NovelToon NovelToon

My Villainess Return

Bab 1

Deva baru saja pulang setelah menyelesaikan tugasnya sebagai bodyguard. Dengan langkah santai, dia melangkah menuju apartemen sambil memegang novel best seller yang baru dibelinya.

Dia merasa puas setelah penantian yang panjang, akhirnya dia berhasil mendapatkan buku itu, Deva terbenam dalam cerita yang menarik dan menunggu saat-saat untuk menikmati setiap halaman dengan santai, sambil menyesap kopi.

Bayangan itu membuat sudut bibirnya melengkung ke atas, dia benar-benar tidak sabar untuk membacanya di rumah.

"Akhirnya gue bisa dapatin nih novel! gila banget gue sampai ngabisin duit jajan gue selama dua hari." Gerutu Deva seraya mengangkat buku novel itu seperti boneka.

Novel berjudul mawar beracun, menjadi novel terlaris tahun ini. Deva sampai harus menunggu satu bulan lamanya, sejak novel itu terbit demi mendapatkannya.

Dari banyaknya spoiler di internet, banyak yang menyukai alurnya. Deva yang menyukai hal-hal berbau kriminal dan psikopat langsung ikut mengantri untuk mendapatkan novel itu.

"Gue baca sambil jalan kayanya seru deh?" pikirnya menimbang-nimbang.

Dia merobek bungkus novel itu, dan mencium buku tersebut dengan antusias.

"Woah wangi kertas baru di cetak."

Deva di kenal sebagai maniak novel, dari berbagai genre dia hanya mengoleksi novel bergenre thriller dan angst. Konflik berat dari setiap novelnya, mampu membuat Deva merasa menjadi salah satu tokoh tersebut yang di buat gila mendadak.

"Oke, ayo kita buka..." Deva membuka sampul buku tersebut, dia di suguhi cover seorang pria dan wanita di halaman pertama.

"Anjay, keren banget! pasti penulisnya sering halu punya cowo spek manhwa." Racau Deva cengengesan.

Entah dia memuji atau justru mengejek penulisnya, tidak ada yang tahu isi hati gadis itu.

Deva mulai membaca bagian prolognya, raut wajah gadis itu berubah-ubah. Dari senyum, seringai, lalu melotot, ekspresi itu terus berlanjut setiap kali kalimat di buku itu masuk ke dalam otaknya.

"Lah, tolol banget! pake ngemis-ngemis segala! baru prolog aja udah bikin kesel."

Meski bibirnya terus meracau dan mengolok-ngolok karakter yang memiliki nama sama sepertinya, namun dia tetap melanjutkan membaca.

Hingga dia tak menyadari jika ada seseorang di belakangnya yang bersiap menarik pelatuk, orang itu memakai masker dan juga topi berwarna hitam. Dan membuat wajahnya tidak bisa di kenali.

Saat Deva sedang asik membaca, dalam sekejap suara tembakan memecah kesunyian malam, dan peluru itu menghujam tepat di belakang kepalanya.

Deva terjatuh dan hidupnya melayang hanya dalam hitungan detik, tanpa pernah tau siapa orang yang membunuhnya.

***

Deva membuka matanya perlahan, merasakan cahaya lembut yang masuk melalui tirai tipis di jendela. Kepalanya terasa berat, seolah terjebak dalam kabut mimpi yang tak kunjung pergi.

Saat dia berusaha bangkit dari ranjang yang empuk, rasa bingung menyergapnya. Kamar yang mengelilinginya begitu asing, dinding berwarna pastel yang elegan, lampu gantung berkilauan, dan furnitur mewah yang seolah di ambil dari halaman sebuah majalah.

Dia duduk di tepi ranjang, meraba permukaan beludru yang lembut. Sebuah cermin besar menggantung di dinding, memantulkan sosoknya yang tampak bingung dan sedikit terkejut.

"Hah? siapa tuh?" ujarnya menunjuk cermin.

Gaun tidur yang dia kenakan tampak seperti sesuatu yang berasal dari dunia lain halus dan berkilau, seolah dirancang khusus untuk momen-momen istimewa.

Deva mengedarkan pandangannya, mencoba memahami situasi yang di hadapinya. Di sudut kamar, ada meja rias dengan cermin berbingkai emas, di hiasi dengan berbagai produk kecantikan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Di dinding sebelahnya sebuah lukisan indah menggambarkan pemandangan yang memukau, dan di sampingnya, sebuah kursi berlapis kain sutra menambah kesan mewah ruangan itu.

