NovelToon NovelToon

The Land Of Methera

Hari Perayaan Ulang Tahun ke-7 Putri

‧˚♪ 𝄞 Love Story - Nvly // Yt: Moonch.

https://youtu.be/xzbR61TT6Co?si\=cdcqI\_pKxXDb2lk5

...· · ─ ·𖥸· ─ · ·...

...Methera...

...Tanah di mana langit bersenandung, dan bumi berbisik pada roh-roh kuno....

...Tempat semua makhluk yang hanya hidup dalam dongeng... benar-benar pernah hidup....

...Duyung berlayar di danau berkabut perak,...

...Peri-peri menari di atas bunga abadi,...

...Naga melayang di cakrawala merah saga,...

...Dan para penyihir menggenggam kekuatan yang menyeimbangkan siang dan malam....

...Tidak masalah jika kau tak percaya itu?...

...Tapi aku melihatnya, dan percaya...

...Itu benar-benar ada....

...ᝰ.ᐟ...

...───✦───...

Kerajaan Eamor

"Apakah Tuan Putri sudah siap?"

Suara Grand Duke Aelion Garamosador bergema di balik pintu berukir, suaranya tenang namun sarat kuasa. Sejak kepergian Raja Altherick Sheamora dan Ratu Alora Lisyhamora. Ia menjabat sebagai pemangku kekuasaan tertinggi di Eamora, kerajaan agung penguasa elemen cahaya.

"Sebentar lagi, Yang Mulia. Kedua Tuan Putri sedang bersiap bersama Kepala Pelayan," jawab seorang pengawal dengan hormat, berdiri tegak di sisi kanan pintu kamar kerajaan.

"Baik. Tolong bukakan pintunya," titah Aelion.

"Segera, Yang Mulia."

Pintu ganda kayu elzen itu berderit lembut saat dibuka, mengungkapkan kamar luas dengan jendela kaca tinggi dan cahaya keemasan matahari yang tumpah masuk ke lantai marmer.

"Aelion..."

Suara lembut itu menyambut, disertai langkah ringan seorang gadis kecil berambut putih keperakan, cahaya alami dari garis keturunan murni kerajaan. Dialah Putri Alourra Naleamora, si sulung, pewaris takhta Eamora, dan simbol kemurnian elemen cahaya.

Tak lama kemudian, seorang gadis kecil lain berlari ke arah Duke Aelion sambil tertawa, rambut hitamnya tergerai bebas seperti bayangan di antara cahaya.

"Ael!" teriaknya riang.

"Hati-hati, Putri. Kau bisa terjatuh," ujar Aelion, langkahnya refleks maju.

"Tidak, aku tidak jatuh," sahut si gadis sambil tersenyum cerah.

"Meski begitu, kau tak boleh berlari sembarangan seperti itu, Thea. Kau bisa terluka," ucap Alourra mendekat, nada suaranya tenang namun lembut seperti embun pagi.

"Baiklah," gumam Althea, wajahnya sedikit murung. Namun kemudian ia menatap kakaknya dengan semangat. "Ah, lihat aku, Alourra. Bagaimana penampilanku?"

Berbeda dari sang kakak, Putri Althea Neramora tak mewarisi rambut putih khas keturunan Eamora. Rambutnya hitam legam, warna yang tak pernah terlihat dalam silsilah keluarga kerajaan. Meski mereka terlahir kembar, hanya terpaut menit, Althea telah lama menjadi bahan bisik-bisik di dalam istana karna di anggap berbeda.

"Kau sangat cantik, Althea," jawab Alourra, senyumnya tulus, membuat wajah Althea kembali bersinar.

"Benarkah?" tanya Althea, matanya berbinar.

"Tentu. Kalau tak percaya, kau bisa tanya Duke Ael sendiri."

Aelion tersenyum, mengangguk pelan. "Cantik sekali."

Althea langsung membungkuk sopan. "Terima kasih, Yang Mulia."

"Semua orang sudah menunggu kalian," ucap Aelion lagi. "Mari, Tuan Putri."

Duke Aelion melangkah lebih dulu menyusuri lorong panjang istana. Althea menggenggam tangan Alourra, menyeretnya dengan antusias, diikuti kepala pelayan yang menjaga jarak di belakang mereka.

Namun keceriaan Althea tak bisa menghapus tatapan yang mengikutinya di sepanjang lorong, mata-mata yang mengintai dari balik tirai dan sudut ruangan, bisik-bisik yang tidak mengenakkan terdengar.

"Dia bukan keturunan murni, kan?" gumam seorang pelayan pada rekannya.

_"Kudengar begitu," jawab yang lain sambil menggenggam serbet. "Katanya, dia putri terkutuk."

"Benarkah? Tapi dia terlihat begitu ceria."

