"Mau pulang bareng? Sekalian mampir ke kafe?"
Suara laki-laki yang riang dan penuh percaya diri itu tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk di meja kelasnya.
"Apaan sih? Nggak! Aku mau pulang bareng Kayla," balas gadis itu dengan nada risih.
"Kalau gitu, aku ikut juga, ya?" laki-laki itu kembali bertanya, tak kehilangan semangat.
"Nggak. Yah, enggak!" jawab si gadis, kali ini lebih tegas, penuh penolakan.
Laki-laki itu hanya tersenyum. Ia sudah terbiasa ditolak, mungkin sudah hampir setiap hari merasakannya. Tapi tetap saja, hatinya selalu menaruh harap. Gadis itu, teman sekelasnya, adalah cinta pertamanya. Seorang gadis yang telah ia kejar sejak masih duduk di bangku SMP.
"Lagian, kamu nggak ada kerjaan lain, ya, selain ngekorin aku terus?" tanya gadis itu dengan kesal, sambil merapikan bukunya.
Terdiam. Ada sesuatu yang mencubit hatinya. Ia seharusnya sudah tahu ini akan terjadi. Tapi... setelah berkali-kali ditolak, setelah terus-terusan memaksakan harap... api kecil di hatinya mulai meredup.
"Benar juga... Maaf, aku nggak bakal ngelakuin itu lagi..." ucapnya lirih. Nada suaranya nyaris tenggelam, seolah berusaha menahan luka.
Gadis itu menatapnya sekilas, lalu pergi meninggalkan kelas tanpa berkata apa-apa lagi.
"..."
Kayla, yang sedari tadi berada di situ, hanya diam.
Laki-laki menoleh ke arah Kayla. "Dia udah pergi, loh. Kamu bakal ketinggalan."
"Ah!" Kayla baru tersadar, lalu buru-buru berlari mengejar temannya. Tapi sebelum keluar dari kelas, ia menoleh lagi. "Oh iya... Kata-kata Yuka tadi jangan diambil hati, ya."
"Iya... aku tahu..." balas Laki-laki itu, mencoba tersenyum, meski senyumnya tampak dipaksakan.
Ia duduk kembali di bangkunya, menatap keluar jendela. Beberapa detik kemudian, dari sana, ia melihat Yuka dan Kayla berjalan menuju gerbang sekolah.
"Huft~"
Menghela napas pendek. Ia mulai merapikan barang-barangnya, lalu melangkah keluar dari kelas dengan hati yang hancur. Dulu, ia selalu mengabaikan rasa sakit ini. Ia terus berjuang, pantang menyerah, berusaha tetap kuat... Tapi setelah begitu banyak penolakan, ia akhirnya tersadar.
"Sepertinya aku udah nggak sanggup lagi..." gumamnya, dengan senyum getir.
.
.
.
Sesampainya di rumah, Laki-laki itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
"Ternyata selama ini aku selalu nahan rasa sakit ini..."
Ia berguling, menatap langit-langit kamar. Pikirannya yang selama ini dipenuhi sosok Yuka perlahan mulai kabur. Hatinya... sudah terlalu lelah.
Satu tahun lalu, saat ia masih kelas 3 SMP, ada satu kejadian yang mengubah dirinya. Saat itu, ia dikenal sebagai siswa bermasalah: suka berkelahi, bikin onar, dan jarang peduli pada siapa pun.
Suatu sore, di perjalanan pulang, ia dan teman-temannya melintasi sebuah taman. Di sana mereka melihat sekelompok anak dari sekolah lain mengerumuni seorang gadis.
"Oi, liat deh!"
"Bukannya itu seragam sekolah kita?"
"Iya, dia dari sekolah kita!"
Tanpa pikir panjang, mereka berlari ke taman.
BAM!
Tanpa aba-aba, mereka langsung memukul anak-anak yang mengerumuni gadis itu. Perkelahian pun tak terhindarkan.
