"Kalian menjualku?"
"Bukan menjual! Menyelamatkan keluarga kita, Rose!"
Rose membanting gelas di meja.
Prenk!!
Pecah. Air bening membasahi laporan keuangan yang berserakan.
"Rose!" bentak ibuknya. Ayah hanya menunduk menyembunyikan sesuatu.
"Jadi ini cara kalian menyelamatkan keluarga? Menukar anak perempuan kalian dengan uang, pada pria tua gila itu?!" Suara Rose meninggi.
Ayahnya mengangkat wajah. Mata itu, dulu Rose percaya padanya. Kini ia hanya melihat sosok pengecut yang menjual anaknya untuk menambal kebangkrutan.
"Lucas Morreti bukan orang sembarangan, dia bisa menyelamatkan kita semua dari kehancuran..."
"Dengan menikahiku?Hahaha..." Rose tertawa getir, matanya berkaca-kaca, hatinya remuk. "Kalian bahkan tidak meminta persetujuanku!"
Ibuknya mencoba memeluk, tapi Rose menepisnya kasar.
Sett!
Tatapan tajam penuh kemarahan. Nafasnya terbakar. Dadanya sesak, bukan karena tangis, melainkan karena amarah.
"Kami tak punya pilihan..." Ibuk mulai menurunkan nada bicara, sambil memasanga ekspresi lemah penuh harap. Jika orang lain yang melihat, pasti akan mengira wanita ini tulus dan baik. akan tetapi tida untuk Rose, yang sudah melihat wajah aslinya.
"Benarkah? Lalu anak kesayangan ibuk, apa gunanya dia hidup? dia bahkan tidak pernah membantu ayah. Kenapa tidak menjual dia saja? Dia tidak pernah melakukan apapun, kecuali minta uang untuk judi?"
"Rose! tutup mulutmu!" bentak ibuknya.
PLAK!!
Kepalan tangan tak terasa melayang dan mendarat di pipi Rose. Ayah membelalak, bukan karena kasian pada anak gadisnya, tapi karena dia akan di jemput sebentar lagi untuk dinikahkan.
Rose berlari ke kamarnya.
"Apa kau gila?" bentak tuan Radit. Istrinya segera menunduk takut.
"Mereka sebentar lagi datang untuk menjemputnya. Dan kau malah memp4r pipinya?"
"Aku tidak kuat mendengar ocehannya."
"Harusnya tahan saja, toh sebentar lagi dia pergi!" dumel pria tua itu, duduk dengan kening mengekerut memikirkan alasan, jika nanti tuan Hose datang dan bertanya.
Benar saja, belum kering mulut dari ucapan tadi. Suara pintu diketuk terdengar nyaring, membuat jantungnya bertabuh.
Dua pria berbadan besar berdiri mendampingi pria tua dengan kaca mata. Tatapan tajam, dengan senyum kecil. "Dimana pengantin wanita nya? kami tak bisa berlama-lama."
"Hhh! se-sebentar, akan saya panggilkan!" sambut tuan Radit melirik istrinya. Wanita itu segera berlari menuju lantai dua.
Tok!
Tok!
Tok!
"Rose! ibuk minta maaf, bisakan keluar sebentar!" bujuknya bernada lembut.
Di dalam kamar, Rose berdiri membelakangi pintu, mengenakan hoodie hitam, tas kecil tersampir dibahu. Ditangan tergenggam untaian sprei yang diikat sambung. Membuka jendela lebar, hingga langit malam nampak hitam pekat.
Angin dingin sedikit mengusik, dimana dia akan tidur malam ini? pikrinya. Namun tekad terlalu bulat, yang pneting sekarang pergi dulu. Sisanya urusan nanti.
"Aku tidak akan menyerahkan hidupku pada mereka, enak saja! ini nyawaku, tubuhku. Lalu mereka menjualnya hanya karena bangkrut. Itu tidak akan pernah terjadi!" gerutu Rose, sambil mengikat keras ujung sprei pada kaki ranjang kayu.
Tak berpikir lagi, ia mulai memannjat jendela dan turun bergelayun di sprei yang menggantung.
BUGH!
BUGH!
"Rose! buka pintunya!" teriakan ibuk masih terdengar jelas. Jantung Rose berpacu, semakin semangat tak ingin menoleh lagi. Namun sebelum kakinya menyentuh tanah, kain sprei itu sudah habis tak bisa di pegang lagi.
