.
.
***
"AAAARHGHHHHKK!"
Teriakannya pecah di tengah malam, bersatu dengan udara, namun suara itu sendiri seolah terhenti di tenggorokan.
Ini bukan sekedar mimpi buruk. Ini adalah tragedi.
Tragedi menjelang kematian Lanang.
Dunia sudah melupakan jasanya mengusir Belanda tiga musim lalu. Yang mereka ingat saat ini hanyalah satu hal: Lanang adalah seorang dukun santet.
Semua karena sebuah ritual penyelamatan yang gagal.
Panas mulai merayap di kulitnya tanpa ampun. Sakitnya tajam, menusuk seperti ribuan jarum membara yang menembus setiap pori-pori.
Tubuhnya berusaha meronta, tapi sia-sia. Tali yang melilit pergelangan tangan dan kakinya terlalu kuat.
Dalam sekaratnya, kilasan ingatan itu muncul menghantui. Bukan bayangan ketakutan, melainkan penyesalan.
Ia melihat wajah Saloka, sahabat setianya, yang sejak awal sudah memperingatkan agar tidak menapaki jalan hitam ini.
Ia juga melihat wajah rakyatnya—orang-orang yang dulu ia selamatkan dari kompeni—kini berdiri menonton, dengan tatapan penuh benci.
“Inikah balasannya, Gusti?” batinnya menjerit pilu.
“Aku mengusir Belanda demi mereka. Aku menerima entitas kegelapan ini demi mereka… tapi pada akhirnya mereka membakarku hidup-hidup karena sebuah kebohongan?”
Namun Lanang tahu, inilah yang memang harus terjadi. Ini satu-satunya jalan untuk menghentikan entitas lapar dalam tubuhnya, agar tak ada lagi yang menjadi korban.
Tetapi pengkhianatan ini… tetap terasa lebih menyakitkan daripada jilatan api yang melahap tubuhnya.
Cesss!
Suara itu seperti meletup, terdengar seperti potongan daging yang dilempar ke tungku pandai besi.
Asap hitam tebal mengepul dari tubuhnya, menyengat hidung, membuat paru-parunya serasa dipenuhi bara. Matanya perih, terlalu lalu perih, namun ia masih bisa melihat bayangan lingkaran manusia yang berdiri mengelilinginya.
Lingkaran itu bukan untuk melindungi.
Mereka hanya berdiri menonton… dengan tatapan bengis, menunggu detik-detik terakhir hidupnya.
“Bakar! Bakar dia sampai arwahnya hancur!”
Suara teriakan itu menusuk telinga.
Sekali lagi, dalam penderitaannya yang tak terperi, benaknya melayang pada kejayaan yang begitu singkat.
Bayangan para pelaut Belanda yang ketakutan, tiga kapal perang mereka tenggelam oleh amukan ombak dan angin yang ia panggil dengan mantranya.
Sorak-sorai rakyat kecil yang ia lindungi... yang kini berubah menjadi teriakan kebencian.
"Bakar dia sampai mati?"
Seorang pria maju, menenteng timba berisi cairan dengan bau menyengat menusuk hidung.
Minyak panas.
Cairan itu disiramkan begitu saja ke tubuh Lanang. Kulitnya langsung melepuh. Panas yang tak tertahankan merayap liar. Jerami dilemparkan, menempel ke kulitnya yang sudah basah oleh minyak.
Lalu—
WHUUSSHH! Api meledak seketika, menjilat kain, kulit, hingga rambutnya.
Teriakan massa bergema makin keras:
“Ini dia sumber CIKUK di kampung kita!”
“Dukun sesat! Pembawa kutukan!”
“Kembalikan anak majikan kami!”
“Biar! Biarkan dia mati! Serahkan tubuhnya pada anjing-anjing neraka!”
“Tambahkan kayu! Jangan sampai apinya padam!”
Lanang ingin berteriak, tapi tak ada lagi gunanya. Suaranya terkubur di antara kobaran api dan sorak benci.
Rasa ironi menyesakkan dadanya, pahit di lidah, bercampur dengan aroma dagingnya sendiri yang hangus.
Di tiang ini, dia yang dulu dielu-elukan sebagai pahlawan—pengusir kapal-kapal VOC dengan kekuatannya—kini dicaci sebagai dukun sesat.
Dia yang rela mengorbankan jiwa kepada entitas purba demi melindungi rakyatnya, justru dihakimi oleh orang-orang yang sama.
