“Lo percaya sama beginian nggak, sih?” suara Kevin terdengar santai, tapi matanya melirik satu per satu keempat temannya.
Semua kepala otomatis menoleh ke arah Ki Wangsit, lelaki tua berkulit legam yang sedang jongkok di bawah pohon paling besar di area kemah. Tangannya cekatan menggali tanah, lalu menimbun seekor ayam hitam yang sudah tak bergerak. Aroma anyir bercampur kemenyan terbang terbawa angin.
“Ya percaya aja, lah. Namanya juga gunung, pasti ada aturannya,” sahut Bobi, sambil nyengir. Agam, Cia, dan Vani hanya mengangguk, meski jelas sorot mata mereka nggak santai-santai amat.
Kevin memiringkan bibir, menantang. “Nanti malem gue buktiin kalau setan itu nggak ada. Lo semua berani nggak?”
Ada jeda hening. Pandangan mereka saling bertubrukan, antara penasaran dan… takut. Loe akhirnya nggak tahan. “Lo mau ngapain, Kev?”
“Tenang aja, nggak serem-serem banget kok.” Kevin terkekeh, bola matanya memantulkan cahaya api unggun kecil yang mulai redup. Dia memang tipe yang doyan mainin nyali. Kegiatan kemping PLH biasanya cuma nanam pohon, cari jenis tanaman, foto-foto. Buat Kevin, itu hambar.
Sementara itu, Ki Wangsit selesai merapikan gundukan tanah. Dia menatap Pak Agus, guru pembimbing. “Silakan beraktivitas, tapi ingat pantangan yang tadi saya bilang. Jangan dilanggar.”
Awalnya OSIS mau adain acara di SMK BINA KARYA, tapi katanya terlalu mainstream. Mereka pindah ke Gunung Merbabu yang baru dibuka sebulan lalu, setelah hampir sepuluh tahun ditutup. Dan hutan ini… sudah terkenal nggak ramah buat yang “kurang ajar” di dalamnya.
Ritual pun dilakukan. Ki Wangsit menyalakan kemenyan, melafalkan mantra sambil menunduk khidmat. Suara gumamannya lirih, tapi entah kenapa, tiap huruf terdengar seperti bergetar di tulang belakang. Ayam hitam yang terkubur itu, katanya pengganti tumbal supaya semua selamat pulang.
“Nanti Magrib, semua wajib salat. Tengah malam, jangan ada api unggun. Kalau mau bikin, bikin sebelum jam itu. Jangan lupa jaga lisan,” pesan Ki Wangsit, matanya tajam seolah menembus malam.
Pak Agus sempat protes soal api unggun, tapi Ki Wangsit hanya menggeleng pelan. “Kalau nggak mau tamu nggak diundang, jangan nyalain api di jam mereka bangun.”
Setelah ritual selesai, semua murid dibagi tugas. Kevin dan gengnya kebagian nyari ranting. Entah kenapa, beberapa ranting yang dia ambil diselipin diam-diam di tendanya.
Menjelang Magrib, anak-anak diarahkan wudhu di sungai. Airnya dingin menusuk kulit, memantulkan warna langit yang mulai oranye. Cia dan Vani duduk di atas batu besar, menatap Ratna yang berdiri sendirian di pinggir air. Pandangannya kosong.
“Anak aneh. Baru kesurupan kemarin, udah bawa-bawa vibes-nya ke sini,” gumam Vani, setengah geli setengah nggak nyaman.
“Di kelas aja sering kesurupan, apalagi di tempat beginian,” bisik Cia, nada sinis menyelip di ujung kalimat.
Ratna menggigit bibir. Dia bukan nggak mau gabung, dia cuma nggak mau teriak. Di depan matanya, di seberang sungai, ada sosok putih melayang. Rambutnya panjang, acak-acakan, dan menutupi wajah. Tangisan dan tawa tipis terdengar bersahut-sahutan, seperti dua suara yang berebut keluar dari tenggorokan yang sama.
Biasanya Ratna bisa pura-pura nggak lihat. Tapi di sini… semua terasa terlalu dekat. Terlalu nyata. Dia merapal istigfar pelan, berharap makhluk itu pergi.