BRACK!!
Kakak laki-lakinya, Sebastian. Dengan sekuat tenaga ia mendobrak pintu kamar itu. Ibuk membelalak, melihat Rose tidak ada di kamar. Segera berlari menuju jendela yang terbuka.
"Anak durhaka! kau akan membuat ibuk malu!" teriakan itu menggema, memecah keheningan malam yang belum begitu larut.
Di ujun jalan, di samping pohon rindang seorang pria duduk santai di dalam mobil mewahnya. Mendengarkan sesuatu dari balik benda kecil dikuping. Dengan serius.
Namun teriakan ibuknya Rose, dan kain sprei putih yang menjuntai panjang, menarik perhatainnya. Segera ia melepaskan benda kecil itu. Memakai topeng penutup muka, matel panjang menangkal dingin, lalu keluar untuk menolong orang yang menggelantung hampir jatuh.
"Ambilkan ibuk pis4u! lebih baik dia cedera, dari pada kabur dan mambuat malu keluarga," teriaknya, pada Sebasntiain yang hanya ketawa memperhatikan tingkah adiknya.
Benar saja, tanpa belas kasihan ibuk memotong sprei. Tawa Sebastian menggelegar, Rose panik tapi jarak ke tanah masih tiga setengah meter lagi, "ini terlalul tinggi untuk lompat," pikirnya.
Pis4u tajam itu mengiris kain usang. Helaan napas tindakan terakhir membuat wanita tua itu lega.
"Hhh! Rasakan, itulah tulah dari durhaka. Kakinya pat4h tidak masalah, yang penting mahkotanya masih utuh." ocehnya, melempar pis4u ke atas kasur, berlari keluar untuk mengejar Rose.
SREK!!
Pangkal sprei sobek. Rose terjun menuju tanah dengan tumpukan batu dibawah sana.
"Aaakhhh!!" jeritnya panik, melayang pasrah.
KHAP!
Tiba-tiba, sebuah tangan kekar menangkapnya. Jantung Rose seolah akan copot, segera ia melirik orang asing itu. Semuanya serba hitam. Mata Rose membelalak, bahkan wajah nya hitam semua. Selain aroma parfum yang enak, tidak ada hal lain yang bisa dilihat.
Ia meletakan Rose dengan hati-hati.
"Apa kau monster hutan?" tanya Rose. Menahan tangannya. Pria itu berhenti, namun terus membelakangi.
"Aku mohon selamatakan aku! bawa aku kehutan, bawa aku dari sini! kemana saja__selamatkan aku! Aku akan jadi pelayanmu, seumur hidup!" rayunya dengan penuh harapan.
Bersambung!
Wajah gelap itu menatapnya sebentar, lalu membungkam kegaduhan hatinya__dengan seutas kain putih. Ia mengikat pergelangan tangan Rose ke tiang kayu tua di bawah pohon, seolah gadis itu hanya sekadar barang titipan yang harus diamankan.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Rose, tubuhnya menggeliat panik, terbelalak. "Hei! HEI! Aku sedang minta tolong!"
Pria itu tetap diam. Ia menatap Rose sekali lagi, dalam-dalam, namun wajahnya masih tersembunyi di balik gelap topeng. Lalu__tanpa kata, ia berbalik dan pergi. Melangkah meninggalkan gadis yang masih tergantung setengah duduk, seperti tawanan yang dibuang ke pojok sunyi dunia.
Rose menggertakkan gigi. Darahnya mendidih. Matanya menyapu tanah, dan menemukan sebuah b4tu tajam.
"Kalau begitu... TERIMALAH INI!" teriaknya.
TUK!
Batu itu melayang, menghantam kepala pria asing itu. Ia berhenti sejenak. Menoleh?__tidak. Tidak marah. Tidak menjerit. Hanya... terus melangkah. Dingin.
"Dasar MONSTER!" umpat Rose, napasnya memburu. "Padahal aku ingin berterima kasih padamu... untungnya belum sempat. Kau sama saja seperti mereka__MONSTER!"
Teriakan Rose yang memaki membuat Sebastian tertawa, seolah itu lucu. Ia pun melihat ke sekitar, dan tidak ada siapa-sapa.
"Sepertinya kau sudah gila? bicara sendiri, Hahaha..." ejeknya. Muncul pertama, dengan tawa puas di bibir.