Orang-orang yang pernah ia lindungi… kini menjadi hakim sekaligus algojonya.
Tapi bukankah ini yang dia inginkan?
Menghentikan penderitaan orang-orang… dan berhenti menelan korban tak bersalah?
Awalnya Lanang hanya ingin menyelamatkan seorang anak dari roh jahat yang merasukinya. Namun, entitas dalam tubuhnya berubah makin buas, makin rakus. Pada akhirnya, hanya ada satu jalan.
Ia harus mati.
“Saloka… maafkan aku,” rintihnya dalam hati, teringat sahabat setianya. “Aku memilih ini. Aku memilih api… untuk membebaskan mereka. Dan membebaskan diriku sendiri.”
Lidahnya sudah seperti arang—kering, pecah, mati rasa. Suara yang keluar hanyalah rintihan parau, tenggelam dalam sorak kebencian orang-orang itu.
BRUKH!
Tubuhnya roboh, tapi api tetap melahap. Kulitnya mengelupas, memperlihatkan tulangnya yang nyaris mencuat.
Dan dunianya... perlahan meredup, warna api memudar menjadi kabut hitam. Suara-suara itu menjauh… atau mungkin pertanda bahwa sukmanya— mulai terlepas dari tubuh.
*
*
*
Hening!
Kosong!
Entah berapa lama ia terjebak di ruang hampa itu.
Sensasi terbakar tak juga hilang, seolah kulit yang sudah tak lagi ada, rasanya seperti dilahap api.
Nafasnya tercekat.
Yang ada hanya sepi, hampa, dan gema amarah orang-orang kampung yang terus berputar di dalam kepalanya.
Selama tiga abad, jiwanya terkatung-katung dalam kegelapan. Terikat oleh sumpah pengorbanannya sendiri.
Lalu—
PYARRRR!
Cahaya menyala hebat, memecah kegelapan.
Terang menyilaukan, menusuk-nusuk penglihatanya.
Dan dari balik cahaya itu, terdengar teriakan kasar:
“BANGUN, ADAM! KITA SEDANG DIBURU!”
NGIIIIIIING!!
Suara itu menusuk telinganya. Lanang tersentak keras. Udara dingin menerobos paru-parunya. Ia terengah, menarik napas panjang…
“Aku… masih hidup?”
Tapi ini bukan tubuhnya.
Dari genangan air di tanah, terpantul wajah seorang lelaki tampan. Bermata tajam, dengan luka berdarah di pelipis. Dan wajah itu... sedang berbalik menatapnya.
“Duh Gusti… ini bukan wajahku. Tapi… kok ganteng banget? Eh, ini… benda apa?” Ia menggerakkan tangannya, dan bayangan itu ikut bergerak. Terpana, ia tak berkedip.
“HEI! Apa lagi yang kau tunggu? Cepat sembunyi!”
Seorang laki-laki muda tiba-tiba muncul dari belakang, menodong pistol, lalu menarik tubuhnya ke balik puing-puing bangunan yang hampir runtuh.
Lanang terbelalak. Sosok itu begitu mirip dengan…
“Saloka?” gumamnya lirih, penuh harap dan bingung.
Laki-laki itu mengernyit. “Siapa Saloka? Ini aku, Bryan!” katanya ketus, lalu menyodorkan sepucuk pistol ke tangan Lanang.
“Kau sudah sadar, kan? Sekarang bantu aku! Luther dan Xavier sudah terluka parah. Tinggal kita berdua yang bisa bertahan.”
Lanang memandang benda logam itu dengan tatapan jijik. Tangannya gemetar.
“Aku tidak mau!” sergahnya, lalu melemparkan pistol itu ke belakang puing.
Bryan hampir melompat saking kesalnya. “APA YANG KAU LAKUKAN?!”
“Saloka? Sejak kapan kau pandai menggunakan senjata orang kulit putih?” Lanang menatapnya polos.
Bryan tertegun, wajahnya merah campur amarah. “Kau ini kenapa sih?! Mengigau? Aku bilang namaku Bryan, bukan Saloka!”
Lanang mengerjap tak percaya. Wajah pria itu persis sahabatnya. Tapi… rambutnya pirang. Pakaiannya pun mirip orang kulit putih yang dulu ia usir.
“Jadi… kau benar-benar bukan Saloka?” suaranya lirih, kecewa.