"Mungkin dia tak tahu, dirinya adalah aib bagi kerajaan."

Alourra menghentikan langkahnya. Genggaman Althea tak lagi menarik.

"Kenapa, Alourra?" tanya Althea bingung, menoleh ke kakaknya.

"Pergilah dulu bersama Duke. Aku akan menyusul bersama Kepala Pelayan," ucap Alourra datar, namun tegas.

"Baiklah, Kak."

Althea pun berlari mengejar langkah Aelion, meninggalkan Alourra yang kini berdiri menghadap tiga pelayan di sudut lorong. Wajah mereka pucat, tangan gemetar.

"Apa yang barusan kalian katakan?" tanya Alourra, suaranya tak meninggi, namun cukup membuat ketiganya langsung menunduk.

"Ti... Tidak, Yang Mulia Putri. Mohon ampun..."

"Iya, kami mohon maaf, Yang Mulia..."

"Kami hanya mendengar rumor, mengenai Putri Althea, bahwa dia—"

"Cukup!" potong Alourra, nadanya berubah menjadi tajam. "Jangan pernah berkata seperti itu tentang saudaraku lagi!"

"Ampuni kami, Yang Mulia..."

"Maafkan kami, Putri... Kami bersalah..."

Mereka bertiga segera berlutut, gemetar dalam ketakutan.

"Yang Mulia," suara Kepala Pelayan akhirnya bersuara dari samping. "Apakah Anda ingin saya memecat mereka?"

Alourra menarik napas dalam-dalam, lalu menggeleng perlahan.

"Tidak perlu. Kali ini... akan kumaklumi."

Suara lembut itu kini dibalut dengan kekuatan seorang calon ratu.

"Terima kasih, Yang Mulia... Terima kasih..." gumam mereka bertiga nyaris serempak, masih berlutut dengan kepala menyentuh lantai.

...────୨ৎ────...

Altar istana telah disulap menjadi aula megah yang berkilauan oleh cahaya kristal dan lentera sihir. Gemuruh musik mulai terdengar dari panggung orkestra, menggema di antara pilar-pilar tinggi yang terbuat dari marmer cahaya.

"Ah, Grand Duke Aelion datang," bisik seorang putri dari kerajaan timur, suaranya nyaris tenggelam dalam gemerlap musik.

"Dia tampak sangat menawan..."

"Kudengar... dia belum memiliki pasangan."

Suara-suara para putri bangsawan itu menggema halus di antara percakapan. Tatapan mereka diam-diam mengikuti langkah pria tinggi berambut perak yang berjalan anggun ke tengah aula.

Sementara itu, Duke Aelion melirik ke sisi kirinya dan menyadari Althea berdiri sendirian. Ia mengernyit.

"Althea, ke mana Alourra pergi?"

"Kakak bilang akan menyusul sebentar lagi," jawab Althea kecil, kini berdiri tenang di sisi kiri Duke.

"Baiklah," balasnya lembut.

Althea menatap sekeliling aula megah yang dipenuhi kilau permata dan kain sutra berwarna pastel.

"Wah... Ramai sekali," gumamnya, matanya berbinar kagum.

Beberapa anak-anak bangsawan menoleh ke arahnya. Althea tersenyum sopan, namun mereka segera membuang muka—ada yang bahkan meliriknya dengan sinis. Senyumnya meredup, matanya sedikit menunduk. Tentu hal itu membuat hati kecilnya terluka.

"Sudah kuduga… Hal seperti ini pasti terjadi," batinnya.

Aelion, yang memperhatikan raut wajah Althea, bertanya pelan, "Kau baik-baik saja, Althea?"

"Iya, aku tidak apa-apa," jawabnya dengan senyum paksa.

"Maaf, aku terlambat," suara Alourra yang khas terdengar. Ia telah tiba, berdiri di sisi kanan Aelion.

"Tak masalah," jawab Aelion tenang. Lalu ia memberi perintah, "Paul, kita bisa mulai acaranya."

"Segera, Tuanku," jawab sang kepala pelayan yang ternyata bernama Paul itu, seraya mundur memberi aba-aba kepada para pemusik.

Musik pun mengalun. Suara biola dan seruling mengisi aula, menciptakan suasana magis yang menyelimuti pesta dansa. Bangsawan dari berbagai negeri saling berdansa, berbincang, dan menyampaikan ucapan selamat kepada kedua putri kerajaan Eamor.

"Alourra, kau tahu kau harus menjamu beberapa tamu penting malam ini, bukan?" tanya Aelion perlahan.

"Tentu. Aku mengerti," jawab Alourra singkat, lalu ia berjalan anggun menghampiri para bangsawan muda yang kelak akan menjadi sekutu atau pesaingnya.

