Aroma dupa lembut memenuhi udara, menggelitik hidung Xian Rong hingga ia mengerutkan dahi. Kelopak matanya terasa berat, seperti ditarik oleh beban yang tak terlihat. Butuh beberapa detik sebelum ia berhasil membukanya, hanya untuk mendapati cahaya keemasan yang memantul dari tirai sutra tipis di sekeliling ranjang.
Ia memiringkan kepala, menatap pilar berukir naga yang menjulang di sudut ruangan. Di lantai, lampu minyak berlapis perak berkelip tenang. Bantal sutra bertumpuk rapi di belakangnya, membuat punggungnya bersandar nyaman—terlalu nyaman.
Ini… di mana?
Suara lirihnya hampir tertelan oleh hening yang melingkupi ruangan. Bukan gang sempit yang bau asap dan gorengan. Bukan pula kamar reyot di dekat pasar malam yang setiap malam riuh oleh teriakan pedagang. Ini… terlalu mewah untuk hidupnya.
“Yang Mulia! Anda sudah sadar!” seru seorang dayang muda sambil berlutut di sisi ranjang. Mata gadis itu berbinar lega, tapi gerakannya penuh rasa takut. Nama nya Mei.
“Yang… Mulia?” Xian Rong mengulang pelan, suaranya datar. “Mimpi ini pasti.” Ia menatap sekeliling lagi, mencoba mencari kamera tersembunyi atau tanda prank murahan.
Tangan kanan Xian Rong terangkat, mencubit lengan kirinya. Nyeri tajam langsung terasa. Ia mengerjap cepat. Bukan mimpi.
Belum sempat merangkai pikiran, kepalanya tiba-tiba berdenyut hebat. Napasnya tercekat, matanya terpejam rapat. Lalu datanglah gelombang kenangan—bukan miliknya.
Bayangan seorang pria berjubah naga yang tersenyum dingin. Aroma bunga plum yang menusuk di musim dingin. Bisik-bisik menusuk dari balik tirai, tawa meremehkan, tatapan kasihan yang dibalut kepalsuan. Tubuh lemah, batuk darah, malam-malam panjang tanpa tidur.
Itu bukan hidupnya. Itu adalah hidup Permaisuri Xian Rong yang asli—istri Kaisar Dinasti Wei, wanita lembut yang sakit-sakitan dan diabaikan sang Kaisar.
Tarikan napasnya memburu. Jadi… aku di tubuh permaisuri? Permaisuri asli sudah mati… dan kesadaranku menggantikannya?
Denyut sakit di kepalanya mereda, meninggalkan keheningan yang ganjil. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Menarik. Dari pasar malam langsung naik jabatan jadi permaisuri. Nggak buruk.”
Dayang itu tampak bingung, tapi tak berani bertanya. Ia hanya menyodorkan air hangat. “Yang Mulia, mohon jangan banyak bicara. Tubuh Anda masih lemah.”
Xian Rong menerima cangkir itu, menatap pantulan wajahnya di permukaan air. Wajah halus, kulit pucat, mata besar yang teduh. Semua terlihat rapuh… terlalu rapuh untuknya.
Kalau semua orang mengira aku lemah, berarti aku bisa bermain dengan cara yang tidak mereka sangka.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita bergaun merah menyala melangkah masuk, senyumnya manis tapi tatapannya penuh duri. Dayang di sebelah Xian Rong langsung menunduk ketakutan.
“Wah… Yang Mulia ternyata masih hidup,” ucap wanita itu dengan nada pura-pura lega. Ia adalah selir
Xian Rong memutar cangkir di tangannya, tatapannya santai tapi penuh perhitungan. “Kelihatannya begitu.”
Wanita itu mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. “Sayang sekali, banyak yang… mengkhawatirkan kesehatan Anda. Sepertinya mereka akan senang mendengar kabar ini.”
Senyum Xian Rong makin tipis. Di dalam hatinya, ia sudah tahu: ini bukan sekadar kunjungan . Wanita itu nampak seperti bajingan untukku
“Begitu? Kalau begitu,” ia mengangkat wajah, menatap lurus, “pastikan mereka juga mendengar… aku tidak selemah yang mereka kira.”
Wanita itu berhenti tepat di depan ranjang, bibirnya melengkung. “Kita lihat saja, Yang Mulia.” Wanita bernama Selir Hua Qian itu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan.
Anjay freak banget, dia datang cuma buat memastikan aku masih hidup atau sudah mati. Gila! Stres! Pikir Xian Rong.