Bryan menggeram. “Sekali lagi kau sebut nama itu, akan ku bantai kau!”
DUARRR!
Pistol di tangan Bryan tiba-tiba meletup, menciptakan efek asap mengepul tipis. Peluru melintas tepat di samping telinga Lanang. Suara dentumannya sendiri sampai membuat telinganya berdenging.
Lanang membelalak, wajahnya pucat. Kali ini bukan karena bingung, tapi karena ngeri.
“Bryan… KAU MAU MEMBUNUHKU?!”
***
.
.
***
“Bryan… KAU MAU MEMBUNUHKU?!” teriak Lanang, suaranya parau dipenuhi rasa takut dan kebingungan.
Tapi bukannya menjawab, Bryan malah membentaknya dengan kasar, “Tiarap! Bodoh!”
Sekuat tenaga, Bryan menarik tubuh Lanang dan menjatuhkannya secara paksa ke dalam sebuah parit kering di samping mereka.
BRUK!
Suara berat terdengar sesaat sebelum sesosok tubuh jatuh dari atap bangunan persis di belakang tempat Lanang berdiri tadi. Mayat itu tergeletak tak bernyawa, hanya berjarak beberapa jengkal dari mereka.
Barulah Lanang tersadar. Ternyata, Bryan sama sekali tidak berniat menembaknya. Justru, pria itu baru saja menyelamatkannya dari penembak jitu yang mengincarnya dari ketinggian.
DUAR!
Suara tembakan kembali memecah kesempatan mereka untuk bernapas. Bryan menggeram kesal, wajahnya semakin tegang.
“Cepat! Ambil ini!” hardiknya melemparkan sebuah pistol cadangannya yang lain ke arah Lanang. “Kau harus melawan! Jangan bertingkah aneh-aneh lagi, Adam!”
Adam? Jadi itu nama pemilik tubuh yang kini ia tempati? Lalu, di mana arwah Adam sekarang? Begitu banyak pertanyaan berkelebat di kepalanya, namun tidak satu pun punya jawaban.
DUAR!
Bryan menembak lagi, namun sayangnya meleset. Alih-alih mengenai sasaran, tembakannya justru memicu balasan yang jauh lebih ganas.
SWING! SWING! SWING!
Peluru berdesing di udara, nyaris menyambar mereka. Suara letusan senjata memekakkan telinga. Mereka benar-benar terkepung, dikeroyok dari segala penjuru.
Oh tidak! batin Lanang nyaris mengutuk. Apakah pasukan Belanda masih belum pergi juga?!
Tapi dia segera menyadari, ini bukanlah waktunya untuk mengeluh atau marah-marah. Dari sampingnya, Bryan terlihat jelas kewalahan. Sendirian, ia berusaha menahan serangan yang datang bertubi-tubi.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Lanang mulai merangkak pelan. Ia bergerak mendekati tempat di mana tadi ia membuang pistol pemberian Bryan.
Apakah akhirnya ia mau menggunakan senjata orang kulit putih itu? Tentu tidak.
Yang ia butuhkan hanyalah tempat persembunyian yang lebih baik, sedikit ruang dan waktu untuk bisa berkonsentrasi.
“Cepat lari! Makhluk itu akhirnya bangkit! Mundur... mundur...!”
Teriakan panik itu datang dari arah musuh. Dari balik persembunyiannya, Bryan bisa melihat wajah orang yang terjatuh tadi—pucat pasi, mata membelalak ketakutan, seperti baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.
“Earghhkkk!”
Teriakan lain menyusul, lalu disambung lagi oleh teriakan-teriakan panik lainnya yang saling bersahutan dari arah yang sama. Suara itu bukan lagi teriakan semangat perang, melainkan teriakan ketakutan murni.
Kekacauan itu akhirnya berhasil mengalihkan perhatian Bryan yang sedang fokus menembak. Saat ia menoleh ke samping untuk memastikan kondisi Adam, dadanya langsung disergap kepanikan.
“Sialan! Di mana dia?!”
Tubuhnya spontan berdiri, matanya menyapu setiap sudut parit persembunyian mereka. Adam—atau pria yang kini menghuni tubuh Adam—telah menghilang begitu saja. Tempat itu kosong.
“Kau cari aku?”