"Anjing! Mau lo apa, bangsat!?"
"Sok jago lo, mau jadi pahlawan!?"
Mereka saling menyerang, saling membalas pukulan. Situasi semakin panas.
Untungnya, seorang penjual bakso di seberang jalan menyadari keributan itu.
"WOI, BOCAH!"
Teriaknya sambil mengacungkan centong.
Anak-anak dari sekolah lain langsung kabur.
"Kutandai muka lo pada!" teriak salah satu dari mereka sambil lari.
"Datang aja kalo berani!" balas teman Ferdi.
"Oi, Fer, bibir lo pecah tuh."
Laki-laki itu, Ferdi, mengusap bibirnya. Darah.
"Ah, iya... bener."
Ia berbalik, menatap gadis yang kini terduduk ketakutan.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
"Y-ya..." jawab gadis itu pelan. Saat tangan mereka bersentuhan, mata mereka saling bertemu.
Ba-dum!
Ada sesuatu yang menyentak dalam dadanya. Sebuah perasaan hangat, sekaligus asing.
"Makasih udah nolongin," ucap si gadis pelan.
"Ah, nggak masalah. Lagian kita satu sekolah," balas Ferdi.
Gadis itu lalu mengusap lembut pipi Ferdi, membersihkan debu dan bercak darah.
"Maaf, ya... pasti sakit," ucapnya pelan.
"Ah, enggak kok. Luka kecil aja. Paling besok udah sembuh," jawab Ferdi sambil mundur sedikit.
Jantungnya berdegup cepat. Ada keinginan aneh untuk memeluk gadis itu, tapi ia menahan diri.
Sejak hari itu, nama gadis itu, Yuka, tertanam dalam hati Ferdi. Dan semenjak hari itu pula, ia mulai berubah. Ia mendekatinya, mencoba mengenalnya lebih jauh, hingga kini mereka sudah sama-sama duduk di bangku SMA...
Tanpa sadar, ia mengenang masa itu.
"Takdir benar-benar nggak bisa ditebak," gumamnya.
"Menyelamatkan seorang gadis, lalu jatuh cinta padanya pada pandangan pertama... Haha, udah kayak cerita novel aja," lanjutnya sambil menutup wajah dengan tangan kanan.
"Tapi sekarang... sepertinya aku harus nyerah..."
Kali ini suaranya nyaris tak terdengar, mengandung kesedihan yang mendalam.
Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi chatting, lalu masuk ke grup kelas. Matanya sekadar menelusuri pesan-pesan yang terus bergulir. Ia tidak membalas satu pun. Hanya scroll sebentar, lalu mematikan ponselnya.
"Ah, mau mandi aja mager," keluhnya sambil berguling dari kasur.
Beberapa menit kemudian, Ferdi berjalan keluar kamar dan menuju pintu depan. Ia duduk di teras rumah, memandangi jalanan yang dilalui kendaraan dan orang-orang lalu-lalang. Kota itu tetap ramai dan berisik seperti biasa, tapi hatinya terasa sepi.
Ferdi tinggal sendiri. Orang tuanya berada di kota lain karena pekerjaan.
Di tengah riuhnya kota, pikirannya dipenuhi oleh usaha untuk melupakan gadis bernama Yuka. Tapi hati kecilnya masih menyimpan sisa-sisa rasa. Rasa yang belum sepenuhnya mati.
"Arrrrghhh!" Ia memegang kepalanya, frustasi.
Kesal pada dirinya sendiri. Kenapa bisa sebodoh ini hanya karena cinta?
Ia menghela napas dalam, lalu berdiri. Mengambil dompet dan jaket, Ferdi melangkah keluar rumah. Tujuannya sederhana, minimarket di ujung jalan.
Langkahnya pelan, malas, tapi entah kenapa tetap berjalan. Sampai akhirnya, seperti kebiasaan atau mungkin ini hal umum bagi banyak orang, ia berdiri diam di depan lemari pendingin minimarket. Matanya memandangi deretan minuman dengan tatapan kosong.
