"Apa! Dijodohkan? Yang bener aja Ma! Kanaya kan masih sekolah kalau Mama lupa!"
Kanaya Audie Viorletta gadis cantik berkulit putih, tinggi semampai, dengan postur tubuh ideal yang sering diidamkan banyak perempuan, serta lesung pipi manis di pipi kanannya nyaris memekik kaget setelah mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut mamanya.
Seakan salah dengar, Kanaya sampai refleks mengusap telinganya, takut pendengarannya yang salah tangkap. Dijodohkan? Di zaman serba canggih seperti sekarang? Konyol!
"Mama tau Naya. Tapi ini wasiat almarhum papamu sebelum beliau meninggal. Papa dan temannya dulu sudah sepakat menjodohkan kalian begitu usia kalian menginjak 18 tahun. Sekarang malah sudah lewat anak teman papa itu sudah 19, selisih setahun sama kamu," jelas Naomi mama kandung Kanaya dengan nada yang terdengar seperti tak bisa ditawar.
Kanaya memijit pelipisnya, kepalanya berdenyut menerima kenyataan yang tak bisa langsung dicerna. Dijodohkan? Menikah saja belum pernah terlintas di pikirannya, apalagi menikah dengan orang yang bahkan belum dikenalnya sama sekali.
"Kenapa harus dijodohkan Ma? Kan masih banyak cara lain buat menjaga hubungan Papa sama temannya itu. Kenapa harus Kanaya yang dijadikan tumbalnya..." keluh Kanaya sambil menjatuhkan kepala ke sandaran sofa.
Situasinya benar-benar bikin terjepit. Mengiyakan terasa berat, tapi menolak pun seperti tak mungkin ini wasiat terakhir papanya. Kalau dia menolak, bukankah itu artinya dia mengabaikan permintaan terakhir sang Papa? Masa iya dia tega jadi anak durhaka hanya karena sekali tak menurut?
"Itu memang keinginan papa kamu Naya. Papa dan temannya sudah seperti keluarga sejak dulu. Mereka cuma ingin tali persahabatan itu tidak terputus, makanya sudah berniat menjodohkan kalian bahkan sejak kalian sama-sama masih di dalam kandungan," lanjut Naomi dengan senyum getir yang mengiringi kata-katanya.
Kanaya menghembuskan napas kasar. Melihat mamanya yang jelas masih sedih setiap kali membicarakan almarhum papa membuatnya ikut terenyuh. Satu tahun lalu, papanya meninggal karena kecelakaan tunggal saat hendak perjalanan bisnis keluar kota.
"Mama masih ingat sama Kevin kan? Yang beberapa kali nganter-jemput Kanaya ke sekolah? Dia pacar Kanaya Ma. Anak Mama ini udah punya pacar. Masa Mama masih mau jodohin?" ucap Kanaya memohon.
"Kanaya masih sekolah, masa depan Kanaya masih panjang..."
"Nah mumpung belum terlalu jauh putusin saja. Cari alasan yang masuk akal bicarakan baik-baik. Mama harap kamu mau nurut kali ini."
"Masalahnya alasan apa yang Kanaya kasih? Hubungan Kanaya sama dia baik-baik aja masa tiba-tiba minta putus begitu aja?" Kanaya kembali memijit pelipisnya.
"Bilang aja Mama gak izinin pacaran. Simpel."
"Gak bisa semudah itu Ma. Ini menyangkut perasaan!" desah Kanaya, mulai frustasi.
"Dicoba saja dulu si..."
"Gak bisa Ma. Kanaya butuh waktu mikirin ini semua. Besok kita bahas lagi Kanaya mau tidur, Mama juga istirahat ya." potong Kanaya halus, berdiri, mengelus lengan mamanya, lalu melangkah naik ke kamarnya di lantai dua.
Naomi hanya menghela napas panjang menatap punggung putrinya. "Mau tidak mau, kamu tetap harus mau Naya. Ini keinginan terbesar papa sebelum meninggal. Mama yakin kamu gak tega menolak..." gumamnya lirih, sambil menyeka sudut mata yang mulai basah.
...****************...
