdengar mantap dan familiar. Semua kepala menoleh hampir bersamaan.

"Malam," sapa sebuah suara tenang dari ambang pintu.

Di sana berdiri Sandra, anak sulung keluarga Aditama. Tubuhnya masih dibalut setelan kerja formal berwarna netral, rambutnya diikat rapi, dan wajahnya tampak lelah namun tetap memancarkan ketegasan.

Aura Sandra selalu berbeda. Ada wibawa yang melekat dalam diamnya, seolah seluruh dunia tahu bahwa dia adalah penerus keluarga Aditama.

"Maaf telat," ucapnya pelan, meletakkan tas kerja di kursi dan menarik kursi di sebelah Diandra.

"Makan dulu, sayang," ujar Salma penuh kasih, sambil buru-buru menyiapkan piring untuk anak sulungnya.

Sandra duduk dan tersenyum tipis. Ia baru pulang dari perjalanan dinas luar kota. Meski lelah, ia tetap anggun seolah mencerminkan siapa dirinya. Calon penerus perusahaan keluarga yang sangat diandalkan.

"Bagaimana perjalanan dinasnya, San?" tanya Harris, jelas bangga pada anak sulungnya itu.

"Lancar, Pah." jawab Sandra singkat namun cukup untuk membuat Harris tersenyum puas.

Kalau Diandra memilih kuliah kedokteran dan menolak ikut campur urusan bisnis keluarga, Sandra justru berjalan di jalur yang diharapkan ayahnya-menjadi pilar masa depan Aditama Group.

Namun suasana kembali berubah saat Sandra menoleh ke Diandra, ekspresinya serius.

"Kenapa kamu ke kantor Adiwijaya, Ra?" tanyanya tiba-tiba.

Diandra menghela napas. Bahkan kakaknya sudah tahu.

"Viral banget ya, Kak? Baru masuk sebentar, udah kayak masuk istana presiden." keluhnya malas.

"Jangan bercanda, Ra. Ada urusan apa kamu ke sana?"

Diandra meletakkan garpunya, lalu menatap semua orang di meja makan.

"Aku salah masuk, Kak. Sumpah, nggak sengaja. Beneran cuma salah gedung." katanya berusaha terdengar meyakinkan.

_____

"Untuk apa kamu menyuruh Diandra masuk ke kantor saya?"

Suara Lingga terdengar tenang, namun dingin dan tajam. Tatapannya menusuk lurus ke arah gadis di hadapannya, mengunci Marissa dalam ruang tak nyaman yang nyaris membuatnya sulit bernapas.

Malam ini seharusnya menjadi pertemuan formal untuk membahas perjodohan. Tapi Lingga punya tujuan lain yang lebih penting.

Tentang kedatangan seorang Diandra Elene Maris ke dalam wilayahnya.

Marissa menegakkan bahu, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap di seluruh tubuhnya.

"Maaf... saya tidak paham maksud Anda," elaknya dengan suara bergetar tipis.

"Diandra Elene Maris," ulang Lingga tanpa tergesa. "Sahabatmu, bukan?"

Marissa menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu. Diandra tidak berlebihan. Pria ini memang membawa aura dingin yang mengintimidasi siapa pun yang duduk di hadapannya.

"Saya tidak tahu kalau Diandra masuk ke kantor Anda," katanya pelan.

Lingga menyunggingkan senyum. Bukan senyum ramah. Lebih menyerupai senyum mengejek.

“Kamu tahu alasan ayahmu ingin kita menikah?” suaranya terdengar tenang, tapi di baliknya ada sesuatu yang membuat udara terasa berat.

Marissa menggeleng pelan, namun tatapannya dipenuhi kegelisahan. “Tidak… saya benar-benar tidak tahu.”

“Perusahaan ayahmu hampir ambruk, Marissa,” katanya datar, nyaris tanpa jeda. “Dan satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya… adalah saya.”

Marissa mendongak cepat, seolah kata-kata itu menamparnya. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Ia mencoba mencari tanda bahwa pria di depannya hanya bercanda, namun yang ditemuinya hanyalah tatapan dingin yang tak memberi ruang untuk ragu.