"Hmm... beli apa enaknya...?" gumamnya, masih menatap pintu transparan penuh botol dan kaleng warna-warni.
Saat itu juga, tanpa disadari, seseorang berdiri di sampingnya. Seorang gadis. Dari sudut matanya, Ferdi melirik sekilas.
Dan ternyata... gadis itu adalah Ketua OSIS di sekolahnya.
Ferdi, yang masih mengenakan seragam sekolah, dilirik balik oleh gadis di sampingnya.
"Itu seragam SMA 2, kan?" tanya gadis itu spontan, menoleh sebentar ke arah Ferdi.
"Ya..." balas Ferdi singkat.
Tanpa menambahkan apa-apa lagi, ia membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol minuman bersoda.
"Duluan ya," ucapnya, lalu melangkah pergi menuju kasir.
Gadis itu hanya menatap kepergiannya tanpa berkata apa-apa.
Di meja kasir, Ferdi langsung membayar, lalu keluar dari minimarket. Langkahnya mengarah ke taman kecil yang tak jauh dari sana. Tempat itu sepi, hanya ada semilir angin dan suara samar kendaraan dari kejauhan.
Matanya melirik ke arah ayunan yang kosong.
Tanpa banyak pikir, ia berjalan ke sana dan duduk.
Ayunan itu bergerak perlahan, mengikuti gerakan kakinya. Ferdi diam, hanya menggenggam botol minuman di tangannya.
Perlahan tubuhnya mulai rileks, meski pikirannya tetap berat.
Crek.
Ia memutar tutup botol.
Spruss!!
Air soda menyembur keluar, membasahi sebagian seragamnya. Ia langsung menghentikan ayunan.
"..."
Ferdi terdiam. Menatap botol di tangannya.
"Huft~"
Ia menghela napas panjang. Entah karena lelah, frustasi, atau hanya ingin mengosongkan kepala.
Menatap langit jingga yang perlahan mulai menggelap, ia bergumam, "Kurasa aku harus pulang sekarang."
Pagi itu, Ferdi pergi ke sekolah seperti biasanya. Namun ada yang berbeda. Wajahnya yang biasanya selalu murah senyum kini tampak datar... mungkin bisa dibilang dingin.
Biasanya, saat masuk kelas, ia akan langsung menghampiri meja Yuka, membuka pagi dengan sedikit drama khasnya. Tapi kali ini tidak. Ferdi berjalan pelan ke mejanya dan duduk tanpa sepatah kata.
Yuka, yang duduk tepat di sebelahnya, menyadari keanehan itu.
"Ada apa? Kamu sakit?" tanyanya pelan.
"Huh? Ah... nggak," jawab Ferdi singkat, terdengar kurang bersemangat.
Tanpa melirik Yuka sedikit pun, ia memalingkan wajahnya dan menatap ke luar jendela.
Rasanya sedikit sakit untuk mengabaikannya... Tapi ini yang terbaik... batinnya.
Tak lama kemudian, bel berbunyi. Guru masuk ke dalam kelas untuk memulai pelajaran.
Begitu melihat Ferdi sudah duduk tenang di bangkunya, sang guru sampai angkat alis.
"Oh? Tumben banget kamu udah duduk sebelum disuruh," komentarnya dengan nada setengah bercanda.
"Ahaha..." Ferdi hanya tertawa kecil, terdengar dipaksakan.
"Kalau begitu, ibu mulai pelajarannya, ya."
Pelajaran pun dimulai, dan waktu berlalu tanpa banyak hal terjadi. Hingga akhirnya, jam istirahat pertama tiba.
Ferdi berdiri dari kursinya dan melangkah pelan ke arah pintu kelas. Namun...
"Pokoknya enggak!"
Suara Yuka tiba-tiba terdengar cukup keras, spontan. Ia reflek menjawab seperti biasanya, karena ia mengira Ferdi akan kembali mengajaknya makan seperti hari-hari sebelumnya.