Suara itu tiba-tiba terdengar dari belakangnya, begitu dekat. Bryan berputar dengan kaget dan menemukan Lanang sudah berdiri tegak di sana, dengan ekspresi yang hampir tak bersalah.
“Astaga!” Bryan mengeluh, campur kesal dan lega. “Kukira kau lari! Bisa tidak, angan menghilang seperti itu?!”
“Aku tidak ke mana-mana. Dari tadi tetap di sini. Kau saja yang tidak melihat,” jawab Lanang tenang, terlalu tenang untuk situasi berbahaya seperti ini.
Bryan masih tampak sangsi. “Kau yakin?” matanya masih menyisir setiap sudut, mencari tanda-tanda bahaya lain.
“Hum.” Lanang hanya mengangguk kecil, tatapannya tajam dan fokus, bukan pada Bryan, tetapi pada sesuatu di sekeliling mereka yang hanya bisa ia rasakan.
Tunggu dulu. Ada yang tidak beres di sini.
Lanang menyadarinya lebih dulu. Suara teriakan yang tadi, tiba-tiba berhenti total. Digantikan oleh kesunyian yang menusuk telinga—sepi yang justru lebih menyeramkan daripada kebisingan pertempuran.
Tapi kesadaran itu datang terlambat.
Persis saat kewaspadaan mereka lengah, sesosok bayangan hitam muncul dari kegelapan di belakang Bryan. Bergerak cepat dan senyap seperti asap.
DUAR! DUAR! DUAR!
Tembakan bertalu-talu menyambar. Peluru-peluru itu bukan ditembakkan secara sembarangan. Sasaran utamanya adalah Bryan, dan mungkin juga Lanang yang berdiri di dekatnya.
Refleks Lanang bekerja lebih cepat dari pikirannya. Melihat kilat moncong senjata, tubuhnya sudah bergerak sebelum otaknya memerintahkan.
Dia terlambat untuk menyerang, tetapi tidak untuk menyelamatkan.
Dengan satu lompatan nekat, ia menerjang ke depan—menempatkan dirinya di antara Bryan dan hujan peluru itu.
BRUK!
Dampaknya keras. Tubuhnya terhempas, menjatuhkan Bryan bersamanya. Dunia berputar. Suara teredam. Yang tersisa hanya desisan napasnya sendiri yang tiba-tiba tersendat. Tapi tangannya masih sempat membuat sebuah benda melayang, untuk menghabisi si penembak misterius tadi.
“ADAAAAM!” Bryan berteriak lantang, suaranya pecah oleh horror dan rasa bersalah.
Tapi Adam—atau jiwa Lanang yang mendiaminya—sudah tidak bisa mendengar. Kehampaan yang hangat dan pekat menyapunya, membawanya sekali lagi menghadapi kegelapan.
.
.
.
NGIIIIIIING—
Senyap!
***
***
“Halo. Kau sudah bangun?”
NGIIIIIIING!
Suara itu kembali terdengar, menyelinap di antara desing berdenging yang masih menyakitkan telinga Lanang.
“Siapa yang bicara?” tanya Lanang dalam kegelapan yang masih menyelimuti pandangannya.
“Ini aku. Adam.” jawab suara itu tiba-tiba, jelas dan tenang.
PYAR!
Cahaya menyilaukan kembali menyerang matanya. Perlahan, penglihatannya pulih. Dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia kini berada di sebuah alam yang sama sekali asing. Segala sesuatu terasa lembut, tidak berbentuk jelas, dan transparan, namun terasa tak berbatas sejauh mata memandang.
Alam baka? Atau mungkin ini alam koma? batinnya bertanya-tanya.
Tiba-tiba, sebuah bayangan berwujud transparan mulai muncul perlahan di hadapannya. Awalnya samar dan buram, tetapi makin lama wujud itu makin jelas dan terbentuk.
“Kau… benar-benar Adam?” tanya Lanang, tidak percaya.
Wajah itu adalah wajah yang sama persis yang ia lihat di genangan air saat pertama kali membuka mata di zaman yang baru. Adam berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat, menatapnya dengan tatapan yang tampak acuh dan malas.
“Kenapa lama?” tanya Adam dengan suara datar, namun nadanya terdengar tajam dan mengiris. Di sekelilingnya, energi entitas tak kasat mata membentuk riakan kecil, seperti gelombang halus di danau yang tenang.