Sementara itu, Althea masih duduk terpaku di tepi altar. Tatapannya tertuju pada lantai dansa yang gemerlap, namun matanya seakan terhalang kabut tipis kesedihan. Meski tak satu kata keluar dari bibirnya, dia bisa merasakan tatapan-tatapan yang menyayat, menilainya tanpa suara.

Tiba-tiba, sepasang bangsawan dan seorang anak lelaki mendekat, disambut oleh para penjaga istana. Mereka membungkuk dengan penuh tata krama.

"Salam hormat kepada Grand Duke Aelion dan Tuan Putri Althea, cahaya bagi kebaikan Eamor," ucap Marquess Terhan dengan suara dalam dan hangat.

"Tak perlu terlalu formal, Marquess," jawab Duke Aelion, bangkit berdiri dengan senyum ramah. "Sudah kuduga kau akan tetap sama seperti dulu." Ia menepuk pundak Terhan dengan keakraban lama.

"Sudah lama kita tak bertemu, Ael," balas Terhan, lalu menunjuk istrinya. "Perkenalkan, ini istriku, Marchioness Astria."

"Salam, Yang Mulia," ucap Marchioness Astria sambil membungkuk anggun.

"Dan ini anak kami—Arzhel."

Anak laki-laki itu membungkuk hormat. "Salam, Yang Mulia. Perkenalkan, saya Pangeran Arzhel Fiselvania."

Aelion menatap keluarga itu dengan mata hangat. "Sepertinya kau sudah memiliki keluarga yang bahagia."

"Haha, tentu saja." ujarnya sambil tertawa khas "Arzhel—ajaklah sang Putri bermain bersamamu." ujar Marquess Terhan, matanya melirik ke arah Althea.

Althea tampak terkejut. Dia belum pernah disapa lebih dulu seperti itu.

"Sa... salam," balas Althea gugup. "Aku... aku Putri Althea." Ia menunduk malu.

"Maukah kau ikut bersamaku, Putri?" tanya Arzhel dengan penuh percaya diri, tangannya terulur padanya.

"Apa... tak apa?" tanya Althea ragu, menoleh ke Aelion.

Duke Aelion mengangguk pelan, memberi restu tanpa kata.

"Tentu saja," jawab Arzhel tegas.

"Baiklah, kalau begitu," gumam Althea, perlahan menyambut uluran tangan itu. Keduanya berjalan perlahan ke arah taman kecil di sisi altar.

Aelion masih memperhatikan mereka dengan pandangan dalam.

"Apa tak masalah bila mereka menjadi teman dekat?" tanyanya lirih.

Marquess Terhan menatapnya lama.

"Kau lupa siapa aku, Ael. Aku tahu kebenaran... tentang Putri Althea. Dan aku tahu—dia hanya seorang gadis kecil yang malang."

"Rumor yang beredar... semakin membuatku khawatir," ujar Aelion, nadanya berat.

"Aku tahu. Tapi mencegah bisik-bisik di kalangan bangsawan... hampir mustahil. Terlebih, perbedaan di antara mereka begitu mencolok."

...· · ─ ·𖥸· ─ · ·...

Sang Penyihir Hutan Kegelapan

‧˚♪ 𝄞 : Me and The Devil - Nvly // Yt: Moonch

...⚚...

"Yang Mulia… Yang Mulia!"

Seekor kelelawar hitam melesat masuk menembus jendela kastil yang buram, sayapnya berkibar membawa bau lembap dan tanah makam. Begitu mendarat di langit-langit ruangan, tubuhnya bergetar dan merekah berubah wujud menjadi sesosok makhluk menyerupai manusia, namun dengan wajah bengkok, kulit pucat berurat, dan sayap kelelawar mencuat dari punggungnya. Ia bergelantung di langit-langit Kastil.

Di hadapannya, seorang perempuan berdiri membelakangi cermin tinggi berukir tulang dan obsidian. Rambut merah darah menjuntai di punggungnya yang ramping. Matanya menyipit saat bayangan makhluk itu muncul di permukaan cermin.

"Ah... rupanya kau, Kaylos," ucapnya dengan nada malas namun tajam, "Kabar besar apa yang kau bawa untukku malam ini?" melangkah mendekati mahluk itu.

Kaylos turun perlahan, melayang ke tanah dan menunduk.

"Hamba melihat keramaian di Istana Cahaya, Yang Mulia. Tampaknya... perayaan ulang tahun ketujuh untuk kedua Putri Kerajaan sedang berlangsung." Ujar mahluk aneh itu yang ternyata bernama Kaylos

“Oh...?” Si Penyihir mengangkat satu alisnya. "Bagaimana wajah Sang Putih? Apakah secantik ibunya?"