Hose mengikuti di belakang, dengan dua pria berbadan besar__pengawal keluarga Morreti. Di ujung barisan, Ibuk Rose, dengan wajah yang penuh kemarahan sekaligus rasa lega, berjalan disamping ayahnya.
"ASTAGA... kau benar-benar kabur, dasar anak gila!" seru ibuknya. Tangan keriput menusup ke pinggang, mencubit kecil menyisakan rasa perih.
"Tutup mulut mu! tuan Hose masih disini__" bisik suaminya.
Rose menggeleng liar, rambutnya acak-acakan, napasnya masih terengah.
"JANGAN DEKAT-DEKAT!! AKU TIDAK AKAN IKUT!!" teriaknya.
Tapi tuan Hose hanya tersenyum santai, mata keriput melirik bayangan di ujung jalan. Wajah tuanya mendekat lalu berbisik__membuat Rose terdiam seketika.
Ayah dan ibuknya saling melirik heran. Mantra apa yang se-efektif itu, membuat Rose nurut? pikirnya.
"Saya sudah membayar mahal pada orang tuamu. Ikutlah dengan baik-baik! kau tak punya pilihan, kau sendiri tahukan? hampir semua gadis di kota ini mendapatkan nasib yang sama, kau tidak sendiri. Setidaknya sebelum kau keluar dari rumah ini, beri kedua orang tuamu kehormatan!"
"Dia benar! Lagi pula wanita dilahirkan untuk ini bukan?" campur Sebastian, dengan tawa kecilnya yang puas.
Dua pengawal melepas ikatan Rose. Mata bulat yang penuh dendam melelehkan bulir bening, sambil mengikuti dua pengawal yang menuntunnya ke arah mobil.
Sebelum nasuk Rose berhenti sejenak, lalu menoleh. "Apa ibuk juga dulu dibeli ayah?"
Tanpa menjawab ibuk Ros hanya melotot kesal, tangannya mengeoal menahan amarah. Tuan Hose tersenyum kecil memperhatikan mereka berdua.
"Maaf tuan, mereka memang seperti ini sering bertengkar," ucap ayah Rose, merasa tidak enak.
Tuan Hose menutup pintu, dengan wajah datar. Mobil itu melaju cepat. Pria bertopeng yang masih berdiri di kejauhan, menyaksikan dalam diam. Lalu mobillnya pun ikut melaju.
***
Hujan menggantung di langit kota kecil penuh rahasi, tapi tak setetes pun jatuh. Awan hitam hanya menyelimuti rumah tua dengan halaman yang dipenuhi pohon pinus menjulang tinggi. Di situlah pernikahan itu digelar__di sebuah ruang kaca yang sunyi, hanya diterangi cahaya lilin dan bisikan angin dari sela-sela jendela tua.
Tak ada musik.
Tak ada tawa.
Tak ada pelaminan megah.
Hanya kursi berjejer dengan wajah-wajah tegang. Ibu Rose duduk dengan gaun sederhana, meremas tangan suaminya.
Di ujung ruangan, berdiri seorang pria dengan wajah seluruhnya tertutup topeng hitam halus. Suaranya disaring melalui alat di kerah jasnya, menciptakan efek logam datar seperti suara robot. Tapi napasnya... tetap manusia. Berat. Dalam. Penuh luka yang dikubur.
Rose berdiri di depannya. Gaun putihnya tidak berkilau. Matanya masih sembab. Pipinya masih menyimpan jejak air mata.
Dia menunduk, bukan karena malu. Tapi karena hatinya belum selesai memberontak.
"Lucas Morreti, bersediakah kau menerima Roselyne Alviera sebagai istrimu, di hadapan hukum dan saksi malam ini?”
Suara itu datang dari petugas resmi yang bahkan tak tahu siapa pria di balik topeng itu. Pria bertopeng mengangguk sekali.
Alat di kerahnya bergetar, suaranya terdengar berat dan tak berjiwa, "Saya bersedia."
Rose mengangkat dagunya perlahan. Menatap langsung ke topeng itu.
Bibirnya bergerak pelan, "Saya juga bersedia."
Cincin diletakkan oleh pengawal yang tak bicara sepatah kata pun. Mereka semua berpakaian hitam pekat. Bahkan anak-anak buah Lucas pun tampak menunduk lebih dalam dari biasanya, seolah mereka sendiri takut melihat wajah tuan mereka.
Tangan dibalik sarung hitam, memakaikan cincin dengan kaku. Tak ada ciuman. Tak ada pelukan.