"Gue di mana nih?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Dengan perlahan, dia bangkit dan melangkah menuju jendela, ingin melihat dunia di luar kamar yang misterius ini.

Ketika Deva membuka tirai, pemandangan di luar membuatnya terkesima. Taman yang luas dan terawat dengan baik, di kelilingi oleh pepohonan rindang dan bunga-bunga berwarna-warni, semua terlihat menakjubkan di bawah sinar matahari pagi. Seolah-olah ia terbangun di dalam sebuah buku dongeng.

"Tunggu, bukannya tadi gue kena tembakan?" gumamnya heran.

Deva menyentuh belakang kepalanya, namun dia tidak mendapati bahwa kepalanya berlubang. Dia masih ingat dengan jelas rasa sakit yang luar biasa hebat, dan kegelapan langsung mengelilinginya.

Tapi sekarang, dia merasakan permukaan kulitnya yang halus dan tidak ada rasa sakit yang menyengat. Perasaan bingung semakin menyelimuti pikirannya.

Dengan hati-hati dia berbalik, meneliti ruangan di sekelilingnya lagi. Jelas itu bukan neraka, suasana di ruangan itu lebih pantas di sebut kamar yang mewah.

"Siapa yang bawa gue ke sini?" tanya Deva pada dirinya sendiri, dia jelas tak merasa memiliki kamar sebagus itu.

Dia berjalan menuju pintu, perlahan mendorongnya. Pintu itu terbuka dengan mudah, membiarkan sinar matahari mengalir masuk, menerangi lorong yang panjang dan sepi.

"Apa gue di culik? tapi masa iya sih, ada penculik yang rumahnya sebagus ini?"

"Apakah ini semua mimpi?" pikirnya, bingung.

Namun, saat matanya bertemu dengan seseorang yang baru saja tiba di depan kamarnya dia sedikit tertegun, rasa familiar menghampirinya. Seorang pria dengan rambut gelap dan mata tajam, tersenyum hangat padanya seolah dia sudah menunggu lama gadis itu keluar kamar.

"Deva! akhirnya kamu bangun juga!" teriak pria itu, dan langsung memeluknya dengan cepat.

Gema suaranya mengusir keheningan di sekitarnya, Deva merasa jantungnya berdebar kencang. Dia mendorong paksa pria itu agar menjauh darinya.

"Siapa Anda?" tanya Deva, menunjukan kewaspadaannya.

Pria itu tersenyum lebih lebar. "Deva, ada apa denganmu? ini Daddy kamu, Dev."

"D-Daddy? serius?"

Deva merasa jantungnya berdebar kencang, kata-kata pria itu berputar-putar di kepalanya. Sudah lama dia jadi yatim piatu, tapi sekarang dia memiliki ayah?

Apa gue beneran gila? Pikir Deva merasa konyol.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berbalik arah dan berlari kembali ke dalam kamar meninggalkan pria itu sendirian.

Sesampainya di dalam, dia langsung menuju cermin besar di sudut ruangan. Nafasnya tersengal-sengal, matanya memperhatikan refleksi dirinya.

Apa yang terjadi? rambutnya tampak lebih panjang dan berwarna merah menyala seperti kobaran api, wajahnya tampak lebih halus, seolah-olah dia baru saja mengalami transformasi yang tidak bisa di jelaskan. Namun, ada sesuatu yang lebih mencolok di sudut cermin, tertulis dengan huruf yang jelas 'Deva Claudia.'

Nama itu menghantamnya seperti petir. "Deva Claudia?" gumamnya.

Nama itu sangat familiar bagi dirinya. Deva teringat dengan nama yang baru saja dia baca dari novel, nama itu milik tokoh antagonis yang memiliki akhir tragis. Seorang wanita kuat, penuh tipu daya, dan manipulatif.

"Ini nggak mungkin," pikirnya lagi. "Gue bukan dia, kan?"

Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menghilangkan rasa bingung yang terus menyelimuti pikirannya. Kenapa namanya bisa terukir di sini? apakah ini semua hanya ilusi? apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Berbagai pertanyaan terus berkeliaran dalam kepalanya, entah bagaimana dia harus menanggapi kejadian konyol tersebut.

Dia bukan hanya seorang karakter dalam cerita, ia adalah seseorang yang terjebak dalam sebuah kisah yang tidak bisa dia pahami dengan logika.

"Apa gue terjebak dalam novel ini? atau gue udah sinting tingkat akut?" tanyanya pada diri sendiri.