Lalu, sebuah bisikan dingin menyentuh telinganya.
“Berani sekali… kalian datang ke sini…”
Tubuh Ratna langsung membeku. Dia nggak berani menoleh, tapi dari sudut matanya, dia tahu sosok itu berdiri di sampingnya. Napas makhluk itu terasa di lehernya, basah, dingin.
Jantung Ratna memukul-mukul dadanya. Tangan mengepal, keringat dingin menuruni punggung. Sosok itu menggerakkan jemarinya, menyentuh kulit lengannya yang pucat. Sentuhannya terlalu dingin, seperti es yang menusuk tulang.
“Jangan!” teriak Ratna spontan.
Semua kepala menoleh. Pandangan mereka menusuk, membuat Ratna makin panik. Dia terengah, lalu berlari tanpa menoleh kembali ke kemah.
Vani bergidik, setengah merinding setengah sebal. “Nah, kan… mulai drama tuh bocah.”
“Mana kita satu tenda lagi sama dia?” bisik Cia, nadanya campuran takut dan iseng.
Agam menahan tawa. “Enaknya sih… kita kerjain aja.”
......................
Pukul satu dini hari, hutan di kaki Gunung Merbabu sudah tenggelam dalam gelap yang pekat. Suara binatang malam terdengar seperti desahan yang berbisik di telinga. Semua kegiatan resmi selesai, tak ada api unggun seperti yang biasa. Sebagian murid kecewa, tapi aturan dari sang penjaga hutan terlalu jelas untuk dilanggar.
Di dalam tenda, Cia dan Vani masih terjaga. Mereka terus melirik jam tangan, menunggu momen yang sudah direncanakan dari tadi sore, janji bertemu Kevin, Agam, dan Bobi.
Bunyi brak! terdengar di luar. Benda jatuh. Kode dari Kevin. Sinyal bahwa “permainan” dimulai.
Vani langsung menepuk bahu Ratna yang tengah terlelap. “Bangun! Lu ikut kita.”
“Mau ke mana?” Ratna mengucek mata, masih separuh mimpi.
“Udah, jangan banyak tanya. Kita mau Jalan-jalan di hutan doang, seru-seruan,” jawab Vani asal, senyum tipisnya menyimpan rencana lain.
Ratna ingin menolak, tapi tatapan Cia dan Vani mengeras. Akhirnya, ia bangkit dan mengikuti mereka, melangkah hati-hati supaya nggak membangunkan yang lain.
Mereka menuruni bukit yang licin, langkah-langkahnya seperti diiringi bunyi ranting patah. Di bawah, sinar ponsel Kevin bergoyang-goyang, jadi penunjuk jalan.
“Tunggu… kita beneran mau ke hutan? Kalau Pak Agus tahu—” Ratna mencoba protes.
“Diam, Kin. Jangan bawel. Ikut aja!” Vani memotongnya.
Mereka menyusuri jalur sempit yang dipagari pepohonan tinggi. Senter di tangan masing-masing memantulkan cahaya pucat di batang-batang basah. Bobi mengambil posisi paling belakang, memastikan para gadis nggak ketinggalan.
Suara serangga malam terdengar seperti irama yang tak sinkron. Kadang ada desis, kadang ada tawa tipis… atau mungkin cuma imajinasi Ratna. Dia memilih menunduk, menghindari tatapan ke sela-sela dahan yang gelap.
Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang membuat bulu kuduk Ratna berdiri—mulut gua. Batu-batunya hitam, lembab, dan memuntahkan hawa dingin yang menusuk tulang.
“Sampe. Kita main di sini,” kata Kevin, nada suaranya puas.
Dari dalam tasnya, Kevin mengeluarkan beberapa kayu yang disusun menjadi boneka. Kaos putih lusuh dipakaikan, batok kelapa dipasang sebagai kepala.
“Jelangkung?” gumam Cia, setengah tak percaya benda itu tiba-tiba ada di sini.
“Enggak, aku nggak mau ikut,” suara Ratna bergetar. “Kalian nggak ngerti… ini bisa ngundang mereka. Apalagi di hutan ini.”