Lanang menarik napas panjang. Perasaanya campur aduk; separuh lega akhirnya bertemu, separuh jengkel karena semuanya berjalan kacau.
“Banyak drama, Bocah,” tukas Lanang dengan nada sarkas. “Orang-orang dalam hidupmu itu terlalu banyak membuat masalah. Aku baru saja terbangun, dan tiba-tiba sudah harus berhadapan dengan orang kulit putih yang memiliki wajah persis sahabatku.”
“Maksudmu… Bryan?” tanya Adam. Ekspresi sedih tergambar jelas pada wujud jiwanya yang transparan. “Bagaimana kabarnya? Apakah kalian berhasil keluar dari gedung itu?”
“Entahlah, Bocah,” jawab Lanang pasrah. “Aku tidak tahu. Yang jelas, aku malah berakhir di sini, bersamamu.”
Wujud jiwa Adam semakin menunjukkan raut sedih. “Dia datang untuk menyelamatkanku. Tapi dia tidak tahu seberapa besar dan berbahayanya lawan kita kali ini.”
Lanang mengusap kepalanya yang terasa berat. Dia sendiri masih sangat bingung bagaimana bisa berada di alam seperti ini. Ini jelas bukan alam kematian, apalagi alam kegelapan yang biasa ia kenal.
“Jadi, kenapa kita bisa ada di sini?” tanya Lanang penuh curiga. Perkataan Adam yang menyapanya dengan ‘kenapa lama?’ tadi jelas menunjukkan bahwa Adam sengaja memanggilnya ke tempat ini.
“Karena aku yang menginginkanmu datang!” jawab Adam, persis seperti yang diduga Lanang.
“Untuk apa?”
“Aku ingin menyampaikan permintaan terakhirku sebelum benar-benar mati.”
Hah, batin Lanang. Klise sekali. Di dunia ini, memang tidak ada yang gratis. Jika dia bisa hidup sekali lagi di tubuh orang lain, pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. Seperti, misalnya, harus mengabulkan permintaan terakhir sang pemilik tubuh.
Dia menatap Adam dengan tajam. “Baiklah, Bocah. Sekarang jawab dengan jujur pertanyaanku. Kenapa aku bisa masuk ke dalam tubuhmu?”
Adam hanya mengangkat alisnya, atau setidaknya bayangan jiwanya membentuk gerakan seperti itu. “Menurutmu?” tanyanya balik, menghindar.
Lanang menyipitkan matanya, mencoba membaca situasi. “Berdasarkan ilmu kebatinan yang pernah kupelajari, hanya ada dua kemungkinan,” ujarnya perlahan. “Pertama, kau sudah mati, lalu arwahku nyasar masuk ke tubuhmu secara kebetulan. Tapi itu hampir mustahil.”
Dia berhenti sejenak, menatap Adam lebih dalam. “Kedua…” lanjutnya, suaranya lebih berhati-hati. “Kau terikat kontrak dengan makhluk gelap. Biasanya, itu urusan balas dendam atau semacamnya.”
Adam terdiam. Cahaya di matanya meredup, seolah diselubungi oleh gelombang getir yang tak terlihat. “Yang kedua lebih masuk akal,” akunya akhirnya, suaranya lirih. “Dan ya… aku baru saja mengikat kontrak dengan iblis, tepat sebelum aku mati.”
Lanang langsung menegang. “Hah? Kontrak? Buat apa kau nekat melakukan hal seperti itu?” Nada suaranya meninggi, tidak menyangka bahwa Adam ternyata juga pernah melakukan hal serupa seperti yang dilakukannya dulu.
“Untuk menyelamatkan orang-orang yang kusayangi,” jawab Adam. Suaranya terdatar datar, tetapi energi di sekelilingnya bergetar keras, penuh emosi yang tertahan. “Kalau tidak, mereka semua bisa mati.”
“Siapa saja yang akan mati kalau kau tidak mati, Bocah?” tanya Lanang, ingin tahu.
“Adik perempuanku di Indonesia. Dokter Elibrech yang sudah seperti ayah bagiku. Juga Bryan yang kau temui tadi, dan seluruh tim yang terlibat dalam kasus ini.”
Lanang mengangkat dagunya sedikit, penasaran. “Jadi, kau berjanji pada iblis untuk menyelamatkan mereka? Coba jelaskan lebih jauh, Bocah. Kenapa kau sampai terjatuh dalam jerat iblis?”