Deva mendekatkan wajahnya ke cermin, menatap dalam-dalam ke matanya sendiri.

"Kalau gue memang Deva Claudia, apa yang harus gue lakukan?"

Dia merasakan pertarungan batin yang kuat, antara menerima kenyataan dan berjuang untuk menemukan kebenaran yang lebih dalam.

"Gue bahkan belum baca novelnya sampai selesai, baru juga prolog masa iya gue malah masuk ke bukunya sih? kalo gue mati lagi gimana?"

Bab 2

Deva mengurung dirinya di dalam kamar, sejak dia mengetahui bahwa ia masuk ke dalam novel. Dia berusaha memasukan logikanya, namun mau berapa kali dia berusaha semua kejadian itu tak masuk akal.

"Gimana bisa, kejadian yang gue pikir cuma ada di novel bisa beneran terjadi?"

Setiap kali dia mencoba menutup mata dan mengabaikan kenyataan, bayangan karakter-karakter dalam novel itu selalu muncul, seakan-akan mereka memanggil namanya.

Pikirannya melayang kembali ke momen saat dia baru saja membuka buku itu di tengah jalan. Aroma kertas yang baru keluar dari bungkusnya, sangat membuat Deva terpukau. Ketika dia mulai membaca bagian prolognya, semua terasa hidup setiap kalimat, setiap konflik. Dan kini, dia justru terjebak di dalamnya.

"Ini semua konyol," ucapnya pelan, berusaha meyakinkan diri.

Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, mencoba mencari sesuatu yang familiar. Foto-foto di dinding, semua itu terasa asing di matanya.

"Kalau ini semua nyata, apa gue bisa mengubah jalan ceritanya?" tanyanya pada diri sendiri. "Atau gue hanya akan menjadi boneka yang digerakkan oleh penulis?"

Deva mengusak rambutnya dengan kasar, ia benci berpikir terlalu berat. Namun, mau bagaimana lagi saat ini posisinya benar-benar baru dan ia belum terbiasa dengan kehidupan itu.

Di tengah rasa frustasi yang menghampirinya, suara ketukan pintu membuyarkan semuanya.

"Siapa?" teriak Deva dari dalam kamar.

"Turun! Daddy ngajak lo makan." Jawab suara tersebut.

Penasaran, Deva melangkah menuju pintu dan membukanya. Seketika dia terperangah oleh ketampanan seorang pemuda, yang memiliki pupil mata berwarna abu-abu.

"Lo siapa?" ujar Deva heran.

"Jangan pura-pura amnesia deh, lo nggak bakal bisa narik perhatian gue dengan cara sampah kaya gitu!" sinis pemuda tersebut, dan berlalu meninggalkan Deva.

Kepala Deva miring ke samping, dia merasa tak asing dengan pemuda itu. "Siapa yah? kok kaya nggak asing?"

Deva mengetuk-ngetuk kepalanya sejenak, sampai akhirnya kilasan memori asing muncul. Dia menarik rambut panjangnya dengan paksa, Deva mendesis ketika dia mulai menerima ingatan tersebut.

"Aarrghh, sakit!" rintih Deva.

Dia terjatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal. Dan dia mencoba untuk menetralkan kembali perasaannya.

"Ha... ha... tenang Dev, tenang."

Setelah berhasil mengatasi rasa sakit itu, barulah Deva bisa menerima fakta bahwa dia memang sudah meningal dan terlahir kembali di tubuh antagonis.

"Sialan, kenapa harus tokoh ini sih? kan, masih banyak tokoh lain. Kenapa harus antagonisnya? apa ini karma karena gue sering mukul orang?" racaunya masih saja belum menerima takdir barunya.

Deva berdiri dan melangkah menuju arah tangga, saat dia sedang menuruni tangga muncul seseorang di belakangnya dan melangkah lebih dulu hingga menyenggol pundak Deva.

Dia terhuyung ke samping, untung saja dia bisa berpegangan besi yang menjadi pembatas tangga.

"Heh, lo jalan pake mata bisa, kan! main nyelonong aja, lo kira ini tangga punya lo apa." Protes Deva seraya menoleh ke samping.

Dia melongo tak percaya, begitu melihat wajah pemuda berambut hitam dan memiliki bola mata berwarna hijau. Mata itu sangat langka, bahkan Deva baru pertama kali melihatnya.

'Buset, cakep banget njir.' Batin Deva khilaf.

"Lo aja yang badannya kegedean, makanya punya tubuh di langsingin dikit. Jangan kaya babi." Ejek pemuda tersebut.