"Ampun, Yang Mulia. Hamba tak bisa mendekat lebih jauh. Istana tampaknya dilindungi oleh sihir pelindung yang sangat kuat membuat tubuh hamba terpental setiap kali mencoba mendekat”

"Tentu saja... Itu tidak mudah" gumam sang penyihir, nadanya berubah menjadi mengejek sambil tersenyum kecil, lalu berbalik melangkah mendekat ke cermin di hadapannya. Jemarinya yang panjang menyentuh permukaannya. Cermin itu bergetar... berubah, seperti genangan air yang hidup.

"Mari kita lihat sendiri..." bisiknya. “Oh cerminku yang setia, perlihatkan padaku apa yang sedang dilakukan Sang Putri Cahaya.”

Permukaan cermin bergelombang, lalu samar menampakkan taman istana, di mana Putri Althea tampak tertawa di atas ayunan, didorong lembut oleh seorang anak lelaki yang tak lain adalah Pangeran Arzhel.

“Hmm...kaylos," sang Penyihir, matanya menyipit tajam.

“Benarkah dia sang putri yang selalu berada di dalam istana itu?”

Kaylos mencondongkan tubuh, ikut menatap. “hamba belum pernah melihatnya, tetapi ini mungkin Benar, Yang Mulia. Dari rumor yang kudengar, tuan putri terlahir kembar. Satu berambut seputih, satu lagi hitam. Mungkin dia sang putri yang berambut hitam itu, Yang Mulia.”

Sang Penyihir tertawa pelan. “Hoh... Menarik sekali.”

“Hamba juga mendengar,” lanjut Kaylos hati-Hati, “Putri berambut hitam itu, sering disebut sebagai anak terkutuk, Yang Mulia”

“Ah.. berapa menyakitkannya di sebut seperti itu" ujar sang penyihir dengan wajah di buat-buat sedih. "Cermin... Perlihatkan wajahnya padaku lebih jelas,” perintahnya, tangannya kembali menyentuh cermin itu.

Cermin mematuhi. Wajah mungil Putri Althea perlahan terlihat begitu dekat. Mata kelamnya bersinar lembut, namun mata penyihir kini justru terbelalak.

“Oh... Lihat, Kaylos. Ia sangat mirip dengannya...” bisiknya penuh tekanan. “Sekarang... tunjukkan padaku dimana saudari kembarnya.” perintah penyihir itu.

Cermin tua itu mendadak memancarkan cahaya Magic keemasan yang menyilaukan dan dalam satu hentakan.

Wuusshhh!

Hembusan angin gaib menyergap tanpa peringatan. Tubuh sang Penyihir terpental keras hingga membentur dinding batu kastel, terjerembap beberapa meter dari tempatnya berdiri semula.

“Yang Mulia! Yang Mulia, apakah Anda baik-baik saja?” Kaylos segera menghampiri dengan wajah panik.

Dengan desis amarah, sang Penyihir mengibaskan debu dari jubahnya, lalu berdiri tegak. “Sial,” gerutunya pedas, sorot matanya menyala penuh dendam.

Kaylos menunduk. “Tampaknya... sang putri yang lain masih berada di dalam istana, Yang Mulia.”

Sang Penyihir kembali menatap cermin yang kini telah tenang, "Tak akan ku biarkan darah wanita itu mengalir lebih lama..." gumamnya, suara serak dan padat kebencian.

"Aku akan memusnahkan mereka..." Ia mengepalkan tangannya erat-erat. “Akan ku memusnahkan semua keturunan nya.Ya… Akan ku musnahkan… pasti… pasti… pasti…!”

"Ahahahaha! Ahahaha!"

Tawa mengerikannya meledak memenuhi ruang, membubung keluar menembus jendela-jendela kastel tua di jantung Hutan Kegelapan. Suaranya menggema hingga membuat kawanan gagak yang bertengger di luar kastel beterbangan menjauh ketakutan.

...───✦───...

Di sisi lain istana, taman kerajaan bersinar temaram diterangi lentera-lentera kristal yang menggantung di sepanjang jalan setapak. Udara malam dibalut keharuman bunga musim semi, sementara para bangsawan berlalu-lalang, keluar masuk dari aula utama yang dipenuhi sorak perayaan.

Di antara denting lembut musik pesta, Putri Althea duduk di atas ayunan kayu berukir yang tergantung pada pohon tua nan megah. Gaunnya yang menjuntai bergoyang perlahan seiring ayunan yang didorong lembut dari belakang oleh Pangeran Arzhel.

“Pangeran Arzhel,” panggilnya pelan.

“Panggil aku Arzhel saja,” sahut sang pangeran dengan senyum lembut.

“Memangnya... itu diperbolehkan?” tanya Althea, matanya membulat polos.

“Tentu saja. Bukankah kini kita adalah teman?” Arzhel lalu duduk di ayunan tepat di sampingnya.

“Benarkah?” tanya Althea dengan binar harap di matanya.