****
Hay Mohon dukungan untuk like komen dan tambah favorit , jangan lupa ikuti penulis hehe , terimakasih Lov u ❤️
Tak lama setelah kepergian Selir Hua Qian, seorang wanita berbadan tipis datang. Wanita bergaun biru itu tersenyum tipis, lalu memberi hormat dengan gerakan anggun.
“Hamba, Selir Lian Fei, datang untuk menjenguk Yang Mulia Permaisuri.”
Xian Rong membalas senyum itu, meski matanya tetap dingin.
“Lian Fei… Nama yang indah. Sayang, aku tidak yakin niatmu seindah itu.”
Sekilas, kilatan terkejut muncul di mata Lian Fei, namun segera ia tutupi dengan senyum yang lebih lebar.
“Yang Mulia sungguh pandai bergurau. Hamba membawa sesuatu dari Tabib istana, Tabib Luo Sheng. Ia mengatakan ramuan ini akan memulihkan tenaga Anda.”
Dari balik hanfu birunya, Lian Fei mengeluarkan sebuah botol kecil dari porselen putih, dihiasi ukiran bunga plum. Cairan di dalamnya berwarna kehijauan, menguarkan aroma herbal yang tajam.
“Ramuan istimewa. Hanya Tabib Luo Sheng yang mampu meraciknya,” ujar Lian Fei sambil meletakkan botol itu di meja kecil di dekat ranjang. “Hamba harap Yang Mulia meminumnya segera.”
Xian Rong menatap botol itu lama, lalu menoleh pada Lian Fei dengan senyum tipis.
“Kau sendiri… sudah pernah meminumnya?”
Pertanyaan itu membuat Lian Fei terdiam sejenak.
“Ramuan ini khusus untuk Anda, Yang Mulia. Tentu saja—”
“Ah, tentu saja,” potong Xian Rong, nada suaranya datar namun penuh sindiran.
“Khusus untukku.”
Perutnya tiba-tiba berbunyi pelan. Lapar. Sangat lapar. Ia belum makan apa pun sejak kesadarannya berpindah ke tubuh permaisuri ini.
“Bawakan makanan,” perintahnya pada dayang yang sejak tadi menunduk.
Tak lama, sebuah nampan besar dibawa masuk: sup ayam ginseng, sepiring besar paha ayam panggang madu, dan kue kukus manis.
Xian Rong langsung meraih paha ayam terbesar, menggigitnya tanpa ragu. Daging empuk dan gurih memenuhi mulutnya, lemaknya meleleh di lidah.
“Hm… ini baru obat yang sebenarnya,” ucapnya di sela-sela kunyahan.
Lian Fei mengerutkan kening.
“Yang Mulia… ramuan dari Tabib Luo Sheng sebaiknya diminum sebelum makan, agar khasiatnya—”
“Aku sudah minum obat seumur hidup,” potong Xian Rong sambil meraih paha ayam kedua.
“Kalau ramuan itu benar-benar menyembuhkan, ia akan tetap bekerja walau diminum nanti. Benar begitu?”
Lian Fei tersenyum lagi, tapi senyum itu terasa kaku.
“Tentu saja…”
Selesai menghabiskan paha ayam ketiga, Xian Rong meletakkan tulang di piring dengan santai. Tangannya meraih cangkir teh, bukan botol ramuan.
“Kau benar-benar perhatian, Lian Fei. Aku… akan meminumnya nanti.”
Ia menatap botol porselen itu sekali lagi. Bau herbalnya terlalu tajam, dan dari pengalaman hidupnya yang keras, ia tahu: herbal yang terlalu wangi biasanya menyembunyikan sesuatu yang tidak seharusnya ada. Racun.
Di luar, suara langkah para pengawal terdengar lagi, kali ini lebih banyak dan berat. Xian Rong memiringkan kepala, senyumnya kembali muncul.
Di luar pintu, suara langkah berat semakin dekat, diiringi dentingan logam dari tombak para pengawal. Lian Fei melirik ke arah pintu, lalu kembali menatap Xian Rong dengan senyum samar. “Sepertinya, ada tamu lain yang hendak menemui Yang Mulia.”
Xian Rong menyandarkan punggungnya pada bantal sutra, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja di samping ranjang. “Oh? Siapa lagi yang merasa dirinya cukup penting untuk datang tanpa diundang?”
Dayang yang berdiri di sudut ruangan bergegas memberi hormat. “Yang Mulia… yang datang adalah Kepala Kasim Istana, Eunuch Zhao.”
Begitu nama itu disebut, tatapan Lian Fei berubah sekilas. Xian Rong tak melewatkannya. “Bawa masuk,” perintahnya tenang.