Deva tak terima, tubuh barunya sudah langsing dan ideal untuk gadis seusianya. Namun entah bagaimana penglihatan pemuda itu hingga dia bisa menyebutnya babi? jelas saja Deva merasa jengkel, dia menunjuk wajah pemuda itu dan menunjukan rasa kesalnya.

"Babi mata lo! Tubuh gue spek gitar spanyol gini lo bilang mirip babi?! Punya mulut di jaga dong, lo nggak pernah makan bangku sekolah apa gimana? jadi cowok kok lemes banget."

Pemuda itu tersenyum sinis, tidak terpengaruh dengan ejekan Deva. "Yang ada lo yang nggak bisa nerima fakta, dasar babi." Dia melangkah maju, menambah jarak di antara mereka.

Deva mendengus, merasa darahnya mendidih. "Baba babi, mentang-mentang lo tiang listrik, seenak jidat lo ngatain orang, dengar yah! mau badan gue gemuk atau nggak, itu nggak ada urusannya sama lo, Gio."

Gio, merupakan kakak kedua Deva. Setelah ingatan dari pemilik tubuh muncul, Deva bisa dengan mudah mengingat semua nama orang-orang di dalam rumah itu.

Dan Gio, adalah orang yang paling membencinya setelah Gallen. Kedua kakaknya tak pernah mau mengakui Deva sebagai adik mereka, bahkan di kampus mereka tak segan memukul Deva jika dia berani menyakiti Sera sang protagonis dalam novel yang dia tempati.

"Ngomong apa lo barusan?" tekan Gio tak suka.

Namun, Deva tak menjawab dia justru melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Meski di belakangnya Gio terus memanggilnya, dia tak menoleh atau pun menjawab panggilan tersebut.

Deva menarik kursi dari bawah meja, lalu duduk di sana dan mulai menyendok nasi serta lauk pauknya.

Gallen menatap Deva tajam, suara dingin dan menusuk keluar dari bibir pemuda tersebut.

"Dimana sopan santun lo, Dev? Daddy aja belum makan, bisa-bisanya lo makan duluan!" tegur Gallen.

Deva yang sedang mengambil ayam goreng berhenti sejenak, dia memandang Gallen dengan serius.

"Gue bukan orang yang suka minta izin. Semua orang di sini terlalu banyak aturan, gue lebih suka hidup di luar batas. Dan gue rasa Daddy nggak mempermasalahkannya benar, kan, Dad?" ujar Deva menoleh pada Daddynya.

Sang Daddy mengangguk, "Sudahlah, Gal. Biarkan adikmu makan dengan tenang, kalian juga cepatlah makan."

Deva merasa menang, dia menjulurkan lidahnya ke arah Gallen hingga membuat pemuda itu menggeram marah.

Suasana meja makan tampak begitu tenang, hanya ada suara denting sendok yang beradu dengan piring. Deva benar-benar menikmati makanannya, dia bahkan sampai nambah dua kali dan itu sukses membuat ketiga orang di sana terkejut.

"Deva, apa kamu nggak takut sakit perut?" tanya Daddynya dengan nada lembut.

Deva menggeleng cepat, "Tenang aja, Dad. Perut aku bisa nampung satu ton nasi kok."

Daddynya tertawa kecil, namun raut wajahnya masih terlihat khawatir. "Ya sudah, kalau kamu yakin. Tapi ingat, jangan sampai berlebihan. Makan itu harus seimbang."

Deva hanya tersenyum, lalu melanjutkan suapan ke dalam mulutnya Di sudut matanya, dia melihat Gio yang memandangnya dengan ekspresi campur aduk antara jijik dan juga benci.

Ketika suasana mulai hening kembali, tiba-tiba pintu dapur terbuka dan sosok Sera muncul, tampak agak kaget melihat suasana meja makan yang tenang.

"Oh, maaf. Saya tidak tahu kalau ada orang di sini," katanya sambil menggaruk kepala.

Deva terperangah, dia tak menyangka akan secepat ini bertemu protagonis utama. Terlebih lagi, mereka ternyata tinggal satu atap.

'Sejak kapan Sera tinggal di rumah gue? perasaan dari spoiler nggak ada deh.' Batin Deva penasaran.

"Sera, kenapa lo ada di sini?" cetus Deva tak bisa menahan rasa penasarannya.

"M-maaf, Dev. G-gue cuma mau ngambil minum." Sera menjawab sambil melirik meja dengan penuh minat.