Ferdi menoleh.
"Kamu ngomong sama aku?" tanyanya polos.
"Huh? Te-tentu aja bukan!" balas Yuka cepat, terlihat sedikit panik... atau mungkin malu.
"Kalau gitu, ya sudah," ucap Ferdi datar, lalu melanjutkan langkahnya keluar kelas menuju kantin.
Yuka hanya bisa menatap punggung Ferdi yang menjauh.
Beberapa detik kemudian, Kayla datang dan langsung menghampiri meja Yuka.
"Ada apa dengannya?" tanya Yuka lirih.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ferdi duduk sendirian di meja kantin, dengan semangkuk bakso di depannya. Uap hangatnya naik pelan, menghilang di udara.
"Eh, tumben di sini," celetuk sebuah suara laki-laki yang tak asing di telinganya.
Ferdi menoleh ke arah suara itu.
"Emang nggak boleh?" balasnya cepat, terdengar sedikit kesal.
"Yeee~ canda doang, bro. Gausah marah-marah gitu napa," ujar laki-laki itu sambil tertawa kecil, lalu duduk di bangku seberangnya.
"Jadi, ada angin apa nih, makan di kantin?" tanyanya santai.
"Nggak ada apa-apa. Cuma lagi pengen aja," jawab Ferdi sambil menyendok satu bakso, memasukkannya ke mulut tanpa ekspresi.
Temannya diam sejenak, lalu bertanya pelan,
"Jadi gimana... hubungan lu sama Yuka? Udah diterima, apa... masih gitu-gitu aja?"
Ferdi tak menjawab. Sendoknya berhenti di tengah jalan.
Wajahnya menegang. Pandangannya kosong, tertuju ke mangkuk bakso.
Temannya, Bayu, langsung sadar kalau dia baru saja menginjak ranjau.
"Aaa... udah, udah. Kita makan dulu aja ya. Nih, gua traktir deh, serius," ucap Bayu cepat-cepat, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Namun Ferdi tetap bicara, dengan suara pelan dan lirih,
"Kayaknya aku mau nyerah aja deh, Bay."
Bayu menatap Ferdi dengan ekspresi tak percaya.
"Lu bohong, kan?"
Ferdi hanya menggeleng.
Tangannya bergerak pelan ke dadanya, menggenggam bagian kirinya.
"Ini... mulai terasa sakit," katanya, masih dengan nada datar, tapi sorot matanya kosong. Terluka.
Bayu terdiam. Ia tahu betul betapa dalamnya perasaan Ferdi pada Yuka.
Dari dulu, sejak kejadian di taman waktu SMP, Ferdi nggak pernah berhenti. Cinta itu tumbuh begitu lama, begitu dalam... dan kini melihat temannya seperti ini, membuat dadanya ikut sesak.
"Eemm... yaudah, kita makan dulu aja. Kalo lu mau curhat, ngomong aja. Gua dengerin," ucap Bayu akhirnya, mencoba menguatkan.
Ferdi tersenyum tipis, pertama kalinya pagi itu.
"Ya... makasih, Bay."
.
.
.
Bayu menyendok kuah bakso dan meniupnya pelan sebelum menyeruput.
"Jadi, lu mau cerita atau enggak?" tanyanya, masih menjaga nada ringan.
Ferdi menatap mangkuknya, lalu menarik napas.
"Gua capek, Bay."
"Capek gimana?"
"Gua udah ngelakuin semuanya. Nungguin dia tiap pagi, ngajak ngobrol, ngajak makan, disuruh pergi juga gua pergi. Tapi tetep... rasanya kayak nggak dianggap."
Bayu diam, memberi ruang.
Ferdi melanjutkan, "Awalnya gua pikir, kalau gua cukup sabar... cukup konsisten... dia bakal sadar. Tapi ternyata enggak juga. Malah gua yang makin hancur."