Masih di kota yang sama, di lokasi berbeda, suasana justru berbanding terbalik. Jalanan luas yang sering jadi arena balap liar malam ini penuh kerumunan. Sorak-sorai pecah ketika jagoan mereka lagi-lagi menang.
Angga William Danendra pria tampan bertubuh kekar dengan rahang tegas dan visual nyaris sempurna baru saja turun dari motor, menghampiri teman-temannya.
"Sejauh ini gue gak pernah salah pilih teman. Lo emang selalu bisa diandalkan!" seru Arya, sahabat dekatnya, sambil menyerahkan segelas minuman bening.
Tanpa basa-basi, Angga menerimanya, bersulang, lalu menenggaknya habis.
"Habis ini gue cabut," ucapnya sambil jongkok meraih bungkus rokok.
"Lah buru-buru amat. Minimal party dulu lah buat ngerayain kemenangan lo. Bener gak guys?" sahut Arya mencari dukungan.
"Yoi!" sahut yang lain serempak.
"Bisa digantung sama Mami gue kalau malam ini gak pulang. Udah tiga hari gue ngilang bisa-bisa motor gue disita!" dengus Angga.
"Ceilah anak mami," ledek Arya yang langsung mengundang tawa.
"Ya terserah! Pokoknya gue pulang," balas Angga cuek, lalu berjalan ke motornya.
Brumm! Brumm!
Malam hampir larut ketika Angga membelah jalanan ibukota dengan kecepatan di atas rata-rata. Kurang dari setengah jam, dia sudah sampai di halaman rumah mewah bertingkat dua.
Ckitt!
Motor diparkir asal, kunci dicabut, lalu dia melangkah santai ke teras. Dengan kunci cadangan, dia membuka pintu sambil bersiul kecil.
"Masih inget pulang juga ternyata," suara familiar menghentikan langkahnya. Sivia maminya berdiri di dekat sofa, bersedekap menatapnya.
"Mami ngapain belum tidur?" tanya Angga santai.
"Menikah atau Mami pindahin kamu ke asrama besok pagi."
Angga langsung melotot. "Ngelindur apa gimana, Mi? Udah ah Angga ngantuk mau tidur!"
"Mami serius! Pilihan kamu cuma dua yaitu menikah sama anak temannya Papa sesuai perjanjian, atau besok pagi pindah ke asrama. Kalau nolak, motor, mobil, HP, semua Mami sita!"
"Gak! Gue gak mau dua-duanya! Mami aja yang nikah lagi!" Angga sewot mau naik ke tangga tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara berat Papi nya Andi.
"Menolak dua-duanya artinya kamu siap Papi coret dari keluarga!"
"Hah apa?! Papi bilang apa?!"
"Papi bilang kamu siap dicoret dari keluarga kalau gak pilih salah satunya!" tegas Andi.
"Serius nanya anak mami sama papi berapa sih? Cuma gue doang kan? Masa muka seganteng gini dijodohin, seolah gue gak laku!" oceh Angga sengit.
"Pilihan cuma dua yaitu nurut atau besok ke asrama. Pikirin sampai besok sebelum jam tujuh. Kalau gak jawab Papi anggap setuju nikah. Bahkan kalau kamu pilih asrama, nanti keluar dari sana kamu tetap Papi nikahkan!" tegas Andi.
Prangg!
Mini guci putih-biru super mahal pecah berantakan di lantai jadi korban amarah Angga.
"Udah gak waras kalian! Nyesel gue pulang!" geramnya lalu langsung naik ke atas.
"Angga! Mami sama Papi belum selesai bicara!" teriak Silvia tapi anaknya sudah menghilang.
"Lihat tuh Pi! Itu guci baru sebulan Mami beli, setelah yang putih kemarin dia banting pas pulang mabuk. Sekarang dihancurin lagi!" omel Silvia.
Andi hanya menghela napas. "Itu tadi juga habis mabuk Mi. Setengah sadar dia ngomong panjang pun percuma, rumah bisa berantakan."
"Masa sih Pi?"
"Coba lihat matanya yang merah tadi."
"Ck beneran minta disunat lagi anak itu!" desis Silvia kesal.