Tak pernah sekalipun ia mendengar bisnis keluarganya berada di ujung jurang. Apa ini ada hubungannya dengan kasus besar beberapa bulan lalu?

“Ayahmu datang langsung pada saya,” lanjutnya, suaranya kali ini lebih pelan, namun justru terasa menusuk. “Memohon. Dan… menjadikan kamu sebagai jaminan.”

Ucapan itu menghantam seperti pukulan keras di dada Marissa. Napasnya tercekat. Ia ingin menyangkal, namun ekspresi tak berperasaan Lingga membuatnya sadar... jika pria di depannya ini tidak berbohong.

"Lalu... kenapa Anda menerimanya?" tanyanya pelan, seperti seseorang yang menggantungkan harapan terakhir pada logika.

Lingga menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan kaki dengan tenang.

"Menerimanya?" Ia tertawa pendek. "Saya bahkan belum mengatakan setuju. Tapi ayahmu... dia sudah cukup putus asa, hingga berniat menjual putri tunggalnya."

Marissa menggeleng lemah, matanya mulai berembun. "Tidak mungkin... Papa nggak akan pernah..."

"Tanyakan langsung jika kamu tidak percaya." potong Lingga.

Hening. Suara alat makan dan alunan piano di restoran terdengar seperti gema jauh dari dimensi berbeda.

Lingga menyesap secangkir kopi peranannya, kemudian menatap Marissa penuh.

"Saya ingin menawarkan kamu, kerja sama."

Marissa menegakkan tubuhnya, menatap curiga.

"Kerja sama?"

Lingga mengangguk, masih dengan ketenangan yang mengancam.

"Kamu tidak perlu menikah dengan saya. Saya akan tetap berinvestasi di perusahaan ayahmu. Akan saya selamatkan bisnis Hadinata... tapi, dengan satu syarat."

Perasaan lega Marissa seketika menghilang. Ia menggenggam gelas di hadapannya, jari-jarinya bergetar. "Apa syaratnya?"

Lingga menatapnya dalam-dalam. Tatapan yang tak bisa dibaca. Lalu bibirnya melengkung kecil.

"Tukar semua itu... dengan sahabatmu."

Marissa mengerutkan alis."Maaf... maksud Anda?"

"Saya tertarik dengan Diandra Elene Maris." Ucapan jelas dan tenang.

"Tidak!" seru Marissa spontan, emosinya meledak. "Saya nggak akan pernah menyerahkan Diandra! Dia nggak ada hubungannya dengan semua ini!"

Lingga tetap tak bereaksi. Ia hanya menaruh kembali gelasnya dengan tenang ke atas meja, lalu menatap Marissa tajam.

"Pilihannya cuma dua, Marissa." Suaranya pelan, tapi mengandung tekanan luar biasa.

"Berikan Diandra Elene Maris kepada saya... atau saksikan sendiri bagaimana keluargamu hancur, perlahan-lahan, satu per satu."

BAB 3

Marissa pulang dengan langkah cepat dan wajah penuh luka. Kemarahan dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Nafasnya memburu, dadanya sesak menahan emosi yang hampir meledak.

Marissa langsung menyusuri lorong rumah mencari keberadaan ayahnya. Semua ruangan ia buka, sampai akhirnya langkahnya terhenti di depan ruang kerja ayahnya. Pintu terbuka sedikit, dan dari celah itu ia melihat sang ayah sedang duduk di balik meja kerjanya, dikelilingi tumpukan berkas yang tak pernah ia pahami.

"Gimana pertemuannya, sayang?" tanya Anton dengan senyum lembut ketika melihat putrinya berdiri di ambang pintu.

Marissa tidak menjawab. Ia melangkah masuk dengan tatapan tajam dan suara yang bergetar menahan amarah.

"Jelaskan ke Marissa... kenapa Papa menjual Marissa?"

Anton tertegun. "Maksud kamu apa, sayang?" tanyanya bingung sambil bangkit dari kursi dan menghampiri putrinya.

Marissa menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. "Kenapa Papa tega menjual Marissa ke pria kejam seperti dia?! Papa tahu dia mempermalukan Marissa malam ini?!"