Adam memejamkan mata sejenak. Bukan napas yang keluar dari tubuh rohaninya, melainkan aliran energi dingin yang mengembang di sekitarnya. “Awalnya, kami sedang mengusut kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh buronan internasional. Polanya aneh—semua korbannya dimutilasi dengan ciri khas tertentu. Kami mengira ini hanya kerjaan psikopat biasa. Tapi ternyata…” Energinya berdesir lagi, lebih kuat. “Mereka semua adalah tumbal ritual untuk sekte aliran sesat.”
Lanang mengangguk pelan, mulai memahami. “Hah? Tumbal? Lalu, apa hubungan antara para korban?” tanyanya, rasa penasarannya semakin menjadi.
“Itu yang masih kami selidiki. Tapi yang jelas, kasus ini masih jauh dari kata selesai.”
Adam berusaha menjelaskan, namun suaranya tiba-tiba terputus-putus. “Da… dan a… aku ya…yakin ada mata-mata di… di kantor pusat. Orang dalam yang su… su… sudah lama bercokol, membocorkan semua langkah ka… kami.”
“Hei, kau kenapa, Bocah? Jangan main-main dengan leluhurmu ini,” potong Lanang, merasa sedikit terhina karena Adam tiba-tiba berbicara seperti orang gagap.
Namun, sebelum Adam sempat menjawab, sosok jiwanya tiba-tiba semakin menipis. Gerakannya melambat, mulutnya terbuka seolah mengucapkan sesuatu, tetapi Lanang tidak bisa mendengar sepatah kata pun. Kemudian, sosok itu menghilang sepenuhnya.
“Hei! Di mana kau? Kenapa menghilang?” gerutu Lanang kesal.
Tiba-tiba, rasa nyeri tajam menjalar dari dadanya. Cairan merah mulai merembes dari lubang peluru di bajunya.
“Ah, sialan. Ini pasti gara-gara senjata orang kulit putih itu,” kutuknya pelan.
Namun, saat semburat cahaya tiba-tiba keluar dari lukanya, rasa sakitnya justru menghilang seketika. Cahaya itu membumbung tinggi, perlahan membentuk kembali sosok jiwa Adam di hadapannya.
“Ya ampun, aku baru tahu kalau jiwa juga bisa keluar dari luka koreng?” ujar Lanang, setengah menghina.
“Maaf, kau tidak bisa lama-lama berada di sini,” kata Adam. “Aku baru saja menyalurkan sisa inti kehidupanku untuk menyembuhkan lukamu.”
“Hah? Untuk apa?” tanya Lanang terkejut.
“Karena aku tidak mau kau mati. Dan kau harus melindungi keluargaku lebih dulu, sebelum akhirnya mati,” jawab Adam tegas.
“Oh, ya ampun! Jadi kau sengaja menarik jiwaku masuk ke tubuhmu hanya untuk kau jadikan alat, begitu?” ucap Lanang dengan emosi yang meledak.
Adam menjawab dengan tenang, “Aku tidak bermaksud memperalatmu. Tapi iblis itu berjanji akan memasukkan hlis lain dengan kekuatan yang setara ke dalam tubuhku—seseorang yang mampu menghadapi apa yang sedang kami lawan dalam kasus ini.”
“Hah… Iblis? Apa maksudmu? Kalian sedang menghadapi iblis, dan berniat melawan iblis dengan iblis lain?” tanya Lanang, masih tidak percaya.
Adam mengangguk pelan, membenarkan tebakan Lanang.
“Apa? Jadi kau kira aku ini iblis? Asal kau tahu, aku cuma dukun santet yang mati karena difitnah!” sanggah Lanang dengan nada jengkel.
Adam terdiam sejenak. Sorot energinya berkilat samar sebelum akhirnya ia tersenyum miring. “Ya… ternyata rencananya memang meleset jauh.”
Tubuhnya mulai berpendar sekali lagi, semakin samar.
“Sudah waktunya kau pergi,” ucap Adam, suaranya mulai terputus-putus.
“Hei… hei… jangan pergi dulu! Aku belum selesai bicara!” Lanang berusaha menahannya.
“Sekarang… waktunya tidak cukup… Kita akan bertemu lagi nanti. Ini waktunya kau untuk bangun. Sebelum benar-benar mati.” Suara dan wujud Adam perlahan menghilang, bersamaan dengan memudarnya kesadaran Lanang.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!