"Anak Mami juga Mi. Kan Mami yang melahirkan," balas Andi santai.
Silvia gelisah. "Mami takut kalau dia tetap keras kepala dan pilih asrama. Gimana kalau dia kabur?"
"Gak bakal. Senakal-nakalnya Angga dia gak akan sejauh itu. Papi yakin dia pilih opsi pertama. Sekarang mending tidur besok Papi kerja." Andi memeluk pinggang istrinya, mengajaknya masuk kamar di lantai dasar. Maklum umur sudah tak muda, malas naik-turun tangga.
Pagi hari telah menyambut dengan hangat. Udara masih terasa segar, sedikit menusuk kulit, namun justru memberi sensasi nyaman. Kicauan burung bersahutan dari pepohonan di tepi jalan, berpadu dengan suara bising kendaraan yang mulai memenuhi jalur raya. Pagi ini terlihat begitu cerah bahkan lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya, seolah langit benar-benar berniat memberi awal yang baru.
Di dalam sebuah kamar luas yang didominasi warna hitam, Angga tengah bersiap untuk berangkat sekolah. Kamar itu berkesan maskulin, dipenuhi furnitur minimalis dan aroma wangi parfum maskulin yang samar-samar menguar. Seragam sekolah sudah melekat di tubuhnya, walau dipakai dengan asal. Dasi yang menggantung di kerahnya pun diikat seadanya, jelas sekali ia tak berniat tampil rapi sesuai aturan sekolah.
Rambutnya bulan ini diwarnai dark grey, jatuh rapi meski masih basah tetesan air sesekali jatuh dari ujung helainya, membasahi kulit lehernya. Ia baru saja selesai mandi, memasang jam tangan di pergelangan, menyemprotkan parfum, lalu menyisir rambut menggunakan jemari alih-alih sisir. Gerakannya santai tapi terukur, khas dirinya yang jarang terburu-buru. Dari walk in closet, ia melangkah keluar sambil meraih tas ransel, menyampirkan nya di salah satu pundak dengan gerakan ringan.
Ceklek…
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosoknya dengan wajah datar dan tatapan tajam yang selalu jadi ciri khasnya. Ia menuruni anak tangga dengan langkah pasti, seperti seseorang yang tau persis ke mana akan pergi. Niat awalnya jelas mau keluar rumah, menyalakan motor, dan langsung meluncur ke sekolah. Sarapan? Tidak ada dalam daftar rencananya.
Namun rencana itu sedikit terhambat ketika suara lembut namun tegas milik Silvia maminya terdengar dari arah meja makan.
“Sarapan dulu Ga. Mau ke mana kamu?”
Langkah Angga terhenti ia menoleh. Di meja makan, sang mami duduk anggun dengan piyama satin, sementara papinya terlihat rapi dengan kemeja kerja, menandakan mereka sudah siap memulai hari.
“Udah siang Mi gak keburu,” jawabnya singkat, suaranya datar, lalu bersiap melangkah lagi.
Namun baru beberapa langkah, suara berat papinya menghentikannya.
“Papi harap kamu gak lupa dengan pembicaraan kita semalam Angga!”
Shit.
Sudah ia duga. Topik ini akan muncul pagi ini, persis seperti yang ia prediksi sejak tadi malam. Ia menghela napas panjang. Setelah hampir semalaman tak bisa tidur karena memikirkan dua pilihan konyol yang diberikan papinya, ia memutuskan menjawab.
“Pilihan pertama. Tapi dengan syarat setelah menikah nanti Angga mau tinggal sendiri. Syarat kedua, Angga gak mau langsung nikah maksimal tunangan dulu sampai lulus sekolah. Itu kalau mami sama papi setuju. Kalau gak ya udah malah gue seneng banget kalau semuanya dibatalin.”
Nada suaranya tetap datar, seolah yang ia bicarakan bukan sesuatu yang serius. Tanpa menunggu tanggapan, ia langsung nyelonong keluar.
“Angga! Kalau ngomong diselesaikan yang benar dong! Astaga Pi gimana sih itu anakmu!”