“Apaan sih? Kata Ki Wangsit udah aman,” Kevin membalas cepat.
“Justru itu! Kalau kalian ganggu, sama aja ngebangunin singa tidur.”
Vani melotot, lalu menggenggam lengan Kinan keras-keras. “Kalau lu nggak diem, gue bisa bikin video lu yang aneh-aneh terus sebar ke sekolah. Mau?”
Napas Ratna tercekat. Dia terpaksa duduk bersama yang lain. Semua memegang boneka kayu itu. Lingkaran terbentuk, dan mantra mulai dilafalkan.
“Jelangkung-jelangkung, di sini ada pesta. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.”
Suara mereka bergema di mulut gua. Kinan diam, menunduk. Tiga kali mereka ulang, tapi tak ada apa-apa.
“Udah gue bilang, setan itu nggak ada,” Kevin tertawa kecil.
Bobi menambahkan “greget” dengan menyalakan ranting, menancapkannya di tanah. Api kecil menari-nari, memantulkan bayangan bergerak di dinding gua.
“Jelangkung-jelangkung, di sini ada pesta. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.”
Kali ini, hembusan angin keluar dari gua. Api bergoyang liar.
Mereka melepaskan genggaman, berdiri. Semua mata beralih ke Ratna—dia masih duduk, memeluk boneka erat-erat.
“Mana setannya? Gak ada, kan? Yuk, pulang!” Kevin berbalik.
“T-tapi Kinan… dia kenapa?” suara Vani mulai goyah.
Ratna tak bergerak. Kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah. Bahunya bergetar… atau mungkin itu bukan gerakan dari tubuhnya sendiri.
“Tinggalin aja! Ayok, buruan keluar!” Cia panik.
Mereka berlari meninggalkan gua sambil tertawa-tawa, tertawa yang lebih mirip pelarian dari rasa takut yang tak mau diakui.
Beberapa langkah kemudian… jeritan memecah malam. Tinggi, panjang, memantul dari dinding gua seperti suara dari dunia lain. Mereka berhenti sebentar, saling tatap, lalu memilih lari lebih cepat.
Mereka pikir Ratna cuma kerasukan. Mereka pikir semuanya selesai.
Tapi dari kegelapan hutan, puluhan… ratusan siluet mulai merayap mengikuti.
...Gerbang itu sudah terbuka. Dan yang keluar… tidak pernah ingin lagi pulang....
“Biar tau rasa. Siapa suruh bengong mulu,” ujar Vani, tawa dinginnya bergema di dalam gua yang lembap.
Ratna, seperti biasa, menjadi sasaran—ditinggalkan sendiri di kegelapan gua. Gadis itu memang selalu menjadi target karena sifatnya yang pendiam dan tak pernah membalas. Kesendirian menjadi identitasnya, membuatnya kerap dianggap berbeda, bahkan aneh.
Gelak tawa Kevin, Vani, Kila, Agam, dan Bobi masih mengiringi langkah mereka di tanah yang landai. Sinar senter bergerak tak beraturan, karena Agam dengan sengaja menyinari wajahnya dari bawah dagu, menimbulkan bayangan mengerikan.
“Siapa saya...? Aku sudah mati ratusan tahun...” Agam berakting seperti roh yang bangkit, suaranya menyeramkan tapi dibuat-buat sehingga teman-temannya kembali tertawa terbahak.
“Sialan lu, Agam!” Kevin menepuk kepala Agam dengan geram.
“Eh, jangan ribut. Bentar lagi sampai tenda. Ketahuan Pak Agus, bisa kena hukum kita,” bisik Bobi, matanya menoleh ke arah hutan gelap.
“Iya, bener. Kecilin senternya,” Kila menambahkan. Sinar senter pun diredupkan sedikit. Perlahan, mereka menapaki area kemah. Para lelaki masuk ke tenda mereka, begitu pula Vani dan Kila.
Semua terasa aman, kecuali Ratna yang masih terjebak di kegelapan hutan. Namun, rasa bersalah tak muncul sedikit pun. Kedua gadis itu merebahkan tubuh di dalam tenda.