Hanya sebuah anggukan…
Dan lalu pria itu berjalan pergi__tanpa menoleh.
Rose berdiri di sana, beku. Ia tak tahu siapa yang baru saja menjadi suaminya.
Wajahnya tak pernah ia lihat.
Suaranya bukan suara asli.
Namanya bahkan hanya bisikan yang beredar di antara ketakutan.
Di pelataran depan, terdengar suara anjing melolong.
Dan malam pun jatuh, seperti sebuah kutukan.
Rose beregerutu, lirih namun penuh bara.
“Dasar pria jelek, tukang kawin…” Tatapannya mengikuti langkah pria asing bertopeng itu, langkah tegap yang tak pernah menoleh ke belakang.
"Dalam semalam, tiba-tiba menjadi milikmu. Lucu sekali."
Kepalanya mendongak sedikit, seolah menantang langit malam yang tak berpihak.
Dia mengepalkan jemarinya di balik gaun pengantin yang kebesaran.
“Lihat saja... akan kubuat kau menyesal telah membeliku.”
Matanya beralih ke dua sosok di kursi tamu__ayah dan ibunya.
Wajah mereka tampak datar, seperti tidak ada yang salah.
Seolah menjual anak sendiri adalah bagian dari rutinitas harian.
“Dan mereka?”
Rose menggeram pelan.
“Kira-kira pelajaran apa yang harus kuberikan untuk kalian?__Tenang saja, akan kupikirkan hukuman yang pantas. Bukankah keluarga juga perlu tahu rasanya dikhianati?”
Ia menghela napas panjang, tapi bukan karena lelah__melainkan karena dendamnya terlalu besar untuk dibungkam.
Bersambung!
"Sebentar lagi kita sampai nyonya, itu istana tuan Lucas Morreti... " ucap Elano, pelayan berrambut seperti pria. Menujuk kearah selatan, dimana ada bangunan megah di kaki bukit yang menjulang.
Langit sore membentang seperti kain sutra berwarna keemasan, namun udara di dalam mobil hitam panjang itu terasa dingin. Rose duduk di kursi belakang, kedua tangannya terlipat di dada. Jendela berlapis anti peluru memantulkan bayangan wajahnya sendiri__mata tajam, bibir terangkat miring.
Lucu sekali, oceh batinnya. Dalam semalam, aku jadi istrimu, Lucas Morreti. Dan kau pikir aku akan tunduk? Lihat saja.
Dimitri Kaelan, duduk di depan bersama sopir, tidak berkata sepatah kata pun sejak perjalanan dimulai. Hanya sesekali ia melirik ke spion, memastikan Rose tidak melakukan hal bodoh. Elano, yang duduk di kursi sebelah Rose, malah sibuk memeriksa jam tangan mahalnya sambil sesekali mengedipkan mata ke arah Rose.
“Jangan tatap aku seperti itu!” ujar Rose datar, menoleh sekilas.
Elano tersenyum tipis. “Aku hanya memastikan istri baru bos tidak melarikan diri di menit-menit terakhir.”
Mobil berhenti perlahan di depan gerbang besi raksasa. Ukirannya rumit, dengan lambang keluarga Morreti terpatri di Tengah__seekor singa bersayap mencengkeram mahkota. Gerbang itu terbuka perlahan, dan pemandangan di dalam membuat Rose menarik napas pelan.
Hamparan jalan berbatu mengarah ke bangunan megah bercat putih gading. Pilar-pilarnya menjulang, kaca-kaca jendelanya memantulkan cahaya matahari sore.
Di kejauhan, Rose bisa melihat taman luas dengan air mancur, kolam renang berkilau, dan beberapa paviliun kecil di sisi kanan dan kiri.
Namun yang membuat matanya menyipit adalah deretan wanita cantik yang berdiri di teras depan. Mereka semua mengenakan gaun mewah, riasan sempurna, dan ekspresi yang penuh penilaian.
Beberapa tersenyum tipis__senyum palsu yang menusuk.
Yang lain menatap Rose dari ujung kaki sampai kepala, seperti menakar kualitas barang baru yang baru saja dibeli Lucas Morreti.
Elano membungkuk sedikit ke arah Rose.
“Selamat datang di Palazzo delle Spose, istana para istri. Semua yang ada di sini pernah menjadi yang spesial… sampai giliranmu tiba.”