“Iya,” jawab Arzhel sambil ikut berayun perlahan bersama sang putri.

Namun seketika, senyum Althea memudar. Ia memeluk rambutnya, membiarkan ayunan berhenti.

“Tapi... apakah kau tidak malu berteman denganku?”

Arzhel menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa harus malu?”

“Rambutku... hitam,” bisik Althea lirih, nyaris seperti gumaman,

"apa salahnya? ada banyak bangsawan lain juga berambut hitam?" tanya Arzhel

"Kau tidak mengerti," berhenti berayun.

“Di Kerajaan Eamor, setiap keturunan murni Cahaya... memiliki rambut putih. Hanya aku yang tidak.”

“Oh?” Arzhel tampak terkejut. “Aku baru mengetahuinya.”

Althea menunduk lebih dalam. “Sekarang kau tahu. Mungkin setelah ini... kau tidak ingin menjadi temanku lagi.”

Melihat kesedihannya, Arzhel segera turun dari ayunan dan berdiri di hadapannya. Dengan lembut ia berjongkok, menatap mata Althea yang suram.

“Siapa bilang aku tidak ingin berteman denganmu?”

“Semua orang berpikir begitu...” lirih Althea.

“Aku tidak seperti mereka,” jawab Arzhel tegas. “Bagiku, hitam ataupun putih, rambutmu tak akan pernah mengubah kenyataan bahwa kau adalah bagian dari Kerajaan Cahaya. Lagi pula kau... Althea, tidak akan pernah berniat menyakiti siapa pun, bukan?”

“Tentu tidak!” jawab Althea panik. “Aku tidak pernah ingin menyakiti siapa pun!”

“Aku tahu, aku percaya padamu,” Arzhel mengangguk mantap. Ia mengulurkan tangan, penuh harap dan ketulusan. “Jadi, apakah kau mau berteman denganku, Putri Althea?”

“Tentu saja aku mau!” Althea menyambar tangannya cepat, wajahnya berseri. Untuk pertama kalinya, ia memiliki seorang teman.

“Ayo kita kembali ke istana. Sebentar lagi, pesta kembang api akan dimulai,” ujar Arzhel seraya menengadah ke langit malam.

“Kembang api?” tanya Althea polos. “Apa itu?”

Arzhel terkekeh. “Kau belum pernah melihatnya? Itu seperti bintang yang meledak di langit, berkilau dan menari dalam warna-warna ajaib. Biasanya dinyalakan saat perayaan ulang tahun keluarga bangsawan.”

“Benarkah! Aku ingin melihatnya!” seru Althea penuh semangat.

Mereka pun berlari menuruni taman, lalu naik ke teras tinggi istana yang menghadap langit luas.

“Arzhel, kenapa belum ada juga?” tanya Althea tak sabar, matanya menatap langit penuh harap.

“Tunggu saja...” jawab Arzhel, dan tepat saat itu...

Wuusshh! Zetttarrrr!!!

Sebuah cahaya meluncur ke langit, meledak menjadi percikan-percikan warna keemasan, ungu, dan biru lembut.

“Waaah...” Althea menatap takjub, matanya memantulkan gemerlap cahaya seperti cermin.

“Indah, bukan?” ucap Arzhel.

“Indah sekali...” balas Althea penuh kekaguman.

Tiba-tiba, suara berat dan hangat terdengar dari belakang. “Disini rupanya kalian.”

Keduanya menoleh cepat. Seorang pria berpakaian kebesaran berdiri dengan senyum bijak di wajahnya yang tak lain adalah Duke Aelion Garamosador di sebelahnya ada Marquess Tahsan.

“Duke!” seru Althea, lalu berlari memeluk pria itu. Dengan spontan, sang Duke mengangkatnya dalam pelukan. “Lihat itu Duke, cahayanya indah sekali!” ucapnya penuh semangat sembari menunjuk langit.

"Iya, sangat cantik," balas Duke lembut.

“Ayah,” Arzhel menghampiri sosok bangsawan disebelahnya.

“Ayo kita pulang, Arzhel,” ucap Tahsan lembut. “Kami mohon diri, Duke.”

“Silakan. Hati-hati di jalan,” sahut Duke.

Marquess menunduk sopan. “Sampai jumpa, Tuan Putri.”

“Sampai jumpa! Dadaa... Arzhel! Hati-hati ya!” seru Althea sambil melambaikan tangan kecilnya.

Marquess Tahsan dan Arzhel membalas lambaian itu, lalu berjalan perlahan meninggalkan istana.

“Apakah hari ini kau senang, Althea?” tanya Duke lembut.

“Iya, senang sekali...” jawab Althea kecil sambil memeluk leher Duke. “Ah! Kakak!” serunya tiba-tiba, melihat sosok kakaknya mendekat.