“Lu bisa tidur, Vani?” tanya Kila beberapa saat kemudian.
“Lu pake nanya lagi. Baru aja mau merem nih,” gerutu Vani, nyaris tenggelam dalam kantuk. Ia menoleh ke samping, membelakangi Kila.
Tempat tidur yang seharusnya diisi Ratna kini terasa kosong, membuat Vani bisa berguling tanpa halangan. Saat kantuk mulai menelan, ia terhenyak—punggungnya terasa tersentuh sesuatu yang keras.
“La! Lu bisa kalem gak sih tidurnya?” protes Vani sambil menoleh.
Namun, Kila ternyata sudah jauh dari tempatnya.
“Loh? Yang barusan apaan?” gumam Vani sambil mengucek matanya. “Ah, perasaan gue aja kali, ya.”
Ia kembali merebahkan diri, mencoba menenangkan diri. Tapi suara bisik-bisik lembut terdengar dari luar tenda.
“Vani… bukain tenda. Aku mau masuk.”
Vani tersentak. Bayangan di luar tenda terlihat samar. “Ratna?” tanyanya ragu.
“Bukain… dingin,” jawab bayangan itu, berdiri tegak dengan kaki terbuka dan tangan menggantung lemas.
Vani menahan napas, membuka ritsleting tenda setengah hati. “Siapa suruh bengong-bengong, jadinya ditinggalin, kan?”
Namun sosok yang berdiri di sana bukan Ratna. Pakaian lusuhnya basah penuh darah dan lumpur, kulit wajahnya pucat dengan luka menganga, dan matanya… matanya hitam pekat tanpa sklera, menatap Vani tanpa berkedip.
Vani menjerit, mundur menimpa tubuh Kila. “La! Tolong, La! Ada setan!” suaranya pecah, menggema di tenda.
Sosok itu bergerak kaku, senyum panjang menghiasi wajahnya, menatap ke dalam tenda. Vani menepuk-nepuk Kila, mencoba membangunkannya. Tapi Kila tetap tak bergerak—tubuhnya kaku, seolah telah kehilangan nyawa.
“LA!” teriak Vani lagi, panik. Ia berjuang, berguling-guling, terjerat dalam mimpi buruk yang nyata terasa. Akhirnya, ia membuka mata, napas tersengal, dan menyadari semuanya hanyalah mimpi. Ruangan gelap kini telah diganti fajar pucat. Beberapa siswa sudah bangun, termasuk Kila, yang telah keluar dari tenda tanpa membangunkan Vani.
“Gara-gara permainan jelangkung sialan ini pasti. Mimpi gue jadi aneh banget,” gerutu Vani sambil bangkit, tubuh lemas.
Sinar pagi mulai menyusup ke kemah. Anak-anak SMK BINA KARYA mulai beraktivitas, menyalakan kompor portabel untuk sarapan. Vani, masih terbayang mimpi buruknya, memilih diam, tak ingin cerita kepada teman-temannya. Jika tidak, ledekan pasti datang menganggapnya lebay.
Sarapan selesai sepuluh menit yang lalu.
Kini, briefing pagi dimulai. Seluruh siswa berkumpul, berdiri membentuk lingkaran di sekitar tenda. Pak Agus mulai mengabsen satu per satu. Tidak seorang pun menyadari bahwa salah satu dari mereka hilang.
“Ratna Nurpita.”
Saat nama itu disebut, Kila dan Vani saling bertukar pandang, seakan ingatan mereka baru tersadarkan—anak itu belum kembali.
“Siapa yang satu tenda dengan Ratna Nurpita? Ke mana dia?” tanya Pak Agus, raut wajahnya cemas sekaligus kesal.
Vani mengangkat tangan bersamaan dengan Kila. “Sejak saya bangun tadi pagi, Ratna belum ada, Pak!” seru Kila, berbohong.
“Saya juga tidak melihat, Pak. Karena saya bangun terakhir,” tambah Vani, suara bergetar sedikit menutupi rasa panik.