Ia menatap lantai, lalu meneguk sisa minumannya.
"Gua merasa... dia nggak butuh gua sama sekali. Dan gua nggak bisa terus kayak gini. Gua harus berhenti, sebelum gua makin nyakitin diri sendiri."
Bayu mengangguk pelan.
"Lu sadar nggak, ini pertama kalinya lu ngomong gitu? Biasanya tiap gua bilang ‘mending berhenti aja’, lu malah makin semangat."
Ferdi tertawa tipis.
"Ya... mungkin kali ini gua bener-bener udah selesai."
Bayu menyender ke sandaran kursi.
"Gua nggak bakal maksa lu lanjut atau berhenti. Tapi kalau lu butuh temen, gua selalu ada. Lu bukan sendirian di dunia ini, Fer."
Ferdi menatap Bayu dan tersenyum, tulus.
"Thanks, Bay... gua serius."
Mereka melanjutkan makan tanpa banyak kata lagi. Tapi beban yang menekan dada Ferdi sedikit terasa lebih ringan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di kelas...
Yuka duduk di bangkunya, memandangi kursi di sebelahnya yang kosong. Tangannya mengetuk-ngetuk meja pelan, gelisah.
Biasanya, Ferdi akan ada di situ. Duduk sambil bercerita hal-hal sepele, mengajak bercanda, kadang menyebalkan... tapi, hangat.
Sekarang... tidak ada. Bahkan tadi pagi pun ia datang tanpa menyapa, tanpa senyum, tanpa apa pun.
"Ada apa sih dengannya..." gumamnya pelan.
Kayla, yang baru kembali dari kantin, langsung memperhatikan ekspresi Yuka yang tidak seperti biasanya.
"Kamu kenapa? Kayak orang habis kehilangan sesuatu," celetuk Kayla sambil duduk.
Yuka tersentak.
"Hah? Enggak, cuma... heran aja."
"Heran sama Ferdi?" tebak Kayla.
Yuka menoleh cepat.
"Lho, emangnya dia kenapa?" nada suaranya berusaha terdengar biasa.
Kayla mengangkat alis, senyum setengah mengejek.
"Biasanya kamu yang jutek, sekarang kamu yang nanya-nanya. Tumben."
Yuka mendengus pelan, tapi tidak membantah.
"Tadi dia nggak ngajak aku makan. Biasanya juga suka nyebelin, sok-sokan ngajak ini-itu. Tapi sekarang... dateng-duduk-diem. Trus pergi begitu aja."
Kayla menyandarkan dagunya di tangan.
"Mungkin dia capek."
"Capek apaan?"
"Capek ngejar terus tapi nggak pernah direspons."
Yuka terdiam.
Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Awalnya, ia pikir dia biasa saja, bahkan merasa lega saat Ferdi berhenti mengusiknya. Tapi sekarang, keheningan itu justru terasa... sepi.
"Apa aku... terlalu jahat, ya?" tanyanya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Kayla menatap sahabatnya itu, lalu tersenyum samar.
"Mungkin sekarang kamu yang harus cari tahu perasaanmu sendiri, Yuk."
.
.
.
Bell berbunyi menandakan jam pelajaran akan segera dimulai, Ferdi yang baru saja dari kantin masuk ke kelas tanpa sepatah kata pun ia langsung duduk di bangkunya.
Yuka melihatnya dengan tatapan bingung, ia hendak bicara namun tiba-tiba guru sudah masuk ke ruangan kelas, hingga ia mengurungkan niatnya.
Pelajaran dimulai, Ferdi benar-benar diam dan hanya berfokus ke buku dan papan tulis. Padahal biasanya dia akan curi-curi waktu untuk mengobrol dengan Yuka di tengah pelajaran.
"Ada apa sih dengannya?" Yuka bergumam pelan benar-benar merasa aneh.
Ferdi yang merasa dirinya ditatap, menoleh. "Ada apa?" tanyanya.