Pintu geser terbuka, memperlihatkan seorang pria tua berwajah tirus dengan senyum licin yang terlalu dibuat-buat. Ia membungkuk rendah, namun matanya berkilat penuh perhitungan. “Hamba Eunuch Zhao, mengucapkan salam pada Yang Mulia Permaisuri.”
“Langsung saja,” ujar Xian Rong. “Aku tidak suka basa-basi.”
Eunuch Zhao melirik sekilas ke arah botol porselen di meja. “Hamba mendengar kabar Yang Mulia menerima ramuan khusus dari Tabib Luo Sheng… Ramuan itu sebaiknya diminum sekarang, demi kesehatan Anda.”
Suasana di ruangan panas. Lian Fei tetap tersenyum, namun tatapannya jelas menunggu reaksi.
Xian Rong mengangkat botol itu, memutar-mutar di tangannya, lalu menaruhnya kembali. “Lucu sekali. Mengapa semua orang di istana ini begitu… peduli pada kesehatanku? Padahal, saat aku terbaring lemah dulu, tak satu pun dari kalian yang repot-repot menemuiku.”
Eunuch Zhao menunduk lebih dalam, menyembunyikan ekspresinya. “Hamba hanya menjalankan perintah.”
Xian Rong menyipitkan mata. “Perintah siapa?”
Tak ada jawaban.
Keheningan menggantung di udara, hanya terdengar bunyi api dupa yang perlahan membakar. Xian Rong mengangkat cangkir teh, menyesapnya perlahan, seolah ia punya kendali penuh atas waktu.
“Tinggalkan ramuan itu di sini,” katanya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. “Dan kalian… boleh pergi.”
Lian Fei dan Eunuch Zhao saling bertukar pandang sebelum memberi hormat. Namun sebelum Lian Fei berbalik, ia menunduk mendekat, berbisik di telinga Xian Rong, “Yang Mulia… jangan sampai terlambat meminumnya. Beberapa hal… tidak menunggu.”
Tatapan Xian Rong membeku.
Begitu mereka pergi, ia memandang botol porselen itu lama, jemarinya mengetuk meja lagi. Pandangannya berpindah ke arah pintu yang baru saja tertutup, lalu ke jendela tempat cahaya matahari sore masuk dengan redup.
" Hei! Dengar sini! Selain dayang bernama Mei, kalian boleh keluar!" Perintah Permaisuri. Ia menjilati jemari bekas makan ayam.
Setelah mendengar perintah dari permaisuri, dayang dayang lain keluar kamar.
Aku harus berhati hati, dalam ingatan Xian Rong, hanya Mei yang menemani nya dari kecil. Dayang dayang lain bisa saja adalah mata mata. Pikir Xian Rong.
****
Happy Reading. Mohon Dukungan untuk Like Komen dan Tambah Favorit ya ,terimakasih ❤️ yang mau promosi silahkan ❤️
Kabar bahwa permaisuri sudah siuman menggemparkan kekaisaran. Selir selir yang sedari kemarin menunggu permaisuri wafat, kini kecewa berat.Padahal kemarin malam denyut permaisuri sudah lemah, bagaimana bisa tadi sore dia terbangun. Beberapa dari mereka dengan gila nya sudah menyiapkan hanfu merah mencolok dengan konde naga, berharap dipilih menjadi permaisuri berikut nya.
Langit di luar paviliun mulai tenggelam dalam nuansa ungu tua. Lentera-lentera kertas di sepanjang lorong istana satu per satu menyala, cahayanya berayun lembut ditiup angin malam yang mulai merambat.
Malam akan segera tiba. Seharus nya, dalam aturan kerajaan, Kaisar dan permaisuri beserta tiga selir terpilih datang untuk menghadiri makan malan di ruang makan kerajaan. Ruang makannya luas dengan meja panjang. Tempat duduk nya lesehan dengan bantal. Di tengah ruang ada lampu gantung merah beserta kristal.
Xian Rong sudah datang lebih awal ke ruang makan. Ia diarahkan oleh Mei.
Namun alih-alih menunggu hidangan disajikan, Xian Rong berdiri dari tempat nya. “Mei, ikut aku.”
“Yang Mulia… ke mana?” tanya Mei hati-hati.
“Ke dapur. Aku lapar, dan aku mau masak sendiri.”
Mei nyaris tersedak napasnya, tapi tak berani membantah. Mereka melangkah melewati lorong-lorong panjang hingga aroma kaldu dan asap kayu mulai tercium. Suara dentingan wajan dan hiruk-pikuk para juru masak terdengar jelas.