Pak Agus berdecak. Larangannya agar siswa tidak kelayapan demi menghindari tersesat tampaknya sia-sia. “Ya sudah. Sebelum kegiatan dimulai, kita cari dulu Ratna. Sebagian, menuju sumber air. Mungkin dia masih di sana.”
Di sisi lain, jauh dari perkemahan, Ratna Nurpita terkapar di dalam gua. Tubuhnya lemah, seolah masih terjebak dalam kabut malam kemarin. Matahari mulai merangkak naik, tapi Ratna belum membuka matanya.
Sosok bayangan muncul di mulut gua, menghalangi cahaya pagi. Bayangan itu terkesiap saat menyadari Ratna, menutup mulutnya agar tidak bersuara.
“Hey, kamu ngapain di sini?” suara seorang gadis memecah keheningan. Anak itu mendekat perlahan, mengguncang tubuh Ratna dengan hati-hati.
“Apakah dia… mati?” Gadis berbaju sweater putih garis-garis itu menahan napas, matanya terpaku pada boneka jelangkung yang tergeletak di tanah.
“Hey! Jangan mati di sini!”
Ratna mengeluarkan erangan pelan, memutar tubuhnya dan perlahan membuka mata. Tatapannya menerawang ke dinding gua yang lembap dan gelap.
“Kamu nggak apa-apa? Ngapain kamu di sini?”
Ratna bangkit duduk, memegangi kepala yang berat. Ia menoleh ke gadis asing yang duduk di sampingnya. “Kamu siapa?”
“Kamu yang siapa? Oh! Kamu yang kemarin datang bareng rombongan sekolah itu, kan? Bukannya lagi kemah? Kenapa malah tidur di sini?” tanya gadis itu cepat, suara beruntun seperti tak bisa berhenti.
“Iya… tadi malam seharusnya aku nggak ke sini.” Ratna menahan sakit di kepalanya. “Kamu… anak desa bawah?” tanyanya kemudian.
“Iya. Aku lagi liburan di rumah nenek. Aku bantuin kamu bangun. Kayaknya kamu butuh minum atau makan. Aku punya simpanan,” gadis itu menawarkan.
Ratna belum bisa berpikir jernih. Namun, gadis asing itu menariknya menuju bagian dalam gua. “Ini tempat rahasiaku. Kalau lagi bosan di rumah nenek, aku ke sini. Tempat ini udah jadi pelarianku sejak lama.”
Ratna mengernyit, mendengar gadis itu terus mencerocos.
“Aku Kanaya, panggil Naya aja. Nama kamu siapa?” Suara Kanaya kembali terdengar, tapi Ratna masih terdiam.
“Duduk bentar. Aku sengaja nyediain air minum. Nih!” Sebuah tumbler biru disodorkan kepada Ratna.
Ratna meneguk air itu perlahan, merasakan kesegarannya menyebar ke seluruh tubuh yang lemah. Ia mulai memperhatikan gua itu dengan seksama, sebuah ruang menjorok ke tebing, tersembunyi dari pandangan luar.
Andai Kevin dan yang lain mengetahuinya, mereka pasti akan menyalahgunakan tempat ini.
“Kalian habis main jelangkung?” suara Kanaya berubah, tajam, seolah sedang menginterogasi.
“Teman-teman sekelasku yang main. Aku dipaksa ikut,” tutur Ratna Nurpita, suaranya serak menahan gugup.
“Kalau ketahuan, bakal kena masalah.” Kanaya menyimpan boneka kayu yang tadi dipungutnya dengan hati-hati.
“Aku harus segera ke kemah. Pasti Pak Agus lagi nyari. Duh, pasti bakal kena masalah.” Ratna bangkit tergesa-gesa, lalu tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu.
Sebuah buku bersampul tebal dan usang, seperti kulit kayu tua, tergeletak di dekat kakinya. Kanaya yang ikut terkejut buru-buru menunduk mengambil buku itu.
“Aku pergi dulu!” Ratna berbalik dan mulai berlari menuruni tanah yang landai.
“Eh, tunggu! Bawa ini!” Kanaya berlari mengejar, menyerahkan buku itu kembali.