"Hah? Siapa juga yang mau ngomong sama kamu!" balas Yuka, lalu mengalihkan pandangannya.
"Oh, gitu..." ucap Ferdi lirih, lalu kembali fokus pada bukunya.
Yuka mengerutkan alis. Biasanya, ketika ia menjawab ketus, Ferdi akan membalas dengan senyuman usil atau komentar menyebalkan. Tapi kali ini, laki-laki itu hanya menanggapi singkat dan kembali diam.
Tak ada cengiran khas. Tak ada lirikan iseng. Tak ada Ferdi yang biasanya.
"Huh... malah jadi nggak enak sendiri," gumam Yuka pelan sambil menggigit ujung pulpennya, berusaha kembali fokus ke catatan. Tapi pikirannya justru melayang ke saat-saat Ferdi selalu berusaha mendekatinya.
Ia ingat saat Ferdi pernah rela berdiri di depan kelas hanya untuk memberi alasan konyol kenapa dia telat, padahal kenyataannya dia sedang menunggu Yuka yang tertinggal karena lupa membawa buku.
Atau saat Ferdi selalu menyodorkan botol minuman padanya setiap kali ia mengeluh kehausan, tanpa diminta.
Dan sekarang... semuanya terasa kosong.
Jam pelajaran berakhir. Guru keluar. Suasana kelas kembali ramai.
Yuka masih duduk di tempatnya, memperhatikan Ferdi dari ekor matanya. Ia melihat Ferdi membereskan bukunya, lalu beranjak berdiri tanpa menoleh sedikit pun padanya.
"Ferdi," panggil Yuka, akhirnya memberanikan diri.
Ferdi berhenti sejenak, namun tidak menoleh.
"Apa?" suaranya datar.
Yuka menggigit bibir bawahnya, bingung harus bicara apa.
"Kamu... kamu nggak apa-apa, kan?"
Ferdi menoleh pelan. Tatapannya tenang, tapi tak lagi hangat seperti biasanya.
"Aku gapapa."
"Kenapa kamu berubah?" pertanyaan itu meluncur tanpa sadar dari bibir Yuka.
Ferdi menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis.
"Aku cuma berhenti berharap."
Seketika, dada Yuka terasa sesak. Ia membuka mulut, ingin berkata sesuatu, tapi Ferdi sudah melangkah pergi, meninggalkannya dalam diam dan kebingungan.
"Berhenti berharap?" kata itu terus terngiang di kepala Yuka.
Entah kenapa, hatinya terasa lebih berat dibanding sebelumnya.
Mungkinkah selama ini... dia memang terlalu banyak menolak tanpa benar-benar tahu apa yang ia rasakan?
Dan sekarang, saat Ferdi mulai menyerah, justru ia mulai merasa kehilangan?
Di sebuah mall, Ferdi bersama beberapa temannya Bayu, Adit, Aldi, dan Fino sedang jalan-jalan. Cuci mata, istilahnya. Mereka memilih pergi ke game center, katanya sih buat bantu Ferdi move on. Atau... setidaknya itu niat awalnya.
"Yee~ ada yang nyerah nih kayaknya," celetuk Aldi dengan gaya usilnya, sambil melirik Ferdi yang tampak murung.
"Bacot, tai," balas Ferdi ketus.
"Sudah, sudah... kita ke sini mau refreshing, bukan mau ribut," Bayu buru-buru melerai, seperti biasa jadi penengah.
Fino melirik Ferdi dengan tatapan penasaran.
"Tapi serius deh, kenapa tiba-tiba nyerah gitu, Fer? Lu kan biasanya keras kepala, nggak gampang nyerah."
Ferdi terdiam sejenak. Pandangannya kosong, seakan melamun di tengah riuhnya suara mesin-mesin game.
"Yah... sesuatu yang mustahil nggak bakal bisa didapetin meskipun dipaksain," ucapnya akhirnya, dengan senyum tipis, senyum yang jelas-jelas sedang menutupi perasaan yang ia pendam.