Suara ibunya terdengar kesal, tapi Angga tak peduli. Ia terus berjalan cepat menuju halaman depan, lalu menaiki motor sport hitamnya yang terparkir rapi. Mesin meraung pelan, helm dipasang, dan ia melaju meninggalkan rumah tanpa sedikit pun menoleh.
Pikirannya masih kacau. Ia benar-benar tidak ingin memulai hari dengan perdebatan. Apalagi soal topik yang menurutnya sama sekali tidak masuk akal.
Sekitar lima belas menit perjalanan, motor sport itu akhirnya masuk ke halaman sekolah. Tempat parkir hampir penuh, namun ia masih mendapat tempat di deretan yang biasa ia pakai. Beberapa temannya sudah terlihat nongkrong sambil bercanda.
“Kusut banget tuh muka kenapa sih yaelah?” celetuk Rafa sambil mengerutkan kening. Biasanya wajah Angga memang datar, tapi pagi ini terlihat lebih seram.
“Palingan kurang tidur eh atau jangan-jangan semalam digantung lagi sama tante Silvia,” timpal Arya sambil mengingat perkataan Angga semalam.
“Bisa jadi. Tapi kalau gue lihat-lihat tubuhnya masih utuh. Gak ada bekas tali di lehernya,” tambah Rafa, memeriksa Angga dari ujung kepala sampai ujung kaki seperti seorang detektif amatir.
Angga hanya memutar bola mata, malas menanggapi. Ia memang terkenal dingin, jarang menunjukkan emosi. Tapi entah bagaimana ia justru berteman dengan dua orang absurd seperti Raka dan Arya.
Tiba-tiba, suara brum! dari arah gerbang membuat beberapa kepala menoleh, termasuk mereka bertiga. Sebuah mobil sport abu metalik melaju mulus dan berhenti di parkiran roda empat.
Rafa mendecak kagum sambil mengepulkan asap rokok. “Ck dedek Kanaya makin hari makin bening aja deh!”
Ya. Kanaya. Gadis yang baru turun dari mobil itu langsung menyita perhatian sebagian siswa yang ada di halaman sekolah. Rambut hitamnya tergerai rapi, langkahnya mantap, wajahnya tanpa riasan berlebihan namun tetap memikat.
“Yoi. Sayangnya udah punya pacar. Kalau belum udah gue pepet,” sahut Arya, matanya masih mengikuti gerak Kanaya.
Angga melirik sekilas ke arah kedua temannya, lalu tatapannya beralih pada Kanaya. Ada sesuatu di matanya tatapan yang sulit diartikan.
“Baru pacar Ar. Masih aman selagi janur kuning belum melengkung ya gak Ga?” ujar Rafa sambil meliriknya, mencari dukungan.
“Ck gue gak suka nikung. Ditikung itu sakit men,” jawab Arya dramatis.
“Malah curhat,” balas Rafa, malas mendengar dramanya.
Angga hanya mendengus, lalu turun dari motornya.
“Loh Ga mau ke mana?” tanya Arya.
“Toilet. Mau ikut?” jawab Angga datar, menaikkan sebelah alis.
“Ck ogah! Lo pikir gue cowok apaan!” sahut Arya cepat, membuat Rafa terkikik.
Tanpa menanggapi lagi, Angga berjalan melintasi lapangan, menaiki tangga, dan masuk ke toilet. Ia memang benar-benar ke sana, bukan alasan untuk menghindar.
Sekitar lima menit kemudian, ia keluar. Langkahnya santai, tapi setiap mata yang ia lewati seakan otomatis mengikuti. Terutama mata-mata dari siswi yang berbisik-bisik kecil sambil melirik.
Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel, dan membuka chat dengan Rafa. Jempolnya mengetik cepat.
Angga: Rooftop?
TING!
Tak butuh waktu lama, balasan datang.
Rafa: Gasken
Langkah Angga hampir melewati pintu perpustakaan ketika sebuah suara cepat dari dalam ruangan itu mendekat. Pintu didorong terbuka...
Ceklek… Bruk!
Nyaris saja wajah Angga tertampar pintu! Ia terhuyung ke belakang, ponselnya hampir jatuh. Refleks, tangan kirinya menahan pinggang seseorang yang nyaris terjatuh menubruk dadanya cukup keras.