“Buat apa? Simpan saja di sini.”
“Ini bukan buku aku. Kamu aja yang bawa. Anggap saja berkat. Lagian kamu yang nemuin.” Kanaya tersenyum lebar, matanya bersinar penuh semangat. “Aku udah punya satu, tapi jilidnya hitam. Gak tahu buku ini milik siapa. Yang jelas… siapa yang nemu, itu jadi miliknya.”
Sifat Kanaya yang ceria sungguh kontras dengan Ratna yang kerap murung. “Aku mau pulang ke rumah nenek. Takutnya kelayapan sebelum sarapan. Kamu juga balik ke kemah, hati-hati ya!”
“Hey! Kanaya!” Ratna memanggil sambil menatap Kanaya yang berjalan cepat, tubuhnya hilang di balik kabut tipis pagi itu. Gadis itu tampak bernyanyi sendiri, seakan tak punya beban apa pun.
Ratna menatapnya dengan wajah sendu. “Ya, anak seusia kita memang seharusnya bahagia, ya…” gumamnya sambil menenteng buku yang diterimanya, menyusuri jalan hutan yang terasa sedikit aneh dibanding kemarin. Namun rasa takut akan dimarahi Pak Agus lebih dominan ketimbang keanehan di sekelilingnya.
Di dekat perkemahan, Ratna berpapasan dengan Kevin dan Kila. Tanpa ampun, tubuhnya dicegat dan disudutkan di bawah pohon kiara.
“Jangan sampai lu ngadu ke Pak Agus soal kejadian tadi malam. Kalau berani… habis lu sama gue!” ancaman Kevin membuat bulu kuduk Ratna berdiri. Tatapan Kila yang dingin dan menakutkan menambah ketakutannya.
“Iya… aku nggak akan ngadu,” jawab Ratna, suaranya nyaris tak terdengar.
“Bagus! Jalan sana, cepat!” Kevin mendorongnya, sementara Kila pura-pura menggandeng tangan Ratna. Ia berteriak seolah menemukan Ratna terjatuh saat mencari kayu bakar, aktingnya sempurna.
Ratna menahan meringis. Haruskah ia berpura-pura kalau kakinya terkilir? Sekali saja Pak Agus curiga, maka dia yang akan kena masalah, bukan Kila.
Pak Agus bersikap bijak kali ini, memerintahkan anak PMI mengecek Ratna terlebih dahulu. Mereka mengangguk, meski sebenarnya enggan terlalu dekat dengan gadis aneh itu.
Sementara itu, di rumah panggung kuncen, Ki Wangsit baru turun sambil membawa sesajen kecil yang mengepulkan asap kemenyan. Kabut tipis pagi itu membungkus halaman. Perasaan Ki Wangsit sedikit terganggu, hawa hangat dan matahari terang terasa aneh.
Ia berjalan ke pagar dekat bunga dahlia, hendak mengganti sesajen. Namun sikap tenangnya seketika berubah menjadi waspada saat menyadari ada keanehan pada sesajen yang diletakkan kemarin.
“Ana apa iki? geneya bisa mengkene?" [Ada apa ini? Kenapa bisa begini?] gumamnya, nada cemas. Kopi hitam dalam cawan tiba-tiba berubah menjadi merah pekat, seperti darah segar, dengan aroma amis yang menusuk hidung. Bahkan bunga di sesajen layu setengah kering, seolah energi gelap semalam masih tersisa.
“Ada yang tidak beres…”
......................
Setelah diintrogasi oleh Pak Agus, Ratna harus berpura-pura tersesat ketika ingin ke toilet. Entah bagaimana, arah di dalam hutan seakan menyesatkan langkahnya, hingga tanpa sadar ia tiba di area kemah ketika matahari sudah meninggi.
Gadis itu terus-menerus meminta maaf, berulang kali meyakinkan guru pembimbing bahwa insiden tadi tidak akan terulang.
Pak Agus mempersilakan Ratna untuk membersihkan diri. Bajunya—yang penuh tanah dan debu—membuatnya terlihat sangat kotor. Ratna segera bergegas ke tendanya, mengeluarkan sebuah buku yang disembunyikannya di balik pakaian.