Rose menegakkan dagunya. Bibirnya tersenyum miring.
“Oh, aku pastikan giliranku tidak akan pernah habis,” jawabnya, lalu melangkah keluar mobil tanpa menunggu pintu dibuka.
Sepatu haknya beradu dengan lantai marmer saat ia menaiki tangga. Mata-mata itu terus mengawasinya, tapi Rose tidak menunduk. Justru ia menatap balik, satu per satu, dengan pandangan yang seolah berkata, “Aku bukan tamu. Aku ancaman”.
Di ambang pintu, seorang wanita bergaun hitam elegan__tubuhnya ramping, wajahnya cantik tapi dingin, menyambut dengan senyum licin.
“Aku Valentina. Kamu pasti Jasmine?”
DEGG!!
Jantung Rose serasa dijambak, teringat Kembali temannya Jasmine yang memilih bunuh diri, sehari sebelum ia dinikahkan dengan Morreti. Tangisnya masih terdengar menyayat, “Rose tolong aku, aku tidak mau menikah dengan pria itu. Hampir semua gadis di desa kita menikah dengannya. Aku lebih baik mati,” ucap Jasmine, sambil mendekap tubuh Rose.
“Kita kabur besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit. Bagaimana?” sahut Rose, mencengkram tangan sahabatnya yang dingin dan gemetar. Jasmnie mengangguk, tersenyum lega.
Namun ke esokan harinya, Rose terbangun dengan kaget saat matahari terbit. “Ya Tuhan, aku kesiangan.” Gumamnya. Berlari menuju rumah Jasmine.
Ada hal aneh, rumah itu di lingkari garis polisi. Dan semua keluarga Jasmine menangis. Wajah ibuk Leah, ibuknya Jasmine menangis histeris melepas beberapa orang keluar rumah, dengan sebuah tandu yang berisi may4t Jasmine yang sudah kaku.
“Jasmine!” teriak Rose, berlari ingin membuka kain penutup . Namun kakaknya, Sebastian menarik dengan kasar.
“Jangan sentuh may4t! apa kau gila,” bentak nya. “Itu akan membawa sial.”
Tiba-tiba terdengar, suara yang tidak keras namun terdenfar jelas. “Gadis bodoh, dia lebih memilih mati dari pada memberikan uang dan kehormatan pada keluarganya__kau kehilangan uangmu.” Celetuk seorang wanita tua, neneknya Jasmine. Berjalan masuk kedalam rumah
Bulir bening meleleh deras di pipi Rose. Pantas saja Jasmine memilih pergi, tidak ada satupun yang memihaknya dikeluarga itu, pikirnya.
Dan ternyata, dialah pengganti Jasmine itu.
Rose menatapnya sebentar wajah cantik Valentina, lalu tersenyum tipis.
Langkahnya tak berhenti disitu, Dimitri dan Elano Kembali membawanya ke Lorong menuju rumah pribadi.
Gerbang Palazzo delle Spose terbuka perlahan.
Rose menatapnya dalam. Ini seperti istana didalam istana. Ada jalan dengan jalur batu putih, air mancur di tengah, dan deretan rumah-rumah cantik berarsitektur klasik. Masing-masing rumah seperti memiliki kepribadian sendiri, namun semuanya tertata rapi, seindah bidak catur di papan kerajaan.
"Selamat datang di Palazzo delle Spose, Nyonya Morreti," ucap Hose sambil sedikit menunduk. Suaranya berat, tenang, namun memiliki wibawa yang membuat orang tak berani meremehkannya.
Rose menatapnya lama, kemarahan masih tersimpan rapi, dan ia tata sampai waktunya tiba untuk di ledakan. "Nyaman?" ucapnya menyeringai tipis.
“Kapan aku boleh pulang?”
Hose mengkerutkan kening. Ia bahkan baru saja sampai, pemandangan indah dan rumah nyaman yang mewah siap huni sudah di hadapan. Namun ia masih menginginkan pulang? Pikirnya heran.
“Kapan saja, jika anda ingin pulang untuk menjenguk keluarga. Anda bisa mengatakannya pada Dimitri, agar saya siapkan semua perlengkapan,” sambut Hose, pria tua yang tenang dan santun. “Apa anda mau pulang sekarang?”
Hose melempra senyum manis yang menusuk, seolah paham isi pikira Rose. Gesturnya menantang, rencana yang rose sembunyikan.
Bersambung!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!