Deg!
Tubuh Kanaya menegang matanya melebar tak percaya. Jarak mereka terlalu dekat. Angga ketua geng motor Black Venom, siswa terpopuler, dan cowok yang jadi idaman banyak gadis di sekolah ini sekarang berdiri tepat di hadapannya.
Bagi Kanaya ini seperti adegan drama yang biasanya hanya ada di film. Sudah setahun ia pindah ke sekolah ini, dan baru kali ini ia melihat wajah Angga sedekat ini.
Angga masih memegang pinggangnya, tatapannya intens dan tak bergeser.
“Ekhm Naya.”
Suara panggilan itu membuat keduanya sadar. Spontan, Angga melepaskan pegangan, dan Kanaya mundur setengah langkah. Wajahnya tampak gugup, sementara Angga tetap santai.
“S-sorry Kak. Gue gak sengaja gue gak tau kalau kakak ada di luar maaf banget,” ucap Kanaya tergagap.
“Hmm it’s okay,” jawab Angga singkat, lalu melangkah pergi.
Kanaya menatap punggung lebarnya yang semakin menjauh. Di kepalanya, pikiran berkecamuk. Bagaimana kalau ada yang memotret kejadian itu?
“Naya! Itu tadi beneran Kak Angga kan? Sumpah demi apa lo abis dipeluk ketuanya Black Venom? Aaa mau juga dong gue…” suara Riska, sahabatnya, membuyarkan pikirannya.
Kanaya menoleh cepat. “Ris hidup gue masih bisa tenang kan setelah ini? Yang gue tabrak tadi Kak Angga loh! Astaga gimana kalau dia gak terima?”
Riska menaikkan alis. “Lah justru lo harusnya senang gue aja iri. Masa malah takut?”
Kanaya mendorong bahunya pelan. “Pala lo senang! Gimana kalau gue digosipin? Kak Angga punya banyak fans. Gue bisa dikeroyok! Dan lo lupa gue udah punya Kevin bego!”
“Halah gak apa-apa. Kalau gue jadi lo gampang tuh mutusin Kevin dan berpaling ke Kak Angga,” ujar Riska sambil terkekeh.
Kanaya memutar mata. “Bisa sesat gue kalau ngikutin lo. Gue ini spek setia udah sana kejar kalau lo suka, sekalian sampaikan maaf gue!”
Ia langsung melangkah pergi, meninggalkan Riska yang hanya bisa menghela napas sambil berseru: “Ck tungguin Naya! Kanaya!”
Siang ini, suasana di kantin SMA Pelita Bangsa sudah ramai bukan main. Udara bercampur bau gorengan, aroma mie rebus, dan wangi ayam bakar memenuhi ruangan. Suara riuh rendah percakapan bercampur tawa terdengar dari segala penjuru. Hampir seluruh siswa-siswi menyerbu ke sana tepat setelah bel istirahat pertama berbunyi beberapa menit lalu.
Di deretan meja yang berada di tengah-tengah ruangan, Kanaya dan Riska sudah duduk bersebelahan. Di depan mereka, nampan berisi nasi goreng, es teh manis, dan beberapa camilan kecil sudah tersaji. Sesekali, bunyi sendok yang beradu dengan piring terdengar di sela obrolan mereka. Tentu saja, di tengah makan, gosip tetap jadi menu utama kebiasaan khas mereka yang rasanya wajib ada setiap istirahat sekolah.
"Naya lihat deh! Wajah lo viral banget di grup Lambe Turah sekolah! Gila sih baru tadi pagi kejadian, gosipnya udah membludak! Mana posisi lo pas jatuh mesra banget lagi. Ck bikin iri sumpah!" celetuk Riska sambil menggeleng pelan. Meski mulutnya masih mengunyah nasi goreng, matanya tak lepas dari layar ponsel yang ia pegang erat. Jemarinya gesit menggulir layar, menampilkan komentar-komentar yang bermunculan tanpa henti.