Buku itu berlapis sampul hitam. Saat dibukanya, hanya terlihat lembaran kekuningan, motifnya menyerupai dedaunan kering yang terperangkap di kertas.
“Aesthetic juga. Lumayan buat diary,” gumam Ratna, buru-buru memasukkannya ke dalam tas sebelum Vani dan Kila melihat. Takut kalau mereka merebutnya, pikirnya.
Badan yang penuh tanah hanya dibersihkan dengan tisu basah. Setelah cukup bersih, Ratna kembali bergabung dengan barisan murid lain, mendengar arahan dari guru dan senior pembimbing.
“Ada beberapa bendera yang sudah disebar. Di tiap bendera ada pertanyaan. Masing-masing eskul berbeda warna. Yang jawabannya paling banyak, ada hadiah menarik,” ujar Shella, perwakilan OSIS, dengan senyum tipis yang tak sepenuhnya menenangkan.
Beberapa perwakilan OSIS menjelaskan aturan permainan lebih lanjut. Di sisi lain, Bobi yang tengah berdiri, meraba-raba celana PDL hitamnya, tampak mencari sesuatu di dalam saku.
“Lu nyari apa?” tanya Kevin.
“Name tag gue nggak ada. Kayaknya ketinggalan di tenda. Bentar, gue ambil dulu,” jawab Bobi, lalu meminta izin pada salah satu OSIS. Begas ia berlari ke tenda. Kevin pun mengikuti, dengan alasan lain.
Di tenda, Bobi membongkar tumpukan tas dan selimut. Name tagnya tetap tak ditemukan. Saat ia membuka tas, sebuah benda mengejutkan membuatnya menjerit.
Kevin yang baru masuk terkejut. “Lu kenapa?”
“Cek sendiri! Anj***, di tas gue ada apaan ini!” teriak Bobi, setengah gemetar.
Kevin mendekat, mengambil tas hitam itu. Sesaat kemudian, wajahnya pucat. Boneka jelangkung yang semalam mereka buat di gua tiba-tiba muncul di dalam tas Bobi. Tanpa sengaja, Kevin hampir melemparnya.
“Bukannya semalam kita tinggalin di gua? Kenapa bisa ada di tas lu?” Kevin bertanya dengan nada panik.
“Iya, kan sebelumnya dipegang terus sama Ratna. Kenapa bisa sampai sini? Ini pertanda buruk, Kev!” Bobi berkeringat dingin, seluruh tubuhnya menegang.
“Jangan mikir macam-macam. Gue yakin ini kerjaan Ratna!” Kevin menepis.
“Tapi gue nggak lihat dia bawa jelangkung. Lu gila? Masak Ratna masuk tenda cowok?” Bobi membalas dengan panik.
“Udah, cukup. Masukin aja ke tas lu. Ntar ketahuan Pak Agus bahaya. Kita buang benda sialan itu ke sungai. Cepet!” Kevin menyuruh.
Dengan tangan gemetar, Bobi memasukkan boneka itu ke dalam tas, lalu mengambil name tagnya yang tertinggal. Mereka berdua buru-buru keluar, mencoba bersikap normal. Tapi ketegangan masih terpancar jelas di wajah Bobi.
Setelah dibagi kelompok sesuai eskul, semua mulai menyebar mencari bendera. Tim gambar mendapat bendera merah. Sekali lagi, Ratna harus kecewa karena harus berada satu kelompok dengan Kevin.
Di dalam hutan, Kevin menyeret Ratna ke samping, menatapnya dengan sorot mata yang membuat bulu kuduk meremang.
“Lu ngaku nggak jelangkung itu masuk tas Bobi?” Kevin menekankan, suaranya bergetar, tapi tajam.
“Enggak, aku nggak lakuin itu. Sumpah!” Ratna menjawab ketakutan, tubuhnya gemetar.
“Lu jangan bohong, ya? Jangan sampai gue buat lu mati di hutan ini,” Kevin menatapnya tajam, sambil mengawasi sekitar, takut tim lain memergoki mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!