"Nggak usah gagap juga kali, gue nanya baik-baik kok, gue nggak gigit. Gue penasaran, kenapa lo bisa masuk ke rumah gue?" tegas Deva, sifat asli pemilik tubuh memang mirip dengan sifat aslinya di dunia nyata.

Gallen berdiri dari kursinya, lalu menghampiri Sera yang nampak ketakutan.

"Bisa nggak sih, lo jangan ganggu Sera mulu!" tegur Gallen, amarahnya membuncah.

Sang Daddy yang tak ingin mendengar perkelahian putra putrinya, menyuruh Sera duduk di samping Gio.

"Sera, sini duduk. Kita makan bersama." Ajak Daddy Dion.

Sontak Deva langsung menjatuhkan sendok yang dia pegang, "Dad, kenapa Sera di suruh makan satu meja sama kita? emang Sera siapanya keluarganya kita?"

"Deva, ada apa denganmu? sejak kamu pingsan, sikap kamu jadi berubah. Kamu tahu sendiri, kalo mulai minggu lalu Sera resmi menjadi anggota keluarga kita." Sahut sang Daddy.

"A-apa? keluarga?" entah seperti apa raut wajahnya saat ini, tapi yang jelas Deva tak menduga bahwa dia akan tinggal satu atap dengan protagonis utama.

Bab 3

Suasana makan malam di meja makan keluarga Deva, terasa dingin dan mencekam. Aroma masakan yang dihidangkan tak bisa lagi menggoda selera makannya, Deva benar-benar kehilangan nafsu makan setelah mendengar jawaban ayahnya barusan.

Suara sendok yang beradu dengan piring, kini sudah tergeletak tanpa Deva sentuh lagi. Deva tampak gelisah, pandangannya beralih dari hidangan di depannya dan sosok Sera, yang kini sudah duduk di samping Gio.

Wajah Sera terlihat polos dan ramah, ciri khas yang lumrah bagi peran protagonis di kebanyakan novel romansa. Namun, dia yang belum tahu sifat asli karakter Sera merasa cemas jika gadis itu bermuka dua.

"Dad," Deva memulai dengan nada serius, membuat perhatian semua orang tertuju kepadanya. "Boleh aku tanya sesuatu?"

Sang daddy, yang sedang menyesap kopi, segera menatap Deva dengan penuh rasa ingin tahu. "Tentu, Nak. Ada apa?"

Deva menghela napas, sedikit ragu. "Kenapa Sera bisa tinggal di rumah kita? dan bukankah seharusnya dia kembali ke rumahnya? aku nggak mungkin salah ingat, kan kalau Sera masih memiliki orang tua."

Sera yang mendengar pertanyaan itu, menundukkan kepala, sementara Dion tersenyum lembut tapi senyumnya sama sekali tidak membuat Deva merasa tenang.

"Dev, kadang-kadang situasi nggak berjalan seperti yang kita inginkan. Sera butuh tempat untuk beristirahat dan merasa aman saat ini. Dan mungkin kamu lupa, tapi orang tua Sera baru saja meninggal dua minggu yang lalu."

Penjelasan itu menampar Deva tanpa ampun, "Me-meninggal? Daddy pasti bercanda, kan?"

"Untuk apa?" Dion menatap putrinya dengan raut keheranan. "Kita sudah ke pemakamannya juga, masa kamu lupa? Apa jangan-jangan kamu amnesia?"

"Tapi, Dad," melanjutkan dengan tegas. "Meski dia yatim piatu, dia kan bisa tinggal di rumahnya. Kenapa harus di sini? Dan aku nggak amnesia cuma lupa aja."

Dio mengangguk, memahami kekhawatiran putrinya. "Daddy tahu, Dev. Tapi, Daddy punya hutang budi pada orang tua Sera. Lagi pula rumah kita besar dan masih banyak kamar kosong di sini, mulai sekarang kita adalah keluarga. Menolong satu sama lain adalah bagian dari bentuk kemanusiaan. Sera sedang menghadapi masa yang sulit, dan kita harus bisa membantunya."

Membantu dari mananya? Yang ada gue bisa mati lebih cepat. Pikir Deva jengkel.

Namun, Deva hanya bisa merenung, menatap Sera yang kini mengangkat kepala dan menatapnya. "Gue ngerti kalo lo nggak suka sama gue, Dev. Gue minta maaf karena bikin lo nggak nyaman."

"Udah tahu pake nanya, minimal minggat kek. Maaf aja nggak bikin mood gue bagus."