Nyatanya, ucapan asal Kanaya pagi tadi benar-benar jadi kenyataan. Grup Lambe Turah sekolah yang biasanya sudah heboh dengan gosip kecil, kali ini benar-benar memanas. Semua berawal dari foto dirinya yang sedang dipeluk oleh Angga kakak kelas terkenal di SMA Pelita Bangsa pagi tadi. Padahal, semua itu hanya murni ketidaksengajaan akibat langkah ceroboh Kanaya sendiri.
"Apa?! Serius lo? Mana fotonya?" seru Kanaya, matanya membesar tak percaya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih ponsel Riska. Begitu melihat layar Kanaya refleks mengembuskan napas berat.
"Ya ampun! Ini pada mau gue cocol pake sambel apa gimana? Dibilang sok cantik? Kecentilan? Genit? Caper? Astaga..." Bibirnya ternganga, seolah tak habis pikir dengan ratusan komentar pedas yang membanjiri postingan itu.
Di layar foto itu jelas memperlihatkan dirinya yang sedang berada di pelukan Angga. Sudut pengambilannya membuat momen itu terlihat seolah intim, padahal hanya murni insiden. Komentar yang mengiringinya pun tak kalah panas. Ada yang menyindir, ada yang terang-terangan menghina. Bahkan, beberapa akun anonim sampai membuat cerita versi mereka sendiri.
"Udah lah biarin aja Naya. Ngadepin omongan orang gak bakal ada habisnya. Mending makan biar perut lo kenyang," sahut Riska santai sambil menarik lagi ponselnya dari genggaman Kanaya. Ia menyendok kembali nasi gorengnya, seolah gosip ini tidak terlalu penting untuk dipikirkan.
Kanaya menatapnya setengah melotot. "Biarin aja gimana maksud lo? Ini nama baik gue Ris! Gimana kalau kak Angga gak terima dan malah marah? Atau nuntut gue? Lo lupa dia siapa? Hidup gue bisa hancur sekejap tau! Apalagi kalau berita ini sampai ke Kevin. Fix makin runyam hidup gue!" keluhnya sambil menyibak rambut hitamnya ke belakang, rasa frustasi jelas terpampang di wajahnya.
"Ya maksud gue tuh jangan dimasukin ke hati. Toh lo gak salah kan? Kalau Kevin dengar ya jelasin aja yang sebenarnya. Sesimpel itu. Gue yakin dia pasti lebih percaya sama lo ketimbang omongan orang," Riska mencoba menenangkan, meski tau Kanaya tipe orang yang sulit tenang kalau sudah terjebak di masalah seperti ini.
"Ck!" Kanaya berdecak, lalu menunduk sebentar.
"Tau ah pusing gue! Gue mau ke toilet dulu!" katanya sambil bangkit, kursi yang ia duduki bergeser dengan bunyi berdecit. Tanpa menunggu respon Riska ia melangkah pergi.
Sepanjang jalan keluar dari kantin, Kanaya terus menggerutu dalam hati. Pandangannya sesekali ia turunkan, sengaja menghindari tatapan orang-orang. Meski tak semua melihatnya dengan tatapan sinis, beberapa wajah jelas menunjukkan rasa tidak suka. Terutama dari para penggemar Angga garis keras yang di sekolah ini jumlahnya tidak sedikit. Tatapan mereka tajam, menusuk, seolah siap "menguliti" dirinya hidup-hidup hanya karena insiden pagi tadi.
Bruk!
"Eh?! Aaa!!"
Tanpa ia sadari, langkahnya yang terburu-buru membuatnya menabrak sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang. Di luar prediksi BMKG, tubuhnya yang terlalu fokus menunduk malah membentur seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.
Dan lagi-lagi, Tuhan seolah belum puas mempertemukan dirinya dengan Angga. Siang ini, mereka kembali bertemu dalam momen yang nyaris sama seperti pagi tadi. Bedanya, kali ini Angga sudah melihatnya sejak jauh, tapi sengaja membiarkannya terus berjalan tanpa sadar sampai akhirnya, tubuh Kanaya menabrak dada bidangnya.