Begitu Xian Rong melangkah masuk ke dapur utama istana, semua aktivitas berhenti seketika. Para koki dan pelayan menatap, lalu buru-buru berlutut.
“Yang Mulia… mohon, biarkan hamba yang menyiapkan. Anda tidak perlu—”
“Bangun,” potong Xian Rong. “Aku mau masak sendiri. Kalian hanya perlu menyingkir.”
Beberapa koki saling pandang, jelas panik. Kepala koki, seorang pria tua dengan tangan berlapis bekas luka bakar, mencoba lagi. “Yang Mulia, mohon… jika Anda sampai terluka, hamba—”
“Aku lebih pandai mengiris sayur daripada mengiris orang. Jangan khawatir, aku tidak akan melukai jariku,” sahut Xian Rong santai, lalu menyingsingkan lengan hanfu emas nya.
Ia memilih panci besar, mengisi air, lalu meletakkannya di atas tungku. Tangannya lincah mengambil mi mentah, potongan daging, dan beberapa sayuran segar. Aroma bawang putih yang ditumis bersama minyak wijen langsung memenuhi dapur, membuat semua orang diam terpaku.
Mei berdiri di sampingnya, menyiapkan mangkuk besar. “Yang Mulia… ini… namanya apa?”
“Ramen,” jawab Xian Rong sambil menuangkan kuah kaldu kental berwarna keemasan. “Makanan cepat, tapi mengenyangkan. Dan… ini jauh lebih menyenangkan daripada minum ramuan mencurigakan.”
Ketika ramen sudah jadi, Xian Rong menyendokkan telur rebus setengah matang dan taburan daun bawang di atasnya. Uap panas mengepul, membawa aroma gurih yang membuat perut semua yang hadir bergejolak.
Ia tersenyum tipis pada para koki yang masih berlutut. “Lain kali, siapkan dapur ini untukku kapan saja aku mau masak. Mengerti?”
Serentak mereka menjawab, “Mengerti, Yang Mulia!”
" Itu masih ada beberapa, ambil saja untuk kalian! Besok aku mau berburu dan akan langsung kusikat hasil buruan nya HAHAHAHA."
Seru juga jadi permaisuri hehe. Pikir Xian Rong.
Xian Rong mengangkat mangkuknya, lalu berjalan keluar dapur bersama Mei. Mereka kembali ke ruang makan, disana masih sepi. Kaisar dan para selir terpilih belum kunjung datang.
Xian Rong tak peduli, dia itu sangat lapar. Seorang preman butuh lima kali sehari makan dalam sehari. Pikir nya.
" Kau tak ambil Mei?" Tawar Xian Rong pada Mei yang tengah duduk di samping nya namun tak menggunakan bantal.
" Hamba sudah kenyang, Yang Mulia."
" Gak mau cobain?" Xian Rong menyodorkan sumpit dan mangkuk nya.
Mei menggeleng sopan. " Tidak, Yang Mulia." Ia melajutkan. " Sebuah penghinaan besar jika seorang majikan makan di piring yang sama dengan pelayan seperti hamba."
Xian Rong mendecak. " Halah! Ini mangkuk bukan piring. Tak masalah lah, kita kan partner." Tukas wanita itu.
" Makan atau mau kusuapi!"
Mata Mei terbelalak kaget. " Baik Yang Mulia."
Mei menyumpit ramen buatan Xian Rong. Dikunyahan awal, terasa gurih dan ada sesuatu yang meleleh di lidah nya. Sampai ke tenggerokan rasa nya ramen itu tak ada tandingan di seluruh kekaisaran.
" Nikmat sekali." Pekik Mei tanpa sadar.
Xian Rong tersenyum bangga. " Hahaha kan sudah kubilang! Hei Mei jangan banyak banyak woi! Aku belum makan!"
Mei kelepasan karena rasa nya yang terlalu nikmat. " Maaf Yang Mulia, Saya ambilkan lagi di dalam dapur untuk Yang Mulia ya?"
Xian Rong mengangguk. " Sekalian ambilin teh jahe ya"
" Baik Yang Mulia." Mei terbangun dari posisi dan kemudian beranjak pergi ke dapur.
Mereka gak ada yang dateng ya ? Mereka seakan ingin membuatku kelaparan? Atau bahkan mereka gak akan mengira kalau aku kutmat jalan kesini? Batin Xian Rong.
****
Happy Reading ❤️ Mohon dukungan Like Komen dan Tambah Favorit, Makasi , Enjoy ❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!