Fino menepuk punggung Ferdi beberapa kali, ringan namun hangat.
"Kalau gitu... hari ini kita senang-senang sepuasnya!"
"Gua isi saldo kartunya dulu, ya," ujar Adit, lalu berjalan ke arah mesin isi ulang sambil membawa beberapa kartu game.
.
.
.
Suasana di game center mulai ramai. Lampu warna-warni dan suara mesin yang berdentum-dentum makin membakar semangat mereka.
"Oke, gua tantang lu main balap!" teriak Aldi sambil menunjuk mesin game balapan yang kosong.
"Lu ngajak ribut?" Ferdi tertawa kecil, semangatnya mulai bangkit.
"Kalah push-up lima kali!" Fino ikut menantang, langsung duduk di sebelah kanan mesin satunya.
Ferdi langsung duduk dan memasukkan kartunya. Mesin menyala, suara deru mesin mobil memenuhi telinga mereka.
3... 2... 1... GO!!
Mereka mulai balapan dengan teriakan dan cemoohan saling bersahutan.
"Woi jangan nyalip gua, bangke!"
"Makanya jangan ngelamun! Fokus, woy!"
"Gas, Fer! Gaskeun!!"
Setelah beberapa ronde balapan, mereka lanjut ke game tembak-tembakan, lalu ke basket hoop, bahkan sempat main dance dance revolution meski hasilnya ngaco.
Ferdi tertawa lepas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa ringan, seolah luka di dadanya memudar, walau hanya sesaat.
Waktu terasa cepat berlalu. Satu per satu mereka mulai kelelahan dan duduk di bangku istirahat sambil minum.
"Anjing, pegel banget kaki gua!" keluh Adit sambil selonjoran.
"Lu pikir gua kagak? Main joget-jogetan padahal kagak bisa," timpal Ferdi sambil ketawa.
Bayu menepuk pundaknya, "Setidaknya sekarang lu ketawa lagi."
Ferdi mengangguk kecil. "Makasih, serius."
Setelah selesai bermain di game center, mereka semua mulai bubar. Beberapa temannya memilih pulang lebih dulu, yang lain masih ingin jalan-jalan. Ferdi memutuskan untuk menyendiri, katanya sih mau cari angin, padahal pikirannya masih penuh.
Ia berjalan santai di dalam mall, mencoba menikmati suasana. Lampu-lampu toko menyilaukan matanya, musik lembut dari speaker mall menemani langkahnya. Tanpa sadar, ia berhenti di depan sebuah toko buku.
"Ah... liat-liat bentar, deh."
Begitu masuk, aroma khas buku menyambutnya. Tenang, damai, dan hangat. Suasana yang kontras dengan bisingnya game center tadi.
Ferdi melangkah perlahan melewati rak demi rak. Hingga akhirnya matanya tertuju pada seseorang di bagian rak novel remaja.
Seorang gadis berdiri tegak, mengenakan seragam sekolah. Tapi yang paling mencolok... rambutnya. Panjang, rapi, dan berwarna silver. Sorotan matanya tajam tapi teduh, seolah bisa membaca isi buku hanya dari menatap sampulnya.
Ferdi memicingkan mata. Wajah itu terasa familiar.
"Eh..."
Itu... Ketua OSIS di sekolahnya.
Ia sempat berdiri di samping Ferdi saat di minimarket tempo hari. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Ia tampak lebih santai, tak segarang saat memimpin di sekolah.
Ferdi ragu-ragu. Mau nyapa? Atau pura-pura gak lihat?
Tapi sebelum ia sempat ambil keputusan, si gadis menoleh. Tatapan mereka bertemu.
"Eh... kamu?" ucap gadis itu pelan, sedikit terkejut.
"Anak SMA 2, kan?"
Ferdi menggaruk tengkuknya.
"Iya... eh, kebetulan banget ya."
Gadis itu tersenyum tipis. "Aku Hina."