Refleks tangan Angga terangkat menahan pinggang Kanaya agar tidak jatuh. Sementara Kanaya yang kaget setengah mati, justru menahan kedua tangannya di depan dada Angga. Pandangannya otomatis terangkat dan matanya bertemu dengan tatapan tajam tapi tenang dari kakak kelasnya itu.
Sekilas waktu seakan melambat. Kanaya bahkan bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Tapi sayangnya, momen itu tak bertahan lama.
"Ekhm atmosfernya panas banget nih Ar. Kipas mana kipas!" celetuk Rafa di belakang mereka sambil mengibas-ngibaskan tangan, nadanya penuh godaan. Suaranya cukup keras untuk memecah keheningan.
Refleks Kanaya segera menjauh. Pipi dan telinganya mulai memanas. Untuk kedua kalinya hari ini, cowok yang sama membuatnya gugup setengah mati.
"Aduh kak maaf banget! Gue gak sengaja sumpah. Sorry banget gara-gara gue lo jadi kena imbasnya lagi." Nada suaranya terburu-buru, penuh rasa tidak enak hati.
"Santai aja Dek. Aa' Angga gak makan orang kok paling gigit doang," sahut Arya dari belakang dengan nada menggoda, membuat beberapa temannya terkekeh. Ucapan itu sukses membuat Kanaya makin salah tingkah.
"Ck!" Angga hanya berdecak, lalu memutar bola matanya malas. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia memilih pergi. Langkahnya santai, seolah insiden tadi tidak pernah terjadi.
Kanaya menatap punggungnya dengan tatapan heran. "Ck kok ada sih orang secuek itu? Gue kira gosip orang cuma lebay, ternyata beneran! Jangan-jangan rumor dia gak suka cewek itu bener? Hhh tapi untung juga sih berarti dia gak bakal marah ke gue. Marahnya aja udah nyeremin, apalagi kalau beneran ngamuk. Ih!" gumamnya sambil bergidik.
Dia mengembuskan napas panjang. "Masalah pagi aja belum kelar, ini malah nambah masalah baru. Gimana gue ngejelasin ke Kevin nanti?" Niat awalnya untuk ke toilet pun mendadak hilang. Tanpa sadar, langkahnya terus membawanya menuju kelas.
Sementara itu, di meja pojok kantin Angga dan gengnya sudah berkumpul. Meja itu berada di sudut paling belakang agak terpisah dari keramaian. Dari tadi, sejak insiden tabrakan kecil itu teman-temannya tidak henti-hentinya menggoda. Namun seperti biasa Angga tetap dingin dan nyaris tak memberi reaksi.
"Cie ada bau-bau PDKT nih!" sindir Rafa, alisnya naik-turun.
"Uhuy otw makan gratis nih!" timpal Arya dengan tawa renyah.
"Gak gampang sih. Kanaya kan udah punya pacar. Gak bakal semudah itu melirik cowok lain," ujar salah satu dari mereka sambil menyuap gorengan.
"Eh iya! Pacarnya kan Kevin? Rivalnya Angga!" celetuk Rafa dengan nada sengaja dibesarkan.
"Auto bacok-bacokan gak sih kalau Kevin tau?" tambahnya sambil nyengir.
"Masuk akal mana mungkin Kevin diem aja ceweknya cakep begitu. Ngerebut nya aja udah kayak mendaki gunung!" sahut yang lain sambil mengunyah keripik.
"Serius baru tau mereka pacaran. Sejak kapan?" tanya salah satunya.
"Katanya sih baru beberapa bulan. Bisa-bisanya Kanaya malah pacaran sama anak sekolah sebelah."
"Namanya juga cinta kadang gak masuk akal," sahut yang lain sambil terkekeh.
"Kalau saingannya Kevin gue sih siap nikung," ujar salah satu temannya sambil mengangkat dagu penuh percaya diri.
"Halah jangan sombong dulu. Setau gue Kanaya cinta banget sama Kevin," balas yang lain.
Angga hanya tersenyum tipis mendengar obrolan itu. Senyumnya begitu samar hingga tak ada satu pun yang menyadarinya. 'Heh cuma Kevin. Bahkan tujuh orang kayak dia pun bakal gue jabanin asal ceweknya dia,' batinnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!