Jawaban itu spontan keluar dari bibir Deva, dia yang memang memiliki sifat blak-blakan menunjukan rasa tidak sukanya secara jelas. Namun, Dion yang tak ingin terjadi keributan lebih panjang langsung menyentuh lengan Deva.

"Dev, jangan begitu. Daddy nggak pernah ngajarin kamu bersikap nggak sopan kayak gini." Tegur Dion.

Deva mendengus sebal, dan membuang wajahnya ke samping mengabaikan tatapan benci dari kedua kakaknya dan juga tatapan ayahnya.

"Sera, jangan di ambil hati ucapan Deva, ya." Dion menjawab lembut.

Deva yang kepalang jengkel ikut bersuara. "Ambil aja empedunya biar pahit."

"Deva, cukup." Kata Dion dingin. "Kita bisa bicarakan ini lebih lanjut. Sekarang kamu habiskan dulu makananmu."

Namun, Deva menggeleng. Dia mendorong kursi ke belakang, dan berpamitan pada ayahnya untuk kembali ke dalam kamar.

"Aku ngantuk, mau istirahat dulu, Dad." Pamitnya.

Tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, Deva berjalan menuju arah tangga. Kepalanya mendadak kosong, seakan ada luka yang tak dia ketahui.

"Kenapa dada gue sakit? padahal gue nggak punya riwayat penyakit jantung." Gumamnya, sambil menyentuh bagian dada yang berdenyut nyeri sejak tadi.

Sesampainya di dalam kamar, Deva membuka buku diari yang ada di nakas. Begitu dia membuka bukunya, sebuah tulisan yang baru dia lihat muncul secara mendadak.

'Kehadirannya membuatku terasingkan, dan kemunculannya membawaku ke dalam kematian.'

Bait kata itu, seakan menggambarkan luka yang begitu dalam. Namun, saat Deva membuka halaman selanjutnya dia tidak menemui tulisan lagi.

"Lah cuma segini? apa Deva yang asli nggak suka nulis diari kayak di novel-novel lain gru?" ujarnya merasa heran.

Jika biasanya selalu ada petunjuk dari diari milik raga yang di rasuki, kini Deva tidak mendapatkannya dia seperti orang hilang di dunia entah berantah tersebut.

Deva menutup buku diari itu dengan pelan, pikirannya masih terjebak pada kalimat misterius yang baru saja di bacanya.

Dia merasakan angin dingin dari jendela yang terbuka sedikit, seolah menyampaikan pesan dari dunia luar. Namun, rasa sakit di dadanya terus berdenyut, membuat dia semakin gelisah.

Dia beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke jendela, menatap ke luar. Malam sudah larut, lampu-lampu dari rumah tetangga berkelap-kelip, menciptakan suasana sepi yang membuatnya merasa semakin terasingkan.

"Apa yang sebenarnya terjadi sama tubuh ini, ya?" Deva bergumam, suara hatinya seolah terjebak dalam kesunyian.

Deva mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Dia melihat beberapa notifikasi dari teman-temannya, tetapi tak ada satu pun yang mampu menarik perhatiannya.

Dalam benaknya, hanya ada satu sosok yang mengisi ruang kosong itu sosok yang membuatnya merasa terasing, sekaligus memicu rasa sakit yang tak terjelaskan.

Sebuah pesan muncul di layar, dari Elliot. "Dev, kita perlu bicara."

Pesan itu membuat jantungnya berdegup kencang. Rasa khawatir dan penasaran bercampur aduk. Dia menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Elliot Hernandes. Menurut ingatan yang dia dapat, Elliot merupakan tunangannya. Namun dia tak ingat ada kejadian apa, sebelum dia masuk ke dalam tubuh Deva.

Dengan napas dalam, Deva membalas, "Kapan? dimana?"

Setelah mengirimkan pesan, dia merasakan denyut di dadanya sedikit mereda, namun rasa penasaran itu justru semakin membara.

Setelah beberapa menit menunggu, balasan dari Elliot pun datang. "Besok, di taman dekat kampus. Jam empat sore."

Deva menatap jam dinding. Waktu terasa berjalan lambat, seakan setiap detiknya adalah beban yang harus dia angkut.

"Nggak bakal terjadi hal buruk sama gue, kan?" Gumam Deva ragu, lalu membalas pesan Elliot singkat. "Semoga besok gue masih hidup, ya, setidaknya sampai gue tahu kenapa gue bisa nyasar di tubuh ini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!