"Ferdi," balasnya, menyambut senyum itu walau sedikit kikuk.
"Suka baca juga?" tanya Hina.
"Kadang... kalau lagi butuh kabur dari dunia nyata," jawab Ferdi jujur.
Hina mengangguk pelan.
"Kita sama."
Ada jeda. Sunyi tapi tak mengganggu. Canggung tapi tidak menyakitkan.
Ferdi melirik ke arah novel di tangan Hina. "Itu... bagus?"
"Belum tahu. Tapi sinopsisnya menarik. Tentang seseorang yang berusaha sembuh, tapi nggak sadar kalau dia udah sembuh dari lama. Dia cuma belum bisa memaafkan dirinya sendiri."
Ferdi terdiam. Rasanya... kayak bukan cuma novel yang sedang dibicarakan.
"Kamu biasanya baca apa?" tanya Hina dengan nada lembut.
"Novel atau komik fantasi, sih... kadang juga romance," jawab Ferdi sambil sedikit menunduk, merasa agak canggung membicarakan genre terakhir itu.
"Oh, ada rekomendasi?" Hina kembali bertanya. Sikapnya begitu ramah, seolah tak ada jarak sama sekali. Tak seperti ketua OSIS yang biasanya terlihat tegas di sekolah.
"Eh...? Ah..." Ferdi mendadak bingung. Ditanya begitu langsung membuat pikirannya blank.
"Eemm..." Ia memegangi dagunya, berpikir keras mencari cerita yang cocok. Harus bagus, aman buat cewek, dan tentunya... nggak bikin dia makin mellow.
"Ngomong-ngomong, kamu pengen baca cerita yang kayak gimana dulu? Nanti aku kasih tahu yang cocok," ucap Ferdi, mencoba mengalihkan fokusnya ke selera Hina.
"Humm... Romance school gitu ada nggak? Cerita tentang seseorang yang udah ngejar tapi akhirnya ditolak, gitu, nah nanti ada drama setelah itu," ucap Hina polos.
Jleb!
Kalimat itu langsung menusuk dada Ferdi. Rasanya seperti... ada yang melempar garam ke luka yang masih terbuka.
Aku tahu dia nggak bermaksud... tapi tetap aja. batinnya.
"Eh? Kamu nggak apa-apa?" tanya Hina, sedikit khawatir melihat Ferdi yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan.
"Nggak apa-apa, cuma... kaget dikit," balas Ferdi, buru-buru menormalkan ekspresi. "Cerita kayak gitu ya... gimana kalau ini."
Matanya menyapu rak dan akhirnya menarik sebuah komik dan menyerahkannya pada Hina.
"Ini?" Hina menatap sampulnya, lalu melirik ke Ferdi.
"Iya, alurnya mirip sama yang kamu bilang. Harusnya cocok," jawab Ferdi sambil tersenyum tipis.
"Kalau gitu aku beli volume satunya dulu, ya," ucap Hina, melangkah ke arah kasir.
"Kalau mau baca, aku punya lengkap di rumah. Kamu boleh pinjam kalau mau," ucap Ferdi refleks, tanpa berpikir panjang.
"Eh? Boleh?" tanya Hina, tampak senang dan sedikit terkejut.
Ferdi ikut terkejut dengan dirinya sendiri. "I-iya..." jawabnya cepat.
"Kalau gitu, aku pinjam dari kamu aja," Hina tersenyum manis, senyum yang bikin waktu serasa berhenti sebentar.
Ferdi terdiam, menatap Hina tanpa sadar. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Lalu ia tersadar, cepat-cepat menggelengkan kepala.
"Aku bawa ke sekolah nanti. Kamu di kelas mana?"
"Nanti aku aja yang ambil. Tapi... tolong ditutupi ya bukunya," ujar Hina sambil terkekeh kecil.
"Ya...?" Ferdi mengangguk pelan, meski dalam hati masih bingung kenapa harus ditutupi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!