Alourra berjalan dengan langkah anggun, wajahnya tampak letih namun tetap tersenyum.

“Maaf, Althea... Kakak tak sempat menemanimu melihat kembang api,” ucapnya lembut.

“Tidak apa-apa! Tadi aku bertemu teman!” seru Althea senang.

“Benarkah?” tanya Alourra, agak terkejut namun bahagia.

“Dia baik sekali.”

Alourra menoleh ke arah Duke yang tersenyum penuh arti, membuatnya ikut tersenyum. “Senang mendengarnya,” katanya sambil mengusap rambut Althea dengan sayang. “Sekarang, ayo kita tidur. Ini sudah larut malam.”

“Ayo... aku juga sudah mengantuk,” gumam Althea kecil, mulai menguap pelan.

“Tidak apa-apa kan, Duke?” tanya Alourra sopan.

Duke mengangguk. “Penjaga, antar Tuan Putri ke kamarnya,” perintahnya lembut.

...· · ─ ·𖥸· ─ · ·...

Academy Stevia

‧˚♪ 𝄞 : Young and Beautiful - Nvly // Yt: Moonch

...ᝰ.ᐟ...

Tiga tahun telah berlalu.

Grand Duke Aelion Garamosador berdiri membelakangi ruangan, memandang ke luar jendela besar bertirai sutra putih. Di balik kaca berembun, terbentang panorama Kerajaan Eamora yang megah, namun tak lagi seterang dahulu.

"Ampuni hamba, Yang Mulia... Hamba tahu apa yang sedang mengusik benak Anda," ujar Paul, kepala pelayan setia, yang berdiri tak jauh dari pilar batu marmer.

Aelion berbalik perlahan, jubah panjangnya mengekor anggun di atas lantai. Ia melangkah menuju meja kerjanya yang penuh gulungan dokumen dan peta-peta kuno.

"Paul," panggilnya, suaranya datar namun tegas.

"Ya, Yang Mulia," sahut Paul, menundukkan kepala.

"Kau telah lama mengabdi kepada keluarga ini. Tentu kau tahu... segalanya."

Duke meraih pena bulu hitam dan mencelupkannya ke dalam botol tinta yang tertata rapi di sisi meja.

"Tentu saja, Yang Mulia. Bahkan... jika hamba boleh jujur, kekhawatiran yang sama pun menghantui diri ini," balas Paul lirih.

Aelion menoleh dengan sorot mata tajam. "Katakan padaku."

Paul menelan ludah pelan. "Hamba telah berusaha membungkam para pelayan, tapi... rumor tentang Putri Althea terlalu cepat menyebar. Beberapa dari mereka terkadang mulai berbisik secara terang-terangan."

Ia menarik napas, lalu melanjutkan, "Beberapa hari terakhir, Tuan putri Althea tampak murung, dan... bahkan nyaris tak menyentuh makanan, Yang Mulia."

Aelion mengangguk pelan, seolah telah memprediksi semua itu. Rumor yang menyebut Althea sebagai putri terkutuk dan bukan dari garis keturunan murni kerajaan Cahaya, kini tak hanya menjadi bisik-bisik pelayan akan tetapi Rakyat pun tampaknya mulai gelisah akan nasib negerinya. Ia juga tahu, tak lama lagi, Althea sendiripun pasti akan menanyakan asal-usulnya.

Ia menghela napas panjang. "Paul... ambilkan selembar kertas dari laci belakangmu."

Tanpa banyak tanya, Paul berbalik dan menyerahkan sehelai perkamen kosong. Duke segera menuliskan sesuatu dengan goresan tegas namun tenang, lalu menggulung kertas itu, mengikatnya dengan benang perak, dan menekan stempel kerajaan di atasnya.

Melihat itu, Paul mengerutkan dahi. "Apa yang hendak Anda lakukan, Yang Mulia?"

Duke tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri, menyerahkan gulungan surat itu ke tangan Paul.

"Kirimkan ini ke Academy Stevia"

Paul menegang. "Jangan-jangan... Anda berniat...?"

"Ya," potong Duke tenang.

"Tapi... usia Tuan Putri masih sepuluh tahun. Apakah tidak terlalu dini?"

"Tak mengapa. Di sana, aku punya seseorang yang bisa kupercaya."

Aelion kembali duduk, menyandarkan punggungnya di kursi besar berbalut beludru biru tua.

"Antarkan surat itu, Paul."

Kepala pelayan itu menunduk hormat. "Segera, Yang Mulia." Ia lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan.

...────୨ৎ────...

Kereta kuda berhenti perlahan di depan sebuah gerbang megah yang terbuka lebar, disambut angin lembut yang membawa aroma musim semi.

“Kita telah sampai, Yang Mulia Tuan Putri,” ucap sang kusir, suaranya penuh hormat.