Wajah Anton seketika berubah pucat. "Papa nggak jual kamu, Marissa..." bisiknya, terdengar lebih seperti pembelaan daripada penjelasan.

Marissa tertawa pendek, getir.

"Lalu kenapa Papa nggak pernah bilang kalau perusahaan kita hampir bangkrut? Kenapa semua harus Marissa dengar dari orang lain?!" suara Marissa meninggi. Matanya merah, hatinya hancur.

Anton menunduk. Bahunya melemah, seolah tak lagi sanggup menyangkal.

"Maafkan Papa, sayang..." ucapnya pelan, penuh sesal.

"Papa nggak punya pilihan lain. Papa di ujung jurang. Kalau Papa sampai jatuh, bukan cuma perusahaan yang hancur... tapi juga keluarga kita."

"Pa, kita bisa cari jalan lain. Kita bisa hadapi sama-sama, asal Papa jujur." Marissa mencoba tetap tenang, walau pikirannya berkecamuk.

Anton menggeleng pelan. "Tidak ada yang mau menolong kita, Marissa. Tidak ada satu pun." suaranya bergetar. Ia menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca.

"Dan... kasus Papa bukan hal kecil. Papa ditipu. Terjerat. Kalau Papa jatuh bangkrut dan masuk penjara... lalu biaya pengobatan mama kamu siapa yang tanggung?"

Kalimat itu seperti petir yang menyambar dada Marissa.

Kakinya mendadak lemas, membuatnya terjatuh berlutut di lantai yang terasa dingin menusuk. Ia memeluk dirinya erat, tubuhnya menggigil tak terkendali. Tak pernah sekali pun terlintas di pikirannya… bahwa keluarganya kini berada di jurang terdalam. Selama ini ia hanya tenggelam dalam dunianya sendiri, sibuk mengejar kesenangan tanpa pernah benar-benar peduli.

"Sayang..." Anton berlutut, mencoba menggenggam tangan putrinya. "Papa tahu ini berat buat kamu. Tapi tolong... bantu Papa kali ini. Papa mohon."

Marissa menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, penuh dilema. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berputar. Ini bukan sekadar soal pernikahan lagi. Ini tentang keluarganya... tentang ibu yang tengah sakit... tentang kehancuran yang sudah di depan mata.

Dan Marissa, berdiri di tengahnya dipaksa memilih antara pengorbanan... atau kehilangan.

___

"Lo gila?" suara James nyaris meledak di ruang kerja pribadi Lingga. Ia memutar kursi yang semula menghadap jendela dan menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya.

"Apa maksud lo bilang lo tertarik sama Diandra?!"

Lingga tidak langsung menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuh ke kursi eksekutifnya dengan wajahnya tenang seperti biasa.

"Ada yang salah dengan itu?" tanyanya santai, seolah yang dibicarakan hanyalah ucapan biasa.

James mengusap wajahnya frustasi. "Lo tau dia anak siapa, kan? Diandra Elene Maris dia anak dari Harris Aditama, anak dari rival lo sendiri. Dan sekarang lo bilang lo... tertarik?"

Lingga mengambil cangkir kopinya  perlahan, lalu meminumnya. "Justru karena itu."

"Karena apa? Karena dia anak musuh lo?!" James tak bisa menahan nada tinggi suaranya.

Lingga tersenyum tipis, namun penuh arti.

"Diandra bukan cuma anak dari Harris Aditama. Dia perempuan yang cantik, cerdas, dan berbeda dari perempuan lain yang pernah saya temui." jawabnya.

"Dia bukan tipikal perempuan yang sibuk mengejar nama belakang saya atau jumlah nol di rekening saya."

James menatapnya tajam, masih tak percaya.

"Sejak kapan lo percaya sama cinta, Ngga? Sejak kapan lo tiba-tiba bisa bilang tertarik sama cewek? Lo sendiri yang pernah bilang, kalau cinta cuma ilusi bodoh yang bikin hidup tambah ribet."

Lingga terdiam. Tatapannya mengarah ke luar jendela, memandangi langit kota Jakarta yang mulai berubah jingga.

"Saya tidak sedang jatuh cinta," katanya akhirnya.