Langit di atas mereka membiru lembut, membingkai megahnya bangunan putih dengan atap biru safir yang menjulang di kejauhan. Di bawahnya, hamparan rumput hijau membentang bagai permadani hidup, menyambut siapa pun yang datang.

Alourra dan Althea melangkah turun dari kereta, gaun mereka berayun lembut tertiup angin.

“Academy Stevia…” bisik Althea, matanya membesar penuh takjub. “Sungguh indah…”

Alourra mengangguk pelan, matanya sama terpesonanya. Tapi ada yang aneh sejak Alourra menginjakkan kaki di sini, seperti ada sesuatu yang menarik tapi entah apa.

“Lihat, Kak. Di sana,” tunjuk Althea ke arah bukit kecil di sisi kiri. “Ada bangunan lain… seperti istana.”

Alourra memperhatikan bangunan itu—anggun, berdiri di atas dataran tinggi dengan pilar-pilar yang kokoh dan batuan besar yang mengelilinginya. Ia mengangguk ringan.

“Aku rasa itu gedung utama akademi. Yang ini, mungkin hanya asrama atau tempat belajar para putra-putri bangsawan.”

“Benarkah?” tanya Althea polos, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.

Sebelum Alourra sempat menjawab, seorang wanita berpakaian resmi berjalan mendekat dan membungkuk anggun.

“Selamat datang, Tuan Putri dari Kerajaan Eamora,” sapanya.

“Terima kasih,” jawab Alourra dan Althea bersamaan. Mereka menunduk sopan, mengangkat sedikit gaun mereka dalam etiket kerajaan yang anggun.

“Perkenalkan, saya Alourra Naleamora,” ucap Alourra.

“Dan saya Althea Neramora,” lanjut sang adik.

“Kami berasal dari Kerajaan Eamora,” ujar keduanya bersamaan.

“Saya Ela, pengurus asrama putri di sini. Izinkan saya untuk memandu kalian,” ujar wanita itu, memperkenalkan diri dengan senyum hangat.

Langkah kaki lain terdengar mendekat. Grand Duke Aelion yang sejak tadi berdiri tak jauh kini berjalan menghampiri.

“Senang melihatmu lagi, Ela,” ucapnya ramah.

Ela tersenyum dan menunduk. “Grand Duke Aelion. Sudah lama sekali.”

“Tidak perlu bersikap sekaku itu padaku,” balas Aelion, suaranya tenang namun bersahabat.

“Kalau begitu… apakah Anda juga ingin ikut bersama kami, Ael?” tanya Ela, kini nadanya lebih santai, menunjukkan kedekatan lama yang terjalin di antara mereka.

Duke menggeleng. “Tidak. Aku akan menuju ruang Kepala Akademi. Ada beberapa hal yang harus perlu kuurus.”

“Baiklah. Kalau begitu—Tuan Putri, mari ikut saya,” ujar Ela, berbalik sambil memberi isyarat tangan.

“Kami mohon diri, Grand Duke,” ujar Alourra sopan.

“Berhati-hatilah,” pesan Duke, sorot matanya teduh.

“Baik, Duke,” balas Althea lembut sebelum mereka melangkah mengikuti Ela,

Ela berjalan di depan, membimbing dua putri menuju pelataran utama Akademi Stevia. Udara pagi membawa aroma bunga dan dedaunan segar, menciptakan kesan agung sekaligus damai.

“Kita telah sampai di pelataran Akademi Stevia,” ucap Ela, mengarahkan pandangan mereka pada bangunan menjulang anggun, dikhususkan bagi para pelajar bangsawan.

“Jika diperhatikan lebih dekat, ternyata ada kolam air mancur di sana,” ujar Alourra, matanya menyusuri aliran air yang memantulkan cahaya keperakan.

“Benar. Airnya mengalir langsung dari sungai bawah tanah yang mengaliri fondasi akademi ini,” jelas Ela.

“Menakjubkan sekali...” ujar Althea, hampir berbisik.

Ela tersenyum mendengar kekaguman mereka.

“Lihatlah ke sebelah kiri,” katanya sambil menunjuk bangunan megah dengan menara tinggi dan jendela-jendela kaca patri.

Alourra dan Althea menoleh, mengikuti arah tunjuknya.

“Itu adalah bangunan utama—Main Stevia. Di sanalah semua acara resmi dilaksanakan. Aula pesta dansa, ruang guru besar, dan kantor kepala Akademi semuanya berada di sana.”

Kedua putri menyimak dengan mata berbinar.

“Sekarang, lihatlah ke kanan,” lanjut Ela, dan sekali lagi mereka mengikuti arah pandangnya.

Kali ini, keduanya terdiam.

“Tempat itu dinamakan Hutan Kabut Peri,” kata Ela pelan, seolah menyebut sesuatu yang sakral.