"Saya hanya penasaran. Dan rasa penasaran itu... cukup untuk bikin saya melakukannya."

James menggeleng, melangkah ke depan meja.

"Lo yakin ini bukan cuma permainan, Ngga? Bukan cuma pelampiasan lo karena dendam masa lalu sama keluarganya?"

Lingga mengangkat alis, tatapannya kini kembali ke James.

"Apa bedanya?" katanya pelan namun penuh arti.

"Setiap langkah selalu memiliki alasan. Entah itu karena dendam, strategi... atau rasa ingin tahu."

"Dan Diandra..." lanjutnya, sambil menyesap kopi dari gelasnya, "Dia bukan sekadar pion di papan catur. Tapi mungkin... kunci paling tak terduga dalam permainan ini."

James menghela napas panjang, berat, dan penuh keraguan. Ia menatap sahabatnya yang duduk santai di balik meja eksekutif dengan ekspresi sulit dibaca.

Ia mengenal Lingga sudah lama. Pria itu tak pernah bergerak tanpa perhitungan. Tapi kali ini semuanya terasa berbeda. Dan mungkin terlalu berisiko.

"Jujur sama gue, Ngga," ucap James akhirnya, suaranya terdengar lebih seperti permohonan daripada tuntutan. "Apa sebenarnya rencana lo?"

Lingga tak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu ringan, seolah semuanya bukan hal besar.

"Tidak ada rencana spesial." jawabnya santai, terlalu santai untuk topik sebesar ini.

James mencibir. "Jangan omong kosong, Ngga. Setiap tindakan lo selalu ada alasan."

Hening sejenak.

"Kalau lo dekati Diandra cuma buat balas dendam ke keluarganya, itu bukan lo," ujar James, nadanya lebih tajam. "Gue tahu lo keras, dingin, kadang manipulatif. Tapi lo nggak pernah main kotor pakai perasaan orang."

Lingga menatap James dengan ekspresi datar. Mata hitamnya tajam, dalam, dingin, dan gelap.

"Apa kamu yakin kalau saya tidak berubah?" tanyanya datar. "Setelah semua yang terjadi selama ini?"

James terdiam. Di antara mereka berdua, Lingga adalah pemikir yang kejam tapi selalu rasional. Namun sekarang, ada sesuatu yang mengganggu... sesuatu yang bahkan tidak bisa dijelaskan dengan logika.

"Menikahi Diandra? Lo serius? Lo bahkan nggak percaya sama cinta."

Lingga tersenyum tipis. Senyum yang tidak memberi rasa nyaman.

"Siapa bilang ini tentang cinta?" jawabnya pelan. "Terkadang... rasa penasaran jauh lebih berbahaya daripada cinta."

James mengusap wajahnya dengan kedua tangan, napasnya berat. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa ia redam.

"Gue harap lo tahu apa yang lo lakuin, Ngga," ucapnya, suara rendah namun penuh tekanan. "Karena kalau enggak... bukan cuma Diandra yang bakal terluka. Tapi lo juga."

Lingga tidak langsung merespons. Ia hanya terdiam, menatap kosong ke luar jendela, menembus langit Jakarta yang perlahan berubah gelap.

Di balik sorot matanya yang tajam dan dingin, tersimpan sesuatu yang lebih dalam.

Karena dalam benaknya... ini bukan sekadar permainan. Ini bukan hanya soal balas dendam, atau penasaran. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Dan ketika James bersiap membuka suara lagi, Lingga akhirnya bicara.

“Kamu kenal saya,” ucapnya pelan, lalu menatap James penuh.

“Dan kamu pasti tahu… saya tidak akan pernah melangkah tanpa tujuan.”

Senyum tipis terlukis di bibirnya, nyaris tak terlihat. Tapi bagi James, itu bukan senyum ramah. Itu tanda bahaya.

James menghela napas, lalu menatap Lingga tanpa berkedip. “Kalau tujuan lo cuma buat balas dendam…” suaranya menurun, nyaris seperti peringatan, “jangan seret Diandra ke dalamnya.”

Tanpa menunggu balasan, James berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan ruangan dengan pintu yang tertutup pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!