“Hutan Kabut Peri?” ulang Alourra, nada suaranya sarat rasa ingin tahu.

“Ya. Hutan itu digunakan sebagai tempat berlatih sihir. Ia dilindungi oleh mantra pelindung yang hanya dapat ditembus oleh mereka yang memiliki kekuatan magis,” jelas Ela lirih.

“Apakah mungkin... tempat itu yang menarikku sejak tadi?” batin Alourra, merasakan getaran aneh dalam dadanya.

“Apakah di sana benar-benar ada peri?” tanya Althea polos, memotong lamunan kakaknya.

“Tentu saja,” jawab Ela sambil membungkuk dan dengan gemas menyentuh ujung hidung Althea.

“Kini, bangunan di hadapan kalian adalah tempat khusus untuk para bangsawan muda belajar dan tinggal. Di sinilah kalian akan menghabiskan hari-hari kalian,” Ela tersenyum hangat.

“Ayo, mari kita masuk.”

Ela mendorong pintu kayu besar berukir dan mengajak mereka menapaki lantai berlapis marmer.

"kalau kalau kalian berbelok ke kiri kalian akan sampai di area latihan berkuda" ujar Ela sembari melangkah di lorong.

"sekarang mari kita naik ke lantai atas" ujar Ela mengarahkan

“Ini adalah ruang kelas utama Akademi Stevia. Di sinilah kalian akan belajar nanti.”

“Di sebelahnya ada ruangan seni,” lanjut Ela.

 “Dan kalau kalian menuruni tangga di ujung lorong, kalian akan sampai ke aula utama dan juga ruang Makan”

Tak lama, mereka tiba di sebuah ruang besar yang dipenuhi rak-rak buku tinggi menjulang, memenuhi dinding putih dua tingkat dengan ornamen emas.

“Ini adalah perpustakaan Akademi Stevia,” bisik Ela, seolah tak ingin mengusik keheningan suci tempat itu.

“Buku-bukunya... sangat banyak,” gumam Alourra kagum.

Saat itulah Althea melambaikan tangan, “Arzhel!” serunya.

Alourra menoleh. Seorang anak laki-laki berambut hitam sedang membaca buku. Ia menoleh, mengenali suara itu, dan tersenyum.

“Althea,” sapanya. Ia menutup buku lalu melangkah mendekat.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.

“Mulai hari ini, aku akan belajar di sini,” jawab Althea ceria.

“Benarkah?” Arzhel tampak terkejut sekaligus senang.

“Iya! Dan ini kakakku, Alourra,” kata Althea memperkenalkan.

Arzhel segera membungkuk sopan. “Salam hormatku, Yang Mulia Putri Alourra, penerus Cahaya Kebaikan. Aku Pangeran Arzhel.”

Alourra tersenyum dan membalas dengan anggun, “Alourra Naleamora. Senang bertemu denganmu, Pangeran Arzhel.”

Ela memperhatikan mereka dengan senyum penasaran. “Kalian sudah saling mengenal?”

“Ya, kami pernah bertemu sebelumnya,” jawab Arzhel.

“Oh, halo Ela,” sapanya kemudian.

Tiba-tiba, seseorang datang dan membisikkan sesuatu di telinga Ela. Ia mengangguk pelan, lalu berpaling ke arah kedua putri.

“Maaf, aku tak bisa menemani kalian lebih lama. Aku akan mengantarkan kalian ke kamar sebelum pergi.”

“Tak apa, Ela,” ucap Alourra lembut.

“Kami permisi dulu, Arzhel,” ujar Althea sambil menunduk.

“Sampai jumpa lagi,” Arzhel membalas dengan hormat.

Ela kemudian mengantar mereka hingga ke lantai atas. Di sana, ia membuka pintu kayu yang mengarah ke kamar mereka.

“Ini kamar kalian berdua,” ujarnya.

Ruangan itu luas, dengan dua ranjang terpisah yang menghadap dinding putih. Ukiran emas menghiasi setiap sudutnya, memberikan kesan hangat dan megah sekaligus.

“Wah, besar sekali,” seru Alourra, matanya mengamati sekeliling.

“Kasurnya terpisah! Aku mau tidur di depan Kakak!” ujar Althea riang.

Ela terkekeh pelan. “Masih banyak ruangan-ruangan yang belum Saya beritahu."

"Tidak apa-apa, Ela" Ujar Alourra sembari tersenyum.

"Baiklah saya permisi dulu, selamat beristirahat, Tuan Putri.” ujarnya sopan

“Silakan, Ela,” balas Alourra sopan. Sementara itu, "Terimakasih, Ela," ujar Althea yang sudah terduduk santai di atas ranjang, senyum kecil tak lepas dari wajahnya.

...· · ─ ·𖥸· ─ · ·...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!